"E-eh?" Terbuka lebar mata seorang pria terkejut, secepat terkejut yang ia alami dan perubahan talu jantung, tangan yang menggenggam pun dengan cepat mengempas, "kok lo di sini, Ran?" Bergerak miring sedikit kepala wanita yang memanggil tadi, memandang dua insan di hadapannya kini dengan lekat, "memangnya taman kota buat aturan kalau Kirana Zendaya dilarang datang?" sahut wanita yang akrab disapa Rana itu mengalihkan pandangannya ke pria yang terlihat gugup, "kenapa kamu?" "L-lo kagak tidur? Sudah malam loh ini," tukas pria yang biasa disebut Kal, pria berbadan atletis yang sesekali melihat ke wanita di sebelahnya, namun juga tidak bisa menyembunyikan rasa bingung akan kehadiran wanita di hadapannya. Berkedip pelan Rana sambil mengerucutkan sedikit bibirnya, terangkat kedua bahu mungil Rana dengan senyum kecut menghiasi wajah orientalnya, "entah," jawab Rana singkat kemudian menghela napas. Santai, sangat santai reaksi Rana melihat kedekatan pria berstatus sebagai suaminya itu deng
"Lo balikan lagi sama Fafa?" "Menduakan Rana, oi!" "Buset, lo masih belum dapat kerja lagi, kan? Kok berani tambah perempuan di hidup lo?" "Ya mau gimana lagi, gue masih sayang dia," jawab seorang pria menjawab pertanyaan teman-temannya, "ini juga enggak bisa dibilang menduakan dong, gue enggak suka sama Rana, kagak ada perasaan." "Tapi lo nikahnya sama Rana," ucap pria berambut cepak pendek dengan penuh tekanan, "selingkuh itu enggak melulu tentang lo punya perasaan, kan?" lanjut pria yang biasa disapa Den. "Entah," sahut pria bernama Kalil Nayaka itu penuh rasa abai, "yang jelas buat gue ini bukan selingkuh." "Padahal belum lama ini lo mempermasalahkan perilaku Rana yang bersikap kayak kagak anggap lo sebagai suami," ujar Den teringat obrolan mereka di rumahnya beberapa waktu lalu, "tapi sekarang lo bersikap kayak kagak anggap Rana sebagai istri lo." "Karena ini melibatkan perasaan, yang gue bahas waktu itu tentang bersikap sosial tanpa perasaan. Beda," bantah Kal membu
"Permisi, Pak." Seorang wanita berpakaian formal datang menyapa, tersenyum ramah dengan netra cerah memandang penuh ketenangan."Eh ... i-iya," jawab pria setengah baya tersenyum canggung, matanya tak terlepas dari wanita cantik yang menyapa.Layaknya mendapat keberuntungan besar, matahari yang masih mengintip ragu di antara gelapnya awan, namun mata sudah mendapat pemandangan indah yang meningkatkan suasana hati. Walau begitu, hati yang bersih akan tetap menjaga dirinya dari segala bisikan dan pikiran buruk, tetap mampu mengontrol diri, dan membuat batasan."Mau tanya, Pak." Wanita cantik berwajah oriental itu tersenyum simpul, senyuman sederhana yang kini perlahan menghilang saat raut berganti dengan keseriusan, "bapak pernah antar paket atas nama Kirana Zendaya, enggak?"Terdiam pria itu mengernyitkan dahinya heran, "o-oh itu teman saya, belum datang dia, biasanya agak siangan. Kenapa memang? Paketnya enggak sampai atau gimana? Biar dikasih tahu ke orangnya."Menggeleng pelan wanit
"Titip di sini," pungkas Rana kembali meletakkan kotak paket ke meja resepsionis, berlari ia meninggalkan lobi utama perusahaannya.Mengabaikan berbagai pandangan heran, dan himbauan petugas keamanan. Dalam otak Rana kini hanya tertuju pada pangkalan ojek konvensional dekat kantornya, sampai ia berhenti langkahnya saat melihat ada lima motor berbaris.Terdiam sejenak Rana memandang lima pria yang sedang berjuang mencari nafkah, terlihat santai walau Rana yakin bahwa otak mereka kalut dengan pemasukan. Terkatup rapat bibir wanita karir itu mempertimbangkan segala kemungkinan, apa yang akan terjadi jika bertanya pada mereka? Bisakah langsung mengetahui pengirim hanya dengan bertanya?"Ah sudahlah," tukas si Kepala Humas menggeleng pelan lalu menghampiri lima ojek konvensional itu, "permisi, Pak," sapa Rana tersenyum ramah."Nah ... ini cewek cantik yang gue bilang tadi," pungkas pria paruh baya yang memang Rana tanyakan sebelum masuk kantor, "ini mbak orangnya," tunjuknya pada pria lain
[Flashback / Kilas balik]"Ini apa, Fa?" tanya seorang pria bersetelan celana panjang dan jaket hijau tua, dengan tas selempang yang bersandar di bahu kanannya.Pertanyaan yang diikuti dengan tangan pria muda terulur, seolah menyodorkan ponselnya yang menampilkan laman percakapan dalam bentuk tangkapan layar. Percakapan mesra yang diwarnai dengan berbagai stiker, emotikon, dan panggilan calon suami-calon istri. Sungguh percakapan yang menunjukkan harmonisnya hubungan, bila dimulai dengan jujur dan baik.Tidak ada jawaban atas pertanyaan, hanya raut wajah yang dengan cepat menjadi sendu, mata yang kini sudah berkaca-kaca, hidung memerah, dan bibir yang bergetar. Menunduk begitu dalam wanita berambut lurus sebatas bahu, sunyinya keadaan membuat napas tak beratur dari wanita itu terdengar jelas.Diam tanpa ekspresi, itulah yang pria muda bernama Kalil Nayaka itu lakukan. Seolah tidak lagi peduli pada segala yang dilakukan dan ditunjukkan wanita di hadapannya kini, bergeming meski wanita
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur
Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua. Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab d
"Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa