Reni berdiri menatap pemandangan di bawahnya yang berkelap-kelip. Ia sedang berada di lantai tiga rumah Arjuna. Karena rumah Arjuna berada di dataran tinggi, suasana perkampungan di bawahnya pun lebih jelas terlihat. Reni menikmati pemandangan yang jarang sekali ia temukan itu.
"Kenapa manyun gitu?" tanya Arjuna dari belakangnya.
Reni hanya mengangkat bahu kemudian berusaha membuka botol minumannya. Tiba-tiba kepala Arjuna bertumpu di atas kepalanya.
"Ini salah satu tempat ternyaman yang pernah aku tau. Ketika di sini ketenangan itu selalu datang pas aku lagi penat." papar Arjuna sembari tersenyum melihat pemandangan di depannya. Ia melirik ke bawah. Reni masih kesulitan membuka tutup minumannya. Arjuna meraihnya dan membukakannya.
"Kalau kesusahan tuh bilang. Jangan sok kuat!" ledeknya.
Reni merebut botol minumannya. "Bukannya sok kuat. Aku cuma lagi berusaha semampuku dulu. Jangan kamu pikir aku orang yang gampang menyerah, ya!" teg
Rendi sedang serius membuat sketsa runyamnya kehidupan malam saat seseorang berdiri di sebelahnya. Rendi mendongak tak lama kemudian ia tersenyum.“Ada apa, Ren?” tanyanya sambil meletakkan pensilnyaReni tersenyum. “Kamu nanti setelah kelas ada acara?Rendi berusaha mengingat-ingat. Sepertinya ia sedang kosong. “Nggak kok. Nanti aku nggak ada acara apa-apa. Kenapa memangnya?Reni menunduk dan menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya berujar. “Temenin aku hunting foto bentar mau?Rendi sempat membuka mulutnya kaget. Ia buru-buru menguasai dirinya. “E-eh! Boleh boleh! Tapi bukannya biasanya kamu sama Nadya?“Nadya nanti ada acara di UKM. Jadi aku minta tolong sama kamu. Nggak apa kan?“Nggak pa-pa kok. Nanti setelah kelas kita langsung berangkat aja ya? Biar nggak kesorean.Reni tersenyum. “Oke. Makasih ya, Ren!“Iya sama-sama.” Rendi ikut te
Rendi menghentikan motornya di dekat sebuah taman kota. Reni turun dari boncengan Rendi dan menatap sekelilingnya dengan tatapan heran.“Kok kita ke sini, Ren? Bukannya tadi aku bilang kita pulang aja ya?” tanya Reni saat melepas helm seraya masih menatap taman tersebut.Rendi tersenyum. “Iya, maaf aku nggak langsung nganterin kamu pulang. Aku pengen ngajak kamu main basket. Boleh kan?”Rendi berjalan mendahului Reni menuju tempat khusus yang dipagari. Rendi meminjam sebuah bola basket dari anak-anak yang baru saja selesai bermain di sana. Melihat hal itu, Reni berjalan mendekati Rendi.“Berani nggak kamu?” tantang Rendi seraya memutar bola tersebut.Reni meletakkan tasnya dan mendekati Rendi. “Siapa takut!” ia menyisingkan kemejanya dan sedikit menurunkan pinggulnya.“Oke. Kita one-on-one sepuluh poin aja nggak usah banyak-banyak. Nanti yang kalah harus traktir es krim. Set
Sabtu pagi Arjuna sudah bersiap-siap. Ia juga sudah meminta asistennya untuk berbelanja. Mamanya yang melihat Arjuna begitu bersemangat di Sabtu pagi ini menghampirinya yang sedang sarapan.“Ini kan hari Sabtu, kok tumben kamu semangat?” tanyanya seraya duduk di samping Arjuna.Arjuna mencomot roti panggangnya dan menoleh ke Mamanya. “Mau main ke apartemennya Reni. Nggak boleh?”Mendengar itu, sontak Andini terbelalak. “Kamu beneran mau ketemu sama Reni?” Andini mengerjapkan matanya kemudian tersenyum. “Ya sudah kalau kamu mau ketemu calon tunangan kamu. Mama nggak melarang.” Andini mengelus lengan Arjuna. “Ternyata tanpa Mama dan Papa minta kamu sudah bergerak cepat!”Arjuna menyeringai. “Arjuna kan udah janji untuk mengikuti semua perjodohan ini. Mama lihat kan sekarang? Arjuna sedang berusaha menepatinya.” Arjuna menyudahi sarapannya dan segera bangkit. “Juna berangkat dulu!&
