"Mau ngapain, Mas?" tanyaku polos.
Ya, selama menikah dengan Mas Aditya, aku tidak pernah memikirkan penampilan. Bagaimana mau mempercantik diri, Mutiara dan Bagas memerlukan perhatianku. Ditambah pekerjaan online, yang harus selalu kupantau.
"Tubuhmu sudah mulai melebar! Tidak ada yang menarik!" Lagi-lagi, ucapan Mas Kelvin sangat menyebalkan, tapi ada benarnya.
Mungkin karena tubuhku sudah tidak menarik lagi, Mas Aditya selalu menghindariku. Tapi, bukankah menikah, tidak hanya bentuk tubuh saja. Jika semua terpenuhi, aku yakin semua wanita akan berdandan dengan cantik.
Tante Ecca mengulurkan sebuah buku dan aku mengambilnya. "Ini buku catatan untukmu. Tante tau kamu suka menggambar, bakatmu harus di asah. Ini buku untuk dirimu diet, ikuti anjurannya. Buku ini untuk menulis setiap pengeluaran yang kamu pakai saat bersama suamimu, catat dengan teliti. Ini buku untuk menghitung pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan selama menjadi istrinya." Dahiku mengernyit, mulut menganga karena tak percaya.
Apa-apaan ini!
Tante menatapku dengan pandangan lain, seperti orang tua yang sedang mengintimidasi anaknya. Terlihat mengerikan dan menakutkan.
Sedangkan Mas Kelvin, hanya mengedikan bahunya lalu membuka pintu dan keluar. Kemudian menatapku dan ke arah tante secara bergantian. "Ayo!" ajak Mas Kelvin.
***
Di sinilah aku dan bersama dua orang yang mendadak menyebalkan dan putri mungilku yang nyaman di pelukan Mas Kelvin.
"Hai, Des. Ini yang aku ceritakan tadi. Kira-kira berapa lama untuk kembali ke bentuknya semula?" Tante Ecca memutar balikan tubuhku, seakan-akan aku adalah barang yang ingin di rombaknya.
Ya, Tuhan.
Kenapa aku malah terjebak dengan orang-orang ini. Memang aku ingin membalas perlakuan Mas Aditya dan keluarganya tapi apa harus melalui tangan mereka. Tapi, untuk kembali ke keluargaku tidak mungkin. Bukan tidak ingin, aku tau kerasnya hati papa dan mama.
"Kenapa melamun?" tanya wanita seksi di depanku.
Aku hanya membalas dengan senyum kecut, entah harus bagaimana menyikapi semua ini.
"Tante dan Kelvin ada urusan sebentar, Mutiara kami bawa!" ujar Tante Ecca.
"Jangan, Tan. Biar Mutiara dengan saya, aja." tolakku.
Bagaimana mungkin, balita mungil itu di asuh oleh mereka yang tidak memiliki hubungan denganku. Bahkan Mutiara belum mengenal mereka.
"Kamu fokus pada latihan kamu! Agar tubuh kamu kembali bagus, bukan untuk menggaet pria, tapi untuk kesehatan kamu dan penampilan terbaik kamu. Terlebih untuk menjaga anak semata wayangmu, ini!" Tante Ecca sepertinya mulai tidak canggung menaikan suaranya padaku.
"Tapi, Mutiara tidak bisa jauh-jauh dariku!" elakku.
Tante Ecca menatapku, lalu menatap ke arah Mutiara yang terlelap di gendongan Mas Kelvin.
"Kamu liat! Dia, terlalu nyaman dengan cowok cool dan tampan ini!" ujar Tante Ecca mematahkan ucapanku.
Kok, rasanya aku kayak ditinggal jauh oleh anak yang kecantol cowok ganteng yang mapan. Pasrah, pilihan yang terbaik. Mengikuti alur yang di tulis oleh Tuhan.
"Tenang saja. Ecca, tidak akan berbuat salah. Pasti dia ingin membantumu menjadi lebih baik. Jangan heran, jika dia terlalu keras. Jangankan padamu, pada dirinya sendiri dia terlalu keras. Begitulah, jika masa lalu melukai kita. Semangat, yuk latihannya!" ujar personal trainerku. "Silahkan ganti bajumu di sana!" Mbak Destria menunjukkan kamar ganti.
Namun, aku bingung karena aku tidak membawa baju ganti. Mengetahui kebingunganku, mbak Destriana menepuk keningnya. "Maaf, saya yang lupa!" mbak Destriana, mengambil sebuah tas berisi pakaian dan handuk, juga air mineral.
