Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura.
"Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo. "Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat." Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu. "Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas. "Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat. Rakasura mengangguk dan melanjutkan langkahnya menuju balai desa, diikuti Ayu dan beberapa warga yang tampak bingung dan cemas. Di balai desa, mereka membaringkan Pak Darmo di atas tikar anyaman. Seorang pria berlari masuk dengan membawa kotak obat sederhana. "Kita harus membersihkan luka ini dulu," pria itu berkata sambil memeriksa lengan Pak Darmo yang berlumuran darah. Rakasura memperhatikan dengan saksama. "Lukanya tidak biasa," ujarnya pelan, matanya fokus meneliti bekas luka yang tampak seperti cakaran tajam. "Apa ada hewan buas di sekitar hutan?" Warga yang berada di ruangan itu saling berpandangan, wajah mereka penuh kecemasan. "Bukan hewan biasa, i-ini seperti bekas serangan siluman." Salah satu dari mereka akhirnya berkata, suaranya bergetar. Ayu, yang duduk di dekat kepala Pak Darmo, tersentak mendengar kata itu. "Siluman?" tanyanya, menatap Rakasura yang wajahnya tetap tenang meski pikirannya mulai menganalisis situasi. "Kami tidak tahu pasti, Tapi ini bukan pertama kalinya sesuatu seperti ini terjadi." Ucap Pak Wira, ayah Ayu yang sedang merawat Pak Darmo sambil menghela napas. Rakasura berpikir sejenak, kemudian menoleh pada Ayu. "Ayu, siapa yang bisa memberiku informasi tentang apa yang sedang terjadi di desa ini?" Ayu mengangkat wajahnya yang mulai memerah karena khawatir. "Kepala desa. Dia pasti tahu sesuatu." "Kalau begitu, kita harus bicara dengannya, Pastikan dia dirawat dengan baik. Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi." Rakasura berdiri, menghimbau warga yang masih mengelilingi Pak Darmo. *** Beberapa saat kemudian, Rakasura dan Ayu berjalan menuju rumah kepala desa yang tidak jauh dari balai desa. Rumah itu lebih besar dibandingkan rumah lainnya, dengan ukiran kayu pada pintu yang menampilkan gambar flora dan fauna. Sesampainya di depan rumah kepala desa, Ayu mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Ketukan lembutnya terdengar samar di malam yang hening, tetapi langkah berat dari dalam segera terdengar mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan kepala desa yang tampak sedikit lelah. Ia mengangkat alis saat melihat Ayu dan Rakasura berdiri di depan pintu. "Kalian datang malam-malam begini, ada apa?" tanyanya dengan nada cemas, pandangannya bergantian ke arah Ayu dan Rakasura. "Apa ini tentang Pak Darmo?" Ayu mengangguk cepat. "Iya, Pak. Kami menemukan beliau terluka parah di hutan. Sekarang sedang dirawat di balai desa." Wajah kepala desa seketika berubah serius. Ia memberi isyarat agar mereka masuk. "Masuklah, kita bicarakan ini di dalam." Mereka melangkah masuk ke ruang tamu yang sederhana namun penuh dengan barang antik—ukiran kayu, lukisan tua, dan benda-benda pusaka yang tertata rapi. Kepala desa duduk di kursi kayu, sementara Rakasura memilih berdiri di sudut ruangan, tangannya terlipat di dada. "Apa yang sebenarnya terjadi?" kepala desa bertanya, matanya tertuju pada Rakasura. "Kami menemukannya di tepi hutan, Lukanya seperti bekas serangan makhluk liar, tapi tidak biasa. Warga menyebut ini ulah siluman dan pak Wira bilang ini bukan yang pertama kali. Apa itu benar?" jawab Rakasura tenang. Kepala desa menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya yang mulai keriput. "Ini memang bukan pertama kalinya, Pak Darmo mungkin melewati batas wilayah hutan tanpa sengaja." "Jadi memang ada sesuatu di sana?" tanya Rakasura, pandangannya tajam. Kepala desa mengangguk pelan. "Kami menyebutnya Penjaga Bayangan. Makhluk itu tidak suka manusia yang terlalu dekat dengan wilayahnya." Ayu yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. "Tapi, Pak, mengapa makhluk itu menyerang Pak Darmo? Apakah beliau melakukan sesuatu yang memicu kemarahan siluman itu?" Kepala desa terlihat ragu sejenak, lalu menjawab, "Aku tidak tahu pasti. Tapi... ada sesuatu di hutan itu yang dilindungi oleh Penjaga Bayangan. Sesuatu yang sudah ada sejak dulu." "Apa itu?" Rakasura bertanya dengan nada mendesak. Kepala desa menatapnya tajam. "Aku tidak