Arjuna dan Reni menatap meja makan di depan mereka. Arjuna menunduk frustasi melihat sajian makanan di depannya. Makanan yang tersaji tersebut membuat nafsu makannya hilang seketika.Reni yang melihat Arjuna begitu frustasi hanya menggigit bibir bawahnya. Pasalnya, semua masakannya hancur. Telur mata sapi terlihat gosong walaupun tidak parah, sayur supnya terlalu matang sehingga sayurannya layu, sedangkan nasi gorengnya terlalu merah karena Reni menumpahkan saus terlalu banyak. Ia juga bergidik saat melihat dapurnya berantakan seperti telah terjadi perang yang mengerikan di sana.“Jun, aku gagal ya?” serunya yang terdengar seperti bisikan.Arjuna mengangkat kepalanya dan memaksakan senyum. “Namanya juga baru belajar, pasti ada salahnya. Tapi kesalahan kamu ini keterlaluan!” ia memicingkan mata.Reni nyengir. “Kan dari penampilannya doang, Jun. Dicoba aja dulu, siapa tau rasanya enak!” Reni menyodorkan maka
Rendi sedang membersihkan motornya saat Fero menampakkan cengiran khasnya di depan Rendi.“Rajin amat?” serunya membuat pandangan Rendi teralih padanya.Rendi mengernyit heran. “Elo ngapain pagi-pagi ke sini?”Fero menjitak kepala Rendi. “Elo nih gimana sih? Disamperin temen bukannya disapa hangat malah ditanya ngapain ke sini? Ya mau main lah, masa’ mau jadi tukang cukur?”Rendi tertawa. “Ya habisnya, nggak biasanya elo pagi-pagi ke sini. Biasanya juga agak siangan. Atau bahkan kalo udah malem. Iya kan?”Fero duduk di kursi kayu di depan rumah Rendi seraya memerhatikan Rendi yang masih sibuk membersihkan motornya. “Gimana? Ada peningkatan nggak hubungan lo sama Reni?”Rendi menghentikan aktivitasnya dna ikut duduk di sebelah Fero. “Yah, seperti yang lo liat. Masih stuck, disitu-situ aja!”Fero menghela napas. Pasalnya ia tahu bahwa temannya in
Arjuna datang ke apartemen Reni lebih awal dari jadwal. Ia ingin cepat-cepat keluar rumah karena mendengar terlalu banyak nasehat dari Mamanya saat bersama dengan Reni.“Lho, kok kamu udah dateng? Kan masih satu jam lagi dari waktu yang ditentukan?” tanya Reni saat Arjuna sampai di apartemennya.Arjuna menatapnya gugup. “Ya nggak apa-apa. Memangnya aku nggak boleh datang lebih cepat? Apakah aku mengganggumu?” tanyanya berusaha mengalihkan topik.“Oh, tentu saja kamu tidak menggangguku karena aku kebetulan juga sudah bersiap sejak tadi. Mau ku buatkan minuman?” tanya Reni dengan nada sehalus mungkin karena ia melihat sepertinya suasana hati Arjuna sedang tidak baik.Arjuna menggeleng. “Tidak perlu. Cukup kamu duduk di sampingku aku lebih senang.” Reni tersenyum mendengarnya. Ia kemudian duduk di sebelah Arjuna dan memperhatikan wajahnya yang terlihat lelah.“Kamu sepertinya sangat l
Arjuna menunggu Reni yang sedang berada di dalam home service kamera. Arjuna berkali-kali menatap pintu bangunan yang tidak terlalu besar itu dengan resah. Melihat ekspresi Reni tadi, Arjuna tahu bahwa Reni teramat menyayangi kameranya lebih dari apapun. Di perjalanan tadi Reni juga tak berbicara apapun. Sifat cerewetnya seakan hilang seketika.Tak lama kemudian Reni keluar dari tempat tersebut. Arjuna mendekatinya.“Gimana? Mereka bisa benerin kamera kamu?” tanya Arjuna tanpa basa-basi.Reni mengangguk lemah. “Untungnya mereka mau. Awalnya mereka bilang nggak bisa, tapi karena aku paksa akhirnya mereka mau benerin kameraku. Ya meskipun katanya memakan waktu lama. Nggak apalah, yang penting kameraku sembuh!” ujar Reni.“Kenapa nggak sekalian beli yang baru aja?” Arjuna mengangkat alisnya.Reni menatapnya garang. “Kamera itu tuh bukan kamera sembarangan yang bisa digantiin sama kamera lain. Aku
Reni sedang bercermin di kamarnya. Kali ini ia tersenyum lega karena tak harus mengenakan gaun yang terlalu terbuka dan begitu mengikat tubuhnya. Mamanya hanya meminta kepadanya untuk mengenakan dress selutut dengan lengan sesiku. Meskipun Reni jarang mengenakan dress tetapi ia menyukai dressnya kali ini yang begitu nyaman dengan motif polkadot.“Udah kali ngacanya. Entar pecah tuh kaca!” celetuk Ryo dari pintu Reni.Reni menoleh ke arahnya dengan tatapan tak suka. “Apaan sih, biasa aja kali!” Reni menjulurkan lidahnya.“Gue ke sini mau manggil elo. Udah ditungguin tuh sama Papa sama Mama. Dari tadi dipanggilin juga, nggak nyaut-nyaut! Udah yuk ah, buruan!” karena tidak sabar Ryo mendekati Reni dan menyeretnya keluar kamar.“Kamu kok lama banget sih, Sayang? Kita itu udah ditunggu sama keluarganya pak Wirawan.” Omel Papanya saat Reni sudah sampai di depan rumah. Sementara yang diomeli hanya man