"Gladis! Kamu di mana?" teriak mas Aditya.
Aku yang sedang memandikan Mutiara, langsung berteriak. "Aku di kamar mandi, Mas!"
Tak kudengar lagi suaranya. Pikirku, dia sedang membersihkan diri dan duduk santai di kamar, karena itulah kebiasaannya selama ini.
Selesai memandikan Mutiara, aku bergegas ke kamar. Mengelap sisa-sisa air yang ada di tubuh mungil anak pertama kami, membalurinya dengan minyak telon dan memberikannya bedak tipis-tipis.
"Mas, kok belum ganti baju? Eh, sekarang 'kan masih sore, tumben sudah pulang!" sapaku, karena melihatnya murung.
"Apa saja yang kamu lakukan tiap hari?" tanyanya tiba-tiba.
"Seperti biasanya, Mas. Membersihkan rumah, mengurus dapur, kasur dan kamar mandi. Yang paling penting anak kita. Terkadang, mbak Sintia menitipkan Bagas di sini. Kenapa, ada yang salah?" tanyaku, ketika melihat tatapan mata Mas Aditya yang tidak suka.
"Kamu itu kucel! Kumel! Dekil! Apanya yang membersihkan rumah? Kamu lihat, mainan berserakan di mana-mana!" Suara Mas Aditya meninggi, sampai-sampai Mutiara menangis karena terkejut.
"Mas, kenapa sih?! Kamu tau enggak, kalau Bagas itu seperti apa, jika di sini?" Suaraku tak kalah tinggi darinya.
"Alah ... Itu hanya alasan saja, 'kan! Uang belanja yang aku kasih, kenapa cepat sekali habis!" Marahnya kian memuncak.
Benar, tadi aku WA mas Aditya, memintanya untuk menambahkan uang belanja. Semenjak Bagas di titipkan di sini, aku tidak bisa berhemat sama sekali. Tapi, yang paling tidak kusangka, respon dari mas Aditya. Marah dan kesal.
"Mas, uang belanja yang kamu kasih hanya dua juta sebulan. Baik akan aku rincikan semua. Tunggu sebentar dan jaga Mutiara."
Aku berjalan menuju meja rias, mengambil kerta dan pulpen. Mulai menuliskan rincian apa saja yang kubeli.
"Kamunya saja yang boros! Mbak Sintia, di kasih suaminya hanya satu juta lima ratus, tapi dia dapat mengurus dirinya sendiri dan keadaan rumah terkendali." Mas Aditya mulai membandingkanku, bukan sekali ini saja. Tapi, sudah kesekian kalinya.
Selesai, aku menulis semua pengeluaran setiap bulannya.
"Mas, silahkan baca!"
Mas Aditya mengambil kertas yang kuulurkan padanya dan aku mengambil alih Mutiara dari pangkuannya. Agar dia bisa leluasa membaca dan mempelajari seberapa banyak pengeluaran kami.
"Sabun mandi ~ 18.000,.
Pasta gigi ~ 10.000,.
Shampoo ~ 18.000,.
Facial wash ~ 35.000,.(hanya milikmu!)
Sabun pencuci piring ~ 12.000,.
Detergen pakaian ~ 20.000,.
Pewangi ~ 15.000,.(hanya untuk pakaianmu!)
Pelicin pakaian ~ 15.000,.(hanya untuk pakaianmu!)
Susu Mutiara ~ 250.000,.
Beras 20 kg ~ 180.000,.
Minyak 2 liter ~ 18.000,.
Gas ~ 25.000,.
Gula 2 kg ~ 20.000,.(hanya untuk membuatkan kopi untukmu!)
Kopi 2 sashet besar ~ 20.000,.
Belanja perhari ~ @20.000 selama 30hari = 600.000,.
Listrik ~ 200.000,.
Air ~ 200.000,.
Iuran RT ~ 60.000,.
Jajan Bagas perhari ~ @10.000 selama 30hari = 300.000,. (Bisa lebih jika, pintu dibiarkan terbuka)
Kemeja dan celana kerjamu ~ 300.000,.
Cicilan rumah ~ SATU JUTA SEMBILAN RATUSAN RIBU.
Membayar uang arisan ibumu ~ SATU JUTA RUPIAH.
"Gladis! Apa yang kamu tulis ini. Tidak mungkin seperti ini!" Mas Aditya menggebrak meja.
Aku yang sudah tiga kali diperlakukannya seperti ini, tidak lagi terkejut. Hanya saja, Mutiara tidak terbiasa.
"Gladis! Suami lagi bicara, hargai!" Lagi-lagi suaranya meninggi.
