Arjuna memasuki kantornya dengan santai. Reni yang mengikuti di belakangnya memandang setiap apapun yang dilewatinya.
Arjuna menggamit tangan Reni saat ia akan berbelok menuju lift. Reni yang kaget hanya mengikut saja. Sesampainya di lantai tujuh, pintu lift terbuka. Ruangan di depan lift tersebut disekat-sekat dengan kaca. Di lantai tujuh ini tidak terlalu banyak orang dibandingkan di lantai dasar tadi. Tentu saja karena di lantai ini hanya diisi oleh mereka yang memiliki pekerjaan dengan tingkat fokus lebih tinggi.
Arjuna mengajak Reni memasuki sebuah ruangan. Saat melewati meja yang ditempati oleh perempuan berambut panjang dengan gaya yang anggun, Reni mengernyit. Pasalnya perempuan itu memberikan pandangan tidak suka padanya. Tetapi di detik berikutnya, Reni bersikap masa bodoh dan mengikuti Arjuna yang sudah masuk ke sebuah ruangan.
“Ini ruang kerja kamu?” tanya Reni sambil memutar badannya.
“Yap. Aku biasa menghabisk
Reni membalikkan tubuhnya. Sudah dua jam ia hanya tiduran di sofa. Ia melihat Arjuna masih sibuk dengan dokumen-dokumennya. Benar-benar pekerjaan yang sangat membosankan.“Jun! Kamu nggak capek apa dari tadi liatin tulisan mulu!” serunya sambil memainkan kedua kakinya ke atas.Arjuna mengalihkan pandangannya pada Reni. Dilihatnya wajah gadis itu yang mulai bosan. Sepertinya Reni tidak tahan jika hanya berdiam diri saja.“Kenapa? Kan ini pekerjaan aku. Ya aku harus terima dong!”“Ya tapi kan capek juga liatin tulisan sebanyak itu. Ntar lama-lama pusing!” serunya lagi sambil menjuntaikan tangannya ke bawah. Reni menelungkupkan wajahnya.“Iya sih, nanti bakalan pusing. Tapi kalau ngeliatin kamu aku nggak bakalan pusing.” Jawab Arjuna berusaha menggoda Reni. Tetapi Reni tidak memberikan reaksi apapun padanya.Arjuna menghela napas. Ia mengetahui banyak hal dari Reni meskipun baru bebe
Setelah selesai makan, Reni membuang kardus tersebut ke tempat sampah yang ada di sebelah meja kerja Arjuna. Ia masih tetap merasa bosan. Akhirnya, ia memilih duduk di kursi kebanggaan Arjuna dan meneliti apapun yang ada di depannya. Mulai dari kertas gambar berukuran besar, pensil berbagai macam tipe, penggaris dari yang pendek sampai yang panjang dan beberapa berkas yang tadi dibaca oleh Arjuna. Reni menghela napas. Apakah Arjuna tidak bosan dengan pekerjaannya yang monoton ini?Iseng, Reni membuka laci di bawah meja. Ia menemukan sketch book di sana. Ia mengambilnya dan meletakkannya di meja. Ia membuka isinya. Beberapa desain bagunan dan desain interior suatu ruangan. Kemudian, Reni menemukan bagian kosong.Tiba-tiba senyuman muncul di bibirnya. Ia mengambil pensil di depannya dan menggambar sesuatu di sana. Reni terhanyut dalam gambarannya. Sesekali ia berhenti untuk menerawang imajinasinya. Ia kembali meneruskan gambarannya saat Arjuna datang.Arju
Arjuna menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang menjulang tinggi. Ia melepaskan seatbeltnya. “Kita sudah sampai!”Reni mendengus seraya memutar kedua bola matanya kesal. “Sampai apaan?”Arjuna menatapnya heran. “Tadi katanya kamu minta pulang. Nah, ini kan udah sampai rumah.”“Jun, aku itu maunya pulang ke rumahku. Kenapa malah ke sini sih?” Reni menatap sebal ke arah Arjuna.Arjuna menyentil hidung Reni, “dua atau tiga tahun lagi rumah ini juga bakalan jadi rumah kamu. Udah ayo turun! Udah ditungguin Mama dari tadi.” Arjuna segera turun dari mobilnya.Akhirnya mau tidak mau Reni ikut turun dan mengekor di belakang Arjuna. Ia deg-degan juga akan masuk ke rumah laki-laki selain temannya. Arjuna membuka pintu rumahnya dan disambut oleh wanita yang ditemui Reni seminggu yang lalu.“Lho, sama Reni toh? Kok nggak bilang kalau ngajak dia?” Andini merangku
