Sabtu pagi Arjuna sudah bersiap-siap. Ia juga sudah meminta asistennya untuk berbelanja. Mamanya yang melihat Arjuna begitu bersemangat di Sabtu pagi ini menghampirinya yang sedang sarapan.
“Ini kan hari Sabtu, kok tumben kamu semangat?” tanyanya seraya duduk di samping Arjuna.
Arjuna mencomot roti panggangnya dan menoleh ke Mamanya. “Mau main ke apartemennya Reni. Nggak boleh?”
Mendengar itu, sontak Andini terbelalak. “Kamu beneran mau ketemu sama Reni?” Andini mengerjapkan matanya kemudian tersenyum. “Ya sudah kalau kamu mau ketemu calon tunangan kamu. Mama nggak melarang.” Andini mengelus lengan Arjuna. “Ternyata tanpa Mama dan Papa minta kamu sudah bergerak cepat!”
Arjuna menyeringai. “Arjuna kan udah janji untuk mengikuti semua perjodohan ini. Mama lihat kan sekarang? Arjuna sedang berusaha menepatinya.” Arjuna menyudahi sarapannya dan segera bangkit. “Juna berangkat dulu!&
Arjuna dan Reni menatap meja makan di depan mereka. Arjuna menunduk frustasi melihat sajian makanan di depannya. Makanan yang tersaji tersebut membuat nafsu makannya hilang seketika.Reni yang melihat Arjuna begitu frustasi hanya menggigit bibir bawahnya. Pasalnya, semua masakannya hancur. Telur mata sapi terlihat gosong walaupun tidak parah, sayur supnya terlalu matang sehingga sayurannya layu, sedangkan nasi gorengnya terlalu merah karena Reni menumpahkan saus terlalu banyak. Ia juga bergidik saat melihat dapurnya berantakan seperti telah terjadi perang yang mengerikan di sana.“Jun, aku gagal ya?” serunya yang terdengar seperti bisikan.Arjuna mengangkat kepalanya dan memaksakan senyum. “Namanya juga baru belajar, pasti ada salahnya. Tapi kesalahan kamu ini keterlaluan!” ia memicingkan mata.Reni nyengir. “Kan dari penampilannya doang, Jun. Dicoba aja dulu, siapa tau rasanya enak!” Reni menyodorkan maka
Rendi sedang membersihkan motornya saat Fero menampakkan cengiran khasnya di depan Rendi.“Rajin amat?” serunya membuat pandangan Rendi teralih padanya.Rendi mengernyit heran. “Elo ngapain pagi-pagi ke sini?”Fero menjitak kepala Rendi. “Elo nih gimana sih? Disamperin temen bukannya disapa hangat malah ditanya ngapain ke sini? Ya mau main lah, masa’ mau jadi tukang cukur?”Rendi tertawa. “Ya habisnya, nggak biasanya elo pagi-pagi ke sini. Biasanya juga agak siangan. Atau bahkan kalo udah malem. Iya kan?”Fero duduk di kursi kayu di depan rumah Rendi seraya memerhatikan Rendi yang masih sibuk membersihkan motornya. “Gimana? Ada peningkatan nggak hubungan lo sama Reni?”Rendi menghentikan aktivitasnya dna ikut duduk di sebelah Fero. “Yah, seperti yang lo liat. Masih stuck, disitu-situ aja!”Fero menghela napas. Pasalnya ia tahu bahwa temannya in
Arjuna datang ke apartemen Reni lebih awal dari jadwal. Ia ingin cepat-cepat keluar rumah karena mendengar terlalu banyak nasehat dari Mamanya saat bersama dengan Reni.“Lho, kok kamu udah dateng? Kan masih satu jam lagi dari waktu yang ditentukan?” tanya Reni saat Arjuna sampai di apartemennya.Arjuna menatapnya gugup. “Ya nggak apa-apa. Memangnya aku nggak boleh datang lebih cepat? Apakah aku mengganggumu?” tanyanya berusaha mengalihkan topik.“Oh, tentu saja kamu tidak menggangguku karena aku kebetulan juga sudah bersiap sejak tadi. Mau ku buatkan minuman?” tanya Reni dengan nada sehalus mungkin karena ia melihat sepertinya suasana hati Arjuna sedang tidak baik.Arjuna menggeleng. “Tidak perlu. Cukup kamu duduk di sampingku aku lebih senang.” Reni tersenyum mendengarnya. Ia kemudian duduk di sebelah Arjuna dan memperhatikan wajahnya yang terlihat lelah.“Kamu sepertinya sangat l
Arjuna menunggu Reni yang sedang berada di dalam home service kamera. Arjuna berkali-kali menatap pintu bangunan yang tidak terlalu besar itu dengan resah. Melihat ekspresi Reni tadi, Arjuna tahu bahwa Reni teramat menyayangi kameranya lebih dari apapun. Di perjalanan tadi Reni juga tak berbicara apapun. Sifat cerewetnya seakan hilang seketika.Tak lama kemudian Reni keluar dari tempat tersebut. Arjuna mendekatinya.“Gimana? Mereka bisa benerin kamera kamu?” tanya Arjuna tanpa basa-basi.Reni mengangguk lemah. “Untungnya mereka mau. Awalnya mereka bilang nggak bisa, tapi karena aku paksa akhirnya mereka mau benerin kameraku. Ya meskipun katanya memakan waktu lama. Nggak apalah, yang penting kameraku sembuh!” ujar Reni.“Kenapa nggak sekalian beli yang baru aja?” Arjuna mengangkat alisnya.Reni menatapnya garang. “Kamera itu tuh bukan kamera sembarangan yang bisa digantiin sama kamera lain. Aku
