Sepeninggal tamu-tamu tak diundang tadi, aku memutuskan menginap di rumah sakit. Kamar VVIP menyediakan ranjang khusus bagi penjaga pasien.
"Bagaimana perasaanmu setelah keempat bocah nakal itu minta maaf?" tanyaku pada Cipta yang tengah memberiku tatapan kagum."Lebih baik, Ma."Aku menepuk pelan pundaknya. "Itu bagus. Jadi cepatlah sembuh jagoan, Mama butuh pelindung."Kelakarku membuat Cipta tersipu. Pada dasarnya, puteraku adalah sosok pemalu. Meski akhir-akhir ini kami makin dekat, tetapi dia masih cukup canggung mendengar kalimat berisi pujian."Tapi bagaimana Mama bisa bikin mereka sampai datang kemari? Soalnya, mereka semua orang kaya."Dengan gaya jenaka, aku memegang dagu dengan kedua ujung jari. "Mamanya siapa dulu, dong? Cipta!"Anakku tergelak namun rasa penasaran di matanya demikian kentara.Tak mau lagi berlama-lama menyimpan rahasia, akhirnya aku jujur tentang latar belakang, kedua orang tuakDidorong rasa penasaran yang teramat dalam, aku meminta satpam yang bekerja di rumah Haris untuk mencari rambut tuannya beserta rambut anak Silvy. Besoknya rambut itu sudah dikirim ke butikku. Aku menimbang-nimbang plastik dengan zip lock ketat itu seraya mengamati dua helai rambut didalamnya. "Kamu yakin harus melakukan ini?" selidik Ambar yang sengaja kuundang untuk percakapan rahasia. "Aku yakin, Kak. Keculasan Silvy harus dihentikan."Kata-kataku yang penuh kesungguhan, membuat Ambar tidak lagi berusaha membujuk. Serta-merta dia mengambil sampel rambut dari tanganku. "Baiklah, tapi akan butuh waktu untuk mengetahui hasilnya.""Tak apa, Kak. Asal kebenaran bisa diungkap."Usai pertemuan dengan Ambar, aku tak membuang waktu untuk bertemu kenalan lama, manusia serba bisa jika menyangkut pencarian informasi. "Ada perlu apa, Tiara? Kukira kamu tak tinggal di bumi lagi." Basa-basinya yang kasar berh
Beberapa hari kemudian, panggilan mediasi pun ditujukan padaku dan Haris. Dalam sebuah ruangan tertutup, kami bersama kuasa hukum masing-masing dipertemukan. Sementara itu, seorang hakim muda yang bertugas sebagai mediator duduk di kursi utama. Acara diawali dengan pembacaan poin-poin gugatan kuasa hukumku sementara kuasa hukum Haris beserta mediator tampak serius menyimak. "Kepada saudara tergugat, apakah delik yang disampaikan saudara penggugat benar adanya?"Haris terpekur sementara aku harap-harap cemas menanti. Pasalnya, tak begitu yakin jika Silvy bisa memaksa Haris mundur di tahap mediasi ini. Sejauh yang kutahu, mantan suami bisa sangat keras kepala ketika menginginkan sesuatu. Haris mengangkat muka dan menjawab mediator. "Tidak benar, yang mulia."Aku mengumpat dalam hati. Apa segitu susahnya mengakui kesalahan? Gugatan yang kusampaikan terkait pengalihan hak asuh sudah disertai bukti cukup. Terlebih sebab Cipta mema
"Kenapa kamu harus melakukan ini?" gumamku sambil mengusap wajah Hendra dengan kapas antiseptik. "Tak apa, Tiara. Laki-laki bajingan macam Haris menang harus dikasih pelajaran."Aku agak kaget mendengar kemarahan Hendra sampai tak sadar bila tanganku sudah menekan lukanya lebih kuat. Ketika wajahnya meringis barulah aku sadar yang terjadi. "Maaf, maaf, aku tak sengaja."Hendra cuma tersenyum tipis. "It's okay. Mendapat perhatian darimu sudah cukup. Rasanya seperti mimpi."Aku kembali terkesiap. Saat ini pikiranku kembali teringat dengan laporan Anton tempo hari. Rasa penasaran kembali meronta-ronta didalam sana. Memberanikan diri, aku mulai bertanya. "Hendra... mengapa kamu sebaik ini? Maksudku... kamu sangat perhatian sampai aku tidak enak hati."Dia menatapku sekilas. "Karena kamu memang layak diperhatikan. Tanpa melakukan apa-apa, semua perhatian bakal tertuju padamu."Ada gejolak rasa dalam batinku. Sejak
Perbincanganku dengan Hendra ditambah kerelaan Haris melepas hak asuh Cipta, bikin suasana hati ini sangat baik. Jadi, dalam satu kesempatan langka, kuputuskan menelepon Silvy segera setelah Hendra mengantarku pulang. "Untuk apa kamu menghubungiku?" sergahnya kasar ketika telepon sudah tersambung. "Terima kasih sudah bikin Haris mundur. Kamu memang berbakat jadi rubah penggoda.""Kamu menelepon hanya untuk mengejekku?"Aku mempermainkan jemari seraya memikirkan hal remeh apa lagi yang bisa kukatakan agar Silvy dongkol. "Kenapa harus mengejekmu? Aku justru salut kamu bisa merebut cinta Haris padaku dengan mudah. Kalau bukan jelmaan rubah, aku tak tahu lagi apa namanya."Diluar dugaan, Silvy yang tadinya jengkel mendadak tertawa sangat keras. "Cinta? Kamu saja yang kepedean merasa dicintai. Asal tahu saja, Haris tak pernah tertarik padamu. Dulu dia punya pacar tetapi karena kamu terus mendekatinya tanpa malu, ditambah
