Share

Bab 7

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-15 11:14:06

Langkah Rakasura menyusuri tanah berembun yang dingin. Malam belum sepenuhnya larut, tapi hutan sudah tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Hanya cahaya rembulan yang terselip di antara sela dedaunan lebat, memberi sedikit pencahayaan yang samar.

Dedaunan pepohononan besar di sekeliling Rakasura bergoyang pelan. Angin malam mengangkat aroma tanah basah, disertai suara-suara kecil dari beberapa binatang malam sesekali terdengar seakan ada yang mengalangi mereka untuk bersuara lebih lantang.

"Aku tahu kau ada di sini..." gumam Rakasura pelan, hampir seperti berbicara kepada sang hutan itu sendiri.

Kretek!!

Terdengar suara ranting patah diikuti suara langkah ringan. Rakasura menoleh cepat.

"Siapa di sana?"

Tak ada jawaban.

Ia melangkah lebih dalam, menyusuri jejak samar yang seperti baru terbentuk. Banyak bekas dedaunan terinjak, menunjukkan anda-tanda kehadiran seseorang—atau sesuatu.

Lalu sebuah bisikan asing terdengar. Suara bisikan itu terdengar dari seluruh penjuru seakan seluruh hutan berubah menjadi sebuah media yang menghantarkan getaran suara bisikan itu.

Rakasura berhenti

"Jangan berpura-pura,"

"Kau mencium keberadaanku sejak aku melangkah ke sini." Ucapnya dengan suara rendah.

Bersamaan dengan itu bayangan menyelinap di antara batang-batang pohon.

Rakasura menarik napas panjang. "Keluar. Aku tahu kau bukan sekadar siluman biasa."

Bayangan itu melewati balik pepohonan dari kanan dan kiri lalu berkumpul mengarah ke satu titik di dalam kegelapan hutan tepat di hadapan Rakasura. Dari kegelapan itu tiba-tiba, sosok tinggi menjulang muncul disetai kabut tipis mendekat ke arah Rakasura.

Sosok itu mengenakan jubah gelap, warnanya terlihat samar tertutup oleh gelapnya hutan malam itu, wajahnya tertutup oleh topeng kayu tua yang tersorot oleh cahaya rembulan yang berhasil melewati celah celah sempit dedaunan menunjukkan ukiran ukiran kuno di permukaan topeng itu.

Ia berdiri tepat di hadapan Rakasura. terlihat kedua bola mata yang menyala menatap Rakasura dengan sorot mata tajam.

"Kau bukan dari dunia ini," ucap sosok itu.

"Kau pun begitu. Tapi berbeda dariku."

"Apa yang membuatmu turun ke tanah manusia?"

"Seseorang harus menghentikan ini. Kau melukai banyak orang tak bersalah."

"Tak bersalah? Mereka semua adalah bagian dari perjanjian lama. Mereka lupa... tapi aku tidak."

Rakasura menatapnya tajam. "Perjanjian lama?!Apa maksudmu?"

"Gelang itu. Itu bukan milik mereka. Itu kutukan. Dan kau—kau penjaganya yang gagal."

Seketika Rakasura maju dan menyerang. Tapi sosok bertopeng itu menghilang dalam bayangan. Hanya suara tawanya yang tertinggal.

"Hati-hati, Penjaga. Waktu tak berpihak padamu di dunia ini. Kau akan kehabisan alasan untuk kembali."

Suara makhluk itu menggema memenuhi hutan, merambat melalui pepohonan yang ada

Rakasura berdiri terpaku. Lalu menarik napas pelan. Ia tahu ini baru permulaan.

Bayangan makhluk itu lenyap seolah menyatu kembali dengan pepohonan dan kabut. Tapi jejak kehadirannya masih terasa. Seakan ada getaran tipis yang tertinggal di udara. Rakasura memejamkan mata sejenak, mengandalkan instingnya. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya lebih dalam ke hutan—bukan suara, tapi dorongan samar dari dalam dirinya.

Ia mengikuti naluri itu. Kakinya melangkah tanpa ragu menembus semak dan akar. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah pohon tua yang menjulang tinggi, akar-akarnya mencengkeram tanah dengan kuat. Di bawah salah satu akar, cahaya samar tampak memancar.

