Mereka mengangguk. Mereka senang Iman benar - benar tidak berniat memecat mereka hingga menyiapkan pengganti merekapun tidak. "Ya udah, Bos. Kita pulang, ya?" mereka berpamitan dan mencium punggung tangan Iman. "Salam buat Ibu, Pak.""Ya. Kalian tetap sering main ke sini, ya? Ibu pasti senang kalau Kalian datang.""Siap, Bos!" Iman melihat mereka berlalu dengan perasaan campur aduk. Lega tapi juga sedih. Meskipun ia tahu mereka tidak melakukan apa yang di tuduhkan para pemancing itu kenyataannya ia tetap tidak bisa membela mereka, bahkan mengikuti keinginan para pemancing itu. Iman masuk ke kamarnya dan melihat Nisa sudah tertidur dengan setitik air di ujung matanya. Ia pasti habis menangis. Iman merebahkan tubuhnya perlahan agar tidak membangunkan Nisa. Tapi Nisa ini sangat peka dengan gerakan. Ia langsung membuka matanya."Bagaimana, Pah?" Nisa langsung duduk menghadapi suaminya. Iman menghela nafas."Sudah?" tanya Nisa. "Sudah." Iman mengangguk. Tak disangka Nisa terlihat be
Iman kebingungan karena teman - teman Anda yang ingin bekerja sama sekali belum berpengalaman dalam nyerok menyerok ikan. "Kan bisa Deni ajarin, Pah. Tapi, wani piro?" Deni tersenyum lebar. "Kayak yang udah pinter aja!" sungut Iman. "Seenggaknya lebih pinter dari mereka, Pah!"Anda tertawa melihat Iman menepuk kepala Deni perlahan. Hari ini dapat mereka lalui dengan keengganan Iman melayani para pemancing itu. "Nyatetnya yang bener, Bos!" Ada saja pemancing yang complain atau sekedar meledek Iman yang sedang sensi.Hampir jam 12 malam. "3, 2, 1, selesai!" teriak Iman penuh kelegaan. Ia langsung masuk ke dalam. "Pah! Nggak mau nungguin bagi hasil?" teriak Deni. "Jatah Papah kasihin Mamah!" Iman balas berteriak. Para pemancing masih bersiap - siap untuk pulang."Asyik, nih." Nisa tertawa. Si Mbak ikut senang melihatnya. "Tiap hari aja, Pah. Nyeroknya.""Ih! Najis!" Iman mendecih. Tidak lama kemudian Deni memberikan lembaran warna merah pada Nisa. "Emang dapetnya cuma segitu?"
Diantara para pemancing itu ada juga pemancing wanita. Memang hanya ada beberapa orang tapi yang seringkali datang bahkan hampir setiap hari menyebut dirinya 'bunda'.Bunda ini selalu datang berdua bersama suaminya yang memakai nama 'Ayah' sebagai nama pemancingnya. Sesuai janji Nisa, begitu pemancingan kembali berjalan normal, Nisa memanggil Anet lagi. Anet dengan suka cita menerima panggilannya. "Ini anak tau - tau udah gede aja." celetuk si Mbak saat melihat Anet lagi."Dulu waktu pertama dateng gedenya segini." si Mbak mengukur setinggi bahunya. "Mbak, Bunda minta milor." kata Anet. Milor itu sebutan untuk indomi rebus pakai telor. "Ayah nggak ikutan pesan milornya?""Nggak." Anet menggeleng. "Apa nggak tau kalau Bunda pesan. Mereka duduknya jauh - jauhan."Si Mbak langsung membuatkan pesanan. Setelah ada Anet, Nisa dapat beristirahat di kamarnya. Tidak perlu menghadapi pemancing - pemancing itu. Laporan dan setoran uangnya akan di letakkan si Mbak di atas lemari kabinet di
