Dari 3 anak mereka, hanya Nino yang sama sekali tidak suka memancing. Deni sama persis seperti Papahnya dan sering ikut Papahnya memancing dimana - mana. "Deni puas kalau ikut mancing sama Papah, Mah." ceritanya pada Nisa. Nino yang tidak suka memancing melengos. "Apa enaknya? Duduk seharian ngeliatin kumbul.""Tapi kalau ditarik sama ikan umpannya, rasanya bagaimanaaa... Gitu.." sergah Deni.'Persis sama yang Papahnya bilang.' gumam hati Nisa."Lagian, Papah kalau di sana royal banget, mah! Deni kenyang jajan!" Deni tertawa. "Mau ambil apa aja boleh." bibir Nino mengerucut. Memang begitu saat Papahnya mengajaknya mancing saat ia masih kecil dulu. Tapi tetap saja itu tidak membuatnya betah untuk berlama - lama di sana. Saat itu Iman memancing bersama abang - abangnya, Mumu dan Edi. "Bang, tolong anterin Nino pulang, ya." pinta Iman pada Mumu. Sejak saat itu Nino tidak pernah mau bila diajak memancing lagi. Kalau Iman memaksa menemaninya, ia akan berteriak, "Nino nggak suka, Paaah
Nisa kembali berdua dengan cepot menjaga warung. Si Mbak seperti biasa absen lagi. "Mah, itu si Mbak gimana hitungannya?" tanya Iman. Ia juga kesal melihat si Mbak semakin seenaknya. "Gampang. Nanti Mamah hitung hariannya aja.""Nanti Dia nggak marah?""Emang berani, udah salah mau marah - marah?" Cepot menyerah pesanan dari lampak besar."Ini, Bu." dia langsung keluar lagi untuk mencatat pesanan dari lampak kecil. Nisa membuatkan pesanan kopi dan es lalu menyusunnya di atas nampan. "Mana yang belum, Bu?""Itu, 3 nomor terakhir."Saat Cepot datang ia segera membantu membuatkan pesanan yang belum sempat Nisa buat. Setelah selesai ia langsung membawa nampan untuk di bawa ke lampak besar. Lampak kecil itu sebutan untuk lampak no 1 - 20. Lampak besar dari 21 - 40.Nisa membuatkan lagi pesanan dari lampak kecil. Setelah selesai ia duduk memainkan hpnya."Bu, ada yang pesan lagi, nih." Cepot menyerahkan kertas pesanan baru. Nisa meletakkan hpnya sedang Cepot mengantar pesanan ke lampak
Si Mbak menelusuri nama - nama yang tertera di catatan yang ditulis Cepot. "Bang Mujii... Lampak 34. Tuh anak, tinggal nyebutin nomor lampaknya aja susah!" bibir si Mbak mengerucut tajam. Cepot duduk di samping bang Muji setelah mengantarkan pesanannya. "Capek ya, Pot?" tanya bang Muji. "Capek mah enggak, cuma kesel!""Kesel kenapa?" Cepot tidak ingin menjawab. 'Kalau nggak ingat udah janji sama Bu Nisa untuk jangan bolos - bolos rasanya Aku pengen bolos besok!' dumelnya dalam hati. "Pot! Minta es susu, dong!" teriak orang di seberang mereka. Teriakannya cukup keras. Seharusnya si Mbak juga mendengarnya.Cepot melihaht ke warung. Dilihatnya si Mbak tidak bergerak dari kursinya. Seharusnya ia langsung membuatkan es susu itu untuk dibawa Cepot. Tapi tidak. Ia terlihat sibuk dengan buku catatannya. Cepot diam di tempatnya untuk beberapa lama. "Pot! Cepetan, lah! Haus, nih!" Cepot melihat si Mbak tetap tidak bergeming. "Benar - benar dah, tuh orang!" Cepot bangun dan bergegas ke
"Bos! Kita pulang dulu, ya." mereka menghabiskan kopinya sebelum berpanitan."Makasih kopinya, Bu." Nisa mengangguk."Ngapain sih buru - buru? Kan belum diusir." celetuk Iman. Ia sendiri langsung berjalan ke lampak kecil. "Si Bos ini!" Juned manyun. "Bercanda." Nisa tertawa. Juned menggaruk kepalanya lalu menundukkan kepalanya pada Nisa. Firman ikut menundukkan kepalanya. "Pamit, Bu." Nisa mengangguk. Iman berdiri di lampak kecil. Sepertinya tidak ada yang aneh. Tapi hatinya mulai tidak tenang. 'Suami si Mbak pasti pakai dukun buat majuin empang mereka. Kalau enggak, ngapain anak buahnya disuruh makan kembang? Lalu..' Iman mulai merasa gelisah. 'Bagaimana kalau mereka..' Iman mendesah. Ia memperhatikan setiap sudut, setiap sisi di lampak kecil itu. "Ngapain, Pah?!" teriak Nisa. "Nggak papa." Iman kembali ke tempat mereka tadi duduk. "Buat buka masak apa, Mah?""Ih, nggak puasa juga ngapain nanya - nanya.""Emang kalau nggak puasa nggak boleh ikut buka?""Nggak boleh." Nisa
