Share

Bab 14

Author: Zidan Fadil
last update Last Updated: 2025-04-23 18:30:30

Matahari pagi menyemburatkan cahaya keemasan di atas desa. Namun tak seperti biasanya, suasana pagi itu dipenuhi dengan aroma yang asing—bau daging yang diasapi, tercampur rempah-rempah dan kayu bakar. Beberapa warga sibuk menggantung potongan daging berwarna gelap di atas anyaman bambu, sementara yang lain mengaduk rebusan kental di dalam kuali besar.

Di tengah-tengah keramaian itu, Tirta berdiri dengan tatapan terkesima. “Kau serius... ini daging siluman kemarin?” bisiknya ke salah satu warga tua.

Pak Darmo mengangguk tenang. “Dia bukan siluman biasa. Tak lenyap jadi abu. Tubuhnya masih padat, seperti hewan hutan… hanya lebih galak.” Tangannya terus mengaduk pot besar berisi kuah yang menggoda.

Tirta mendekat dan mencolek sepotong daging kering. “Rasanya kayak daging rusa

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Gelang Langit   Bab 1

    Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te

    Last Updated : 2025-01-13
  • Gelang Langit   Bab 2

    “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu

    Last Updated : 2025-01-14
  • Gelang Langit   Bab 3

    Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha

    Last Updated : 2025-01-15
  • Gelang Langit   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari

    Last Updated : 2025-01-15
  • Gelang Langit   Bab 5

    Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura."Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo."Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat."Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu."Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas."Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.

    Last Updated : 2025-01-16
  • Gelang Langit   Bab 6

    Malam semakin larut, tetapi balai desa tak juga sepi. Pak Wira sibuk memeriksa luka Pak Darmo dengan cermat, sesekali melirik Rakasura yang berdiri di sudut ruangan. Rakasura tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Ayu duduk di samping ayahnya, membantu memberikan peralatan yang dibutuhkan. "Lukanya tidak sedalam yang kupikirkan," ujar Pak Wira seraya mengoleskan salep herbal pada luka di lengan Pak Darmo. "Tapi aku khawatir tentang infeksi. Ini bukan luka biasa. Rasanya ada sesuatu yang aneh." "Apa maksud ayah?" Ayu bertanya, matanya menatap khawatir pada tubuh lemah Pak Darmo. "Luka ini... seperti bukan berasal dari cakar binatang biasa, Ada bekas luka bakar di tepiannya, seperti terbakar dari dalam.” Pak Wira menjawab, suaranya rendah. Rakasura mendekat, matanya tajam memandangi luka itu. "Siluman," katanya singkat. "Sepertinya begitu. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Pak Wira mengangguk, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. "Apa bel

    Last Updated : 2025-01-18
  • Gelang Langit   Bab 7

    Langkah Rakasura menyusuri tanah berembun yang dingin. Malam belum sepenuhnya larut, tapi hutan sudah tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Hanya cahaya rembulan yang terselip di antara sela dedaunan lebat, memberi sedikit pencahayaan yang samar. Dedaunan pepohononan besar di sekeliling Rakasura bergoyang pelan. Angin malam mengangkat aroma tanah basah, disertai suara-suara kecil dari beberapa binatang malam sesekali terdengar seakan ada yang mengalangi mereka untuk bersuara lebih lantang. "Aku tahu kau ada di sini..." gumam Rakasura pelan, hampir seperti berbicara kepada sang hutan itu sendiri. Kretek!! Terdengar suara ranting patah diikuti suara langkah ringan. Rakasura menoleh cepat. "Siapa di sana?" Tak ada jawaban. Ia melangkah lebih dalam, menyusuri jejak samar yang seperti baru terbentuk. Banyak bekas dedaunan terinjak, menunjukkan anda-tanda kehadiran seseorang—atau sesuatu. Lalu sebuah bisikan asing terdengar. Suara bisikan itu terdengar dari seluruh penjuru seakan sel