"Kenapa dikasih hutang lagi, sih? Suruh bayar dulu hutangnya. Memang mau ditumpuk sampai berapa?" ini Nisa."Apaan sih, Mbak?! Baru juga segitu udah rewel banget, sih?!" ini Bunda. Bibirnya yang dower karena suntikan silikon semakin terlihat melebar. Merah merekah.xSama seperti ikan - ikan yang dipancingnya itu."Itu pesan dari Ibu, Bun." kata si Mbak nyaris frustasi."Tobat!" si Mbak mengeluh saat berada sendirian di warung dan Bunda lagi - lagi menambah hutangnya. Sekarang hutang Bunda mendekati 200 ribu. "Ini nggak bisa dibiarkan lagi." Nisa bertekat mengajak Bunda berbicara dari hati ke hati malam ini juga. Bunda datang seperti biasa dengan tawanya yang berkumandang ke seluruh area pemancingan. Biasanya Ia akan langsung duduk di meja dekat papan sampai nomor lampak dikocok dan ia mendapat nomor lampaknya. Kali in Nisa menahannya di depan warung. "Bunda, bisa Kita bicara sebentar?""Ibu! Ada apa, ya?" Nisa mengajaknya masuk dan duduk di ruang tamu. "Bunda, Saya mau minta tolong
"Suara apa itu, Mbak?" Nisa keluar dari kamarnya. Padahal ia ingin tidur setelah sholat Isya tadi. Tapi suara musik itu terlalu bising. "Siapa yang nyetel musik sampai kayak gitu, sih?" suara sound system yang keras itu begitu menghentakkan dadanya.Nisa mengusap dadanya yang terasa sakit. "Ada rombongan pangamen, Bu. Pak Mumu yang ngundang.""Pengamen sampai pakai sound system begitu? Hebat banget." mulut Nisa memuji meski hatinya tidak menyukai ini.Si Mbak mengangguk. "Pak Mumu yang ngundang. Jadi Dia yang bayar." Oh.. Iman masuk dan melihat Nisa Duduk di warung. Tangannya terulur. "Mah, minta 50 ribu." tentu saja itu membuat dahi Nisa berkerut. "50 ribu? Buat apa?""Patungan buat bayar dangdut itu." Nisa nenatap suaminya. Ia bingung. Katanya Bang Mumu yang bayar? "Bukannya Bang Mumu yang ngundang, ya?""Iya. Bang Mumu cuma ngundang doang. Kita yang di suruh patungan.""Kok begitu?""Udah cepetan dong, Mah. Yang lain udah ngasih, tinggal Kita." Nisa menghela nafas. "Kitanya
Nisa speechless. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi ia sangat kesal pada Iman. Bagaimana sih, cara Iman menyampaikan cerita Nisa pada saudara - saudaranya? "Aku, nggak..." hanya itu yang mampu ia ucapkan. Satu kalimat saja yang akan ia katakan akan mereka balas dengan kata - kata yang lebih menyakitkan. Mereka jagonya. Lalu kemana Iman saat keluarganya melabraknya saat ini? Belum sampai seminggu pengamen - pengamen itu datang lagi. Kali ini Nisa memperingatkan si Mbak, "Kalau mereka pesan, minta dulu uangnya. Bilang aja di suruh Ibu begitu." si Mbak mengangguk patuh. Ia sangat mengerti perasaan Nisa. Nisa bertengkar hebat dengan suaminya gara - gara mereka. "Papah bilang apa sih, sama mereka?""Papah bilang apa adanya, Mah!" Iman berkelit. "Apa adanya gimana?" netra Nisa mencapai batas maksimal. "Mamah nggak ngerumpiin sama tetangga! Dia yang protes ke Mamah, Pah!" Nisa meradang. Iman diam. Ia tau Nisa tidak menyukai dangdut, sangat bertolak belakang dengan Iman dan kel
"Hari ini hari selasa, Bu." si Mbak mengingatkan Nisa. 'Ya." Nisa mengangguk. Ia ingat akan menagih Mumu, seperti yang ia janjikan. Sampai siang Nisa tidak melihat Mumu keluar dari rumahnya. "Apa langsung ke rumahnya aja, ya?" Nisa bermonolog ria. "Mbak, tolong sandal Ibu, dong." pinta Nisa. Ia akan ke rumah Mumu melalui pintu belakang. Si Mbak baru saja meletakkan sandal di depan kaki Nisa saat Mumu terlihat keluar dari rumahnya. "Tunggu di sini aja, deh." ujar Nisa senang. Ia memilih berdiri di depan pintu belakang rumahnya. Mumu lewat dan melihat Nisa. Ia tahu Nisa menunggunya tapi ia sengaja melihat lurus ke depan. "Bang!" tapi Nisa memanggilnya. 'Ini anak nggak ada takut - takutnya.' dumel hati Mumu. Ia berhenti melangkah. "Apa?!" nada suaranya sudah tidak enak di dengar. Tapi Nisa tidak perduli."Abang janji bayar hari ini. Mana? Tangan Nisa terulur. Mumu mendengus kasar."Kalau sudah ada uangnya juga pasti Kubayar!""Tapi 'kan Abang yang janji hari ini mau bayar?""Iya
