Arjuna duduk di bangku pesawat dengan gelisah. Entah kenapa, tatapan Reni tadi terasa begitu berat untuk melepaskan kepergian Arjuna. Apakah Reni tidak mau terpisah lama dengan Arjuna?
Arjuna menyalakan ponselnya. Diam-diam, ia memiliki foto Reni yang ia ambil tanpa sepengetahuan gadis itu. Pada wallpaper Arjuna sekarang terpampang gambar gadis itu yang sedang asyik memotret. Arjuna mengambilnya dari samping kiri. Entah kenapa, aura gadis fotografer itu begitu terpancar ketika sudah memegang benda kesayangannya itu.
"Aku bakalan kangen banget sama kamu, Ren!" gumam Arjuna seraya tersenyum ke arah ponselnya. Mungkin waktu seminggu hanyalah sebentar bagi sebagian orang. Tetapi bagi Arjuna, waktu seminggu sangatlah lama.
"Tunggu aku ya!"
***
Hari pertama di pekan UAS. Reni mengerjakan semua soal ujian dengan teliti. Ia tidak mau kecolongan lagi sampai ada yang belum te
Arjuna menutup laptopnya. Sudah hampir lima jam ia mengerjakan rancang bangun untuk dibawa meeting besok. Ia merasa perlu meregangkan tubuh dan mencari angin segar. Udara dingin malam langsung menyapu kulit Arjuna ketika ia membuka pintu menuju balkon kamarnya. Hawa dingin itu membuat Arjuna sedikit bergidik. Ia meminum kopinya yang masih hangat karena baru saja ia seduh. Arjuna menatap ke sekeliling. Lampu-lampu jalanan dan juga beberapa kendaraan masih berlalu lalang di bawah sana. "Jam segini Reni lagi ngapain, ya? Dia udah tidur belum ya?" Arjuna mengambil ponselnya di saku celana. Ia hendak membuka WhatsApp ketika sebuah notifikasi dari instagram muncul. Ren.ren baru saja menambahkan cerita. Lelaki yang rambutnya mulai sedikit panjang itu tersenyum. Ia memang menyalakan notifikasi untuk semua kegiatan Reni di sosial media. Ia tak mau ketinggalan satupun momen y
Hari kedua ujian dilalui Reni dengan lebih tenang. Ia mengerjakan soal tanpa perasaan penuh kegugupan seperti kemarin. Tangannya begitu lihai menuliskan jawaban-jawaban yang semalam sudah dipelajarinya. Rendi yang melihat Reni tenang begitu jadi ikutan tenang. Tanpa sadar, Rendi tersenyum melihat Reni demikian. Setelah waktu berjalan hampir 80 menit, Reni berdiri dan maju ke depan. Ia memejamkan mata sebelum meletakkan kertasnya. Ia berdoa agar mendapatkan hasil terbaik di ujian semesternya kali ini. Reni duduk di depan ruang kelasnya menunggu Nadya. Apalagi waktu kurang sepuluh menit saja. Pasti sebentar lagi Nadya keluar. "Loh, masih di sini?" Rendi yang keluar kelas lebih dulu menghampiri Reni yang duduk sendirian. "Eh!" Reni tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya karena beberapa menit ia melamun. "Iya, nungguin Nadya. Ntar dia ngamuk-ngamuk lagi kalau aku tinggal!"&nbs
Nadya tidak berusaha mengejar Reni karena ia tahu, temannya itu pasti butuh waktu untuk menenangkan diri. Sementara perempuan tidak dikenal tadi sudah pergi dengan teman-temannya. Tak lupa dengan adegan menghentak-hentakkan kaki karena rambut yang sudah ia tata berjam-jam harus rusak. "Lah, Reni kemana?" Rendi baru saja datang seraya membawakan pesanan ketiganya. "Pulang kayaknya. Tadi tiba-tiba ada macan ngamuk di sini!" Mendengar itu, Rendi hanya mengernyitkan kening. Ia bukan tipe orang yang mudah sekali penasaran dengan urusan orang lain. "Lo suka ya sama Reni?" pertanyaan spontan Nadya hampir membuat Rendi tersedak kuah soto pedasnya. "Lo kalo tanya bisa liat sikon dulu nggak sih?" nada bicara Rendi sedikit tinggi sementara Nadya malah tertawa. "Ye sorry! Habisnya gue kepo sih!" Nadya melipat kedua tangannya di atas meja. "So?" "Gue nggak t
Arjuna yang tadinya hendak beristirahat, tiba-tiba kehilangan rasa lelahnya setelah mendengar curhatan Reni. Ia tahu, kesalahannya juga tidak memberi tahu Reni sejak awal tentang Nadhine. Sempat ada rasa khawatir di benak Arjuna, kalau-kalau Nadhine akan berbuat yang lebih dari sekadar mengata-ngatai Reni. "Kalau Nadhine nyamperin kamu lagi, kamu langsung bilang aku, ya!" seru Arjuna. Kali ini keduanya mengubah mode panggilan menjadi panggilan video. Reni sedang makan sementara Arjuna di sana hanya berniat menemani Reni menghabiskan makanannya. "Gampang! Cewek kayak gitu tuh kalo aku makin takut, dia bakalan ngerasa punya power. Akhirnya bakalan terus cari gara-gara. Makanya, aku nggak mau diem aja pas dia nuduh aku tadi. Biar tau dia lagi berhadapan sama siapa!" "Sama preman!" celetuk Arjuna seraya cekikikan. Rasa ingin istirahatnya tergantikan dengan kesenangan menemani Reni malam ini. Reni h
Arjuna baru saja menyelesaikan meetingnya pagi ini. Hari ini, jadwalnya tidak terlalu padat sehingga ia bisa sedikit bersantai. "Ngopi dulu bisalah, bos!" seru Rayhan, rekan kerjanya yang ada di Makassar. Arjuna tertawa. "Boleh deh! Dua hari ini sibuk terus gue. Butuh penyegaran juga nih!" Akhirnya kedua lelaki itu meninggalkan ruangan meeting dan melaju ke salah satu coffee shop teedekat, rekomendasi dari Rayhan yang memang dari dulu adalah pecinta kopi. Tiada hari tanpa meminum kopi. "Caramel macchiatonya satu!" ujar Rayhan tanpa melihat daftar menu. "Lo mau pesen apa, Jun?" "Gue affogato aja deh!" seru Arjuna setelah memilih minuman kemudian mereka mencari tempat duduk sembari menunggu pesanannya jadi. "Tumben lo nggak espresso atau americano?" Arjuna membuka obrolan diantara keduanya. "Masih siang nih, bos! Butuh yang se
Reni menjemput Sandra di depan apartemennya. Sebenarnya Sandra mengajak bertemu di tempat, tetapi Reni menolak dan memilih untuk menjemput perempuan itu. "Nunggu lama ya, Kak?" tanya Reni saat Sandra sudah masuk ke dalam mobilnya dan sedang memasang seat belt. "Ada lah ya seabad!" seru Sandra seraya tertawa. "Nyantai aja kali. Kayak sama siapa aja!" Reni menjalankan mobilnya ke tempat penata rias yang direkomendasikan Sandra. Sandra meletakkan ponselnya di dashboard mobil untuk menunjukkan arah pada Reni. Tempatnya agak rumit menurut Reni karena harus melewati banyak sekali belokan. Mungkin jika ia sendirian ke sini akan kesasar. "Tempatnya lumayan terpencil, ya!" gumam Reni sembari menoleh ke spion kiri dan kanan. "Temen Kak Sandra ini nggak berniat beli rumah di pinggir jalan gitu apa?" Sandra tertawa. "Udah banyak orang yang menyarankan kayak gitu, Ren. Tapi kata
Hari sudah gelap saat Reni mengantarkan Sandra ke apartemennya. Seharian ini mereka benar-benar menghabiskan waktu untuk merawat diri. "Makasih banyak ya, Kak! Udah diajakin perawatan seharian ini!" ujar Reni sebelum Sandra turun dari mobilnya. "Anytime! Lagian ini juga buat kamu sendiri. Kalau bituh apa-apa jangan malu apalagi sungkan minta tolong ke Kakak, ya. Pasti bakalan Kakak bantuin. Oke!" Sandra tersenyum. "Ya udah aku turun dulu ya! Byeee!" Setelah Sandra turun, Reni melambaikan tangannya pada Sandra. Ia kembali melanjutkan perjalanan pulang. Kali ini ia harus pulang ke rumah karena sedari tadi Mamanya sudah meneror Reni untuk memintanya tidur di rumah malam ini. Ketika masih di jalan, ponsel Reni berbunyi. Ia segera menyambungkan earphone untuk menjawab panggilan. "Halo!" seru Reni terlebih dahulu. "Masih dimana?" suara Arjuna di seber
