Tamparan itu cukup keras mengenai pipiku, panas dan perih sangat terasa. Seketika, Mutiara menangis. Terkejut oleh makian Sintia, saat tengah terlelap.
"Maksud kamu apa, Mbak!" Aku berdiri dan menaikkan daguku.
"Dasar pel*cur mur*han! Ketahuan selingkuh malah dia yang ngegas!" tuduhnya.
"Jangan nuduh orang sembarangan, ya. Apa ada buktinya aku selingkuh?" Amarahku mulai terpancing.
Tawa Sintia menyayat hatiku, untuk yang kesekian puluh kalinya. Dulu, aku diam karena ada bayi yang harus aku lindungi, tapi sekarang tidak!
Wanita berhati ular itu menunjukan rekamanku dan mas Kelvin, sejak datang hingga selesai makan.
"Ini bukti kami selingkuh?" tanyaku dengan senyum sinis. "Kamu lupa, ada penjual dan pembeli lain yang bisa ku mintai menjadi saksi!" Sintia diam dan menatapku kesal.
"Segala usahaku tidak akan sia-sia!" ujarnya, lalu pergi begitu saja dari hadapanku.
Apa maksud dari ucapannya, ya! Sudahlah. Lebih baik memikirkan, aku harus apa besok dan seterusnya. Tidak mungkin aku bergantung pada orang lain.
"Ayo, Dis!" ajak mas Kelvin.
Aku segera mengikuti langkahnya setelah membayar makanan yang telah kami santap hingga tandas.
"Aku antar ke hotel terdekat atau kamu mau tinggal di apartementku yang kosong?" tawar Kelvin.
"Ke hotel saja!" ujarku.
Kelvin tidak lagi mengeluarkan suara, dia fokus pada setirnya. Kami diam, hingga Kelvin menghentikan mobilnya dan memarkirkan di halaman hotel.
"Mas, jangan keluar! Silakan pulang, aku takut akan timbul fitnah lagi! Terimakasih atas tumpangannya." Aku sedikit memohon padanya.
Aku membuka pintu mobil, lalu mengambil tasku Yang di simpan Kelvin di jok belakang. Kemudian berlalu, meninggalkan mas Kelvin yang memandangiku.
"Permisi, Mas." Sapaku pada pegawai hotel.
"Ada yang bisa kami bantu, Bu." balas pegawai itu dengan senyum sapa ramah.
Aku menanyakan apakah ada kamar kosong untuk kami, mengingat ini hari libur dan daerahku dekat dengan tempat wisata. Benar saja dugaanku, hotel ini sudah penuh. Kemana aku harus menginap untuk malam ini!
Langkahku kembali gontai ketika keluar dari hotel, menyusuri jalan yang makin sepi. Beginilah nasib istri yang terkekang dan di batasi pertemanannya. Saat kesulitan seperti ini, maka tidak ada tempat untuk sekedar berkeluh kesah.
Tiiiin!
Tiiiin!
Suara klakson mobil menghentikan langkahku. Ingin sekali aku memaki si pengendara namun, setelah melihatnya aku diam terpaku.
"Kamu sedang bertengkar dengan Aditya?" tanyanya.
"Hmmm,"
"Lebih baik pulang, tidak aman berjalan diluar seperti ini!" ujarnya.
"Pulanglah! Jangan menambah bebanku! Jika Sintia melihatmu dekat denganku, maka bisa di pastikan dia akan semakin menghinaku!" usirku.
Lelaki di depanku ini adalah suami dari Sintia dan entah kebetulan, yang tidak di sengaja dia adalah kekasihku sebelum aku menikah dengan mas Aditya. Awalnya, Amar tidak mengakui jika Sintia telah hamil dengannya.
Sintia memang hamil sebelum menikah, membuat keluarganya marah besar dan mencari lelaki yang di sebutkan oleh Sintia. Kejadian ini, tepat terjadi di hari pernikahaku dan mas Aditya. Pernikahan mereka pun terjadi beberapa jam setelah mas Aditya mengucapkan ijab qobul.