Mbak Destriana cukup ramah, sehingga mulai membuatku nyaman. Dia pun tidak menargetkan latihan untukku, katanya harus perlahan-lahan agar mendapatr hasil maksimal.
Selama latihan, Mbak Destriana memberikan beberapa petuah hidup padaku. Ternyata, Dia mengalami hidup yang lebih pahit dari pada yang aku alami. Mas Aditya hanya beberapa kali melakukan pemukulan terhadapku, sedangkan dia hampir saja meregangkan nyawanya oleh suaminya. Mendengar kisah hidupnya, aku menjadi semangat untuk mengubah duniaku dan Mutiara.
Tante dan Kelvin kembali menemuiku, setelah latihan selesai.
"Bagaimana latihannya?" tanya Mas Kelvin. Ada kekhawatiran di wajahnya.
"Baik!" jawabku santai.
Entah mengapa, aku menjadi tidak suka pada lelaki setelah mendengar cerita hidup Mbak Destriana. Di otakku mulai tertanam, bahwa lelaki itu sama saja! Mengejar di awal, mencampakan kemudian.
Aku melirik Tante Ecca yang menahan Mas Kelvin mendekatiku dan berbicara lebih padaku. Jika di perbolehkan, aku ingin teriak dan meminta maaf pada mama. Aku telah mengecewakannya sangat dalam. Memilih pria tidak tau diri itu dan meninggalkan mereka dalam amarah yang memuncak.
"Ma!" air mata mengalir tanpa bisa kucegah.
Benar pepatah yang selama ini kudengar. 'Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak hanya sepenggalan.'
Dengan menahan air mata, aku kembali ke ruang ganti. Mengganti bajuku, dan menangis sepuasnya. Kemudian kembali berbaur bersama mereka dengan memasang topeng senyuman.
Tante langsung mengajak untuk memangkas rambutku yang tergerai begitu saja.
"Hai pel*cur! Kali ini kamu tidak bisa mengelak! Lihat anakmu siapa yang menggendongnya." Seseorang menarik bajuku ketika kami baru saja tiba di depan salon.
"Aku tidak pernah mel*cur!" teriakku.
"Bagaimana pun kamu mengelak, semua sudah banyak bukti yang mengarah ke perselingkuhan! Dasar wanita murahan!" tambahnya.
"Aku tidak selingkuuh!" teriakku.
Sintia tersenyum dengan menarik satu sudut bibirnya, kemudian berlalu dari hadapanku dan masuk ke dalam salon.
Rasanya ingin aku maki wanita yang pernah menjadi iparku itu namun, aku tidak ingin Mutiara terganggu tidurnya setelah bermain bersama tante Ecca dan mas Kelvin.
Tidak lama, Mas Aditya keluar dengan wajah merah padam dari dalam salon. Kemudian menarikku, sampai hampir terjatuh.
Bugh!
Mas Aditya tersungkur, dengan sudut bibir mengeluarkan darah. Kemudian bangkit dan membalas Mas Kelvin.
"Dasar, perebut istri orang!" maki Mas Aditya, disertai tinjuan di perut Mas Kelvin.
Priiiiit!
Priiiiit!
Security yang sedang berjaga di ujung, menghampiri. Kemudian mencoba memisahkan perkelahian antara Mas Kelvin dan Mas Aditya.
"Sudah mas, kita pulang saja! Enggak ada gunanya dekat dengan perempuan yang tidak bisa menjaga harga dirinya dan juga tidak bisa menjaga kesucian pernikahannya!" Sintia mendekat dan menggamit tangan kakaknya itu, tapi Mas Aditya tidak bergeming ketika melihatku menolong Mas Kelvin.
"Mas, Mbak Wid itu baik. Tidak seperti perempuan itu! Dia mendekati banyak lelaki, padahal dia masih menjadi istrimu kemarin! Bukannya semua bukti sudah jelas!" ujar Sintia, sembari menunjuk ke arahku.
Perih, sangat perih. Mas Aditya ternyata mudah sekali di hasut oleh orang luar, meskipun itu adiknya. Tidak ada kepercayaan sedikit pun di matanya untukku!
Mas Aditya mendekatiku, dan menatapku tajam dengan pandangan menghina.
"Ternyata ...," tunjuk nya ke arahku. "Ternyata, kamu pantas di talak! Bahkan kamu pantas di buang!"
