Nisa tidak tahu kalau puluhan kilometer dari sana ada hati yang juga menangis dan meratapi ketidak berdayaannya untuk merawat istri tercintanya. "Papah nggak punya uang, Mah. Biar Mama yang merawat Mamah dulu. Mamah cepat sembuh, ya? Papah nunggu di sini.."Iman menangis. Bahunya berguncang naik turun dalam kamarnya yang terkunci. Ia tidak ingin ada yang mengetahui kesedihannya. Di luar ia berusaha terihat tegar. Ia terlihat seperti biasa saja meski istrinya tidak ada bersamanya dalam waktu yang lama. "Nisa boleh pulang kalau Dokter bilang Dia udah sembuh." tegas Wida padanya. Memang Wida tidak secara langsung menyalahkannya tapi jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa disalahkan.Seperti yang Samsul bilang, Ia ini suami brengsek yang tidak mampu merawat istrinya sendiri. Iman berusaha tegar, apalagi saudara - saudaranya mendukungnya. "Biar Nisa di sana." ujar Yanah menenangkan Iman. 'Di sini juga cuma bisa ngerepotin aja!' geram hatinya bila melihat Iman yang sibuk ke sana ke ma
"Emang Dia begitu, ya?" semua Ibu - ibu itu menggeleng."Mbak Nisa baik, ramah dan ceria. Sejak sakit Dia jadi begitu. Tertutup." ucap salah seorang Ibu. Ceria? Doni lebih melongo lagi. Ia jarang melihat Nisa tersenyum bahkan hampir tidak pernah. Sekalinya Nisa tersenyum saat ia menyebutkan namanya. Itu juga hanya sebentar. Belakangan ia tahu namanya sama dengan nama anak bungsu Nisa. "Dia belum bercerai, 'kan?" pertanyaan Doni membuat Ibu - ibu itu kaget. "Ih! Amit - amit deh! Bang Doni kok ngomong begitu, sih?""Emang Saya salah, ya?" Doni merasa tidak ada yang salah dengan pertanyaannya."Salah!""Mbak Nisa baik - baik saja sama suaminya!""Jangan nyumpahin dong, Mas!""Mas Doni naksir Mbak Nisa, ya?" Doni mengangkat kedua tangannya mendapat gempuran dari ibu - ibu itu. Ia merasa tidak salah. Sudah hampir sebulan Nisa di sini tapi ia tidak pernah melihat suaminya datang. Atau Dia tidak tahu saat suaminya datang? "Bukan begitu, Ibu - Ibu..!" Doni beringsut ke arah pintu untuk
Dokter Wizhar, Dokter yang langsung mendiagnosa penyakitnya saat pertama kali melakukan pemeriksaan dan memberi serangkaian kalimat yang memotivasi keinginannya untuk bangkit."Ibu nggak sakit. Ibu hanya lelah dan kecewa yang berkepanjangan. Itu yang membuat Ibu merasa sakit. Ibu hanya perlu istirahat dan mencoba untuk ikhlas. Obati pikiran Ibu dengan keyakinan bahwa Ibu akan selalu baik - baik saja. Buatlah mindset pada pikiran Ibu kalau Ibu ini sehat. Maka Ibu akan sehat." kalimat itupun diucapkan dengan sikap yang biasa saja. Seolah dia mengatakannya untuk dirinya sendiri.Tidak ada salam perpisahan saat pengobatannya selesai. Nisa seperti mengikuti Vaya dengan mengatakan banyak Alhamdulillah."Terimakasih Dokter." ucap Vaya sebelum mengikuti Nisa yang langsung berjalan keluar."Iya, Ma. Makasih, Mama." Iman langsung datang menjemput Nisa begitu Wida mengabarinya.Iman meminjam Alpard milik Anto agar Nisa merasa nyaman saat perjalanan pulang. "Alpard milik siapa ini?" gumam Doni
Lagi - lagi Sari mengucapkan sesuatu yang mengejutkan Nisa. "Teteh takut mati nggak ada yang tahu.""Ishh!" "Temani Teteh, ya? Seenggaknya sampai ada ganti Kamu nanti." mau tak mau Nisa mengangguk. Nisa berpikir. Apa yang dikatakan Pak Kyai itu sampai Sari terus menerus menyebutkan kematian? "Aku pulang, ya." Nisa memeluk dan mencium punggung tangan Sari saat melihat Edi memasuki rumahnya tepat azan Zuhur berkumandang. "Pulang dulu ya, Bang." Angguk Nisa pada Edi. "Ya Nisa, makasih." Edi tersenyum lebar. Nisa berjalan pulang dan melihat saudara - saudara Iman yang lain sedang berkumpul di depan rumah Yanah. Ada Hasby juga. Tapi tak ada Iman di sana. Nisa hanya menganggukkan kepalanya saat melewati mereka menuju rumahnya. "Nisa!" panggil Yanti. Nisa berhenti melangkah dan menoleh pada mereka yang kini semua tengah menatapnya. "Teh Sari sama siapa?" tanya Yanti lagi. Dari nadanya ia seolah menyalahkan Nisa yang sudah meninggalkannya. "Ada Bang Edi." jawab Nisa dengan hati k