Aku bingung, ingin mendekatinya namun, Mutiara bagaimana. Dengan langkah seribu, aku menitipkan Mutiara pada tetangga sebelah rumah dan datang kehadapan Mas Aditya.
"Maaf, Mas. Tadi, lagi ngurusin Mutiara," jawabku dengan napas tidak beraturan.
"Kamu punya uang sebanyak ini setiap bulan, dari mana?!" Mata mas Aditya sudah memerah, menahan amarah yang dia mulai.
"Dari kerja, Mas," jawabku lirih.
"Kamu tidak pernah keluar rumah, tapi uang kamu bisa berjuta-juta! Aku yakin jika kamu melakukan pesugihan atau melacur!" ucapnya sinis.
Degh!
Kata-katanya kali ini membuatku sakit, karena melukai hati paling dalam. Namun, aku mendekati dengan senyuman.
"Mas, ingat enggak. Sudah berapa kali aku memohon padamu, agar memberiku uang lebih. Bukannya ditambahi uang belanja, kamu malah menghadiahi pukulan. Jika aku tidak berusaha, kita akan di usir dari rumah ini! Jika aku tidak membayar arisan ibumu, maka aku akan dipisahkan dari anakku. Jika aku tidak mau dititipkan Bagas, maka adik kesayanganmu itu akan menamparku dan tidak segan menghardikku!" jelasku.
Mas Aditya tidak percaya aku berani mengatakan hal itu, dan tidak ada rengekan dariku.
"Ha ... Ha ... Ha ... Kamu hanya bisa memfitnah keluargaku, ibuku sudah mendapatkan jatah dariku setiap bulan dan adikku, dia wanita yang lemah lembut!" Mas Aditya membela keluarganya namun, suaranyalah yang bergetar.
"Mas, sekali-kali kamu keluar dan bertanya pada warga, apakah aku melacur atau melakukan pesugihan! Dan agar matamu bisa terbuka lebar melihat kebenaran!"
Aku melangkah menjauh darinya,
"Berani kamu!" bentaknya. "Jika kamu berani maju selangkah lagi, maka kamu memilih kita untuk berpisah!"
Dengan pasti, kulangkahkan kaki meninggalkan kamar yang menjadi saksi bisu sekian tahun.
"Kamu benar-benar wanita jalang! Aku mentalakmu! Tidak guna wanita sepertimu, aku akan mendapatkan lebih baik darimu!" pekiknya.
Aku kembali ke kamar setelah mengambil tas di ruang sebelah.
"Terimakasih sudah menceraikanku, Mas!" ucapku, aku melewatinya dan menuju lemari pakaian.
Ku lihat dia dari sudut ekor mataku, terlihat gelisah dan ragu.
"Benar kata Sintia, kamu tidak pantas di jadikan istri! Perempuan sundal! Aku mentalakmu untuk yang kedua kalinya!"
Rasa hatiku sudah remuk tak bersisa, mendengar ocehannya yang tidak berguna.
"Kamu benar-benar mau pergi, hah! Kamu ku talak untuk ketiga kalinya! Enyah dari rumahku!" bentak Mas Aditya, kemudian dia pergi. Aku tau dia akan ke mana, biarlah.
Setelah kukemas semua barang milikku, sebenarnya ingin meninggalkan sebuah rekaman untuk mas Aditya, agar matanya terbuka. Tapi, kuurungkan. Mengingat tabiatnya yang tidak peduli pada barang-barang miliknya.
Sekali lagi, kupandangi rumah berukuran 54 meter itu. Kenangan manis dan pahit bercampur menjadi satu namun, kini harus kututup rapat semuanya. Tidak ingin lagi masuk ke lubang yang membahayakan jiwa ragaku dan Mutiara.
Langkahku mantap, seperti keputusan saat ini. Begitu keluar dari pagar rumah, keributan terjadi di ujung gang. Kulihat, mas Aditya ingin meraih Mutiara yang menangis. Bergegas menghampiri mereka,
"Sini, Nak." Tanganku terulur ke arah Mutiara.
Balita itu menyambutku dengan gembira meski tersisa tangisan. Sebagian warga berkumpul dan mendapat tontonan gratis dari aksi brutal mas Aditya, aku berusaha untuk mengalah terlebih dulu.
"Dasar pel*cur murahan! Aku yakin dia bukan anakku!" hardik Mas Aditya, membuatku meradang.
Plak!