Sedangkan pernikahanku dan mas Aditya, terjadi karena salah faham. Namun, lama kelamaan kami jatuh cinta ketika sering berjumpa dalam satu rumah. Semua seperti berbalik seratus delapan puluh derajat saat aku mengandung anak kami. Mertua, ipar dan suamiku berubah seperti mencurigaiku, entah karena hal apa. Mereka tidak pernah mengatakannya padaku.
Berbeda dengan Sintia yang melahirkan di usia pernikahannya yang ke empat bulan. Dirinya semakin di sayang dan di manja oleh keluarganya, bahkan mereka tidak segan-segan menyingkirkanku ketika sedang makan besar dan enak.
"Maafkan aku, semua salahku!" Dia menggamit tanganku dan mencoba menciumnya, dengan cepat aku menepisnya.
"Maksud kamu apa?!"
"Saat aku tau kamu hamil, aku langsung memaksa Sintia melakukannya. Aku suami yang memperkosa istrinya sendiri, sedari awal aku sudah mencoba menjauhimu. Namun, saat pelepasan pertamaku, namamu yang kupanggil dan kuingat." terangnya.
Mendengar hal itu, sontak membuat jantungku berdebar kencang, mataku membeliak. Rasanya, ingin kukutuk lelaki di depanku ini. Wajar saja jika Sintia mengamuk padaku, meski dengan cara yang elegan.
"Pertama kali?! Lalu, Bagas itu siapa kamu!" tanyaku dengan nada sinis.
"Sudah sejak awal aku membantahnya, karena memang aku tidak pernah melakukannya! Hanya karena mendengar kamu hamil aku frustasi dan melampiaskannya pada Sintia!"
"Gila kamu!" makiku.
Aku langsung ambil langkah seribu, meninggalkan dia. Beberapa kali hampir tertabrak kendaraan yang melintas, karena mengambil jalan yang berbeda arah dengan kendaraan yang melaju.
Di ujung sana, Amar meneriaki namaku berulang kali. 'Persetan dengan laki-laki, mereka sama saja!' makiku.
"Eh! Lepas!" teriakku, ketika seseorang menggamit lenganku paksa.
"Kamu ini, selalu begini. Ini sudah malam, kamu enggak kasian melihat anakmu? Tubuhmu tidak lelah ke sana ke mari?" bentak lelaki yang ternyata Mas Kelvin.
Aku tertegun, tidak pernah kudengar suara meninggi darinya. Ini kali pertama, dan itu membuat luka tersendiri.
"Ikut!" Mas Kelvin menarik tanganku dengan kuat dan aku mengikuti langkahnya.
Dari pada aku malu di tengah jalan, lebih baik aku mengalah. Setidaknya, dapat mencari tempat menginap malam ini. Agar besok bisa mencari tempat tinggal yang layak untukku dan Mutiara.
"Tinggallah di apartementku!" ucapnya dingin.
Mas Kelvin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tapi cepat jika jalanan terlihat lengang.
Di lobi apartement, ada beberapa orang yang menatapku curiga, akan tetapi tersenyum ramah pada Mas Kelvin. Mungkin karena Mas Kelvin yang membawa tasku, dan aku datang ke tempat ini malam hari.
"Ini istrinya, Pak?" tanya seorang gadis dengan pakaian seksi dan jarinya menjepit sebatang rokok. Tangan yang satunya menyentuh dada mas Kelvin dengan gerakan melambai.
"Jangan berani-beraninya menyentuhku!" Mas Kelvin memelintir tangan gadis itu hingga terdengar pekikan.
Ceklek!
Pintu terbuka dan keluar seorang wanita paruh baya yang modis.
"Pastikan dia aman!"
