Reni sedang bercermin di kamarnya. Kali ini ia tersenyum lega karena tak harus mengenakan gaun yang terlalu terbuka dan begitu mengikat tubuhnya. Mamanya hanya meminta kepadanya untuk mengenakan dress selutut dengan lengan sesiku. Meskipun Reni jarang mengenakan dress tetapi ia menyukai dressnya kali ini yang begitu nyaman dengan motif polkadot.
“Udah kali ngacanya. Entar pecah tuh kaca!” celetuk Ryo dari pintu Reni.
Reni menoleh ke arahnya dengan tatapan tak suka. “Apaan sih, biasa aja kali!” Reni menjulurkan lidahnya.
“Gue ke sini mau manggil elo. Udah ditungguin tuh sama Papa sama Mama. Dari tadi dipanggilin juga, nggak nyaut-nyaut! Udah yuk ah, buruan!” karena tidak sabar Ryo mendekati Reni dan menyeretnya keluar kamar.
“Kamu kok lama banget sih, Sayang? Kita itu udah ditunggu sama keluarganya pak Wirawan.” Omel Papanya saat Reni sudah sampai di depan rumah. Sementara yang diomeli hanya man
Setelah makan malam yang begitu mencekam untuk Reni karena keputusan tanggal pertunangan mereka yang belum ditentukan, Reni dan Arjuna diberikan waktu untuk berdua. Arjuna mengajak Reni untuk ke lantai tiga seperti beberapa waktu yang lalu. Arjuna tau Reni sangat menyukai suasana di lantai tiga. Maka untuk menghilangkan kegugupan Reni, Arjuna mengajaknya ke sana.Reni menyapu pandang ke hamparan lampu yang terlihat berkelap-kelip. Ia menutup matanya saat angin menerpa wajahnya. Tiba-tiba punggungnya ditutup sesuatu. Reni membuka matanya. Sebuah jaket menutupi punggungnya. Ia menoleh ke arah Arjuna yang sudah berada di sebelahnya.“Di sini dingin. Nanti kamu masuk angin kalau nggak pakai jaket.” Ujarnya sambil menatap pemandangan di depannya.“Kamu yakin?” tanya Reni tiba-tiba membuat Arjuna menatap heran ke arahnya.Arjuna mendekat dan berdiri tepat di samping Reni. “Yakin apa?”Reni mendengus. Ia t
Pagi-pagi benar Reni sudah keluar dari kamarnya. Mamanya yang sedang menyiapkan sarapan melihatnya dan menghampirinya. Reni segera duduk di ruang tamu dan mengenakan sepatunya.“Kamu mau ke mana? Kok pagi-pagi udah keluar? Ini hari Minggu lho,” seru Mamanya. Takut jika putrinya lupa bahwa ini adalah hari Minggu.“Reni mau ke taman, Ma. Reni nggak lupa kok kalo ini hari Minggu. Reni pengen gambar di sana.” Jawabnya dengan masih berkutat dengan sepatunya.“Kamu nggak sarapan dulu?”“Nanti aja. Keburu siang!” pekiknya kemudian berlari ke luar.Ketika Reni sudah beberapa menit pergi Santi baru ingat sesuatu.“Oh iya, Arjuna kan mau ke sini.” Santi menepuk keningnya merutuki sifat pelupanya.***Reni meletakkan tasnya di sebelahnya. Ia segera duduk di rerumputan dekat lapangan basket mini dan menghadap ke Timur. Matahari baru saja terbit dan Reni segera memind
Keduanya pulang ke rumah Reni saat matahari sudah tinggi. Ryo yang sedang bersantai di ruang tengah memandangi mereka berdua.“Habis olahraga? Bukannya tadi elo katanya mau gambar di taman, dek?” tanya Ryo pada Reni yang terlihat berkeringat“Tadinya emang ngegambar sih, Kak. Tapi karena ada orang yang meragukan kemampuan gue soal basket, akhirnya gue main basket deh sebentar!” Reni melirik ke arah Arjuna yang terlihat menatapnya tajamRyo yang memahami hal itu hanya tersenyum. “Ya udah, buruan mandi gih! Ditunggu Papa sama Mama di butik langganannya Mama.“Ngapain?” tanya Reni penasaran“Udah, mandi aja dulu.” Ryo melemparkan handuk pada Arjuna. Tanpa banyak kata keduanya mengikuti perintah dari Ryo**Arjuna dan Reni sudah sampai di butik langganan keluarga Lesmana. Sebenarnya Arjuna heran kenapa keduanya diminta ke sini. Tetapi, demi memenuhi keinginan calon mertua
Reni berlari sekuat tenaga saat sampai di kampus sembari beberapa kali melirik jam di tangannya. Ia lupa bahwa hari ini ada kuliah pagi. Sedangkan tadi pagi ia bermalas-malasan di tempat tidur sampai akhirnya Nadya mengiriminya pesan bahwa hari ini ada kuliah pagi.Sesampainya di depan kelas, Reni berhenti sembari mengatur napasnya. Dengan perlahan, ia membuka pintu kelasnya. Saat sudah terbuka setengahnya, seisi kelas menoleh ke arahnya. Reni semakin tegang saat dosennya berjalan ke arahnya.“Ada keperluan apa?” tanya laki-laki gendut di depannya dengan perawakan sangar.Reni menelan ludah sebelum akhirnya menjawab, “Saya mahasiswi di kelas ini, Pak.”“Lalu kenapa kamu baru datang sekarang? Kelas saya sudah dimulai tiga puluh dua menit yang lalu.” Seru lelaki tersebut dengan wajah menahan amarah. “Silakan kamu masuk saja ke kelas lain yang belum dimulai!”Reni akhirnya mundur. Sang dose