"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara pak RT menghentikan tangan mas Aditya yang siap melayang ke arahku."Pel*cur murahan ini pak RT!" Tunjuk mas Aditya.Mata pak RT membulat ketika mas Aditya menghardikku. Seakan-akan tidak percaya dengan ucapan yang di lontarkan oleh lelaki yang terlihat alim dan bersahaja ini."Masalah keluarga, baiknya dibicarakan baik-baik di rumah!" pinta Pak RT."Dia--,""Saya bukan istrinya lagi pak RT! Dia telah mentalak saya sebanyak tiga kali dan itu sudah cukup menjauhkan saya darinya!" ucapku, mendahului lelaki yang terlihat frustasi.Mas Aditya menarikku, mengajakku pulang dan memohon maaf atas ke khilafnya."Mas, maaf kamu bukan lagi suamiku dan kamu haram menyentuhku. Bahkan kita tidak bisa rujuk lagi!" ujarku, kesal namun bibirku tersenyum bangga."Tidak! Ucapan itu keluar karena kamu yang memancingku. Sebaiknya kita pulang, dan maafkan aku."
Tamparan itu cukup keras mengenai pipiku, panas dan perih sangat terasa. Seketika, Mutiara menangis. Terkejut oleh makian Sintia, saat tengah terlelap. "Maksud kamu apa, Mbak!" Aku berdiri dan menaikkan daguku. "Dasar pel*cur mur*han! Ketahuan selingkuh malah dia yang ngegas!" tuduhnya. "Jangan nuduh orang sembarangan, ya. Apa ada buktinya aku selingkuh?" Amarahku mulai terpancing. Tawa Sintia menyayat hatiku, untuk yang kesekian puluh kalinya. Dulu, aku diam karena ada bayi yang harus aku lindungi, tapi sekarang tidak! Wanita berhati ular itu menunjukan rekamanku dan mas Kelvin, sejak datang hingga selesai makan. "Ini bukti kami selingkuh?" tanyaku dengan senyum sinis. "Kamu lupa, ada penjual dan pembeli lain yang bisa ku mintai menjadi saksi!" Sintia diam dan menatapku kesal. "Segala usahaku tidak akan sia-sia!" ujarnya, lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Apa maksud dari ucapannya, ya! Sudahlah. Lebih baik memikirkan, aku harus apa besok dan seterusnya. Tidak mungk
Cukup dibuat bergidik dengan kelakuan Mas Kelvin. Selama aku mengenalnya bertahun-tahun, dia tidak pernah kasar tehadap wanita. Jangankan bertindak kasar, berbicara pun hanya seperlunya. Dia bekerja keras hingga kini semua yang dia impikan berhasil. "Kamu, pasti teman istimewanya Kelvin!" seru wanita itu membuyarkan lamunan, aku hanya menatapnya dengan pandangan bingung. "Kenalkan aku Rebecca, panggil saja Ecca. Aku adalah tante kedua Kelvin, pekerjaanku corat-coret kertas, seperti ini." Tante Ecca memperkenalkan dirinya, dengan disertai tawa ramah dan menunjukkan apa yang ada di tangannya. "Iya, Tan. Saya--," ucapku, tapi terputus. "Kelvin sudah sering menceritakan tentangmu padaku. Aku adalah ibu kedua baginya. Kami cukup dekat, tapi tetap berjarak." Tante Ecca meremas kertas yang dia genggam, dan melemparnya ke tempat sampah. Aku merasa ada hal yang mengganjal dari kata-katanya, tapi tidak kubiarkan terlontar begitu saja. Dia menatapku dan mengelus pipiku pelan. "Kamu harus b
"Mau ngapain, Mas?" tanyaku polos. Ya, selama menikah dengan Mas Aditya, aku tidak pernah memikirkan penampilan. Bagaimana mau mempercantik diri, Mutiara dan Bagas memerlukan perhatianku. Ditambah pekerjaan online, yang harus selalu kupantau. "Tubuhmu sudah mulai melebar! Tidak ada yang menarik!" Lagi-lagi, ucapan Mas Kelvin sangat menyebalkan, tapi ada benarnya. Mungkin karena tubuhku sudah tidak menarik lagi, Mas Aditya selalu menghindariku. Tapi, bukankah menikah, tidak hanya bentuk tubuh saja. Jika semua terpenuhi, aku yakin semua wanita akan berdandan dengan cantik. Tante Ecca mengulurkan sebuah buku dan aku mengambilnya. "Ini buku catatan untukmu. Tante tau kamu suka menggambar, bakatmu harus di asah. Ini buku untuk dirimu diet, ikuti anjurannya. Buku ini untuk menulis setiap pengeluaran yang kamu pakai saat bersama suamimu, catat dengan teliti. Ini buku untuk menghitung pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan selama menjadi istrinya." Dahiku mengernyit, mulut menganga kare
