"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara pak RT menghentikan tangan mas Aditya yang siap melayang ke arahku.
"Pel*cur murahan ini pak RT!" Tunjuk mas Aditya.
Mata pak RT membulat ketika mas Aditya menghardikku. Seakan-akan tidak percaya dengan ucapan yang di lontarkan oleh lelaki yang terlihat alim dan bersahaja ini.
"Masalah keluarga, baiknya dibicarakan baik-baik di rumah!" pinta Pak RT.
"Dia--,"
"Saya bukan istrinya lagi pak RT! Dia telah mentalak saya sebanyak tiga kali dan itu sudah cukup menjauhkan saya darinya!" ucapku, mendahului lelaki yang terlihat frustasi.
Mas Aditya menarikku, mengajakku pulang dan memohon maaf atas ke khilafnya.
"Mas, maaf kamu bukan lagi suamiku dan kamu haram menyentuhku. Bahkan kita tidak bisa rujuk lagi!" ujarku, kesal namun bibirku tersenyum bangga.
"Tidak! Ucapan itu keluar karena kamu yang memancingku. Sebaiknya kita pulang, dan maafkan aku." bentaknya.
"Maaf, Mas!!" kutepis tangannya dengan kasar.
Lalu pergi, meninggalkan kerumunan yang kian bertambah banyak. Pandangan hina mulai di nampakan oleh para tetangga saat tatapan kami bersibobrok. Sungguh, membuatku tidak ada muka lagi di hadapan mereka namun, yang terpenting aku dan Mutiara terbebas dari keluarga mas Aditya yang banyak menuntut.
"Kamu itu tidak tahu diuntung! Istri sialan! Brengsek!" Masih bisa kudengar makiannya.
Tidak terasa, air mata menetes. Para tetangga yang menonton kami, layaknya sinetron hanya bisa diam ketika aku dan Mutiara beranjak pergi. Namun, yang membuatku kesal, apakah mata mereka tidak melihat kelakuan mas Aditya yang sewenang-wenang. Ah sudahlah, yang salah tetap istri, jika suaminya marah-marah atau selingkuh.
Aku tetap meninggalkan mas Aditya dengan segala makiannya, untung saja dia di tahan oleh security, jika tidak aku tidak akan leluasa pergi darinya.
Ponselku berdering ketika sampai di ujung gang.
"Ada apa Mas Kelvin menelponku!" gumamku setelah melihat nama yang tertera di layar ponsel.
Tidak ingin menambah kekacauan hati, kuabaikan panggilannya.
Malam sudah semakin larut, kendaraan umum pun mulai jarang yang lewat. Aku tidak memiliki aplikasi ojek, karena selama ini ada ojek langganan yang di pesankan oleh Mas Aditya. Dia tidak mau aku selingkuh jika tidak di awasi, padahal dia tidak ingin aku mengetahui ke busukannya.
"Ke mana aku akan pergi?" ocehku sendirian.
Langkahku seakan mati, tidak tau arah. Hanya menarik napas panjang dan terus melangkah. Membiarkan Tuhan yang akan menuntun langkah ini.
"Dis! Gladis!" Suara orang memanggilku.
'Hanya halusinasi,' pikirku.
Kakiku terus melangkah, mengabaikan pandangan-pandangan penuh tanya di sekitarku. Lama-lama, air mata ini turun begitu saja, rintik-rintik hingga menderas. Mutiara menatapku dengan tatapan sayu, meskipun masih kecil aku tau dia bisa merasakan kepedihanku saat ini.
Baru saja melewati gerbang utama perumahan, kakiku terasa pegal. 'Aku harus mencari tempat tinggal, kasian Mutiara!' pikirku.
"Dis!" Seseorang menepuk pundakku dan memanggil namaku.
Ketika aku menoleh, ternyata dia. Mataku berkali-kali kukedipakan, takut salah lihat.
"Ayo, Dis!" Tanpa perlu jawaban dariku, dia mengambil tas yang kupegang dan menarikku ke arah kendaraannya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku penasaran.
"Masuklah!" pintanya dengan nada tidak sabaran.
Hanya mampu menghembuskan napas kasar, dan langsung duduk di jok depan kendaraannya.
"Kamu sudah makan?" tanyanya.
"Sudah!"
"Kamu mau tinggal di mana?" tanyanya lagi.
"Enggak tau!"
"Kenapa sih, jawabnya gitu!" kesahnya.
"Kamu saja belum menjawab pertanyaanku!" ucapku dengan nada kecewa.
Lelaki di sampingku hanya diam saja, matanya lurus ke depan dan tangannya tidak beralih dari kemudi. Kami pun terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Sayang, suara genderang di perutku terdengar. Hingga memunculkan bulan sabit di wajah lelaki kaku ini.