Selesai sudah ujian akhir semester kali ini. Reni mengumpulkan ujian tulis terakhirnya di hari ini dengan perasaan lega. Ia sudah mengusahakan apapun semampunya. Reni yakin, pasti ia mendapatkan hasil yang terbaik. "Ren, ini kan hari terakhir ujian. Kan udah nggak ada beban lagi nih..." kalimat Nadya tiba-tiba saja jadi menggantung. Reni yang masih menunggu lanjutan kalimatnya sembari chattingan dengan Arjuna mendongak. "Lo kalo ngomong jangan suka nanggung dong! Gue dengerinnya serius kayak gini malah digantungin." Nadya tertawa melihat ekspresi cemberut Reni. Hampir seminggu belakangan ini ekspresi yang ditampilkan sahabatnya itu hanyalah ekspresi tegang dan penuh pikiran. Reni terlihat suntuk sekali selama pekan UAS. Maka dari itu Nadya ingin mengajak Reni jalan-jalan hari ini agar pikiran Reni lebih fresh dan tidak tegang lagi. "Kita jalan-jalan yuk! Ngemall atau kemana gitu, biar l
Reni hampir seminggu berada di indekos Rendi. Selama itu pula hanya Nadya yang datang menemaninya. Arjuna, bahkan orang tuanya tidak ke sini. Ia lupa bahwa ponselnya dipegang oleh Ryo. Pagi ini, suasana hati Reni sudah lebih baik. Walaupun masih ada kekecewaan di hatinya, tetapi ia tak serapuh kemarin-kemarin. Hatinya jauh lebih kuat. "Yakin mau pulang sekarang?" tanya Rendi untuk yang kesekian kalinya. Ia yang paling terlihat khawatir akan kestabilan emosi Reni. Reni mengangguk yakin. Setelah satu minggu 'bertapa' di sini, ia memilih untuk berhenti menghindar dan menghadapi semuanya. Walaupun mungkin itu sangat menyakiti perasaannya, ia tak ingin lari lagi. Akhirnya Rendi memilih ikut ke rumah Reni dengan menjadi sopir mobilnya. Rasa kekhawatirannya benar-benar tidak bisa hilang. Reni mengiyakan saja apabila Rendi mau mengantarnya ke rumah. Sesampainya di depan gerbang rumah, Reni meminta untuk memarkir motornya di luar saja. Dengan langkah perlahan, Reni dite
Pagi ini, Rendi memilih untuk mencuci motornya setelah setiap hari ia gunakan pulang-pergi ke tempat magang yang lumayan jauh. Beberapa kali memang sempat ia cuci. Akan tetapi, setelah sakit ia jadi malas mencuci motornya. Selagi cuaca cerah, Rendi dengan telaten membersihkan motor kesayangannya. Tak lupa, ia juga menjemur helm yang setiap hari ia pakai agar tidak bau apek. Ketika mengelap motornya agar semakin kinclong, sebuah mobil yang Rendi kenali memasuki halaman indekosnya. Keningnya berkerut tatkala pemilik mobil tak jua keluar. Rendi bergegas menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca jendela mobil. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya kaca jendela itu turun dan menampilkan wajah kalut Reni. "Kamu kenapaaa??" Rendi terkejut bukan main melihat mata sembab Reni. *** Ryo menarik napas sedikit lega ketika membuka pesan di ponsel Reni dan ada salah satu temannya yang didatangi. Bahkan, seseorang bernama Rendi itu berani bertaruh nyawanya apabila Reni