Cukup dibuat bergidik dengan kelakuan Mas Kelvin. Selama aku mengenalnya bertahun-tahun, dia tidak pernah kasar tehadap wanita. Jangankan bertindak kasar, berbicara pun hanya seperlunya. Dia bekerja keras hingga kini semua yang dia impikan berhasil. "Kamu, pasti teman istimewanya Kelvin!" seru wanita itu membuyarkan lamunan, aku hanya menatapnya dengan pandangan bingung. "Kenalkan aku Rebecca, panggil saja Ecca. Aku adalah tante kedua Kelvin, pekerjaanku corat-coret kertas, seperti ini." Tante Ecca memperkenalkan dirinya, dengan disertai tawa ramah dan menunjukkan apa yang ada di tangannya. "Iya, Tan. Saya--," ucapku, tapi terputus. "Kelvin sudah sering menceritakan tentangmu padaku. Aku adalah ibu kedua baginya. Kami cukup dekat, tapi tetap berjarak." Tante Ecca meremas kertas yang dia genggam, dan melemparnya ke tempat sampah. Aku merasa ada hal yang mengganjal dari kata-katanya, tapi tidak kubiarkan terlontar begitu saja. Dia menatapku dan mengelus pipiku pelan. "Kamu harus b
"Mau ngapain, Mas?" tanyaku polos. Ya, selama menikah dengan Mas Aditya, aku tidak pernah memikirkan penampilan. Bagaimana mau mempercantik diri, Mutiara dan Bagas memerlukan perhatianku. Ditambah pekerjaan online, yang harus selalu kupantau. "Tubuhmu sudah mulai melebar! Tidak ada yang menarik!" Lagi-lagi, ucapan Mas Kelvin sangat menyebalkan, tapi ada benarnya. Mungkin karena tubuhku sudah tidak menarik lagi, Mas Aditya selalu menghindariku. Tapi, bukankah menikah, tidak hanya bentuk tubuh saja. Jika semua terpenuhi, aku yakin semua wanita akan berdandan dengan cantik. Tante Ecca mengulurkan sebuah buku dan aku mengambilnya. "Ini buku catatan untukmu. Tante tau kamu suka menggambar, bakatmu harus di asah. Ini buku untuk dirimu diet, ikuti anjurannya. Buku ini untuk menulis setiap pengeluaran yang kamu pakai saat bersama suamimu, catat dengan teliti. Ini buku untuk menghitung pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan selama menjadi istrinya." Dahiku mengernyit, mulut menganga kare
"Kamu masih tidak mau merubah hidup kamu! Kamu masih tidak semangat! Kamu masih mau terus di hina!" Kekesalan tante Ecca membuatku terpuruk, setelah kami pulang. Bukan aku tidak ingin membalas perlakuan mereka, tapi aku harus memikirkan cara bagaimana caranya mengambil hakku dan hak Mutiara. Usaha yang di bangun oleh Mas Aditya dan keluarganya adalah usaha milikku yang di ambil alih oleh mereka, awalnya mereka mengatakan jika hanya ingin memperluas usahaku, tapi tidak pernah mereka kembalikan. Jangankan dikembalikan, lihat hasil dari usahaku saja tidak pernah. Acapkali kutanya tentang usaha, mereka selalu saja menemukan alasan untuk menghindar dan selalu memojokkanku. Mengatakan jika aku perhitungan dan pelit terhadap keluarganya sendiri. Sejak itu, aku tidak lagi bertanya. Namun, setelah berpisah. Aku harus mengambil alih. Untung saja, semua aset masih atas namaku, begitu pula rumah yang di tempati oleh Mas Aditya. Rumah di mana aku yang dia usir. "Kenapa kamu diam!" bentak tan
