Nisa menolak. Ia enggan bila harus ke Rumah Sakit lagi. "Nisa di sini cuma pengen istirahat." Wida menghela nafas. "Pengobatanmu harus tuntas, Nak. Bagaimana kalau nanti perutmu sakit lagi?" Nisa membayangkan saat dirinya menangis dan menjerit karena perutnya yang sakitnya tidak tertahankan. Ia bergidik. "Nanti Vaya akan menemanimu.""Vaya?" Nisa membayangkan asisten kepercayaan Mamanya itu. Gadis cantik dengan jilbab yang menutupi dadanya. Gadis cantik dengan kepercayaan diri yang tinggi. Wajarlah, ia sarjana accounting lulusan universitas ternama. Tapi kenapa Ia mau bekerja di catering mamanya, ya? Lalu kenapa juga ia mau menemaninya ke Rumah Sakit? "Ayok, Mbak." ajak Vaya dengan senyum manisnya melihat Nisa sudah siap. "Hati - hati, Nak." Wida melepas mereka dengan harapan besar atas kesembuhan Nisa. Nisa membiarkan lengannya di rangkul oleh Vaya saat mendudukkannya di dalam BRV milik Wida dan membantu memasangkan sabuk pengdamannya. "Aku bisa." ketus Nisa. Ia merasa diangg
"Kenapa Dokter Wizhar? Kenapa nggak nyari dokternya yang perempuan aja?!" Vaya tersenyum menghadapi kemarahan Nisa. "Alhamdulllah Dokter Wizhar itu Dokter terbaik di sini, Mbak. Ibu Wida yang meminta Mbak Nisa mendapatkan Dokter yang terbaik.""Tapi Aku nggak suka..""Mbak coba dulu, ya. Kalau Mbak tetap ngerasa nggak suka atau nggak nyaman nanti Kita bisa pindah Dokter.""Kenapa nggak sekarang aja!" Nisa menautkan alisnya. Vaya tetap tersenyum. "Ibu Annisa!" suara perawat yang memanggil namanya tidak membuat Nisa bangun dari tempat duduknya. "Ibu Annisa?" "Iya, Sus." Vaya menarik lengan Nisa dengan lembut. "Alhamdulillah, Mbak sudah dipanggil." Vaya tidak memperdulikan attitude Nisa yang buruk karena Wida sudah memberitahu sebelumnya. "Nisa tidak seperti dulu. Kamu yang sabar, ya?"Seperti apa Nisa dulu tentu saja Vaya pernah mendengarnya dari orang - orang yang bekerja di dapur catering. Mereka yang selalu bertemu Nisa setiap Nisa dan keluarganya pulang ke rumah Wida. "Mbak
Nisa tidak tahu kalau puluhan kilometer dari sana ada hati yang juga menangis dan meratapi ketidak berdayaannya untuk merawat istri tercintanya. "Papah nggak punya uang, Mah. Biar Mama yang merawat Mamah dulu. Mamah cepat sembuh, ya? Papah nunggu di sini.."Iman menangis. Bahunya berguncang naik turun dalam kamarnya yang terkunci. Ia tidak ingin ada yang mengetahui kesedihannya. Di luar ia berusaha terihat tegar. Ia terlihat seperti biasa saja meski istrinya tidak ada bersamanya dalam waktu yang lama. "Nisa boleh pulang kalau Dokter bilang Dia udah sembuh." tegas Wida padanya. Memang Wida tidak secara langsung menyalahkannya tapi jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa disalahkan.Seperti yang Samsul bilang, Ia ini suami brengsek yang tidak mampu merawat istrinya sendiri. Iman berusaha tegar, apalagi saudara - saudaranya mendukungnya. "Biar Nisa di sana." ujar Yanah menenangkan Iman. 'Di sini juga cuma bisa ngerepotin aja!' geram hatinya bila melihat Iman yang sibuk ke sana ke ma
"Emang Dia begitu, ya?" semua Ibu - ibu itu menggeleng."Mbak Nisa baik, ramah dan ceria. Sejak sakit Dia jadi begitu. Tertutup." ucap salah seorang Ibu. Ceria? Doni lebih melongo lagi. Ia jarang melihat Nisa tersenyum bahkan hampir tidak pernah. Sekalinya Nisa tersenyum saat ia menyebutkan namanya. Itu juga hanya sebentar. Belakangan ia tahu namanya sama dengan nama anak bungsu Nisa. "Dia belum bercerai, 'kan?" pertanyaan Doni membuat Ibu - ibu itu kaget. "Ih! Amit - amit deh! Bang Doni kok ngomong begitu, sih?""Emang Saya salah, ya?" Doni merasa tidak ada yang salah dengan pertanyaannya."Salah!""Mbak Nisa baik - baik saja sama suaminya!""Jangan nyumpahin dong, Mas!""Mas Doni naksir Mbak Nisa, ya?" Doni mengangkat kedua tangannya mendapat gempuran dari ibu - ibu itu. Ia merasa tidak salah. Sudah hampir sebulan Nisa di sini tapi ia tidak pernah melihat suaminya datang. Atau Dia tidak tahu saat suaminya datang? "Bukan begitu, Ibu - Ibu..!" Doni beringsut ke arah pintu untuk
