Setelah Arjuna yang diikuti oleh Reni masuk ke dalam ruangannya, Fina mencak-mencak di tempatnya. Rinda yang sedang asyik menyantap sandwich buatan Mamanya menoleh.
"Ngapain lo mencak-mencak gitu?" tanya Rinda seraya menelan potongan terakhir sandwichnya.
Fina menghempaskan tubuhnya di kursi. Ia kesal bukan main.
"Kenapa sih, Pak Arjuna tuh nggak pernah gitu ngelirik gue sedikit pun? Padahal gue juga selalu ada buat dia." Fina menghela napas panjang. "Padahal juga kenalnya baru sama tuh bocah, tapi yang kayak udah sehidup semati aja!"
Rinda menggelengkan kepala. Ia benar-benar tidak habis pikir kenapa temannya ini bisa begitu terobsesi pada atasannya. Padahal sedari awal Rinda bekerja di sini, Arjuna sudah menampakkan sifat aslinya. Ia bukanlah laki-laki yang suka tebar pesona. Ia akan berbicara dan tertawa seperlunya dengan para karyawan, tanpa berniat ingin menunjukkan ketampanannya.
Hari-hari Reni dan Arjuna sudah semakin sibuk. Orang tua mereka memaksa mereka untuk segera menyiapkan semuanya sebelum Arjuna berangkat ke Makassar dan Reni disibukkan dengan pameran dan tugas akhirnya. Reni dan Arjuna harus bolak-balik ke butik langganan Mama Reni karena desainer mereka masih sedikit bimbang dengan pilihan warnanya. Setelah itu, keduanya dipaksa ke toko perhiasan untuk memilih cincin pertunangan mereka sendiri. Reni sebal ketika memasuki toko perhiasan tersebut karena langsung ditanya, “Mau cincin pernikahan yang seperti apa? Kami siap mendesainkan sesuai keinginan Anda.”Arjuna hanya tertawa melihat ekspresi sebal Reni di depan perempuan yang melayani mereka. Ketika perempuan itu permisi sebentar, Reni berkomat-kamit.“Kamu kenapa sih? Kok sewot banget sama dia?” tanya Arjuna akhirnya.Reni ganti menatap Arjuna kesal. “Ya dia sih, tanyanya kok gitu banget? Bukannya seharusnya ditanya cari perhiasan
Ketika di jalan pulang, Reni tiba-tiba memekik meminta Arjuna menghentikan mobilnya. "Duh, apa-apaan sih kamu? Mendadak banget kalo minta berhenti?" seru Arjuna gusar. Untung saja jalanan sedang sepi sehingga ia tidak perlu mendapat makian dari orang-orang. Reni langsung turun tanpa berniat menjawab pertanyaan Arjuna. Ia menghampiri seorang pedagang arum manis dan membelinya dengan wajah riang. Reni berlari kecil sembari melompat-lompat saat akan memasuki mobil Arjuna. Arjuna yang melihat tingkah Reni benar-benar tidak habis pikir. Reni adalah satu dari sekian banyak perempuan yang pernah dekat dengan Arjuna. Mereka kebanyakan selalu berusaha terlihat dewasa, elegan, dan anggun. Sementara Reni malah kebalikannya. Arjuna benar-benar heran pada dirinya sendiri yang bisa menyukai gadis ini. "Beli apa?" tanya Arjuna saat Reni masuk ke dalam mobil. "Beli arum maniiiss!!"
Arjuna merapikan beberapa bajunya. Ia mulai mengemasnya ke dalam koper yang akan ia bawa ke Makassar besok pagi. Ia juga menyiapkan berkas-berkas penting yang harus ia bawa. Andini masuk ke dalam kamar Arjuna sembari membawakan coklat panas untuk putranya.“Cuma bawa segitu doang, Jun, pakaiannya?” tanyanya sembari melirik isi koper putranya. Ia tahu Arjuna adalah orang yang tidak mau diribetkan dengan masalah pakaian.Arjuna mengangguk. “Iya, Ma. Lagian kan cuma seminggu. Arjuna di sana juga buat kerja, bukan liburan. Jadi lebih banyak baju buat kerja yang Arjuna pakai. Kalau bawa banyak-banyak juga ribet nanti, Ma.”Andini menggeleng seraya tersenyum. Putranya tak pernah berubah. “Nggak terasa ya, kurang seminggu lagi kamu akan bertunangan dengan Reni. Mama nggak menyangka kalau kamu akhirnya menjalaninya dengan senang.” Andini menghela napas. “Padahal Mama sempat berpikiran kamu akan menolaknya sejak awa