Beberapa alat sadap dan pelacak di kumpulkan jadi satu di atas meja. Semua dari dalam tasku yang tidak cukup besar. Tentu saja membuatku terperangah, untuk apa mereka melakukan hal ini! "Untuk apa mereka melakukan ini?" tanyaku pada dua orang yang masih menatap tumpukan yang ada di atas meja. "Kamu bawa semua surat penting?" tanya tante Ecca. Aku mengangguk, dan tante memintaku untuk mengambilnya. Segera kubongkar tas yang kugunakan untuk membawa baju-baju milikku dan Mutiara. Dan mengambil tumpukan map, yang masih rapi. "Ini, tan." Kuletakkan map-map itu kehadapan tante Ecca. "Kamu yakin, tidak ada yang tertinggal?" Tante Ecca bertanya untuk memastikan. "Enggak ada, tan." jawabku pasti. "Baik, tante cek semuanya. Kamu fokus pada diri kamu dan Mutiara, setelah mumpuni tante akan memperlihatkan yang mereka tutupi selama ini!" ucapan tante membuatku bertanya-tanya. "Sekarang, istirahatlah." pintanya kemudian. Mas Kelvin duduk di sofa, dengan menahan kantuk yang sangat. Mem
Saat aku terbangun, tubuhku sangat sakit di beberapa bagian. Namun, yang paling terasa ada di bagian wajah. Perih, sakit dan panas, seperti luka bakar. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Tidak ada kejadian yang fatal, hanya tabrakan kecil. Mengapa lukaku sebanyak ini! 'Mas Kelvin dan Mutiara?!' gumamku. Aku mencoba menggerakkan tubuhku yang terasa kaku. "Jangan menggerakkan tubuhmu secara langsung!" tegur seseorang. Aku dapat melihat bayangannya, tapi terhalang oleh penutup yang ada di wajahku. "Maaf, dengan siapa? tanyaku. Suara sepatu pantofel atau sepatu hak tinggi terdengar nyaring di ruangan ini. Dari aromanya pun, ini bukanlah rumah sakit. Lalu, keadaan kembali hening. Aku mencoba memahami situasi, takut jika dia hanya ingin menyiksaku. **** Tiga hari berlalu, wanita itu datang lagi ke hadapanku. " Kelihatannya, kamu sudah baikan!" sindir wanita itu. "Ini di mana?" tanyaku, tidak ingin menanggapi komentarnya. Suara wanita itu tidak lagi terdengar,
Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Menyapu pandangan ke sekitar ruangan. "Ibu, siapa?" tanyaku penasaran. "Aku yang akan mengubah duniamu!" ketusnya. "Anakku ke mana, Bu?" Air di dalam kelopak mataku tidak dapat lagi kusembunyikan, mengalir tanpa bisa kutahan. "Jangan panggil ibu! Panggil saya tante Rose. Kamu jangan--" ucapnya terhenti ketika aku menyeka airmataku, yang mengalir bebas. Pipiku terasa aneh, berkerut dan terasa kasar. Kemudian aku meraba seluruh wajahku. "Ke--kenapa ini? Ada apa dengan wajahku?!" teriakku. "Cermin, ya, cermin di mana?" Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh dan beringsut dari ranjang. "Di mana? Di manaa?!" pekikku. Berjalan, tidak tentu arah. Mencari cermin untuk melihat ada apa denganku. "Tidak ada cermin di sini!" tegas wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Rose. Tangis dan teriakanku menjadi satu, menggema di ruangan ini. Sementara itu, tante Rose hanya duduk memandang ke arahku dengan pandangan yang tida
Selesai membersihkan diri dan berpakaian, serta memasang masker di wajahku untuk menutupi luka bakar. Tante mengajakku menaiki mobilnya. Mataku menyapu seluruh area ini, sudah di pastikan jika ini adalah apartement. Tapi, aku tidak tau ini di mana. Perjalanan cukup jauh, membuat tubuhku lemas. Dikarenakan duduk terlalu lama. Ketika, melihat sebuah taman di balik jendela mobil, anganku melayang ke masa lalu. Di mana aku ingin sekali berhenti sejenak di sana, menghirup udara bebas. Udara yang berasal dari banyaknya pepohonan. Namun, mas Aditya enggan menemaniku dan memilih bekerja. Sekarang aku tau, bukan bekerja tujuannya saat itu. Akan tetapi wanita yang tengah hamil muda itu. Jika aku tahu sejak awal, akan ku beri r*cun, mas Aditya. Suami yang tidak tau di untung itu. Terlebih mertuaku, yang selalu meludahi makanan yang kumasak dengan cinta. Begitu juga iparku yang sempurna, Sintia. "Ayo kita turun." Tante Rose memegang pundakku, membuat lamunanku buyar. Suster dan tante memba