    Last Updated : 2025-04-15
  • Gelang Langit   Bab 8

    Langit belum sepenuhnya berganti warna ketika Rakasura dan Ayu berdiri di depan batu pipih bercahaya. Aroma lembab dari tanah yang tergali perlahan meresap ke udara, seolah menguar dari luka lama yang baru saja dibuka kembali. Angin yang bertiup pelan membawa bisik-bisik dedaunan, bagai nyanyian purba yang pernah dilantunkan alam namun terlupakan manusia. "Simbol ini..." gumam Rakasura sambil menelusuri ukiran di permukaan batu dengan ujung jarinya. "Mirip dengan yang terpatri di gelangku. Tapi lebih tua... lebih kuno. Seolah ini asal-muasalnya." Ayu menatap cahaya yang berdenyut perlahan dari dalam tanah. "Apa artinya semua ini, Raka?" Ia terdiam sejenak. "Aku belum tahu pasti. Tapi tempat ini... seperti mengenalku. Seolah pernah kualami dalam mimpi—atau mungkin mimpi itu adalah kenangan yang dikubur waktu." Suasana menjadi sangat sunyi. Tak ada suara burung, tak ada suara serangga, hanya detak jantung dan napas mereka yang terdengar. Akar-akar pohon di sekeliling mereka mulai

    Last Updated : 2025-04-16

Latest chapter

  • Gelang Langit   Bab 14

    Matahari pagi menyemburatkan cahaya keemasan di atas desa. Namun tak seperti biasanya, suasana pagi itu dipenuhi dengan aroma yang asing—bau daging yang diasapi, tercampur rempah-rempah dan kayu bakar. Beberapa warga sibuk menggantung potongan daging berwarna gelap di atas anyaman bambu, sementara yang lain mengaduk rebusan kental di dalam kuali besar.Di tengah-tengah keramaian itu, Tirta berdiri dengan tatapan terkesima. “Kau serius... ini daging siluman kemarin?” bisiknya ke salah satu warga tua.Pak Darmo mengangguk tenang. “Dia bukan siluman biasa. Tak lenyap jadi abu. Tubuhnya masih padat, seperti hewan hutan… hanya lebih galak.” Tangannya terus mengaduk pot besar berisi kuah yang menggoda.Tirta mendekat dan mencolek sepotong daging kering. “Rasanya kayak daging rusa

  • Gelang Langit   Bab 13

    Langit pagi menggantung pucat, sementara kabut tipis masih menyelimuti lapangan latihan di tengah desa. Embun masih menempel di batang-batang bambu ketika suara derap kaki mulai terdengar beriringan.Rakasura berdiri di tengah lapangan, mengenakan kain pelindung dada dari kulit kayu, sementara seikat rambutnya terikat ke belakang. Di hadapannya, dua baris warga desa berdiri tegak, sebagian memegang tongkat kayu, sebagian lagi membawa alat tani yang dimodifikasi menjadi senjata sederhana.Hari ini, mereka sudah memasuki hari ketujuh latihan. Dan Rakasura bisa melihat perubahan kecil—cara mereka berdiri, tatapan mata yang lebih yakin, dan bahkan cara mereka menggenggam senjata."Siapa yang bisa menahan serangan dari tiga arah?" tanyanya, menatap kelompok itu.Tiga pemuda m

  • Gelang Langit   Bab 12

    Rakasura melangkah pelan di sepanjang hutan, kaki-kaki besar menapak lembut di atas tanah yang lembab. Malam mulai merayap, dan cahaya bulan yang redup memberi kesan misterius pada setiap sudut yang ia lalui. Hati Rakasura berdebar, tidak hanya karena ancaman yang mengintai di hadapannya, tetapi juga karena perasaan yang semakin lama semakin kuat dalam dirinya—perasaan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Ini bukan lagi soal gelar atau kehormatan sebagai penjaga Kahyangan. Ini adalah tentang melindungi mereka yang memandangnya dengan harapan.Desa ini adalah tempat yang belum pernah ia kenal sebelumnya, tapi kini, ia mulai merasa sesuatu yang lebih dari sekadar tempat menumpang tidur. Di dunia yang jauh dari Kahyangan, ia merasa seperti satu-satunya yang dapat menjaga mereka dari ancaman nyata.Tapi ancaman yang datang bukan hanya sekedar fisik. Ada perasaan tak terdefinisikan, sesuatu yang menggerogoti pikirannya setiap saat—terutama setelah pertemuannya dengan makhluk ber

  • Gelang Langit   Bab 11

    Langit malam tampak seperti selimut kelabu yang ditambal awan-awan gelap. Rakasura berdiri di batas desa, tempat jalan setapak memudar ke semak belukar. Di punggungnya tergantung sehelai kain panjang yang dijadikan ikat pinggang darurat. Ia tak mengenakan baju zirah, hanya kain pelindung dada dari kulit kayu kering yang dirangkai Pak Darmo siang tadi.Dari balik semak, Tirta muncul.“Kau serius pergi sendiri?” tanyanya.“Ya.”“Aku ikut.”“Tidak.”“Aku sudah pernah melihat siluman membunuh orang. Kali ini, aku tidak mau hanya jadi penonton.” Tirta menatapnya tanpa gentar.Rakasura memandang bocah itu. Ada keberanian di matanya. Terlalu muda untuk terluka, tapi cukup berani untuk mati. Ia menarik napas pelan.“Kalau kau ikut, patuhi semua perintahku. Satu langkah lebih dulu dariku, atau satu langkah lebih lambat—kau kutinggal.”Tirta tersenyum lebar. “Siap, guru.”Mereka berdua menapaki gelapnya hutan. Tak ada suara burung malam, tak ada gemerisik. Hutan seperti menahan napas.Setelah h

  • Gelang Langit   Bab 10

    Rakasura berdiri terhuyung. Napasnya berat. Makhluk itu kembali merunduk, siap meluncur lagi. Tapi ada sesuatu dalam gerakannya—ragu sesaat, seolah menyadari bahwa lawannya tidak seperti yang biasa ia hadapi. Rakasura melihatnya. "Kau bukan siluman biasa," ucapnya lirih, sembari melepaskan sikap siaga. "Kau disiksa, dijadikan alat... Tapi kau punya kehendak." Makhluk itu mendesis rendah, duri-durinya masih berdiri tegak, tapi gerakannya tertahan. Ia tidak langsung menyerang. Rakasura menurunkan kedua tangannya. "Kalau kau ingin membunuhku, kau bisa sejak tadi. Tapi kau menahan diri." Angin malam menyapu pepohonan. Suara jangkrik kembali terdengar samar. Makhluk itu mencondongkan kepala, mengendus udara di sekitar Rakasura. Mata merahnya kini tak lagi menyala seterang tadi. "Apa kau... disuruh menjaga sesuatu? Atau dikirim hanya untuk menguji kemampuan ku?" Rakasura melangkah perlahan. "Aku tak mau menyakitimu. Tapi kalau kau ingin jalan keluar dari belenggu itu—ikutlah den

  • Gelang Langit   Bab 9

    Langkah Rakasura meninggalkan tempat suci itu terdengar ringan tapi menanggung beban. Lelaki itu baru saja kembali dari lorong gelap tempat gelang Kahyangan tersimpan. Jari-jarinya sempat menggenggam benda pusaka itu dengan degup jantung yang tak menentu. Gelang itu seolah masih mengenal pemiliknya, berdenyut samar seperti mengundang. Namun hanya sesaat ia menahannya di genggaman. Sesuatu dalam dirinya—mungkin sisa-sisa hikmat dari masa lalu yang belum sepenuhnya memberikan kilasan kilasan peristiwa yang pernah ia alami saat menjadi dewa dan beberapa peristiwa yang ada di hutan itu semenjak gelang itu tersimpan di altar. Ia melihat siluman yang lebih cocok disebut monster yang ada di hutan itu, mungkin satunya saja. Makhluk itu berbentuk seperti rubah berkaki panjang dengan cakar bagaikan pengait daging. Di sepanjang tulang belakangnya dipenuhi bulu berwarna gelap yang berdiri tegak menyerupai duri duri dari besi. Intuisi Rakasura seakan membisikkan bahwa belum waktunya ia untuk