Reni masih menyelimuti dirinya saat pintu kamarnya diketuk. Tanpa dijawab, Mamanya masuk ke dalam kamarnya.“Lho, kok masih tidur? Katanya mau nganterin Arjuna ke bandara,” Santi membuka gorden kamar Reni dan membuatnya mau tak mau membuka mata.“Mama, ini kan Minggu! Reni capek ah seharian abis keliling-keliling sama Kak Sandra buat keperluan pertunangan. Sekarang Reni mau istirahat, Ma!” erangnya kemudian semakin menutup tubuhnya dengan selimut.“Yakin nggak mau nganterin aku? Nanti kamu kangen lho, seminggu nggak ketemu sama aku!” seru Arjuna seraya duduk di pinggiran tempat tidur Reni.Mendengar suara Arjuna sontak membuat Reni terbelalak dan bangkit. Dengan wajah yang menahan kantuk dan rambut yang acak-acakan ia menatap Arjuna dengan ekspresi terkejut luar biasa. Ia masih teringat kejadian semalam membuatnya malu. Arjuna menahan tawa ditatap Reni seperti itu.“Kamu ngapain di kamarku? Si
Arjuna duduk di bangku pesawat dengan gelisah. Entah kenapa, tatapan Reni tadi terasa begitu berat untuk melepaskan kepergian Arjuna. Apakah Reni tidak mau terpisah lama dengan Arjuna? Arjuna menyalakan ponselnya. Diam-diam, ia memiliki foto Reni yang ia ambil tanpa sepengetahuan gadis itu. Pada wallpaper Arjuna sekarang terpampang gambar gadis itu yang sedang asyik memotret. Arjuna mengambilnya dari samping kiri. Entah kenapa, aura gadis fotografer itu begitu terpancar ketika sudah memegang benda kesayangannya itu. "Aku bakalan kangen banget sama kamu, Ren!" gumam Arjuna seraya tersenyum ke arah ponselnya. Mungkin waktu seminggu hanyalah sebentar bagi sebagian orang. Tetapi bagi Arjuna, waktu seminggu sangatlah lama. "Tunggu aku ya!" *** Hari pertama di pekan UAS. Reni mengerjakan semua soal ujian dengan teliti. Ia tidak mau kecolongan lagi sampai ada yang belum te
Arjuna menutup laptopnya. Sudah hampir lima jam ia mengerjakan rancang bangun untuk dibawa meeting besok. Ia merasa perlu meregangkan tubuh dan mencari angin segar. Udara dingin malam langsung menyapu kulit Arjuna ketika ia membuka pintu menuju balkon kamarnya. Hawa dingin itu membuat Arjuna sedikit bergidik. Ia meminum kopinya yang masih hangat karena baru saja ia seduh. Arjuna menatap ke sekeliling. Lampu-lampu jalanan dan juga beberapa kendaraan masih berlalu lalang di bawah sana. "Jam segini Reni lagi ngapain, ya? Dia udah tidur belum ya?" Arjuna mengambil ponselnya di saku celana. Ia hendak membuka WhatsApp ketika sebuah notifikasi dari instagram muncul. Ren.ren baru saja menambahkan cerita. Lelaki yang rambutnya mulai sedikit panjang itu tersenyum. Ia memang menyalakan notifikasi untuk semua kegiatan Reni di sosial media. Ia tak mau ketinggalan satupun momen y
Hari kedua ujian dilalui Reni dengan lebih tenang. Ia mengerjakan soal tanpa perasaan penuh kegugupan seperti kemarin. Tangannya begitu lihai menuliskan jawaban-jawaban yang semalam sudah dipelajarinya. Rendi yang melihat Reni tenang begitu jadi ikutan tenang. Tanpa sadar, Rendi tersenyum melihat Reni demikian. Setelah waktu berjalan hampir 80 menit, Reni berdiri dan maju ke depan. Ia memejamkan mata sebelum meletakkan kertasnya. Ia berdoa agar mendapatkan hasil terbaik di ujian semesternya kali ini. Reni duduk di depan ruang kelasnya menunggu Nadya. Apalagi waktu kurang sepuluh menit saja. Pasti sebentar lagi Nadya keluar. "Loh, masih di sini?" Rendi yang keluar kelas lebih dulu menghampiri Reni yang duduk sendirian. "Eh!" Reni tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya karena beberapa menit ia melamun. "Iya, nungguin Nadya. Ntar dia ngamuk-ngamuk lagi kalau aku tinggal!"&nbs
Nadya tidak berusaha mengejar Reni karena ia tahu, temannya itu pasti butuh waktu untuk menenangkan diri. Sementara perempuan tidak dikenal tadi sudah pergi dengan teman-temannya. Tak lupa dengan adegan menghentak-hentakkan kaki karena rambut yang sudah ia tata berjam-jam harus rusak. "Lah, Reni kemana?" Rendi baru saja datang seraya membawakan pesanan ketiganya. "Pulang kayaknya. Tadi tiba-tiba ada macan ngamuk di sini!" Mendengar itu, Rendi hanya mengernyitkan kening. Ia bukan tipe orang yang mudah sekali penasaran dengan urusan orang lain. "Lo suka ya sama Reni?" pertanyaan spontan Nadya hampir membuat Rendi tersedak kuah soto pedasnya. "Lo kalo tanya bisa liat sikon dulu nggak sih?" nada bicara Rendi sedikit tinggi sementara Nadya malah tertawa. "Ye sorry! Habisnya gue kepo sih!" Nadya melipat kedua tangannya di atas meja. "So?" "Gue nggak t