"Kamu masih tidak mau merubah hidup kamu! Kamu masih tidak semangat! Kamu masih mau terus di hina!" Kekesalan tante Ecca membuatku terpuruk, setelah kami pulang. Bukan aku tidak ingin membalas perlakuan mereka, tapi aku harus memikirkan cara bagaimana caranya mengambil hakku dan hak Mutiara. Usaha yang di bangun oleh Mas Aditya dan keluarganya adalah usaha milikku yang di ambil alih oleh mereka, awalnya mereka mengatakan jika hanya ingin memperluas usahaku, tapi tidak pernah mereka kembalikan. Jangankan dikembalikan, lihat hasil dari usahaku saja tidak pernah. Acapkali kutanya tentang usaha, mereka selalu saja menemukan alasan untuk menghindar dan selalu memojokkanku. Mengatakan jika aku perhitungan dan pelit terhadap keluarganya sendiri. Sejak itu, aku tidak lagi bertanya. Namun, setelah berpisah. Aku harus mengambil alih. Untung saja, semua aset masih atas namaku, begitu pula rumah yang di tempati oleh Mas Aditya. Rumah di mana aku yang dia usir. "Kenapa kamu diam!" bentak tan
Beberapa alat sadap dan pelacak di kumpulkan jadi satu di atas meja. Semua dari dalam tasku yang tidak cukup besar. Tentu saja membuatku terperangah, untuk apa mereka melakukan hal ini! "Untuk apa mereka melakukan ini?" tanyaku pada dua orang yang masih menatap tumpukan yang ada di atas meja. "Kamu bawa semua surat penting?" tanya tante Ecca. Aku mengangguk, dan tante memintaku untuk mengambilnya. Segera kubongkar tas yang kugunakan untuk membawa baju-baju milikku dan Mutiara. Dan mengambil tumpukan map, yang masih rapi. "Ini, tan." Kuletakkan map-map itu kehadapan tante Ecca. "Kamu yakin, tidak ada yang tertinggal?" Tante Ecca bertanya untuk memastikan. "Enggak ada, tan." jawabku pasti. "Baik, tante cek semuanya. Kamu fokus pada diri kamu dan Mutiara, setelah mumpuni tante akan memperlihatkan yang mereka tutupi selama ini!" ucapan tante membuatku bertanya-tanya. "Sekarang, istirahatlah." pintanya kemudian. Mas Kelvin duduk di sofa, dengan menahan kantuk yang sangat. Mem
Saat aku terbangun, tubuhku sangat sakit di beberapa bagian. Namun, yang paling terasa ada di bagian wajah. Perih, sakit dan panas, seperti luka bakar. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Tidak ada kejadian yang fatal, hanya tabrakan kecil. Mengapa lukaku sebanyak ini! 'Mas Kelvin dan Mutiara?!' gumamku. Aku mencoba menggerakkan tubuhku yang terasa kaku. "Jangan menggerakkan tubuhmu secara langsung!" tegur seseorang. Aku dapat melihat bayangannya, tapi terhalang oleh penutup yang ada di wajahku. "Maaf, dengan siapa? tanyaku. Suara sepatu pantofel atau sepatu hak tinggi terdengar nyaring di ruangan ini. Dari aromanya pun, ini bukanlah rumah sakit. Lalu, keadaan kembali hening. Aku mencoba memahami situasi, takut jika dia hanya ingin menyiksaku. **** Tiga hari berlalu, wanita itu datang lagi ke hadapanku. " Kelihatannya, kamu sudah baikan!" sindir wanita itu. "Ini di mana?" tanyaku, tidak ingin menanggapi komentarnya. Suara wanita itu tidak lagi terdengar,
Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Menyapu pandangan ke sekitar ruangan. "Ibu, siapa?" tanyaku penasaran. "Aku yang akan mengubah duniamu!" ketusnya. "Anakku ke mana, Bu?" Air di dalam kelopak mataku tidak dapat lagi kusembunyikan, mengalir tanpa bisa kutahan. "Jangan panggil ibu! Panggil saya tante Rose. Kamu jangan--" ucapnya terhenti ketika aku menyeka airmataku, yang mengalir bebas. Pipiku terasa aneh, berkerut dan terasa kasar. Kemudian aku meraba seluruh wajahku. "Ke--kenapa ini? Ada apa dengan wajahku?!" teriakku. "Cermin, ya, cermin di mana?" Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh dan beringsut dari ranjang. "Di mana? Di manaa?!" pekikku. Berjalan, tidak tentu arah. Mencari cermin untuk melihat ada apa denganku. "Tidak ada cermin di sini!" tegas wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Rose. Tangis dan teriakanku menjadi satu, menggema di ruangan ini. Sementara itu, tante Rose hanya duduk memandang ke arahku dengan pandangan yang tida