Pukul sembilan pagi Juna baru saja tiba di ruangannya. Hari ini memang tidak ada janji dengan klien sehingga ia bisa datang lebih siang dari biasanya. Ia segera menyalakan laptopnya sembari mengecek beberapa berkas yang ada di mejanya. Fina sudah memilah-milah berkas tersebut diurut dari yang paling penting. Sedari awal Fina bekerja, Arjuna memang sudah memberitahunya banyak hal. Termasuk salah satunya adalah mengurutkan dokumen dari yang paling penting dan harus segera ditanda tangani. Ia tidak mau sampai kecolongan melewatkan hal penting hanya gara-gara berkasnya ditumpuk begitu saja. Selanjutnya, Juna segera tenggelam ke dalam pekerjaannya. Sembari mendengarkan alunan musik klasik, Juna memeriksa berkas-berkas yang ada di mejanya dengan cepat dan menandatanganinya.Baru satu jam ia berkutat dengan pekerjaannya, tiba-tiba ponselnya berdering keras. Ia segera merogoh saku celananya dan memeriksa apa yang membuat ponsel tersebut berdering. S
Arjuna menepikan mobilnya di kompleks perumahan yang terlihat sepi. Ia sengaja mencari tempat yang tak ramai agar tak memicu emosinya. Emosi Arjuna mudah terpancing ketika suasanya bising.Reni duduk dengan tegang. Napasnya mulai tak teratur. Padahal ia tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh Arjuna. Tetapi entah mengapa ia begitu ketakutan setelah melihat ekspresi Arjuna yang tampak marah tadi.“Kenapa kamu nutup mata?” suara Arjuna memecahkan keheningan.Ternyata tanpa disadari, Reni menutup matanya dengan kuat karena gugup. Ia segera membuka matanya dan menatap Arjuna dengan takut-takut. Tapi, tatapan Arjuna tak setegas tadi. Tatapan Arjuna sudah melunak padanya.“Takut!” seru Reni singkat kemudian mengalihkan pandangannya ke luar. “Kamu tau darimana aku di tempat itu tadi?”Arjuna menghela napas. “Ada seseorang yang mengirim gambar kamu dan cowok itu tadi. Dia juga mengirim lokasi. Meski a
Setelah Arjuna yang diikuti oleh Reni masuk ke dalam ruangannya, Fina mencak-mencak di tempatnya. Rinda yang sedang asyik menyantap sandwich buatan Mamanya menoleh. "Ngapain lo mencak-mencak gitu?" tanya Rinda seraya menelan potongan terakhir sandwichnya. Fina menghempaskan tubuhnya di kursi. Ia kesal bukan main. "Kenapa sih, Pak Arjuna tuh nggak pernah gitu ngelirik gue sedikit pun? Padahal gue juga selalu ada buat dia." Fina menghela napas panjang. "Padahal juga kenalnya baru sama tuh bocah, tapi yang kayak udah sehidup semati aja!" Rinda menggelengkan kepala. Ia benar-benar tidak habis pikir kenapa temannya ini bisa begitu terobsesi pada atasannya. Padahal sedari awal Rinda bekerja di sini, Arjuna sudah menampakkan sifat aslinya. Ia bukanlah laki-laki yang suka tebar pesona. Ia akan berbicara dan tertawa seperlunya dengan para karyawan, tanpa berniat ingin menunjukkan ketampanannya.
Hari-hari Reni dan Arjuna sudah semakin sibuk. Orang tua mereka memaksa mereka untuk segera menyiapkan semuanya sebelum Arjuna berangkat ke Makassar dan Reni disibukkan dengan pameran dan tugas akhirnya. Reni dan Arjuna harus bolak-balik ke butik langganan Mama Reni karena desainer mereka masih sedikit bimbang dengan pilihan warnanya. Setelah itu, keduanya dipaksa ke toko perhiasan untuk memilih cincin pertunangan mereka sendiri. Reni sebal ketika memasuki toko perhiasan tersebut karena langsung ditanya, “Mau cincin pernikahan yang seperti apa? Kami siap mendesainkan sesuai keinginan Anda.”Arjuna hanya tertawa melihat ekspresi sebal Reni di depan perempuan yang melayani mereka. Ketika perempuan itu permisi sebentar, Reni berkomat-kamit.“Kamu kenapa sih? Kok sewot banget sama dia?” tanya Arjuna akhirnya.Reni ganti menatap Arjuna kesal. “Ya dia sih, tanyanya kok gitu banget? Bukannya seharusnya ditanya cari perhiasan