Ketika terdengar keributan di bawah, Tania memeluk Reni erat. Ia tidak ingin adik iparnya ini semakin sedih. "Dia ngapain ke sini sih, Mbak?" bisik Reni menahan isak tangisnya. Tania mengelus punggung Reni. "Udah, nggak usah dipeduliin. Yang terpenting sekarang adalah kondisi kamu. Sesekali egois itu perlu kok!" Tania terus mendekap Reni. Ia berharap mampu menyalurkan energi positifnya pada Reni, agar kesedihan itu setidaknya berkurang. "Mbak, aku mau ke balkon cari angin!" desis Reni, menghapus sisa-sisa air matanya. "Mau mbak temenin nggak?" tawar Tania. Ternyata Reni menggeleng. "Beneran nggak apa-apa sendiri?" "Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar aja!" Reni bangkit dari duduknya. Ia menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia baru keluar setelah meyakinkan Tania bahwa ia baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Tania, Reni sudah mengantongi kunci mobilnya yang kebetulan terparkir di belakang. Reni berniat kabur dari rumah daripada ia harus meli
Reni bangun ketika jendela kamarnya terbuka. Matanya perih terkena sinar matahari pagi setelah semalaman menangis. Ternyata papanya yang membuka gorden jendela kamar. "Bangun yuk. Udah siang ini!" Lesmana mendekati putrinya. Ia elus rambut putrinya yang berantakan. Reni masih terbaring di kasurnya. Padahal ia baru saja terbangun, tetapi rasanya melelahkan sekali. Ia seperti merasakan lelah yang tak berkesudahan. "Tuh, ada Tania. Kamu temuin dong!" Lesmana mencoba membuat putrinya bersemangat, walaupun ia tahu hal ini mungkin sia-sia. Reni malah melamun. Matanya terlihat sangat sembab setelah menangis sampai tertidur. Ia bahkan tidak sempat mengganti baju tidurnya. Pikirannya kacau, sangat kacau. *** Arjuna pulang dengan perasaan gelisah. Nada bicara Ryo yang penuh amarah semalam membuatnya kelabakan mencari tiket pesawat saat itu juga. Ia sempat beradu argumen dengan Sandra yang berusaha menahannya. "Palingan cuma masalah sepele!" begitu katanya. Arjuna
Sepanjang jalan pulang, Reni terdiam. Minimnya cahaya dijadikan tameng untuknya menangis tanpa suara. Reni membuang muka menghadap ke jendela mobil agar tangisnya tak terlihat oleh Ryo. Sementara itu, di sebelahnya Ryo berusaha meredam amarah. Apa yang ia lihat di ponsel Reni tadi benar-benar mengejutkannya. Kenapa keadaan tiba-tiba menjadi begitu pelik untuk Reni lalui? Ini adalah masa-masa Reni membutuhkan kestabilan emosional karena ia harus mengerjakan tugas akhirnya. Tetapi keadaan menghempaskan Reni begitu saja. Sesampainya di rumah, tanpa basa-basi Reni langsung berlari ke lantai dua dan masuk ke kamarnya. Santi dan Lesmana yang sedang kedatangan tamu heran dengan sikap Reni. Ketika Ryo masuk, tatapan Santi penuh tanda tanya. Ryo sendiri memilih tetap di luar. Setelah menghabiskan rokoknya ia menelepon sang istri. "Yang, besok pagi bisa ke rumah nggak? Temenin Reni. Dia lagi ada masalah." ujarnya setelah telepon diangkat oleh Tania. Perempuan itu tidak b
Reni keluar dari galeri dengan wajah lelah tetapi juga tergambar kegembiraan di sana. Ia sangat gembira bisa magang di tempat gurunya yang mengenalkan dunia fotografi padanya. Tadi ketika acara perpisahan, Aldo bahkan memberikan hadiah pada Rendi dan Reni karena menjadi anak magang yang baik sepanjang masa. "Ini oleh-oleh buat kalian. Karena selama aku nerima anak magang, baru kali ini galeri bisa sangat seramai ini. Bahkan ada pengunjung yang bela-belain ke sini setiap hari cuma kepingin di-guide sama Rendi. Ini benar-benar pencapaian besar. Galeri bakalan sangat kehilangan kalian!" ucapan Aldo membuat semua yang ada di ruangan itu mendadak sedih. Lagi pula, siapa yang suka dengan momen perpisahan? "Mau langsung pulang atau kemana gitu?" tawar Rendi sembari menyerahkan helm pada Reni. Perempuan itu segera mengenakan helm. "Pulang dulu, besok aja main. Inget, kamu masih hutang ngajakin aku makan mie yamin yaa?" Rendi tertawa. Beberapa bulan selama magang ini hariny