"Makan dulu, yuk. Setelah itu, kita cari hotel terdekat." ujarnya.
"Eh, enggak usah." tolakku, aku sudah berpikir yang macam-macam.
Seperti biasa, lelaki kaku ini hanya diam dan terus melakukan kendaraannya. Menyusuri jalanan yang mulai sepi. Kemudian berhenti di warung tenda, lalu memesan beberapa menu untukku.
"Anakmu asi atau susu botol?" tanyanya ketika menatap layar ponselnya.
"Susu botol, asiku enggak keluar!" jawabku sedih.
"Kamu bawa susunya?"
"Enggak, tadi keburu emosi!" jawabku kesal.
"Apa merknya?" tanyanya lagi.
Aku pun memberikan merk susu yang setiap hari konsumsi oleh Mutiara. Setelah mencatatnya, Mas Kelvin beranjak pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Begitulah dia sejak dulu, dingin, irit bicara, akan tetapi perhatian. Yang membuatku heran, dia masih melajang. Tidak mungkin, tidak ada wanita yang menyukainya atau jangan-jangan dia--.
"Kenapa enggak langsung di makan?" tanya Mas Kelvin, yang entah sejak kapan sudah ada di depanku.
"I--iya mas," jawabku kaku.
Entahlah, dekat dengannya membuatku tidak nyaman.
"Kamu buatkan anakmu susu dulu. Kasian dia sepertinya dia lapar!" Mas Kelvin mengingatkanku pada si mungil, ketika aku akan beranjak, "sini anakmu biar aku gendong!" Mas Kelvin mengulurkan tangannya.
Aku sangsi dia bisa menggendong anak kecil. Secara, dia adalah anak tunggal yang di manja orang tuanya. Bagaimana mana aku tau? Karena mas Kelvin temanku sejak SMP dan aku tau metamorfosisnya hingga menjadi lelaki maskulin dan keren seperti sekarang.
"Kamu takut anak kamu akan terluka?" tanyanya yang membuatku tidak enak hati.
"E--enggak mas. Aku cuma mikirin, buat susunya pakai apa? Botol dan yang lainnya aku tidak punya." elakku.
"Itu, semua ada dalam plastik itu. Untuk air panasnya, kamu minta dengan pemilik warung."Mas Kelvin menunjuk ke arah plastik belanjaannya.
Dengan rasa tidak percaya, aku serahkan Mutiara pada mas Kelvin. Mutiara terlihat nyaman di pelukan mas Kelvin, sungguh miris aku melihatnya. Seharusnya, Mutiara di peluk papanya bukan oleh Mas Kelvin.
"Sudah sana buat dulu, malah bengong!"
"Eh!" ucapku tak percaya.
Aku berjalan mendekati pemilik warung dan meminta air panas untuk mensterilkan botol yang baru di beli dan juga untuk membuat susu si mungil.
"Sini, Mas." Aku ingin mengambil alih Mutiara untuk disusui
"Kamu makan aja dulu, biar aku yang kasih anakmu susu!" tolaknya.
Aku pasrah, karena dia kukuh ingin menggendong dan memberikan Mutiara susu. Sesekali, aku melirik mas Kelvin. Caranya memperlakukan Mutiara sangat lembut, tidak seperti papa kandungnya.
"Makan yang banyak! Jangan ngeliatin aku, enggak bakalan kenyang!" celetuknya.
Duh, wajahku langsung merah merona menahan malu. Segera kuselesaikan makanku, agar dia bisa makan.
"Mas, gantian kamu yang makan. Sini 'kan Mutiara!" pintaku.
Mas Kelvin, sejenak menatapku dan memberikan Mutiara ke pelukanku. Dia makan dalam diam, dan sangat cepat menghabiskan makanannya. Kemudian, dia meminta pemilik warung untuk membuatkan satu porsi lagi. Aku tidak berani bertanya untuk siapa, karena itu hak dia sepenuhnya. Aku hanya wanita yang baru dicerai suaminya.
"Ternyata dugaanku tidak salah, jika kamu selingkuh! Dasar wanita murahan!"
Tangan mulus itu mendarat tepat di pipiku.