Dari 3 anak mereka, hanya Nino yang sama sekali tidak suka memancing. Deni sama persis seperti Papahnya dan sering ikut Papahnya memancing dimana - mana. "Deni puas kalau ikut mancing sama Papah, Mah." ceritanya pada Nisa. Nino yang tidak suka memancing melengos. "Apa enaknya? Duduk seharian ngeliatin kumbul.""Tapi kalau ditarik sama ikan umpannya, rasanya bagaimanaaa... Gitu.." sergah Deni.'Persis sama yang Papahnya bilang.' gumam hati Nisa."Lagian, Papah kalau di sana royal banget, mah! Deni kenyang jajan!" Deni tertawa. "Mau ambil apa aja boleh." bibir Nino mengerucut. Memang begitu saat Papahnya mengajaknya mancing saat ia masih kecil dulu. Tapi tetap saja itu tidak membuatnya betah untuk berlama - lama di sana. Saat itu Iman memancing bersama abang - abangnya, Mumu dan Edi. "Bang, tolong anterin Nino pulang, ya." pinta Iman pada Mumu. Sejak saat itu Nino tidak pernah mau bila diajak memancing lagi. Kalau Iman memaksa menemaninya, ia akan berteriak, "Nino nggak suka, Paaah
"Udangnya pesan beberapa porsi ya, Nah. Oke, Kita nanti meluncur ke sana. Nemenin Edi dulu sebentar." Hasby menutup ponselnya."Bagaimana? Mau ikut apa tinggal di sini?" Hasby melirik Sani yang langsung tersipu malu."Saya punya suami, Bang." Mumu, Yanti, Iman dan Nisa langsung tergelak - gelak. "Emang Saya nanya?"Edi mengerucutkan bibirnya. Hasby tak dapat menahannya lagi. Tawanya terlepas. "Dia ngomong begitu karena takut Kamu kena php, Di.""Ayok, jalan." Edi menyeruput kopinya lagi sebelum berjalan."Mau kemana? Yanah di sebelah sana!" Hasby menunjuk arah yang sebaliknya. Edi memutar langkahnya. "Kasihan Bang Edi." ucap Nisa. Iman merengkuh bahu dan memeluk Nisa.Yanti tau Mumu tidak akan melakukan itu karena tidak terbiasa. Ia berinsiatif memeluk lengan Mumu lagi. Tapi tak di sangka Mumu melepaskan tangan Yanti dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Yanti hampir menangis karena bahagia. Netra Edi yang tajam langsung melihat keberadaan Yanah dan Ijay. "Nah!" ter
"Bang Hasby tidak terlalu memuja pada kecantikan. Yang penting klik.""Tapi Aku nggak pe de tanpa make up." kata Ratna, mulai goyah. "Ya, jangan harap Bang Hasby akan melirik Mbak. Padahal Dia lagi cari pendamping hidup, lho. Dia sudah lama jadi duren. Duda keren." Yanti mulai menjadi kompor. "Udah, yuk. Kita mau ke toilet." ajak Yanah. "Eh, nanti dulu. Kalau Saya nggak pakai make up apa Hasby akan menyukai Saya?"Ikan memakan umpannya. Nisa tersenyum. "Sudah pasti. Abang pernah bilang suka kok, sama Mbak. Tapi katanya,'Sayang ya, Dia pakai make up. Coba kalau enggak." Nisa heran kenapa Yanti begitu lancarnya berbohong. Ratna termenung. "Andai Mbak bisa jadi kakak ipar Kita, Kita pasti seneng banget bisa makan enak terus." rayu Yanah lagi. Dalam hatinya ia bergumam, 'Duh - duhh..! Apanya yang enak, siiih?'Ratna tercenung. Apakah Hasby benar - benar akan tertarik padanya tanpa riasan di wajahnya? Mereka melanjutkannya dengan cerita mengenai Hasby. Hasby yang seorang psikiate