Dokter Wizhar, Dokter yang langsung mendiagnosa penyakitnya saat pertama kali melakukan pemeriksaan dan memberi serangkaian kalimat yang memotivasi keinginannya untuk bangkit."Ibu nggak sakit. Ibu hanya lelah dan kecewa yang berkepanjangan. Itu yang membuat Ibu merasa sakit. Ibu hanya perlu istirahat dan mencoba untuk ikhlas. Obati pikiran Ibu dengan keyakinan bahwa Ibu akan selalu baik - baik saja. Buatlah mindset pada pikiran Ibu kalau Ibu ini sehat. Maka Ibu akan sehat." kalimat itupun diucapkan dengan sikap yang biasa saja. Seolah dia mengatakannya untuk dirinya sendiri.Tidak ada salam perpisahan saat pengobatannya selesai. Nisa seperti mengikuti Vaya dengan mengatakan banyak Alhamdulillah."Terimakasih Dokter." ucap Vaya sebelum mengikuti Nisa yang langsung berjalan keluar."Iya, Ma. Makasih, Mama." Iman langsung datang menjemput Nisa begitu Wida mengabarinya.Iman meminjam Alpard milik Anto agar Nisa merasa nyaman saat perjalanan pulang. "Alpard milik siapa ini?" gumam Doni
Lagi - lagi Sari mengucapkan sesuatu yang mengejutkan Nisa. "Teteh takut mati nggak ada yang tahu.""Ishh!" "Temani Teteh, ya? Seenggaknya sampai ada ganti Kamu nanti." mau tak mau Nisa mengangguk. Nisa berpikir. Apa yang dikatakan Pak Kyai itu sampai Sari terus menerus menyebutkan kematian? "Aku pulang, ya." Nisa memeluk dan mencium punggung tangan Sari saat melihat Edi memasuki rumahnya tepat azan Zuhur berkumandang. "Pulang dulu ya, Bang." Angguk Nisa pada Edi. "Ya Nisa, makasih." Edi tersenyum lebar. Nisa berjalan pulang dan melihat saudara - saudara Iman yang lain sedang berkumpul di depan rumah Yanah. Ada Hasby juga. Tapi tak ada Iman di sana. Nisa hanya menganggukkan kepalanya saat melewati mereka menuju rumahnya. "Nisa!" panggil Yanti. Nisa berhenti melangkah dan menoleh pada mereka yang kini semua tengah menatapnya. "Teh Sari sama siapa?" tanya Yanti lagi. Dari nadanya ia seolah menyalahkan Nisa yang sudah meninggalkannya. "Ada Bang Edi." jawab Nisa dengan hati k
Tentu saja Mumu tidak ingin langsung mengalah. "Tapi..""Udah! Kamu diem aja. Iman lagi nyetir. Jangan bikin Dia marah!" bentak Hasby. Mumu langsung membungkam mulutnya. "Dari situ belok kanan, Man." pinta Samir. Iman membelokkan mobilnya ke kanan.Ternyata Samir ingin mengajak Hasby makan - makan karena Dia baru saja memenangkan proyek yang lumayan menguntungkan. Ia tidak keberatan saat Hasby ingin mengajak adik - adiknya. Iman yang baru saja makan di rumah masih merasa perutnya kenyang. Apalagi Samir membawa mereka ke restauran cepat saji yang ada dalam sebuah Mall yang Iman tidak terlalu berselera memakannya. "Kamu kok nggak makan, Man?" tanya Samir saat Iman hanya memesan segelas kopi. "Saya baru makan di rumah, Bang. Masih kenyang.""Dia mah nggak doyan makan makanan beginian, Bang. Lidahnya lidah kampung." Mumu tertawa meledeknya. Hasby menyenggol lengan Mumu. "Emang kenapa kalau lidahku lidah kampung? Nggak nyusahin orang, 'kan? Daripada punya lidah kota tapi bisanya cuma
"Emang ikannya udah dibersihin?""Papah, ninggalin ikan di ember gitu aja jadi Mamah nyuruh orang bersihin terus langsung Mamah bumbuin." Iman belum memindahkan ikan ke dalam empang karena ingin memasaknya. Tapi ia lupa membersihkannya karena harus segera pergi bersama Hasby. "Iya, Mah. Goreng ikan aja." Iman langsung merasa lapar. Nisa meletakkan ayamnya ke dalam lemari makan dan bergegas ke dapur. Malam ini mereka makan dengan selera mereka masing - masing. Doni malah lebih beruntung lagi karena ia selain menyukai ayam goreng cepat saji ia juga menyukai ikan. Jadi ia tidak mau ketinggalan makan ikan goreng yang sengaja dilebihkan oleh Nisa. "Teh Sari udah makan belum, ya?" gumam Nisa saat malam sudah semakin larut dan ia sudah membaringkan tubuhnya di tempat tidur bersama suaminya. "Ada suaminya." sahut Iman pendek. "Bagaimana kalau suaminya nggak ngurusin?" Nisa teringat saat Ia sakit dulu. Iman bahkan lupa membeli sarapan untuknya. Bukan lupa mungkin, tapi tidak punya uangn