"Ini... tempat awalnya."

***

Di desa, Ayu duduk di depan rumahnya, menatap langit malam.

"Apa ayah yakin dia akan baik-baik saja?" tanyanya pada ayahnya.

Pak Wira duduk di sampingnya.

"Sejujurnya sulit untuk meyakininya. Tapi aku percaya dia tahu apa yang sedang dia hadapi."

"Aku hanya takut... dia kembali seperti Pak Darmo. Atau lebih parah."

Pak Wira menghela napas. "Orang-orang seperti dia lahir untuk menghadapi hal-hal yang tak bisa dijelaskan. Tapi orang-orang seperti kita... kita yang menanggung rindunya."

Ayu menunduk.

"Aku berharap dia kembali. Secepatnya."

***

Kembali di hutan, Rakasura berdiri di tepi sebuah pohon tua. Di bawah akar pohon itu Ia meraih tanah, menyibak akar itu, dan melihat sebuah batu pipih dengan simbol ukiran—mirip dengan yang ada pada gelangnya.

"Ini... tempat awalnya."

Tiba-tiba, langkah kaki cepat terdengar dari belakang.

"Rakasura!"

Ia menoleh. Ayu berdiri di sana, terengah-engah, matanya cemas.

"Apa yang kau lakukan di sini?! Ini berbahaya."

"Aku tak bisa tinggal diam. Aku takut terjadi sesuatu padamu."

"Ayu, kau tak seharusnya—"

"Diam. Kalau kau bisa mengambil risiko, aku juga bisa. Aku tak mau duduk diam dan menunggu kabar buruk."

Mereka saling menatap. Hening. Tapi bukan hening yang kosong. Ada keberanian di sorot mata Ayu. Dan kekaguman di mata Rakasura.

"Baiklah," ujar Rakasura akhirnya. "Tapi tetap di belakangku. Kita belum tahu apa yang kita hadapi."

Ayu mengangguk.

Di bawah mereka, akar-akar mulai bergetar. Batu ukiran itu memancarkan cahaya terang.

Dan bisikan itu kembali terdengar.

"Kalian datang terlambat..."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Gelang Langit   Bab 8

    Langit belum sepenuhnya berganti warna ketika Rakasura dan Ayu berdiri di depan batu pipih bercahaya. Aroma lembab dari tanah yang tergali perlahan meresap ke udara, seolah menguar dari luka lama yang baru saja dibuka kembali. Angin yang bertiup pelan membawa bisik-bisik dedaunan, bagai nyanyian purba yang pernah dilantunkan alam namun terlupakan manusia. "Simbol ini..." gumam Rakasura sambil menelusuri ukiran di permukaan batu dengan ujung jarinya. "Mirip dengan yang terpatri di gelangku. Tapi lebih tua... lebih kuno. Seolah ini asal-muasalnya." Ayu menatap cahaya yang berdenyut perlahan dari dalam tanah. "Apa artinya semua ini, Raka?" Ia terdiam sejenak. "Aku belum tahu pasti. Tapi tempat ini... seperti mengenalku. Seolah pernah kualami dalam mimpi—atau mungkin mimpi itu adalah kenangan yang dikubur waktu." Suasana menjadi sangat sunyi. Tak ada suara burung, tak ada suara serangga, hanya detak jantung dan napas mereka yang terdengar. Akar-akar pohon di sekeliling mereka mulai

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-16
  • Gelang Langit   Bab 9

    Langkah Rakasura meninggalkan tempat suci itu terdengar ringan tapi menanggung beban. Lelaki itu baru saja kembali dari lorong gelap tempat gelang Kahyangan tersimpan. Jari-jarinya sempat menggenggam benda pusaka itu dengan degup jantung yang tak menentu. Gelang itu seolah masih mengenal pemiliknya, berdenyut samar seperti mengundang.Namun hanya sesaat ia menahannya di genggaman. Sesuatu dalam dirinya—mungkin sisa-sisa hikmat dari masa lalu yang belum sepenuhnya memberikan kilasan kilasan peristiwa yang pernah ia alami saat menjadi dewa dan beberapa peristiwa yang ada di hutan itu semenjak gelang itu tersimpan di altar.Ia melihat siluman yang lebih cocok disebut monster yang ada di hutan itu, mungkin satunya saja. Makhluk itu berbentuk seperti rubah berkaki panjang dengan cakar bagaikan pengait daging. Di sepanjang tulang belakangnya dipenuhi bulu berwarna gelap yang berdiri tegak menyerupai duri duri dari besi.Intuisi Rakasura seakan membisikkan bahwa belum waktunya ia untuk memba