Reni sedang bercermin di kamarnya. Kali ini ia tersenyum lega karena tak harus mengenakan gaun yang terlalu terbuka dan begitu mengikat tubuhnya. Mamanya hanya meminta kepadanya untuk mengenakan dress selutut dengan lengan sesiku. Meskipun Reni jarang mengenakan dress tetapi ia menyukai dressnya kali ini yang begitu nyaman dengan motif polkadot.“Udah kali ngacanya. Entar pecah tuh kaca!” celetuk Ryo dari pintu Reni.Reni menoleh ke arahnya dengan tatapan tak suka. “Apaan sih, biasa aja kali!” Reni menjulurkan lidahnya.“Gue ke sini mau manggil elo. Udah ditungguin tuh sama Papa sama Mama. Dari tadi dipanggilin juga, nggak nyaut-nyaut! Udah yuk ah, buruan!” karena tidak sabar Ryo mendekati Reni dan menyeretnya keluar kamar.“Kamu kok lama banget sih, Sayang? Kita itu udah ditunggu sama keluarganya pak Wirawan.” Omel Papanya saat Reni sudah sampai di depan rumah. Sementara yang diomeli hanya man
Setelah makan malam yang begitu mencekam untuk Reni karena keputusan tanggal pertunangan mereka yang belum ditentukan, Reni dan Arjuna diberikan waktu untuk berdua. Arjuna mengajak Reni untuk ke lantai tiga seperti beberapa waktu yang lalu. Arjuna tau Reni sangat menyukai suasana di lantai tiga. Maka untuk menghilangkan kegugupan Reni, Arjuna mengajaknya ke sana.Reni menyapu pandang ke hamparan lampu yang terlihat berkelap-kelip. Ia menutup matanya saat angin menerpa wajahnya. Tiba-tiba punggungnya ditutup sesuatu. Reni membuka matanya. Sebuah jaket menutupi punggungnya. Ia menoleh ke arah Arjuna yang sudah berada di sebelahnya.“Di sini dingin. Nanti kamu masuk angin kalau nggak pakai jaket.” Ujarnya sambil menatap pemandangan di depannya.“Kamu yakin?” tanya Reni tiba-tiba membuat Arjuna menatap heran ke arahnya.Arjuna mendekat dan berdiri tepat di samping Reni. “Yakin apa?”Reni mendengus. Ia t
Pagi-pagi benar Reni sudah keluar dari kamarnya. Mamanya yang sedang menyiapkan sarapan melihatnya dan menghampirinya. Reni segera duduk di ruang tamu dan mengenakan sepatunya.“Kamu mau ke mana? Kok pagi-pagi udah keluar? Ini hari Minggu lho,” seru Mamanya. Takut jika putrinya lupa bahwa ini adalah hari Minggu.“Reni mau ke taman, Ma. Reni nggak lupa kok kalo ini hari Minggu. Reni pengen gambar di sana.” Jawabnya dengan masih berkutat dengan sepatunya.“Kamu nggak sarapan dulu?”“Nanti aja. Keburu siang!” pekiknya kemudian berlari ke luar.Ketika Reni sudah beberapa menit pergi Santi baru ingat sesuatu.“Oh iya, Arjuna kan mau ke sini.” Santi menepuk keningnya merutuki sifat pelupanya.***Reni meletakkan tasnya di sebelahnya. Ia segera duduk di rerumputan dekat lapangan basket mini dan menghadap ke Timur. Matahari baru saja terbit dan Reni segera memind
Keduanya pulang ke rumah Reni saat matahari sudah tinggi. Ryo yang sedang bersantai di ruang tengah memandangi mereka berdua.“Habis olahraga? Bukannya tadi elo katanya mau gambar di taman, dek?” tanya Ryo pada Reni yang terlihat berkeringat“Tadinya emang ngegambar sih, Kak. Tapi karena ada orang yang meragukan kemampuan gue soal basket, akhirnya gue main basket deh sebentar!” Reni melirik ke arah Arjuna yang terlihat menatapnya tajamRyo yang memahami hal itu hanya tersenyum. “Ya udah, buruan mandi gih! Ditunggu Papa sama Mama di butik langganannya Mama.“Ngapain?” tanya Reni penasaran“Udah, mandi aja dulu.” Ryo melemparkan handuk pada Arjuna. Tanpa banyak kata keduanya mengikuti perintah dari Ryo**Arjuna dan Reni sudah sampai di butik langganan keluarga Lesmana. Sebenarnya Arjuna heran kenapa keduanya diminta ke sini. Tetapi, demi memenuhi keinginan calon mertua
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce