Share

Bab 2

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-14 13:03:18

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya.

Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas.

“Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya.

“Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu.

“Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu

Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura.

“Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibuk merawatnya.

“Iya, tak masalah bagiku,” jawab Ayu singkat, tanpa menatapnya. Ia berkonsentrasi pada pekerjaannya, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang menunjukkan rasa penasaran.

Malam itu, setelah penduduk desa kembali tenang dari serangan siluman, Ayu duduk di depan rumah bersama Rakasura. Angin malam yang sejuk membawa aroma hutan, sementara suara jangkrik mengisi keheningan malam.

“Serangan seperti tadi tidak pernah terjadi sebelumnya. Apa yang mereka inginkan dari desa kecil seperti ini?” Ucap Ayu, memeluk lututnya sambil memandang bintang-bintang yang terhampar, menghiasi langit malam itu.

“Siluman tidak bertindak tanpa alasan,” ucap Rakasura perlahan.

“Mungkin ada sesuatu di sini yang mereka incar.” Rakasura berusaha menjelaskan kemungkinan yang bisa terjadi

“Kau bicara seolah-olah kau tahu banyak tentang mereka. Siapa kau sebenarnya?” Ayu menoleh ke Rakasura, menatapnya dengan tatapan penuh rasa penasaran.

Rakasura menatap Ayu, berusaha menilai apakah ia bisa mempercayainya. Namun, melihat ketulusan di mata gadis itu, ia hanya tersenyum kecil.

“Aku hanya seorang pengembara, seperti yang sudah kukatakan. Sebagai pengembara tentunya ini bukan pertama kalinya aku mengalami hal yang seperti ini”

Ayu menghela napas, merasa percuma untuk bertanya lebih jauh. Tetapi ada sesuatu tentang Rakasura yang membuatnya tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

“Baiklah, Rakasura,” Ucap Ayu, memutuskan untuk menerima jawabannya untuk sementara.

“Kalau kau ingin tetap tinggal di sini, kau harus membantu kami melindungi desa. Jika ucapanmu benar, para siluman itu pasti akan kembali.”

“Jika itu permintaanmu maka dengan senang hati” jawab Rakasura, sembari tersenyum samar.

Ayu tersipu, tetapi ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Bagus. Besok aku akan memperkenalkanmu pada kepala desa. Dia harus tahu tentang apa yang terjadi.”

“Baik, Aku berhutang budi pada kalian. Aku akan memastikan desa ini aman.” kata Rakasura sembari memandang langit malam yang dipenuhi bintang.

Ayu hanya mengangguk, tetapi dalam hatinya ia merasa bahwa kehadiran Rakasura bukan kebetulan. Mungkin, pikirnya, pria ini dikirim oleh dewa untuk membantu desa mereka.

Keesokan paginya, sinar matahari pagi mulai menyelinap melalui celah-celah dinding bambu, menerangi bilik kecil tempat Rakasura beristirahat. Aroma embun pagi yang segar bercampur dengan bau kayu tua yang memenuhi ruangan. Suara ayam berkokok memecah keheningan, disusul oleh suara langkah kaki penduduk yang sibuk memulai aktivitas mereka di luar.

Rakasura membuka matanya perlahan. Tubuhnya yang terbiasa dengan kerasnya medan pertempuran merasakan rasa lelah yang tak seberapa dibandingkan luka-luka masa lalunya. Pedangnya, yang bersandar di sudut ruangan, berkilauan samar terkena cahaya pagi, seolah mengingatkannya pada tujuan yang belum terselesaikan.

"Istirahatmu cukup?" Ayu muncul di pintu dengan membawa sebaskom air bersih dan kain kecil. Wajahnya yang segar dengan rambut hitam yang sedikit berantakan memperlihatkan bahwa ia juga baru saja bangun.

"Cukup," Rakasura menjawab singkat, mengalihkan pandangannya dari pedangnya ke arah Ayu.

Ayu melangkah masuk, meletakkan baskom di atas meja kecil di sudut bilik. "Kepala desa sudah menunggu di balai desa. Dia ingin mendengar rencanamu."

Rakasura berdiri perlahan, tubuhnya yang tinggi hampir menyentuh atap bilik. Ia melirik keluar jendela kecil, memperhatikan kesibukan di luar. Beberapa penduduk berjalan membawa keranjang berisi hasil panen, sementara anak-anak berlarian di sekitar mereka dengan riang.

"Apa yang dia harapkan dariku?" tanya Rakasura, memecah keheningan.

"Melindungi desa ini. Penduduk di sini menggantungkan harapan pada dirimu." Ayu menjawab pelan, matanya menatap Rakasura dengan penuh keyakinan.

"Aku tidak akan mengecewakan mereka" Rakasura mengangguk pelan.

Setelah mencuci muka dan bersiap, Rakasura mengikuti Ayu menuju balai desa. Jalan kecil yang terbuat dari tanah padat menghubungkan bilik di belakang bapai desa tempat Rakasura tidur dengan balai desa. Mereka melewati sisi samping balai desa untuk menuju ke balai utama. Di sisi kanan mereka terdapat rumah-rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu. Di sepanjang jalan, pandangan penuh rasa ingin tahu dari penduduk desa tertuju pada Rakasura. Beberapa dari mereka membungkuk hormat, sementara yang lain berbisik-bisik.