"Kita turun sekarang," ajak Tante Rose. "Ini kuburan! Untuk apa kita ke sini?" tanyaku bingung. Sepertinya, sudah kebiasaan mereka. Selalu mengabaikan, jika aku bertanya di situasi yang genting. Tante segera turun di ikuti suster yang menemani kami sejak tadi. Kemudian, mereka mengambil kursi roda. Lalu, memintaku untuk segera duduk. Mata tante berair dan merah, begitu juga dengan hidungnya. Mirip dengan orang yang sedang menahan tangisannya. "Halo, kamu masih di makam?" "-----------" "Gue langsung ke sana!" Tante menutup panggilannya, aku tidak dapat melihat apapun yang di kerjakan tante di belakangku. Padahal, tante bisa berjalan di sampingku. "Menangislah sepuasnya, lalu tinggalkan dirimu di sini. Kemudian berubah menjadi yang lebih baik." ujar tante Rose dengan suara tercekat. Kursi roda terus di dorong, cukup jauh ternyata hanya untuk bertemu dengan tante Rebecca. "Kenapa harus di kuburan, sih?" keluhku, "Oh, ya, tante belum mengajakku untuk bertemu anakku. Aku
"Nanti, kalau Mutiara sudah besar, pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga bisa tahu sebab akibat, serta tahu hubungan apa yang harus di jaga." Mas Kelvin tidak hentinya memberi nasehat pada putri kecilku, dari balik kemudinya. "Kamu maukan membantu papa Kelvin untuk merawat Papa Aditya?" tanya Mas Kelvin kemudian. Terdengar helaan napasnya lirih, dan mulutnya terkatup rapat. Aku hanya bisa memandanginya, tanpa ikut memberi nasehat padanya. "Mama maafin Papa Aditya?" tanya Mutiara dengan menatap mataku. "Mama sudah lama memaafkannya, Nak. Semakin ingin mama membencinya, maka kehidupan mama terasa hampa. Setelah mama mengikhlaskannya, semua mulai membaik. Percaya dengan mama, kamu akan mengerti dan tumbuh menjadi anak yang kuat!" ucapku dengan senyuman, aku tidak tahu, apakah Mutiara mengerti atau tidak dengan apa yang aku ucapkan. Mutiara tidak menanggapi perkataanku dan memilih menatap keluar jendela, saat aku ingin berkata lagi, Mas Kelvin mencegahku. Kami terus men
Mas Kelvin memintaku untuk bertemu dangan mama dan papa, untuk melanjutkan pembicaraan mengenai pernikahan ini. Meskipun awalnya aku ragu padanya, tapi kini aku memantapkan diri untuk membina rumah tangga kembali. Kegagalan akan aku jadikan sebagai pelajaran berharga, dalam kehidupanku esok dan aku pun harus mengikuti jejak Mas Kelvin, merubah menjadi pribadi yang lebih baik. *** Hari pernikahan sudah dekat dan Mas Kelvin makin rajin memperdalam ilmu agamanya, dia mengatakan ingin menjadi imam yang baik bagiku dan Mutiara. Aku pun hanya bisa berpasrah pada Tuhan untuk kehidupanku selanjutnya. "Ma, nanti aku mau pakai baju yang ada di satu toko," ujar Mutiara, saat kami dalam perjalanan membeli kebutuhanku. "Baju apa, sayang?" tanyaku, dan Mutiara mengatakan , jika dia pernah melihat baju yang dipajang di toko dan memintaku untuk membelinya. "Kita buat saja!" tawarku, tapi Mutiara tetap kukuh pada keinginannya dan aku pun menyetujuinya. Kami meminta Mas Kelvin untuk mengantarkan p