Sepulang dari rapat umum, aku langsung melangkah menuju basement, tempat dimana parkiran EraCipta berada. Namun baru akan memasuki lift, Hendra langsung mendatangiku dengan senyum sumringah yang tampak begitu mempesona. Aku sampai pangling untuk sesaat. "Tiara, terima kasih ya. Kalau bukan karena dukuganmu, aku tak akan bisa memenangkannya dengan mudah." Kata-kata yang ramah disertai tatapan hangat, membuat jantungku berdegup sangat kencang. Ke mana saja aku hingga tak sempat memperhatikan pesona Hendra dulu? "Setidaknya itu hal yang bisa kulakukan untuk orang yang sudah membantuku sejauh ini." Aku berucap sedatar mungkin demi menutupi rasa gugup yang makin menjadi. Anehnya, tangan Hendra yang kekar langsung meluncur ke atas puncak kepala dan mengacak rambutku sedikit. Aku jadi seperti gadis kecil yang sedang gugup dihadapan sang pacar, terlebih karena tubuh Hendra yang jangkung menjulang tinggi di depanku. Situasi macam ap
"Kamu baik-baik saja, Tiara?" Respon panik Hendra menyambutku pertama kali ketika mata ini terbuka. Kutatap wajahnya sambil berusaha mengingat kejadian apa yang membuatku sampai terbaring dengan selang infus. Sekelebat ingatan akhirnya singgah di otakku. "Dimana Haris?" tanyaku parau sebab tenggorokanku masih sangat perih, seperti terbakar. Bukan menjawab, Hendra justru buru-buru menuangkan secangkir teh lalu membantu aku minum. Dua tegukan cukup membuatku merasa baikan. "Dimana Haris sekarang?" ulangku lagi. "Kamu tidak apa-apa, kan?" "Tenang Tiara. Bajingan itu tak akan bisa lagi menyakitimu. Dia sedang dalam pemeriksaan polisi." Mendengar penuturan Haris, aku menarik nafas lega. Masih terbayang dalam benakku betapa menakutkan kegilaan mantan suamiku kemarin. Sungguh tak menyangka dia sanggup melakukan hal keji bahkan pembunuhan. "Sudah berap
Besoknya, sekira pukul sepuluh, aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sebab Cipta harus masuk sekolah, dan baik Ambar maupun Hendra punya kesibukan tersendiri, akhirnya aku pulang bersama supirku, Supriyadi. "Untung Ibu nggak kenapa-kenapa, kalau tidak ... kalau tidak pasti saya merasa bersalah seumur hidup." Pria paruh baya itu berkata begitu aku memasuki mobil. "Tak apa, Pak. Itu bukan salah bapak."Menurut penuturan Hendra, supirku sudah sampai lebih awal di parkiran. Tetapi asisten Haris langsung menyeretnya secara paksa lalu membawa mobil entah kemana.Sampai detik ini, mobil tersebut masih dalam penanganan pihak berwajib. Untuk sementara, Hendra meminjamkan mobilnya padaku.Dengan wajah haru, Supri berkata lagi. "Semoga Ibu selalu dalam lindungan Tuhan. Ibu orang baik."Aku tersenyum kecil sembari menatap ke jalanan yang ramai di luar sana. Hatiku penuh dilema, antara memenjarakan Haris atau mengikuti kema
Besoknya, waktu kami baru selesai sarapan, rumah tiba-tiba kedatangan tamu. Tamu tersebut, orang lama tentunya. Ambar. "Cepat juga angin berhembus, Kak." Aku menggoda dengan senyum lebar yang tak kusembunyikan. Ambar yang terpaut usia dua tahun diatasku nampak kikuk. Sementara itu, si beruang yang tahu-tahu saja sudah berdiri di belakang, langsung menoyor kepalaku. "Anak kecil, masuk sana. Tak usah ikut campur urusan orang dewasa." Aku meleletkan lidah. Sebelum pergi masih sempat kugoda mereka berdua. "Jangan kelamaan mikirnya. Nanti keburu uzur." Usai mengucapkan kalimat sindiran ini, aku berlari kecil sebelum tangan Chris beruang mendarat lagi di kepalaku. Hanya sesaat memasuki rumah, deru mobil pun terdengar. Sepertinya, kedua manusia dewasa itu ingin bicara secara pribadi. Baru memasuki rumah, aku berpapasan dengan Cipta yang sudah bersiap hendak pergi. "Ma, aku cabut dulu. Ada tugas kelompok dari sekolah." Sontak langkahku terhenti. Berhubung ini hari libur, tadin