Selesai membersihkan diri dan berpakaian, serta memasang masker di wajahku untuk menutupi luka bakar. Tante mengajakku menaiki mobilnya. Mataku menyapu seluruh area ini, sudah di pastikan jika ini adalah apartement. Tapi, aku tidak tau ini di mana. Perjalanan cukup jauh, membuat tubuhku lemas. Dikarenakan duduk terlalu lama. Ketika, melihat sebuah taman di balik jendela mobil, anganku melayang ke masa lalu. Di mana aku ingin sekali berhenti sejenak di sana, menghirup udara bebas. Udara yang berasal dari banyaknya pepohonan. Namun, mas Aditya enggan menemaniku dan memilih bekerja. Sekarang aku tau, bukan bekerja tujuannya saat itu. Akan tetapi wanita yang tengah hamil muda itu. Jika aku tahu sejak awal, akan ku beri r*cun, mas Aditya. Suami yang tidak tau di untung itu. Terlebih mertuaku, yang selalu meludahi makanan yang kumasak dengan cinta. Begitu juga iparku yang sempurna, Sintia. "Ayo kita turun." Tante Rose memegang pundakku, membuat lamunanku buyar. Suster dan tante memba
"Kita turun sekarang," ajak Tante Rose. "Ini kuburan! Untuk apa kita ke sini?" tanyaku bingung. Sepertinya, sudah kebiasaan mereka. Selalu mengabaikan, jika aku bertanya di situasi yang genting. Tante segera turun di ikuti suster yang menemani kami sejak tadi. Kemudian, mereka mengambil kursi roda. Lalu, memintaku untuk segera duduk. Mata tante berair dan merah, begitu juga dengan hidungnya. Mirip dengan orang yang sedang menahan tangisannya. "Halo, kamu masih di makam?" "-----------" "Gue langsung ke sana!" Tante menutup panggilannya, aku tidak dapat melihat apapun yang di kerjakan tante di belakangku. Padahal, tante bisa berjalan di sampingku. "Menangislah sepuasnya, lalu tinggalkan dirimu di sini. Kemudian berubah menjadi yang lebih baik." ujar tante Rose dengan suara tercekat. Kursi roda terus di dorong, cukup jauh ternyata hanya untuk bertemu dengan tante Rebecca. "Kenapa harus di kuburan, sih?" keluhku, "Oh, ya, tante belum mengajakku untuk bertemu anakku. Aku
"Kalian brengs*k! Dasar b*jingaaan!!" pekikku. Rasanya seperti hatiku yang di sobek oleh mereka, lalu direndam air garam. Perih, pilu, tidak berdaya. Bagaimana mereka bisa berlaku keji seperti ini, pada Mutiara. Bukankah darah mereka mengalir di tubuh mungil anakku. Apa yang ada di pikiran mereka! Apakah usaha yang kubangun bertambah pesat, sehingga layak untuk menghilangkan kami berdua. Tangis meraung-raung dan sumpah serapah terucap lagi. "Nak, bawa mama ... Bawa mama! Mama enggak mau sendirian, Mutiara. Bawa mama pergi," Tangisku mengundang tatapan dari para peziarah lainnya. Ada pengunjung yang berbicara nyelekit, "ini makam, tidak elok teriak dan menangis di sini! Berilah bekal doa untuk mereka yang ada di sini!" Namun, aku mengabaikannya. Memilih memeluk makam anakku yang masih basah. "Keluarkan semua yang ada di hatimu, legakan dadamu yang sesak bagai terhimpit batu besar. Namun, kamu harus bangkit, untuk memberi mereka pelajaran, ujar Tante Rebecca. Tante Rose menepuk
Aku akan membuat mereka tekuk lutut di hadapanku, setelah aku mendapatkan wajahku lagi. Dengan semangat dan sisa senyuman Mutiara yang kuingat, aku berjalan ke arah kamar mandi. Melepas pakaianku dan menyimpannya dalam plastik. Kemudian mengguyur tubuhku dengan air dingin, agar otakku tidak terpengaruh oleh halusinasi. Selesai mandi dan mengganti pakaian, aku duduk di depan jendela. Menatap jauh ke depan, tanpa sadar aku menyentuh buku yang tadi di berikan oleh tante Rebecca. Tertulis diary disana. "Maaf, Mas. Aku mengacaukan semuanya dan kamu pun harus melewati hidup dan mati demi menyelamatkan anakku." lirih ku sebelum membaca diary itu. Ketika akan membuka diary, suara derit pintu terbuka, mengangguku. Kututup kembali buku yang ditulis oleh mas Kelvin. "Sudah bisa berdamai dengan hatimu?" tanya tante Rebecca. Aku mengangguk, meski hatiku sebenarnya terluka parah sangat parah namun, tidak berdarah. "Kita akan mengurus pembuatan paspor dan dokumen pendukungnya besok. Kamu