"Ra.. Ra..?" Edi tergagap. Ia terkesima bukan karena takjub tapi lebih karena terkejut dan takut. "Ratna?" sapa Hasby dengan senyum yang mengembang. Bertolak belakang dengan Edi yang kemudian memalingkan wajahnya, Hasby justru bangun untuk menjabat tangannya. Di mata Edi Ratna begitu menyeramkan. Alisnya hanya tinggal sebelah - sebelah karena tidak ada lukisan dari pensil alis di sana. Bibirnya juga hampir membiru karena tidak ada sapuan lipstik di atasnya. Hasby tersenyum."Apa kabar?" tuturnya. Lebih hangat dari biasanya. "Baik." Ratna langsung duduk di sebelah Hasby. Ia merasa Hasby telah meresponnya dengan baik. Tidak kaku seperti sebelumnya. Bibir birunya menguakkan senyum. "Kapan - kapan Saya main ke rumah Abang, ya?" katanya tanpa melirik sedikitpun pada Edi yang belum pulih dari rasa terkejutnya. "Boleh." Hasby tersenyum tipis. Ia tidak takut Ratna datang ke rumahnya karena banyak anak buahnya yang dapat menghalangi Ratna untuk bertemu dengannya. Ratna semakin senang
Iman ikut tertawa sedang Hasby yang baru keluar dari ruangan itu menahan senyumnya. Baru kali ini Mumu mencemburui istrinya. Sudah puluhan tahun sejak mereka menikah. Selama ini Iman yang terkenal dengan kecemburuannya. Mumu selalu cuek pada istrinya. Tapi sekarang? Setelah menghentikan tawanya Edi berujar, "Habis ini Aku akan bertemu dengan Ratnaku. Aku sudah rindu berat." Ratnaku? Yang lain sontak menepuk jidatnya masing - masing. Gusti, bagaimana menyadarkbuan manusia satu ini? "Emang Kita mau ke sana lagi? Makanannya 'kan kurang enak?" berengut Yanah. "Iya." timpal Iman setuju. Edi menatap Hasby. Ia mulai cemas. Hasby mengerti kecemasan Edi. Bagaimanapun Ia tidak ingin mengecewakan adiknya yang satu ini. "Ya. Nanti Kita ke sana." Edi kembali ceria dan bersemangat. "Yes!"Nisa menggelengkan kepalanya. Prihatin. 'Kasihan Bang Edi. Dia kesepian.'Yanti menarik lengan Nisa."Ayok nanti Kita kerjain ondel - ondel itu, Nisa." bisiknya. "Bagaimana?" Yanti membisikkan sesu
"Sabar, dong. Orang sabar itu kekasih Allah." ucap Hasby. Bijak seperti biasanya. "Taraaa!" Nisa mengembangkan kedua tangannya. Netra merah Mumu membelalak saat Yanti kembali. Yanti mengenakan gamis seperti Yanah dan Nisa. Kepalanya juga memakai hijab instan. Ada sapuan bedak dan lipstik tipis - tipis. Yanti terlihat berbeda. Yanti terlihat berbeda. Ia tersenyum malu saat netra suaminya nyaris tak berkedip menatapnya. "Kamu apain Dia, Nisa?" tanya Edi dengan mengerjapkan netranya berulangkali. "Ternyata gamis Teh Yanti banyak. Bagus - bagus. Tapi Dia nggak berani pakai. Takut Bang Mumu nggak suka. Takut diketawain.""Aku suka. Suka banget." cetus Mumu tanpa sadar. Air liurnya bahkan menetes. Ia seperti siap menelan Yanti sekarang juga."Iler tuh, iler!" Edi tertawa diikuti yang lain. "Nggak ada yang nggak suka sama perempuan feminin." ujar Iman sambil meraih Nisa dan menghadiahinya dengan sebuah kecupan kecil di pipinya. Cup! "Hadiah karena udah membuat Teh Yanti jadi peremp
Yanah kembali memeluk Nisa. 'Kasihan anak ini. Dia benar - benar jadi korban untuk semuanya.'Ijay menatap Nisa. Ia kini menyadari perasaannya. "Itu bukan cinta, Nah. Itu cuma rasa kagum yang dibaluri rasa iri karena tidak dapat memilikinya. Nisa seperti boneka yang tidak bisa Kamu miliki, Jay. Jadi Kamu terobsesi padanya."Yanah dan Ijay mengangguk. Mereka sama menatap Nisa yang memerah wajahnya karena dikatakan boneka. Bulu matanya yang lentik mengerjap. Dia memang seperti boneka. "Boneka kesayangan." Yanah mencium pipi Nisa yang memerah karena malu.Nisa menyadari sesuatu. "Tolong, Teh, Bang, Iman nggak usah tau hal ini, ya?" Nisa tidak ingin membuat Iman menjadi posesif bila melihat Ia bersama Ijay."Masalah ini Kita tutup sampai di sini. Yang lain nggak usah tau, bukan hanya Iman." tegas Hasby. "Ya." Ijay dan Yanah mengangguk. Hasby tersenyum. Ia juga langsung pamit untuk pulang. Masalah ini sudah mereka selesaikan dengan baik karena campur tangan Hasby. Ijay berjanji aka