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-18
  • Gelang Langit   Bab 11

    Rakasura berdiri terhuyung. Napasnya berat. Makhluk itu kembali merunduk, siap meluncur lagi. Tapi ada sesuatu dalam gerakannya—ragu sesaat, seolah menyadari bahwa lawannya tidak seperti yang biasa ia hadapi.Rakasura melihatnya. "Kau bukan siluman biasa," ucapnya lirih, sembari melepaskan sikap siaga. "Kau disiksa, dijadikan alat... Tapi kau punya kehendak."Makhluk itu mendesis rendah, duri-durinya masih berdiri tegak, tapi gerakannya tertahan. Ia tidak langsung menyerang.Rakasura menurunkan kedua tangannya. "Kalau kau ingin membunuhku, kau bisa sejak tadi. Tapi kau menahan diri."Angin malam menyapu pepohonan. Suara jangkrik kembali terdengar samar. Makhluk itu mencondongkan kepala, mengendus udara di sekitar Rakasura. Mata merahnya kini tak lagi menyala seterang tadi."Apa kau... disuruh menjaga sesuatu? Atau dikirim hanya untuk menguji kemampuan ku?" Rakasura melangkah perlahan. "Aku tak mau menyakitimu. Tapi kalau kau ingin ja

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-19
  • Gelang Langit   Bab 1

    Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Gelang Langit   Bab 2

    “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Gelang Langit   Bab 3

    Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Gelang Langit   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Gelang Langit   Bab 5

    Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura."Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo."Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat."Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu."Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas."Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 11

    Rakasura berdiri terhuyung. Napasnya berat. Makhluk itu kembali merunduk, siap meluncur lagi. Tapi ada sesuatu dalam gerakannya—ragu sesaat, seolah menyadari bahwa lawannya tidak seperti yang biasa ia hadapi.Rakasura melihatnya. "Kau bukan siluman biasa," ucapnya lirih, sembari melepaskan sikap siaga. "Kau disiksa, dijadikan alat... Tapi kau punya kehendak."Makhluk itu mendesis rendah, duri-durinya masih berdiri tegak, tapi gerakannya tertahan. Ia tidak langsung menyerang.Rakasura menurunkan kedua tangannya. "Kalau kau ingin membunuhku, kau bisa sejak tadi. Tapi kau menahan diri."Angin malam menyapu pepohonan. Suara jangkrik kembali terdengar samar. Makhluk itu mencondongkan kepala, mengendus udara di sekitar Rakasura. Mata merahnya kini tak lagi menyala seterang tadi."Apa kau... disuruh menjaga sesuatu? Atau dikirim hanya untuk menguji kemampuan ku?" Rakasura melangkah perlahan. "Aku tak mau menyakitimu. Tapi kalau kau ingin ja

  • Gelang Langit   Bab 9

    Langkah Rakasura meninggalkan tempat suci itu terdengar ringan tapi menanggung beban. Lelaki itu baru saja kembali dari lorong gelap tempat gelang Kahyangan tersimpan. Jari-jarinya sempat menggenggam benda pusaka itu dengan degup jantung yang tak menentu. Gelang itu seolah masih mengenal pemiliknya, berdenyut samar seperti mengundang.Namun hanya sesaat ia menahannya di genggaman. Sesuatu dalam dirinya—mungkin sisa-sisa hikmat dari masa lalu yang belum sepenuhnya memberikan kilasan kilasan peristiwa yang pernah ia alami saat menjadi dewa dan beberapa peristiwa yang ada di hutan itu semenjak gelang itu tersimpan di altar.Ia melihat siluman yang lebih cocok disebut monster yang ada di hutan itu, mungkin satunya saja. Makhluk itu berbentuk seperti rubah berkaki panjang dengan cakar bagaikan pengait daging. Di sepanjang tulang belakangnya dipenuhi bulu berwarna gelap yang berdiri tegak menyerupai duri duri dari besi.Intuisi Rakasura seakan membisikkan bahwa belum waktunya ia untuk memba