Aku melepas kepergian Mas Kelvin dengan perasaan tidak menentu, takut jika Mas Kelvin ditolak oleh anak semata wayangku. Meski pun, dulu dia bilang sangat bahagia kalau Mas Kelvin menikah denganku. "Sudah, perbanyak doa saja!" ujar mama Rini mengejutkanku. Mama dan mama Rini terlihat akur, sepertinya mereka semakin lengket setelah lama terpisah dan juga karena kehilangan orang yang mereka cintai. Aku ke kamar, memilih bekerja meskipun hanya bisa melalui online Memeriksa laporan yang diberikan oleh Anis dan suaminya, kemudian menggambar sketsa. Menunggu Mas Kelvin dan Mutiara datang dengan menyibukkan diri. "Ma, mama!" Suara Mutiara menggema di telingaku. Sepertinya aku ketiduran, karena terlalu bosan. Mencoba menyeimbangkan tubuh dan menggeliat, kemudian menyapa putri kecilku yang sudah berdiri manis di depanku. "Mutiara boleh bicara dengan mama?" tanyanya, yang membuat hatiku tergelitik. Aku mengangguk, dan tersenyum padanya. mengusap kepalanya dengan lembut. "Anak mama mau bic
"Nak, kamu percaya dengan Allah yang menciptakan manusiakan?" tanyaku dan di jawab dengan anggukan olehnya. "Kamu tahu mutiara itu berasal dari mana?" tanyaku lagi. Mutiara diam, dia sepertinya sedang berpikir. Kemudaian dia menatapku lekat, kulihat matanya berkaca-kaca dan tidak lama dia memelukku erat. "Mama harap, kamu sudah mulai mengerti meski usiamu seharusnya belum memikirkan hal itu." Dengan lirih aku berbicara padanya. "Mah, kenapa papa jadi orang yang jahat dan enggak mau dengan aku?" tanya Mutiara dengan terisak. "Semua kuasa Tuhan, Nak. Kita manusia hanya bisa menjalankannya saja dan perbanyak doa, semoga semua akan baik-baik saja. Aku menceritakan ulang bagaimana kisah nabi Muhammad, yang tidak disukai orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. "Tapi, kan orang tuanya bahagia atas kelahirannya, tidak denganku," jawab Mutiara. "Tapi nabi bersabar dengan semua yang terjadi padanya, itu hal yang penting, Nak." balasku dengan memeluk tubuh mungilnya. Mutiara
Mutiara makin histeris, saat Mas Aditya terus berusaha mendekatinya. Membuat Om Alex menarik Mas Aditya keluar hingga ke jalan. Meski menolak, tenaga Mas Aditya tidak sebanding dengan Om Alex. Baru sekarang aku menyesal, kenapa aku tidak memberitahu Om Alex dulu. Mungkin, jika aku dulu mengabarkan perihal pengusiran Mas Aditya, aku tidak akan di posisi sekarang ini. Kupeluk Mutiara dengan erat, isakannya mengiris hatiku. Semua salahku, yang membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Aku yang tidak tuntas membalaskan dendam, aku yang masih memakai hati saat ingin menghancurkan Mas Aditya. Mas Kelvin memintaku untuk membawa Mutiara masuk ke dalam, dan menenangkannya di kamar. Dia juga yang memberiku kekuatan, agar Mutiara ada tempat bersandar. "Mutiara tunggu om di dalam, ya, om mau ngobrol dulu dengan papa Mutiara," ujar Mas Kelvin yang jongkok, untuk setara dengan Mutiara. "Om, dia bukan papaku," bantah Mutiara dengan suara keras dan mas Kelvin hanya mengangguk saja, sambil me
Hampir saja, aku terjungkal karena eratnya pegangan tangan Mas Aditya. Untung saja, Mas Kelvin menarik tanganku, setelah dia mendorong Mas Aditya menjauh. "Kamu enggak apa-apa?" tanya Mas Kelvin, memastikan kondisiku. Aku mengangguk, tanda baik-baik saja. Mas Kelvin kembali ke Mas Aditya dan memberikan laki-laki itu ultimatum. "Jika sekali lagi kamu mengganggu Gladis, maka kakimu akan patah. Akan aku pastikan itu!" ucapnya lantang. Mas Aditya ingin berdiri, tapi dicegah oleh Om Alex. "Pergunakan uangmu bukan untuk hal seperti ini. Bangunlah kepercayaan dirimu dan perbaiki hidupmu yang hancur, atau kamu akan semakin hancur dan tidak lagi memiliki apapun!" imbuh Om Alex dengan suara lembut. Semua orang di sekitarku memiliki sikap yang lemah lembut, meski telah disakiti. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, walau awalnya keinginan membalas dendam sangat menggebu. Bisa sirna begitu saja, jika ada pengganti orang yang bisa mendampingi. "Mas pergilah, jika kamu sudah berubah baik