Tamparan itu cukup keras mengenai pipiku, panas dan perih sangat terasa. Seketika, Mutiara menangis. Terkejut oleh makian Sintia, saat tengah terlelap. "Maksud kamu apa, Mbak!" Aku berdiri dan menaikkan daguku. "Dasar pel*cur mur*han! Ketahuan selingkuh malah dia yang ngegas!" tuduhnya. "Jangan nuduh orang sembarangan, ya. Apa ada buktinya aku selingkuh?" Amarahku mulai terpancing. Tawa Sintia menyayat hatiku, untuk yang kesekian puluh kalinya. Dulu, aku diam karena ada bayi yang harus aku lindungi, tapi sekarang tidak! Wanita berhati ular itu menunjukan rekamanku dan mas Kelvin, sejak datang hingga selesai makan. "Ini bukti kami selingkuh?" tanyaku dengan senyum sinis. "Kamu lupa, ada penjual dan pembeli lain yang bisa ku mintai menjadi saksi!" Sintia diam dan menatapku kesal. "Segala usahaku tidak akan sia-sia!" ujarnya, lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Apa maksud dari ucapannya, ya! Sudahlah. Lebih baik memikirkan, aku harus apa besok dan seterusnya. Tidak mungk
Cukup dibuat bergidik dengan kelakuan Mas Kelvin. Selama aku mengenalnya bertahun-tahun, dia tidak pernah kasar tehadap wanita. Jangankan bertindak kasar, berbicara pun hanya seperlunya. Dia bekerja keras hingga kini semua yang dia impikan berhasil. "Kamu, pasti teman istimewanya Kelvin!" seru wanita itu membuyarkan lamunan, aku hanya menatapnya dengan pandangan bingung. "Kenalkan aku Rebecca, panggil saja Ecca. Aku adalah tante kedua Kelvin, pekerjaanku corat-coret kertas, seperti ini." Tante Ecca memperkenalkan dirinya, dengan disertai tawa ramah dan menunjukkan apa yang ada di tangannya. "Iya, Tan. Saya--," ucapku, tapi terputus. "Kelvin sudah sering menceritakan tentangmu padaku. Aku adalah ibu kedua baginya. Kami cukup dekat, tapi tetap berjarak." Tante Ecca meremas kertas yang dia genggam, dan melemparnya ke tempat sampah. Aku merasa ada hal yang mengganjal dari kata-katanya, tapi tidak kubiarkan terlontar begitu saja. Dia menatapku dan mengelus pipiku pelan. "Kamu harus b
"Mau ngapain, Mas?" tanyaku polos. Ya, selama menikah dengan Mas Aditya, aku tidak pernah memikirkan penampilan. Bagaimana mau mempercantik diri, Mutiara dan Bagas memerlukan perhatianku. Ditambah pekerjaan online, yang harus selalu kupantau. "Tubuhmu sudah mulai melebar! Tidak ada yang menarik!" Lagi-lagi, ucapan Mas Kelvin sangat menyebalkan, tapi ada benarnya. Mungkin karena tubuhku sudah tidak menarik lagi, Mas Aditya selalu menghindariku. Tapi, bukankah menikah, tidak hanya bentuk tubuh saja. Jika semua terpenuhi, aku yakin semua wanita akan berdandan dengan cantik. Tante Ecca mengulurkan sebuah buku dan aku mengambilnya. "Ini buku catatan untukmu. Tante tau kamu suka menggambar, bakatmu harus di asah. Ini buku untuk dirimu diet, ikuti anjurannya. Buku ini untuk menulis setiap pengeluaran yang kamu pakai saat bersama suamimu, catat dengan teliti. Ini buku untuk menghitung pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan selama menjadi istrinya." Dahiku mengernyit, mulut menganga kare
"Kamu masih tidak mau merubah hidup kamu! Kamu masih tidak semangat! Kamu masih mau terus di hina!" Kekesalan tante Ecca membuatku terpuruk, setelah kami pulang. Bukan aku tidak ingin membalas perlakuan mereka, tapi aku harus memikirkan cara bagaimana caranya mengambil hakku dan hak Mutiara. Usaha yang di bangun oleh Mas Aditya dan keluarganya adalah usaha milikku yang di ambil alih oleh mereka, awalnya mereka mengatakan jika hanya ingin memperluas usahaku, tapi tidak pernah mereka kembalikan. Jangankan dikembalikan, lihat hasil dari usahaku saja tidak pernah. Acapkali kutanya tentang usaha, mereka selalu saja menemukan alasan untuk menghindar dan selalu memojokkanku. Mengatakan jika aku perhitungan dan pelit terhadap keluarganya sendiri. Sejak itu, aku tidak lagi bertanya. Namun, setelah berpisah. Aku harus mengambil alih. Untung saja, semua aset masih atas namaku, begitu pula rumah yang di tempati oleh Mas Aditya. Rumah di mana aku yang dia usir. "Kenapa kamu diam!" bentak tan