  • Gelang Langit   Bab 8

    Langit belum sepenuhnya berganti warna ketika Rakasura dan Ayu berdiri di depan batu pipih bercahaya. Aroma lembab dari tanah yang tergali perlahan meresap ke udara, seolah menguar dari luka lama yang baru saja dibuka kembali. Angin yang bertiup pelan membawa bisik-bisik dedaunan, bagai nyanyian purba yang pernah dilantunkan alam namun terlupakan manusia. "Simbol ini..." gumam Rakasura sambil menelusuri ukiran di permukaan batu dengan ujung jarinya. "Mirip dengan yang terpatri di gelangku. Tapi lebih tua... lebih kuno. Seolah ini asal-muasalnya." Ayu menatap cahaya yang berdenyut perlahan dari dalam tanah. "Apa artinya semua ini, Raka?" Ia terdiam sejenak. "Aku belum tahu pasti. Tapi tempat ini... seperti mengenalku. Seolah pernah kualami dalam mimpi—atau mungkin mimpi itu adalah kenangan yang dikubur waktu." Suasana menjadi sangat sunyi. Tak ada suara burung, tak ada suara serangga, hanya detak jantung dan napas mereka yang terdengar. Akar-akar pohon di sekeliling mereka mulai

  • Gelang Langit   Bab 7

    Langkah Rakasura menyusuri tanah berembun yang dingin. Malam belum sepenuhnya larut, tapi hutan sudah tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Hanya cahaya rembulan yang terselip di antara sela dedaunan lebat, memberi sedikit pencahayaan yang samar. Dedaunan pepohononan besar di sekeliling Rakasura bergoyang pelan. Angin malam mengangkat aroma tanah basah, disertai suara-suara kecil dari beberapa binatang malam sesekali terdengar seakan ada yang mengalangi mereka untuk bersuara lebih lantang. "Aku tahu kau ada di sini..." gumam Rakasura pelan, hampir seperti berbicara kepada sang hutan itu sendiri. Kretek!! Terdengar suara ranting patah diikuti suara langkah ringan. Rakasura menoleh cepat. "Siapa di sana?" Tak ada jawaban. Ia melangkah lebih dalam, menyusuri jejak samar yang seperti baru terbentuk. Banyak bekas dedaunan terinjak, menunjukkan anda-tanda kehadiran seseorang—atau sesuatu. Lalu sebuah bisikan asing terdengar. Suara bisikan itu terdengar dari seluruh penjuru seakan sel

  • Gelang Langit   Bab 6

    Malam semakin larut, tetapi balai desa tak juga sepi. Pak Wira sibuk memeriksa luka Pak Darmo dengan cermat, sesekali melirik Rakasura yang berdiri di sudut ruangan. Rakasura tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Ayu duduk di samping ayahnya, membantu memberikan peralatan yang dibutuhkan. "Lukanya tidak sedalam yang kupikirkan," ujar Pak Wira seraya mengoleskan salep herbal pada luka di lengan Pak Darmo. "Tapi aku khawatir tentang infeksi. Ini bukan luka biasa. Rasanya ada sesuatu yang aneh." "Apa maksud ayah?" Ayu bertanya, matanya menatap khawatir pada tubuh lemah Pak Darmo. "Luka ini... seperti bukan berasal dari cakar binatang biasa, Ada bekas luka bakar di tepiannya, seperti terbakar dari dalam.” Pak Wira menjawab, suaranya rendah. Rakasura mendekat, matanya tajam memandangi luka itu. "Siluman," katanya singkat. "Sepertinya begitu. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Pak Wira mengangguk, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. "Apa bel

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status