Reni berdiri menatap pemandangan di bawahnya yang berkelap-kelip. Ia sedang berada di lantai tiga rumah Arjuna. Karena rumah Arjuna berada di dataran tinggi, suasana perkampungan di bawahnya pun lebih jelas terlihat. Reni menikmati pemandangan yang jarang sekali ia temukan itu."Kenapa manyun gitu?" tanya Arjuna dari belakangnya.Reni hanya mengangkat bahu kemudian berusaha membuka botol minumannya. Tiba-tiba kepala Arjuna bertumpu di atas kepalanya."Ini salah satu tempat ternyaman yang pernah aku tau. Ketika di sini ketenangan itu selalu datang pas aku lagi penat." papar Arjuna sembari tersenyum melihat pemandangan di depannya. Ia melirik ke bawah. Reni masih kesulitan membuka tutup minumannya. Arjuna meraihnya dan membukakannya."Kalau kesusahan tuh bilang. Jangan sok kuat!" ledeknya.Reni merebut botol minumannya. "Bukannya sok kuat. Aku cuma lagi berusaha semampuku dulu. Jangan kamu pikir aku orang yang gampang menyerah, ya!" teg
Rendi sedang serius membuat sketsa runyamnya kehidupan malam saat seseorang berdiri di sebelahnya. Rendi mendongak tak lama kemudian ia tersenyum.“Ada apa, Ren?” tanyanya sambil meletakkan pensilnyaReni tersenyum. “Kamu nanti setelah kelas ada acara?Rendi berusaha mengingat-ingat. Sepertinya ia sedang kosong. “Nggak kok. Nanti aku nggak ada acara apa-apa. Kenapa memangnya?Reni menunduk dan menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya berujar. “Temenin aku hunting foto bentar mau?Rendi sempat membuka mulutnya kaget. Ia buru-buru menguasai dirinya. “E-eh! Boleh boleh! Tapi bukannya biasanya kamu sama Nadya?“Nadya nanti ada acara di UKM. Jadi aku minta tolong sama kamu. Nggak apa kan?“Nggak pa-pa kok. Nanti setelah kelas kita langsung berangkat aja ya? Biar nggak kesorean.Reni tersenyum. “Oke. Makasih ya, Ren!“Iya sama-sama.” Rendi ikut te
Rendi menghentikan motornya di dekat sebuah taman kota. Reni turun dari boncengan Rendi dan menatap sekelilingnya dengan tatapan heran.“Kok kita ke sini, Ren? Bukannya tadi aku bilang kita pulang aja ya?” tanya Reni saat melepas helm seraya masih menatap taman tersebut.Rendi tersenyum. “Iya, maaf aku nggak langsung nganterin kamu pulang. Aku pengen ngajak kamu main basket. Boleh kan?”Rendi berjalan mendahului Reni menuju tempat khusus yang dipagari. Rendi meminjam sebuah bola basket dari anak-anak yang baru saja selesai bermain di sana. Melihat hal itu, Reni berjalan mendekati Rendi.“Berani nggak kamu?” tantang Rendi seraya memutar bola tersebut.Reni meletakkan tasnya dan mendekati Rendi. “Siapa takut!” ia menyisingkan kemejanya dan sedikit menurunkan pinggulnya.“Oke. Kita one-on-one sepuluh poin aja nggak usah banyak-banyak. Nanti yang kalah harus traktir es krim. Set
Sabtu pagi Arjuna sudah bersiap-siap. Ia juga sudah meminta asistennya untuk berbelanja. Mamanya yang melihat Arjuna begitu bersemangat di Sabtu pagi ini menghampirinya yang sedang sarapan.“Ini kan hari Sabtu, kok tumben kamu semangat?” tanyanya seraya duduk di samping Arjuna.Arjuna mencomot roti panggangnya dan menoleh ke Mamanya. “Mau main ke apartemennya Reni. Nggak boleh?”Mendengar itu, sontak Andini terbelalak. “Kamu beneran mau ketemu sama Reni?” Andini mengerjapkan matanya kemudian tersenyum. “Ya sudah kalau kamu mau ketemu calon tunangan kamu. Mama nggak melarang.” Andini mengelus lengan Arjuna. “Ternyata tanpa Mama dan Papa minta kamu sudah bergerak cepat!”Arjuna menyeringai. “Arjuna kan udah janji untuk mengikuti semua perjodohan ini. Mama lihat kan sekarang? Arjuna sedang berusaha menepatinya.” Arjuna menyudahi sarapannya dan segera bangkit. “Juna berangkat dulu!&
Arjuna dan Reni menatap meja makan di depan mereka. Arjuna menunduk frustasi melihat sajian makanan di depannya. Makanan yang tersaji tersebut membuat nafsu makannya hilang seketika.Reni yang melihat Arjuna begitu frustasi hanya menggigit bibir bawahnya. Pasalnya, semua masakannya hancur. Telur mata sapi terlihat gosong walaupun tidak parah, sayur supnya terlalu matang sehingga sayurannya layu, sedangkan nasi gorengnya terlalu merah karena Reni menumpahkan saus terlalu banyak. Ia juga bergidik saat melihat dapurnya berantakan seperti telah terjadi perang yang mengerikan di sana.“Jun, aku gagal ya?” serunya yang terdengar seperti bisikan.Arjuna mengangkat kepalanya dan memaksakan senyum. “Namanya juga baru belajar, pasti ada salahnya. Tapi kesalahan kamu ini keterlaluan!” ia memicingkan mata.Reni nyengir. “Kan dari penampilannya doang, Jun. Dicoba aja dulu, siapa tau rasanya enak!” Reni menyodorkan maka