Om Alex datang dengan wajah merah padam, aku tidak tau, jika dia kan kembali ke sini. Dia mendekati Mas Aditya dan menarik kerah bajunya."Sudah kukatakan sejak awal kamu menikah! Jangan pernah sia-siakan, Gladis dan Mutiara. Kamu malah menjadikannya pembantu dan selingkuh darinya. Maumu apa?" Terlihat Mas Aditya kesulitan bernapas.Orang suruhan Mas Aditya mencoba membantu bosnya itu, tapi dengan sekali tatapan tajam Om Alex, mereka kembali menjauh. Om Alex kembali menatap tajam Mas Aditya, yang mulai berkeringat, Mas Aditya tahu betul siapa lelaki yang ada di depannya. "Saya hanya ingin Gladis kembali ke saya, Om. Bukan ingin menyakitinya," ujar Mas Aditya tergagap.Satu tamparan mendarat di wajahnya dan cukup membuat Mas Aditya meringis menahan rasa sakit. Sepertinya, Om Alex makin mengencangkan genggaman tangannya di kerah baju Mas Adity, terlihat dari wajah lelaki yang pernah membersamaiku itu. Dia makin meringis dan kesulitan bernapas."Om, jangan sampai dia mat*!" pintaku.Aku
Mas Kelvin memintaku dan Mama Rini untuk diam di sini saja, dan dia yang akan melihat ada apa di depan. Namun, rasa penasaranku tiba-tiba muncul. Entah siapa yang berteriak di luar sana. "Apa Mas Aditya!" gumamku seketika. Aku takut, mama Rini syok mengetahui tentang kedatangan lelaki brengsek, yang sebentar tobat, sebentar kumat. "Mama mau istirahat di kamar?" tanyaku, sebenarnya aku mengharapkan mama Rini segera ke kamar. "Iya," Seketika aku merasa lega. Aku memapah Mama Rini untuk masuk ke kamarnya dan langsung bergegas ke depan. Di sana suara riuh sudah mulai terdengar. Yang paling sesak, Mutiara melihat dari balik jemdela. "Nak, Oma Rini temani, ya, kasihan," pintaku dengan menepuk pundaknya. Mutiara tersentak, saat aku memergokinya, kemudia langsung menuju ke kamar mama Rini. 'Maaf, Nak. Belum waktunya kamu mengetahui permasasalahan orang dewasa.' Benar dugaanku, Mas Aditya yang sedang membuat runyam, entah apa mau laki-laki itu. Padahal, dia sudah berjanji, tidak akan m
Mama Rini duduk diantara aku dan Mas Kelvin, memegang tangan kami berdua dalam gengaman tangannya. "Mama tidak akan mungkin merelakanmu dengan siapapun, tapi mama harus sadar, bahwa kamu perlu melanjutkan hidup. Walaaupun kamu menikah dengannya, kamu tetap jadi menantu mama, semoga kamupun beitu, Nak!" Suara Mama Rini bergetar, aku tahu perasaannya saat ini tidak bisa diobati oleh apapun. "Tante dan Reinaldi adalah orang yang paling dekat denganku, dari pada orang tuaku sendiri. Meski kita sempat jauh, tapi hubungan kita tetaplah erat." Mas Kelvin menatap Mama Rini dengan lekat dan menguatkan genggaman tangannya yang bisa kurasakan. Ingin sekali kutinggalkan mereka berdua, untuk berbincang lebih lama, tapi semua menyangkut diriku juga. Mau tidak mau, aku harus membersamai mereka berdua. "Jadilah anak mama untuk selamanya," pinta Mama Rini dengan merangkul kami berdua. Aku sangat tidak berdaya, jika sudah seperti ini. Entah hatiku terbuat dari apa, terlalu melow, kata mereka. "Men