Padahal aku sendiri saja telah melupakan masalah itu, tak disangka Kenneth masih mengingatnya.Aku menyeka sisa air di wajahku dengan handuk. “Nggak usah, aku nggak kenapa-napa.”Kening Kenneth tampak berkerut. “Bukannya kamu nggak enak badan semalam?”Tidak mungkin aku mengatakan dokter sudah berpesan untuk tidak boleh berhubungan selama trimester awal kandungan. Jadi, aku terpaksa sembarangan mencari alasan. “Sekarang sudah sembuh.”Kenneth merasa ragu. “Serius?”Kalau ke rumah sakit, aku pasti akan dibawa ke rumah sakit milik Grup Horgana dengan menggunakan akses pribadi, tanpa harus mengantre. Hasil pemeriksaan juga akan keluar dengan cepat. Hanya saja, aku tidak bisa merahasiakan masalah kandunganku lagi. Jadi, aku tidak boleh pergi!Aku menghindari tatapan Kenneth. “Aku nggak mau pergi. Aku nggak suka ke rumah sakit.”“Jasmine.” Kenneth menyipitkan matanya. “Jangan-jangan ada yang kamu rahasiakan dariku.”“Bamm ….” Pertanyaan Kenneth terlalu mendadak. Aku merasa gugup, spontan me
Tatapan Kenneth berubah dalam. “Apa nggak boleh ada alasan lain?”“Contohnya?” Aku tidak menyangkal, aku memang sedang mencari tahu alasannya.Kenneth menggigit bibir tipisnya, lalu menjawab, “Aku hanya berharap kamu sehat-sehat saja.”“Emm … mirip doa kepada seorang senior.” Tiba-tiba aku kepikiran sesuatu, lalu tersenyum. “Kamu simpan saja doamu untuk ulang tahun Kakek bulan depan nanti.”Berharap aku sehat atau berharap bisa hidup selamanya dengan Solana?Suster mengambil darah. Saat tanganku diseka dengan alkohol, aku spontan merasa tegang. Takut! Aku takut jarum sejak kecil.Saat aku sakit dulu, ayahku akan selalu memelukku. Kemudian, ibuku akan menggenggam tanganku yang satu lagi sembari membujukku, bahkan berjanji akan memberiku hadiah nantinya.Selama belasan tahun ini, kondisi tubuhku tergolong bagus. Kalau sedang flu ringan, aku pun bisa menahannya. Kalaupun flu berat, aku hanya akan mengonsumsi obat saja, jarang mengambil darah. Jadi, rasa takut dalam mengambil darah tidakl
Samar-samar aku kepikiran dengan kejadian dulu.Waktu itu, aku dan Kenneth baru menikah setengah tahun. Jadwal haidku telat hingga belasan hari. Meski setiap kali berhubungan Kenneth selalu menggunakan alat kontrasepsi, aku tetap menebak-nebak apakah aku telah hamil.Saat membeli test pack, aku bahkan sudah berpikir bagaimana berbagi kabar kehamilannya kepada Kenneth. Sekarang, ketika aku benar-benar telah mengandung, aku malah tidak bisa gembira maupun antusias, apalagi kepikiran dengan sosok Kenneth yang berada di luar pintu ruangan ini. Yang ada, aku malah merasa takut dan gugup, entah mengapa aku juga merasa sangat tidak tenang. Kemungkinan terburuk yang terlintas di benakku adalah mungkin aku akan kehilangan anak ini. Kepikiran hal ini, punggungku langsung dibasahi keringat dingin.Dalam waktu dua setengah tahun ini, semua sudah berubah bagai hidup di dunia baru saja. Kedua kakiku terasa sangat berat. Aku berjalan keluar ruangan dengan perasaan campur aduk. Hanya saja, aku menya
Aku melakukan semua ini demi anak dan juga demi diriku sendiri.Lauren juga tidak membujukku, melainkan bertanya, “Apa kamu sudah kepikiran kemungkinan terburuk?”“Emm, sudah.” Seandainya masalah berkembang di luar perkiraanku, aku pun akan sepenuhnya menghilang dari hadapan Kenneth. Aku tidak ingin kehilangan anakku.Dengan adanya keputusan ini, aku juga tidak memiliki suasana hati untuk memasak di rumah. Aku hanya mengisi perutku dengan mie daging di sekitar kompleks, lalu kembali berbaring di atas sofa rumah.Aku menunggu kepulangan Kenneth sembari fokus dengan laptopku. Saat menjelang sore hari, pintu rumah masih tidak terbuka sama sekali.Aku pun mengirim pesan kepada Kenneth.[ Kamu sudah mau pulang belum? ]Detik demi detik berlalu. Aku masih tidak mendapat balasan apa pun. Entah apa yang telah terjadi. Padahal aku tidak mendengar ada urusan serius di perusahaan ketika telepon dengan Lauren tadi.Menjelang pukul 5 sore, matahari mulai terbenam. Sinar matahari memancar ke dalam