Tentu saja Mumu tidak ingin langsung mengalah. "Tapi..""Udah! Kamu diem aja. Iman lagi nyetir. Jangan bikin Dia marah!" bentak Hasby. Mumu langsung membungkam mulutnya. "Dari situ belok kanan, Man." pinta Samir. Iman membelokkan mobilnya ke kanan.Ternyata Samir ingin mengajak Hasby makan - makan karena Dia baru saja memenangkan proyek yang lumayan menguntungkan. Ia tidak keberatan saat Hasby ingin mengajak adik - adiknya. Iman yang baru saja makan di rumah masih merasa perutnya kenyang. Apalagi Samir membawa mereka ke restauran cepat saji yang ada dalam sebuah Mall yang Iman tidak terlalu berselera memakannya. "Kamu kok nggak makan, Man?" tanya Samir saat Iman hanya memesan segelas kopi. "Saya baru makan di rumah, Bang. Masih kenyang.""Dia mah nggak doyan makan makanan beginian, Bang. Lidahnya lidah kampung." Mumu tertawa meledeknya. Hasby menyenggol lengan Mumu. "Emang kenapa kalau lidahku lidah kampung? Nggak nyusahin orang, 'kan? Daripada punya lidah kota tapi bisanya cuma
"Emang ikannya udah dibersihin?""Papah, ninggalin ikan di ember gitu aja jadi Mamah nyuruh orang bersihin terus langsung Mamah bumbuin." Iman belum memindahkan ikan ke dalam empang karena ingin memasaknya. Tapi ia lupa membersihkannya karena harus segera pergi bersama Hasby. "Iya, Mah. Goreng ikan aja." Iman langsung merasa lapar. Nisa meletakkan ayamnya ke dalam lemari makan dan bergegas ke dapur. Malam ini mereka makan dengan selera mereka masing - masing. Doni malah lebih beruntung lagi karena ia selain menyukai ayam goreng cepat saji ia juga menyukai ikan. Jadi ia tidak mau ketinggalan makan ikan goreng yang sengaja dilebihkan oleh Nisa. "Teh Sari udah makan belum, ya?" gumam Nisa saat malam sudah semakin larut dan ia sudah membaringkan tubuhnya di tempat tidur bersama suaminya. "Ada suaminya." sahut Iman pendek. "Bagaimana kalau suaminya nggak ngurusin?" Nisa teringat saat Ia sakit dulu. Iman bahkan lupa membeli sarapan untuknya. Bukan lupa mungkin, tapi tidak punya uangn
Nisa meletakkan piring oreg tempe di atas meja dan mengambil piring bekas nasi goreng. "Nisa pulang ya, Bang?" pamit Nisa. "Jangan pulang dulu, Nisa. Abang mau keluar sebentar. Abang bangunin Teteh dulu, biar Dia makan ditemenin Kamu, ya?" ujar Edi."Oke." Nisa menurut. Ia duduk di kursi kayu kecil di dekat meja. Edi berusaha membangunkan Sari. "Mah, ada Nisa bawa oreg tempe, nih. Ayok makan dulu." Sari tidur tak bergerak."Mah?" kini Edi menepuk - nepuk pipi Sari. Sari tidak terbangun. Edi mulai cemas dan itu menular pada Nisa. Tak biasanya Sari terlalu pulas atau kebluk seperti suaminya. Nisa berlari menghampiri Sari dan mulai mengguncang kakinya. "Teh?" Sari tetap tidak bergeming. Edi mulai panik. "Mah! Mah!" Nisa langsung berlari keluar untuk meminta bantuan. Ia berlari secepat yang Ia mampu. Ia merasa terbang karena sesaat kemudian Ia sudah sampai di depan rumah Hasby dan mengetuk - ngetuk pintunya. "Bang! Abang! Tolong!" teriakan Nisa membuat Yanah dan Ijay keluar dari da
Edi berusaha menjelaskan kesehariannya selama di rumah bersama Sari. Alasannya beberapa hari ini ia dan anak - anak sering meninggalkan Sari sendirian. "Kalau nggak pakai ramuan hijau itu, bau busuknya menyengat. Ada saatnya Aku nggak tahan.""Astaghfirullah.." Yanah mengurut dadanya. "Jadi bagaimana sekarang?"Tidak ada yang bisa menjawab karena semua juga menanyakan hal yang sama.Yanah menatap kedatangan Sari di kursi rodanya dengan keharuan yang menyeruak dalam rongga dadanya. Sari terlihat tenang meski lemah dan pucat. Dada Sari tertutup perban. Tidak ada lagi warna hijau. Benar kata Edi, bau busuk samar tercium, mungkin sedikit terhalang oleh perban itu."Sari, Kamu udah nggak papa, 'kan?""Memang nggak papa. Ngapain coba, orang lagi tidur di bawa ke sini. Buang - buang uang aja." celetukan Sari membuat yang lain berusaha membuat senyum di wajahnya. Kalau Sari hanya tidur, ngapain juga mereka sampai sepanik ini? "Jadi habis berapa biayanya? Mahal, 'kan? Pasti pakai uang bang
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k