tahu dengan pasti. Tapi ada cerita turun-temurun tentang pusaka yang tersembunyi di hutan itu. Banyak orang yang mencoba mencarinya, tetapi tak ada yang kembali hidup-hidup." Rakasura mengerutkan dahi. Kata "pusaka" itu langsung mengingatkannya pada gelangnya yang hilang. "Apa pusaka itu berupa gelang?" tanyanya langsung, suaranya nyaris berbisik. Kepala desa tampak terkejut. "Bagaimana kau tahu?" "Aku hanya menebak. Kalau memang ada pusaka seperti itu, aku harus pergi ke sana dan mencarinya." jawab Rakasura, mencoba menyembunyikan emosinya. "Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja. Hutan itu berbahaya!" Ucap Ayu terkejut mendengar ucapan itu. "Aku tahu risikonya, Tapi ini penting." Balas Rakasura dengan tenang. Kepala desa memperhatikan Rakasura dengan mata penuh selidik. "Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi aku merasa kau lebih dari sekadar orang asing yang tersesat di desa ini." Rakasura tidak menjawab, hanya menatap kepala desa dengan tatapan seribu makna. "Baiklah, kalau kau memang ingin pergi, setidaknya tunggu sampai pagi. Jangan memasuki hutan dalam keadaan gelap. Kau hanya akan menjadi mangsa yang lebih mudah." Ucap kepala desa mempersilahkan. "Tolong pikirkan lagi, Rakasura. Jangan pergi sendiri." Ucap Ayu sambil menggenggam lengan Rakasura dengan cemas. "Aku akan baik-baik saja." Rakasura menatap Ayu sejenak sebelum melepaskan tangannya dengan lembut. Suasana menjadi hening, hanya suara serangga dan burung-burung malam yang terdengar. "Kalau kau yakin, aku akan memberitahumu jalur yang paling aman. Tapi tetaplah waspada.” Ucap kepala desa yang akhirnya mendukung.Malam semakin larut, tetapi balai desa tak juga sepi. Pak Wira sibuk memeriksa luka Pak Darmo dengan cermat, sesekali melirik Rakasura yang berdiri di sudut ruangan. Rakasura tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Ayu duduk di samping ayahnya, membantu memberikan peralatan yang dibutuhkan. "Lukanya tidak sedalam yang kupikirkan," ujar Pak Wira seraya mengoleskan salep herbal pada luka di lengan Pak Darmo. "Tapi aku khawatir tentang infeksi. Ini bukan luka biasa. Rasanya ada sesuatu yang aneh." "Apa maksud ayah?" Ayu bertanya, matanya menatap khawatir pada tubuh lemah Pak Darmo. "Luka ini... seperti bukan berasal dari cakar binatang biasa, Ada bekas luka bakar di tepiannya, seperti terbakar dari dalam.” Pak Wira menjawab, suaranya rendah. Rakasura mendekat, matanya tajam memandangi luka itu. "Siluman," katanya singkat. "Sepertinya begitu. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Pak Wira mengangguk, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. "Apa bel
Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu
Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha
Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari
Malam semakin larut, tetapi balai desa tak juga sepi. Pak Wira sibuk memeriksa luka Pak Darmo dengan cermat, sesekali melirik Rakasura yang berdiri di sudut ruangan. Rakasura tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Ayu duduk di samping ayahnya, membantu memberikan peralatan yang dibutuhkan. "Lukanya tidak sedalam yang kupikirkan," ujar Pak Wira seraya mengoleskan salep herbal pada luka di lengan Pak Darmo. "Tapi aku khawatir tentang infeksi. Ini bukan luka biasa. Rasanya ada sesuatu yang aneh." "Apa maksud ayah?" Ayu bertanya, matanya menatap khawatir pada tubuh lemah Pak Darmo. "Luka ini... seperti bukan berasal dari cakar binatang biasa, Ada bekas luka bakar di tepiannya, seperti terbakar dari dalam.” Pak Wira menjawab, suaranya rendah. Rakasura mendekat, matanya tajam memandangi luka itu. "Siluman," katanya singkat. "Sepertinya begitu. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Pak Wira mengangguk, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. "Apa bel
Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura."Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo."Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat."Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu."Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas."Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.
Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari
Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu
Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te