"Kau menarik perhatian mereka," Ayu berkata dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.

"Harapan mereka terlalu besar,Aku hanyalah seorang pengembara" jawab Rakasura setelah mendengar beberapa percakapan warga yang menaruh harapan besar padanya.

Setibanya di balai desa, kepala desa sudah menunggu. Ia duduk di kursi kayu sederhana dengan tongkat kayu di tangannya, wajahnya tampak penuh kekhawatiran.

"Kau sudah bangun. Bagus," kepala desa menyapa dengan suara serak.

"Apa yang bisa kubantu?" Rakasura duduk di depannya, pandangannya langsung ke arah kepala desa.

"Kami semua tahu serangan semalam bukan yang terakhir," kepala desa memulai, wajahnya tampak semakin serius.

"Siluman itu pasti akan kembali, dan kali ini mereka mungkin membawa lebih banyak pasukan."

"Aku setuju. Jika diizinkan aku ingin melatih penduduk desa untuk melindungi diri mereka sendiri. Mereka harus siap menghadapi serangan apa pun." Ucap Rakasura dengan yakin.

Kepala desa terdiam sejenak, memandangi Rakasura dengan sorot mata yang penuh pertimbangan.

"Ide yang bagus, tapi aku harus memperingatkanmu. Penduduk desa ini kebanyakan petani. Mereka tidak pernah bertarung sebelumnya."

"Itu tidak masalah. Aku akan memulai dengan dasar-dasar. Yang penting adalah keberanian dan kemauan untuk bertahan hidup." Tegas Rakasura.

"Ayu akan membantumu mengumpulkan mereka yang bersedia dilatih. Mulailah sesegera mungkin." Kepala desa mengangguk, meskipun masih terdapat sedikit keraguan di wajahnya.

Setelah meninggalkan balai desa, Ayu menatap Rakasura dengan rasa ingin tahu.

"Kau sepertinya tahu banyak tentang pertempuran. Apa kau pernah memimpin pasukan sebelumnya?"

"Bisa dibilang begitu" Rakasura tersenyum samar, jelas tidak ingin membahas lebih jauh tentang masa lalunya.

"Kalau begitu, aku akan membantu mengumpulkan orang-orang yang bersedia dilatih. Kita mulai sore ini," Ayu menatapnya dengan semangat, meskipun kekhawatiran masih terlihat di matanya.

"Terima kasih, Ayu," Rakasura menatapnya dengan tulus. Meski dirinya bukan dewa yang sama seperti dahulu, ia merasa sedikit lega bahwa ada seseorang yang bisa dia percayai di dunia ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Gelang Langit   Bab 3

    Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Gelang Langit   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Gelang Langit   Bab 5

    Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura."Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo."Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat."Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu."Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas."Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Gelang Langit   Bab 6

    Malam semakin larut, tetapi balai desa tak juga sepi. Pak Wira sibuk memeriksa luka Pak Darmo dengan cermat, sesekali melirik Rakasura yang berdiri di sudut ruangan. Rakasura tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Ayu duduk di samping ayahnya, membantu memberikan peralatan yang dibutuhkan. "Lukanya tidak sedalam yang kupikirkan," ujar Pak Wira seraya mengoleskan salep herbal pada luka di lengan Pak Darmo. "Tapi aku khawatir tentang infeksi. Ini bukan luka biasa. Rasanya ada sesuatu yang aneh." "Apa maksud ayah?" Ayu bertanya, matanya menatap khawatir pada tubuh lemah Pak Darmo. "Luka ini... seperti bukan berasal dari cakar binatang biasa, Ada bekas luka bakar di tepiannya, seperti terbakar dari dalam.” Pak Wira menjawab, suaranya rendah. Rakasura mendekat, matanya tajam memandangi luka itu. "Siluman," katanya singkat. "Sepertinya begitu. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Pak Wira mengangguk, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. "Apa bel

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Gelang Langit   Bab 1

    Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 6

    Malam semakin larut, tetapi balai desa tak juga sepi. Pak Wira sibuk memeriksa luka Pak Darmo dengan cermat, sesekali melirik Rakasura yang berdiri di sudut ruangan. Rakasura tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Ayu duduk di samping ayahnya, membantu memberikan peralatan yang dibutuhkan. "Lukanya tidak sedalam yang kupikirkan," ujar Pak Wira seraya mengoleskan salep herbal pada luka di lengan Pak Darmo. "Tapi aku khawatir tentang infeksi. Ini bukan luka biasa. Rasanya ada sesuatu yang aneh." "Apa maksud ayah?" Ayu bertanya, matanya menatap khawatir pada tubuh lemah Pak Darmo. "Luka ini... seperti bukan berasal dari cakar binatang biasa, Ada bekas luka bakar di tepiannya, seperti terbakar dari dalam.” Pak Wira menjawab, suaranya rendah. Rakasura mendekat, matanya tajam memandangi luka itu. "Siluman," katanya singkat. "Sepertinya begitu. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Pak Wira mengangguk, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. "Apa bel

  • Gelang Langit   Bab 5

    Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura."Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo."Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat."Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu."Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas."Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.

  • Gelang Langit   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari

  • Gelang Langit   Bab 3

    Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha

  • Gelang Langit   Bab 2

    “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu

  • Gelang Langit   Bab 1

    Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status