"Teteh kenapa? Jangan bikin Nisa takut, Teh?" Nisa mengusap airmata Yanah dengan jari dan telapak tangannya. "Kamu mau maafin Aku kan, Nisa? Apapun kesalahanku?" Nisa semakin bingung. Ia ikut menangis karena mengkhawatirkan keadaan Yanah. Ia takut Yanah seperti Sari yang meminta maaf padanya karena akan pergi untuk selamanya. "Iya. Tapi Teteh jangan nangis gitu, dong?"Melihat Nisa ikut menangis Yanah berusaha meredam tangisnya. Tapi tidak bisa. Airmatanya justru meluncur semakin deras. Ia tidak henti - hentinya mengucapkan kata maaf. "Maafin Aku, Nisa. Maafin Aku."Terbayang sikap buruknya selama ini pada Nisa.'Kenapa Aku baru merasakan kebaikanmu, Nisa? Kenapa Kamu nggak pernah membalas perkataanku yang sengaja membuatmu sakit hati?'Melihat Yanah terus menangis Nisa tidak tahan lagi. Ia menghambur keluar kamar. Ijay dan Umboh terkejut melihat wajah Nisa yang basah dengan airmatanya. "Kenapa, Bik?" tanya Umboh panik. Ia langsung berlari ke kamar Mamahnya. Ijay menatap Nisa sebe
Iman mengangguk seraya menepuk kantong celananya. "Ada. Tadi Bang Hasby sebelum berangkat ngasih Papah uang. Katanya biar Papah semangat nyetirnya." memang Hasby itu sangat murah hati. "Buat belanja besok aja, Pah." Nisa mulai berhitung. "Cukup, kok." berapa yang harus dihabiskan, sih? Hanya makan bakso berdua. Mereka semua makan juga masih ada lebihnya. "Buat bekal Doni?" Nisa ini benar - benar, ya? "Aman." rungut Iman. Tapi Nisa berpikir lagi."Tapi Mamah benaran kenyang, lho." Nisa melihat kekecewaan di mata Iman. Ia ingin jalan berdua dengan istrinya. Makan bakso hanya alasan."Gini aja. Mamah temenin Papah makan, ya?" Iman menjadi tidak bersemangat. "Mana enak makan sendiri."Nisa tersenyum. Tangannya mengelus pipi Iman. Ketiga anak mereka menatap dengan hati senang. "Mamah lagi romantis." bisik Doni. "Kita bikin romantis," Deni malah bersenandung dengan mulut penuh nasi. Ada yang tersembur keluar. "Jorok, ih!" Nino menoyor kepala adiknya. Deni dan Doni tertawa. "Yang
Setiap ada masalah Nisa yang akan selalu disalahkan."Itu semua karena Nisa!" "Gara - gara Nisa!" "Nisa, siiih..!"Demi menutupi perasaannya Ijay mendukung keinginan Yanah. Bahkan ia ikut bersikap julid pada Nisa di depan orang lain. Ijay berhasil membohongi orang lain termasuk Iman, tapi ia tidak dapat mengelabui istrinya. Ijay dapat mengelabui siapapun tapi tidak dengan istrinya, Yanah. Istrinya diam dengan hati yang berkobar dan bila ada kesempatan akan membakar saat ada permasalahan antara Iman dan Nisa.Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Setelah Yanah sakit dan mendapat curahan perhatian dari Nisa rasa benci itu terkikis sedikit demi sedikit. Kelembutan Nisa saat menemaninya membuatnya luluh. Apalagi Nisa selalu menundukkan pandangannya pada lelaki lain, termasuk Ijay. "Siapa yang tidak jatuh hati pada Nisa. Dia begitu cantik dan lembut. Idaman setiap laki - laki." Yanah tidak pernah mendengar Nisa berteriak. Bahkan saat Yanah memakinya sekalipun.Iman membelokkan mobil k