"Kamu masih tidak mau merubah hidup kamu! Kamu masih tidak semangat! Kamu masih mau terus di hina!" Kekesalan tante Ecca membuatku terpuruk, setelah kami pulang. Bukan aku tidak ingin membalas perlakuan mereka, tapi aku harus memikirkan cara bagaimana caranya mengambil hakku dan hak Mutiara. Usaha yang di bangun oleh Mas Aditya dan keluarganya adalah usaha milikku yang di ambil alih oleh mereka, awalnya mereka mengatakan jika hanya ingin memperluas usahaku, tapi tidak pernah mereka kembalikan. Jangankan dikembalikan, lihat hasil dari usahaku saja tidak pernah. Acapkali kutanya tentang usaha, mereka selalu saja menemukan alasan untuk menghindar dan selalu memojokkanku. Mengatakan jika aku perhitungan dan pelit terhadap keluarganya sendiri. Sejak itu, aku tidak lagi bertanya. Namun, setelah berpisah. Aku harus mengambil alih. Untung saja, semua aset masih atas namaku, begitu pula rumah yang di tempati oleh Mas Aditya. Rumah di mana aku yang dia usir. "Kenapa kamu diam!" bentak tan
Beberapa alat sadap dan pelacak di kumpulkan jadi satu di atas meja. Semua dari dalam tasku yang tidak cukup besar. Tentu saja membuatku terperangah, untuk apa mereka melakukan hal ini! "Untuk apa mereka melakukan ini?" tanyaku pada dua orang yang masih menatap tumpukan yang ada di atas meja. "Kamu bawa semua surat penting?" tanya tante Ecca. Aku mengangguk, dan tante memintaku untuk mengambilnya. Segera kubongkar tas yang kugunakan untuk membawa baju-baju milikku dan Mutiara. Dan mengambil tumpukan map, yang masih rapi. "Ini, tan." Kuletakkan map-map itu kehadapan tante Ecca. "Kamu yakin, tidak ada yang tertinggal?" Tante Ecca bertanya untuk memastikan. "Enggak ada, tan." jawabku pasti. "Baik, tante cek semuanya. Kamu fokus pada diri kamu dan Mutiara, setelah mumpuni tante akan memperlihatkan yang mereka tutupi selama ini!" ucapan tante membuatku bertanya-tanya. "Sekarang, istirahatlah." pintanya kemudian. Mas Kelvin duduk di sofa, dengan menahan kantuk yang sangat. Mem
Saat aku terbangun, tubuhku sangat sakit di beberapa bagian. Namun, yang paling terasa ada di bagian wajah. Perih, sakit dan panas, seperti luka bakar. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Tidak ada kejadian yang fatal, hanya tabrakan kecil. Mengapa lukaku sebanyak ini! 'Mas Kelvin dan Mutiara?!' gumamku. Aku mencoba menggerakkan tubuhku yang terasa kaku. "Jangan menggerakkan tubuhmu secara langsung!" tegur seseorang. Aku dapat melihat bayangannya, tapi terhalang oleh penutup yang ada di wajahku. "Maaf, dengan siapa? tanyaku. Suara sepatu pantofel atau sepatu hak tinggi terdengar nyaring di ruangan ini. Dari aromanya pun, ini bukanlah rumah sakit. Lalu, keadaan kembali hening. Aku mencoba memahami situasi, takut jika dia hanya ingin menyiksaku. **** Tiga hari berlalu, wanita itu datang lagi ke hadapanku. " Kelihatannya, kamu sudah baikan!" sindir wanita itu. "Ini di mana?" tanyaku, tidak ingin menanggapi komentarnya. Suara wanita itu tidak lagi terdengar,
Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Menyapu pandangan ke sekitar ruangan. "Ibu, siapa?" tanyaku penasaran. "Aku yang akan mengubah duniamu!" ketusnya. "Anakku ke mana, Bu?" Air di dalam kelopak mataku tidak dapat lagi kusembunyikan, mengalir tanpa bisa kutahan. "Jangan panggil ibu! Panggil saya tante Rose. Kamu jangan--" ucapnya terhenti ketika aku menyeka airmataku, yang mengalir bebas. Pipiku terasa aneh, berkerut dan terasa kasar. Kemudian aku meraba seluruh wajahku. "Ke--kenapa ini? Ada apa dengan wajahku?!" teriakku. "Cermin, ya, cermin di mana?" Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh dan beringsut dari ranjang. "Di mana? Di manaa?!" pekikku. Berjalan, tidak tentu arah. Mencari cermin untuk melihat ada apa denganku. "Tidak ada cermin di sini!" tegas wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Rose. Tangis dan teriakanku menjadi satu, menggema di ruangan ini. Sementara itu, tante Rose hanya duduk memandang ke arahku dengan pandangan yang tida