Hari ini adalah hari terakhir Reni magang. Semalam, ia sudah menyelesaikan laporan magangnya selama tiga bulan ini. Nanti sepulang dari tempat magang, Ryo berjanji akan mentraktirnya sebagai hadiah karena Reni berhasil menyelesaikan magang tanpa kendala apapun. Selama magang, Reni memang lebih sering di rumah daripada di apartemen. Ini pun atas titah Mamanya, agar beliau tetap bisa memantau Reni. Santi takut apabila magang Reni memilih tinggal di apartemen, ia malah tidak pulang. "Mama lebay!" desisnya saat itu. Santi tidak peduli apapun perkataan putrinya. Yang terpenting adalah kebaikan Reni sekarang. Santi pun juga sudah mendengar tentang renggangnya hubungan Arjuna dengan putrinya. Andini sempat bercerita ketika keduanya bertemu di salah satu butik langganan mereka. "Aku bener-bener minta maaf lho, Jeng. Karena kesibukan Arjuna bikin Reni jadi merasa terabaikan. Jadinya malah mereka bertengkar." Andini menggenggam tangan Santi. Santi mengangguk mafhum.
Seharian Sandra hanya marah-marah. Ia kesal karena Arjuna mulai sering tidak fokus dan sering menengok ponselnya, meskipun itu sedang meeting penting dengan kontraktor. Sandra sudah memperingatkannya beberapa kali, tetapi nihil. Arjuna masih saja tidak fokus. "Kamu tuh kenapa sih? Ini kita udah hampir sebulan loh di sini! Kita udah jalanin proyek hampir tiga puluh persen dan kamu mulai sering nggak fokus. Kamu mau ngerusak karir kamu sendiri hah?!" pekik Sandra berapi-api ketika keduanya sampai di rumah. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena kali ini Arjuna kehilangan profesionalismenya. "Aku nggak bisa konsen karena akhir-akhir ini Reni sering banget ngilang. Dia jadi super sibuk sampai nggak bisa dihubungi." jawab Arjuna enteng. Sandra mengusap wajahnya kasar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pernyataan yang Arjuna lontarkan dengan entengnya barusan. "Jadi profesionalisme kamu hilang gara-gara kamu bucin?" nada bicara Sandra sudah tidak mampu ia kontrol.
Sepanjang perjalanan menuju galeri, Reni mengunci rapat-rapat mulutnya. Ia tidak mengucapkan apapun setelah badannya dibuat panas dingin oleh Rendi. "Kamu kenapa sih? Sariawan?" tanya Rendi saat motornya berhenti di lampu merah. Rendi mengarahkan spionnya tepat ke wajah Reni. Reni sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia hanya menggeleng pelan. Hal ini membuat Rendi gemas. "Ya udah kalau sariawan, nanti aku beliin mie jontor. Katanya ampih buat bikin sembuh sariawan." ujarnya yang kemudian mendapatkan pelototan dari Reni. Ia tidak peduli dan langsung mengegas motornya saat lampu berubah menjadi hijau. Reni menoyor helm Rendi sampai lelaki itu menunduk cukup dalam. "Aduh, aku lagi nyetir ini, Ren! Nanti kalo nabrak gimana?" omel Rendi seraya mengelus hidungnya yang mencium spidometer motor. "Biarin!" Rendi tertawa. Tiba-tiba muncul ide konyol di pikirannya. "Oh, kamu pengen sehidup semati sama aku? Bilang atuh, Ren!" ujarnya sebelum kemudian memperce