Tak lama kemudian, suster berjalan keluar UGD sembari memanggil nama.“Solana? Di mana suami pasien?”Kenneth langsung melangkah maju. “Dok! Aku di sini.”Jawaban singkat itu bagai sebilah pisau yang menancap di hatiku. Darah mulai bercucuran. Rasa sakit di hati membuatku kesulitan untuk bernapas. Padahal aku sudah menunggunya seharian, bahkan dengan tidak mudahnya membuat keputusan. Ternyata semua itu hanyalah sebuah lelucon.Aku yang berdiri di sini bagai badut saja. Prosedur perceraian masih belum diurus. Suamiku malah terang-terangan menjadi suami orang lain.Di ujung sana, terdengar suara panik Kenneth. “Bagaimana kondisinya? Apa kondisinya serius?”“Dia kehabisan banyak darah, tapi untung saja kamu mengantarnya tepat pada waktunya. Sekarang dia sudah baik-baik saja.” Usai berbicara, sepertinya suster khawatir Kenneth masih merasa tidak tenang. Dia pun menambahkan, “Kondisi anak juga baik-baik saja.”Anak?Solana mengandung?Mereka telah memiliki anak?Aku bahkan kelupaan untuk be
Stephen mengenakan jas santai berwarna krim, membuatnya kelihatan elegan. Dia tersenyum tipis. “Ada temanku lagi diopname. Jadi, aku datang untuk menjenguknya.”“Oh, begitu.”“Bagaimana denganmu? Kenapa kamu sendirian ke rumah sakit?”Aku mengibas laporan pemeriksaanku. “Aku datang untuk ambil hasil pemeriksaan.”Stephen tertegun sejenak. “Kamu nggak kenapa-napa, ‘kan?”“Nggak, kok.” Hasil pemeriksaan kali ini juga sama dengan hasil pemeriksaan di perusahaan waktu itu. Setiap hasil pemeriksaan berada di dalam batas normal. Hanya saja, sekarang bertambah seorang anak di dalam kandungan.Stephen mengangguk. “Kamu masih belum makan, ‘kan? Gimana kalau kita makan bersama?” Mungkin demi tidak membuatku merasa canggung, dia menambahkan, “Ada Samuel dan Lauren juga.”Aku mengusap perutku. Aku memang merasa cukup lapar. “Oke.” Aku juga tidak tahu harus makan apa sendirian. Lagi pula, dengan kumpul bersama yang lain, aku juga tidak akan berpikir sembarangan lagi.Stephen menyerahkan kunci mobil
Makan malam hari ini terasa hambar di lidahku.Setelah pulang ke rumah, aku juga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku merasa sepertinya aku sedang tertidur, tapi aku juga merasa aku tidak sedang tidur.Keesokan harinya, aku baru bangun di siang hari. Aku merasa bagai sedang melayang ketika berjalan. Aku membongkar kulkas, lalu memasak ikan saus tomat dan tahu kukus udang untuk makan siangku. Setelah melahap masakan dengan nasi, akhirnya aku merasa lebih bersemangat.Konser diadakan di malam hari. Berhubung masih ada waktu, aku pun berencana untuk bekerja dulu daripada larut dalam suasana hati negatif.Seperti biasanya aku membuka media sosial. Postingan dari akun resmi MS membuatku semakin bersemangat.Saat aku hendak membaca dengan saksama, tiba-tiba aku menerima panggilan dari Lauren. “Sayang, apa kamu baik-baik saja?”Aku tidak ingin Lauren mengkhawatirkanku. “Aku baik-baik saja, kok.”“Kenneth masih belum pulang?”Aku terdiam sejenak. “Belum.”“Kalau begitu, jangan ungkit dia lagi.
Saat aku melihat nama panggilan masuk, aku merasa semuanya terasa tidak nyata. Aku pun terbengong sejenak, baru mengangkatnya. “Halo.”“Apa kamu di rumah?” Sepertinya Kenneth sedang berada di tempat yang sangat lapang. Aku dapat mendengar rasa lelah dari nada bicaranya.Aku berdiri, lalu berjalan ke balkon sembari meregangkan leherku. Aku menahan rasa lara di hati, lalu bertanya, “Emm, gimana sama kamu? Apa kamu masih sibuk?”Iya juga, Solana kehilangan banyak darah. Mana mungkin Kenneth akan merasa tenang.“Urusanku akan segera selesai.” Entah apa yang sedang dipikirkan Kenneth, dia berdeham. “Tiket konser ada di atas rak sepatu. Ingat bawa sewaktu keluar rumah nanti.”Semuanya memang sesuai dengan dugaanku. Hanya saja, ketika mendengar langsung dari mulut Kenneth, hatiku pun terasa sedih. “Kamu nggak ikut?”“Apa yang lagi kamu pikirkan? Kita ketemuan di depan pintu stadion ….” Kenneth tersenyum. Belum sempat dia menyelesaikan omongannya, tiba-tiba terdengar suara lembut dari ujung te