Bulan ramadhan ini begitu penuh keberkahan buat Nisa karena ia tetap dapat menyisihkan uang warungnya untuk membeli baju lebaran dan sedikit tunjangan hari raya untuk semua anak buahnya. "Nggak usah di beliin baju, Mah. Mereka puasa juga kagak." cetus Iman."Biarin aja, Pah. Mamah 'kan udah niat ngasih mereka. Kan cuma setahun sekali."Iman merasa sayang. "Mendingan buat beli bensin Kita ke Bandung." katanya julid. Netra Nisa membesar. Iman selalu seperti itu. "Pah! Itu udah rezeki mereka. Jangan suka ditahan tahan." Iman hangs dapat mengangkat bahunya. Hari ini seminggu menjelang lebaran. Si Mbak ijin untuk pulang kampung."Kapan pulangnya?""Besok sore, Bu.""Besok pagi masih bisa kerja?""Bisa, Bu.""Oke." Nisa mengangguk.Paginya si Mbak datang lebih siang dari biasanya. Tapi seperti biasa, Nisa tidak ingin ambil pusing. "Ini." Nisa memberikan bungkusan berisi baju lebaran untuk si Mbak. Si Mbak langsung membukanya. Netranya berbinar. Nisa memang tahu kesukaannya baik dari wa
"Kok aneh. Mereka yang bilang mereka kerja di sana. Masa' udah berhenti lagi, sih?""Tapi mereka beneran nggak ada, Mah. Kata si Mbak mereka cuma seminggu kerja di situ." Nisa semakin terkejut. Bukan karena kata - kata si Mbak yang menyatakan Juned dan Firman hanya seminggu bekerja di sana, tapi.."Si Mbak ada?""Ada. 'Kan Dia yang ngelayanin warungnya." Nisa terhenyak. Ternyata si Mbak belum pulang kampung. Atau tidak? Kenapa Dia harus berbohong? Nisa semakin tidak habis pikir dengan cerita Deni selanjutnya."Anaknya si Mbak yang udah nikah Mamah tau, 'kan?" Nisa mengangguk. "Fikri?" "Masa Dia pakai jaket seperti punya A Nino itu, Mah. Yang Mamah waktu itu tanyain." Nisa mulai dapat menduga tapi ia tidak ingin asal menuduh. "Mungkin Dia juga punya, Nang. Jaket begitu 'kan banyak." Deni menganggukkan kepalanya. "Iya, mungkin." tapi masih ada yang mengganjal di dadanya. "Si Masnya belagu banget, Mah. Si Mbaknya mah baik banget." cerita Deni lagi. Memang begitulah sifat manusia.
"Kalian kok jadi ngomelin Aku, sih?" Iman balik melotot. Piringnya yang sudah kosong ia letakkan di meja. Ia langsung menyalakan rokok, menyalakan lalu menghisapnya dengan nikmat. "Bos sama istri jangan begitu, dong." Cepot seperti tidak peduli akan pelototan Iman. Catur, Anda dan Yasa mengangguk. Mereka memang merasakan sikap Iman yang sedikit keterlaluan pada Nisa. "Cuma ke Bandung, Bos! Bukan ke Bali!"Cuma pulang ke Bandung saja seperti sesuatu yang sangat berat dikerjakan. Padahal tidak harus menyeberangi pulau juga. Catur ingin menambah ketupat dan ayamnya tapi ia takut dinyinyiri Iman lagi. Ia mendekati meja dan duduk di sampingnya. 'Biar gampang.' hatinya tertawa. "Masa' Bos keberatan beli bensinnya, sih?""Udah jangan kebanyakan ngomong!" Iman cemberut. Ia tidak ingin melayani ucapan anak - anak buahnya itu. 'Anak - anak kemarin sore emang tau apa?' gerutu hatinya. Ia berjalan keluar dan duduk di dekat papan. 'Ini kesempatan.' Catur segera menambah ketupat dan opornya.
Nisa sungguh kesal. Iman selalu ingin bersikap seenaknya dalam segala hal. Masa' mereka harus berdebat dulu hanya gara - gara asbak?"Kenapa sih, kalau buang abu itu di dalam asbak? Capek, ya?"Bukan capenya, ribetnya. Kalau langsung begini 'kan enak." Iman yang duduk di samping jendela mengetukkan abunya keluar. "Begini juga enak." Nisa menyorongkan asbak itu di depan Iman. Iman hanya menjebikkan bibirnya. Itu karena Ia yang tidak perduli akan pentingnya kebersihan bagi mama Wida. Tidak ambil pusing akan pentingnya asbak untuk perokok seperti dirinya. "Aawh!" Iman menjerit tertahan. Ia mengusap lengannya yang menjadi sasaran kekesalan Nisa. Gigi Nisa beradu karena menahan kesal. "Kok Mamah nyubit Papah, sih?" bibir Iman mengerucut. "Gemes! Mau lagi?" Iman cepat - cepat menggeleng. Ia tidak ingin membuat masalah di rumah mertuanya.'Awas Kamu nanti kalau sudah di rumah." ancamnya dalam hati. Begitulah Iman, ia menurut bukan karena mengerti, tapi takut mendapat teguran dari mer