  • Gelang Langit   Bab 8

    Langit belum sepenuhnya berganti warna ketika Rakasura dan Ayu berdiri di depan batu pipih bercahaya. Aroma lembab dari tanah yang tergali perlahan meresap ke udara, seolah menguar dari luka lama yang baru saja dibuka kembali. Angin yang bertiup pelan membawa bisik-bisik dedaunan, bagai nyanyian purba yang pernah dilantunkan alam namun terlupakan manusia. "Simbol ini..." gumam Rakasura sambil menelusuri ukiran di permukaan batu dengan ujung jarinya. "Mirip dengan yang terpatri di gelangku. Tapi lebih tua... lebih kuno. Seolah ini asal-muasalnya." Ayu menatap cahaya yang berdenyut perlahan dari dalam tanah. "Apa artinya semua ini, Raka?" Ia terdiam sejenak. "Aku belum tahu pasti. Tapi tempat ini... seperti mengenalku. Seolah pernah kualami dalam mimpi—atau mungkin mimpi itu adalah kenangan yang dikubur waktu." Suasana menjadi sangat sunyi. Tak ada suara burung, tak ada suara serangga, hanya detak jantung dan napas mereka yang terdengar. Akar-akar pohon di sekeliling mereka mulai

  • Gelang Langit   Bab 7

    Langkah Rakasura menyusuri tanah berembun yang dingin. Malam belum sepenuhnya larut, tapi hutan sudah tenggelam dalam kegelapan yang pekat. Hanya cahaya rembulan yang terselip di antara sela dedaunan lebat, memberi sedikit pencahayaan yang samar. Dedaunan pepohononan besar di sekeliling Rakasura bergoyang pelan. Angin malam mengangkat aroma tanah basah, disertai suara-suara kecil dari beberapa binatang malam sesekali terdengar seakan ada yang mengalangi mereka untuk bersuara lebih lantang. "Aku tahu kau ada di sini..." gumam Rakasura pelan, hampir seperti berbicara kepada sang hutan itu sendiri. Kretek!! Terdengar suara ranting patah diikuti suara langkah ringan. Rakasura menoleh cepat. "Siapa di sana?" Tak ada jawaban. Ia melangkah lebih dalam, menyusuri jejak samar yang seperti baru terbentuk. Banyak bekas dedaunan terinjak, menunjukkan anda-tanda kehadiran seseorang—atau sesuatu. Lalu sebuah bisikan asing terdengar. Suara bisikan itu terdengar dari seluruh penjuru seakan sel

  • Gelang Langit   Bab 6

    Malam semakin larut, tetapi balai desa tak juga sepi. Pak Wira sibuk memeriksa luka Pak Darmo dengan cermat, sesekali melirik Rakasura yang berdiri di sudut ruangan. Rakasura tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Ayu duduk di samping ayahnya, membantu memberikan peralatan yang dibutuhkan. "Lukanya tidak sedalam yang kupikirkan," ujar Pak Wira seraya mengoleskan salep herbal pada luka di lengan Pak Darmo. "Tapi aku khawatir tentang infeksi. Ini bukan luka biasa. Rasanya ada sesuatu yang aneh." "Apa maksud ayah?" Ayu bertanya, matanya menatap khawatir pada tubuh lemah Pak Darmo. "Luka ini... seperti bukan berasal dari cakar binatang biasa, Ada bekas luka bakar di tepiannya, seperti terbakar dari dalam.” Pak Wira menjawab, suaranya rendah. Rakasura mendekat, matanya tajam memandangi luka itu. "Siluman," katanya singkat. "Sepertinya begitu. Tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya." Pak Wira mengangguk, meskipun keraguan masih tersirat di wajahnya. "Apa bel

  • Gelang Langit   Bab 5

    Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura."Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo."Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat."Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu."Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas."Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.

  • Gelang Langit   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari

  • Gelang Langit   Bab 3

    Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha

  • Gelang Langit   Bab 2

    “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status