Beberapa alat sadap dan pelacak di kumpulkan jadi satu di atas meja. Semua dari dalam tasku yang tidak cukup besar. Tentu saja membuatku terperangah, untuk apa mereka melakukan hal ini! "Untuk apa mereka melakukan ini?" tanyaku pada dua orang yang masih menatap tumpukan yang ada di atas meja. "Kamu bawa semua surat penting?" tanya tante Ecca. Aku mengangguk, dan tante memintaku untuk mengambilnya. Segera kubongkar tas yang kugunakan untuk membawa baju-baju milikku dan Mutiara. Dan mengambil tumpukan map, yang masih rapi. "Ini, tan." Kuletakkan map-map itu kehadapan tante Ecca. "Kamu yakin, tidak ada yang tertinggal?" Tante Ecca bertanya untuk memastikan. "Enggak ada, tan." jawabku pasti. "Baik, tante cek semuanya. Kamu fokus pada diri kamu dan Mutiara, setelah mumpuni tante akan memperlihatkan yang mereka tutupi selama ini!" ucapan tante membuatku bertanya-tanya. "Sekarang, istirahatlah." pintanya kemudian. Mas Kelvin duduk di sofa, dengan menahan kantuk yang sangat. Mem
Saat aku terbangun, tubuhku sangat sakit di beberapa bagian. Namun, yang paling terasa ada di bagian wajah. Perih, sakit dan panas, seperti luka bakar. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Tidak ada kejadian yang fatal, hanya tabrakan kecil. Mengapa lukaku sebanyak ini! 'Mas Kelvin dan Mutiara?!' gumamku. Aku mencoba menggerakkan tubuhku yang terasa kaku. "Jangan menggerakkan tubuhmu secara langsung!" tegur seseorang. Aku dapat melihat bayangannya, tapi terhalang oleh penutup yang ada di wajahku. "Maaf, dengan siapa? tanyaku. Suara sepatu pantofel atau sepatu hak tinggi terdengar nyaring di ruangan ini. Dari aromanya pun, ini bukanlah rumah sakit. Lalu, keadaan kembali hening. Aku mencoba memahami situasi, takut jika dia hanya ingin menyiksaku. **** Tiga hari berlalu, wanita itu datang lagi ke hadapanku. " Kelihatannya, kamu sudah baikan!" sindir wanita itu. "Ini di mana?" tanyaku, tidak ingin menanggapi komentarnya. Suara wanita itu tidak lagi terdengar,
Perlahan, kuberanikan diri membuka mata. Menyapu pandangan ke sekitar ruangan. "Ibu, siapa?" tanyaku penasaran. "Aku yang akan mengubah duniamu!" ketusnya. "Anakku ke mana, Bu?" Air di dalam kelopak mataku tidak dapat lagi kusembunyikan, mengalir tanpa bisa kutahan. "Jangan panggil ibu! Panggil saya tante Rose. Kamu jangan--" ucapnya terhenti ketika aku menyeka airmataku, yang mengalir bebas. Pipiku terasa aneh, berkerut dan terasa kasar. Kemudian aku meraba seluruh wajahku. "Ke--kenapa ini? Ada apa dengan wajahku?!" teriakku. "Cermin, ya, cermin di mana?" Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh dan beringsut dari ranjang. "Di mana? Di manaa?!" pekikku. Berjalan, tidak tentu arah. Mencari cermin untuk melihat ada apa denganku. "Tidak ada cermin di sini!" tegas wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Rose. Tangis dan teriakanku menjadi satu, menggema di ruangan ini. Sementara itu, tante Rose hanya duduk memandang ke arahku dengan pandangan yang tida
Selesai membersihkan diri dan berpakaian, serta memasang masker di wajahku untuk menutupi luka bakar. Tante mengajakku menaiki mobilnya. Mataku menyapu seluruh area ini, sudah di pastikan jika ini adalah apartement. Tapi, aku tidak tau ini di mana. Perjalanan cukup jauh, membuat tubuhku lemas. Dikarenakan duduk terlalu lama. Ketika, melihat sebuah taman di balik jendela mobil, anganku melayang ke masa lalu. Di mana aku ingin sekali berhenti sejenak di sana, menghirup udara bebas. Udara yang berasal dari banyaknya pepohonan. Namun, mas Aditya enggan menemaniku dan memilih bekerja. Sekarang aku tau, bukan bekerja tujuannya saat itu. Akan tetapi wanita yang tengah hamil muda itu. Jika aku tahu sejak awal, akan ku beri r*cun, mas Aditya. Suami yang tidak tau di untung itu. Terlebih mertuaku, yang selalu meludahi makanan yang kumasak dengan cinta. Begitu juga iparku yang sempurna, Sintia. "Ayo kita turun." Tante Rose memegang pundakku, membuat lamunanku buyar. Suster dan tante memba