Samar-samar netraku menangkap bayangan dinding berwarna kelabu di depan sana. Setelah itu, barulah aku sadar kenapa tubuh ini terasa kaku, sulit sekali digerakkan. Ternyata, posisiku di atas kursi dengan tangan dan kaki yang terikat kuat. "Akhirnya, kamu sadar juga." Suara Silvy sontak membuatku menoleh ke samping. Tampak wanita culas itu sedang bersantai sembari menikmati buah yang sudah dipotong-potong dalam wadah kecil. "Apa yang kamu lakukan, hah? Cepat lepaskan aku sekarang juga!""Lepas? Hahahha ... maaf, kamu tak mungkin lepas. Cuma malaikat maut yang bisa membebaskanmu dari sini, Tiara."Rasa takut menyergap segenap tubuhku. Sorot mata Silvy tampak liar, seperti orang kerasukan. Sosoknya yang ini tak pernah kulihat sebelumnya. "Silvy, tolong berpikir yang jernih. Kenapa harus pakai kekerasan, hah?"Wanita itu tertawa sangat keras, sampai tubuhnya terguncang. "Akhirnya kamu takut juga? Sayang sekali,
Melihat kedua orang ini membicarakan nasibku seperti bercerita tentang harga barang di pasaran, aku makin sesak nafas. Kubuka mulut susah payah, namun yang terjadi kain kumal itu makin masuk dalam tenggorokan. 'Tuhan, tolong aku!'Batinku berseru tak putus-putus sambil berharap agar siapapun segera menemukan tempat ini. Tadi sebelum berangkat menemui Silvy, aku sempat mengirim pesan pada Hendra. Namun karena tak kunjung ditanggapi, kuputuskan datang sendiri. Keputusan yang akhirnya bikin aku menyesal setengah mati. "Bersiaplah, Tiara. Sekarang aku akan mencabut kuku jempolmu, hahahaha... ."Aku memejamkan mata, berharap maut datang sekarang juga. "Braakk!"Tiba-tiba pintu ruangan terbanting, dan tampaklah Hendra beserta Christopher sudah berdiri di ambang pintu, persis pahlawan kesiangan dalam film India. "Bajingan!" Serta-merta Christopher menerjang mantan Silvy hingga pria kurus itu
Mediasi kemarin jadi pertemuan terakhirku dengan Haris. Penutupnya lebih dramatis dari yang kukira sebab Chris memutuskan kasih 'pelajaran' sampai muka mantan suamiku memar. Untunglah kuasa Bambang sigap mengatur segalanya. Kalau tidak, bisa-bisa giliranku yang kena tuntutan hukum sekarang. "Kamu mau kemana lagi, Dek? Sebaiknya jangan terlalu banyak keluar. Kita tak tahu apa yang dipikirkan Haris," tegur Chris ketika melihatku buru-buru melintasi ruang tamu. "Lantas bagaimana dengan butikku? Hampir dua minggu aku tak ke sana?"Melihat wajah memelasku karena sudah lama tak memegang pensil dan kertas desain, akhirnya Chris mengalah. "Terserah kamu saja, tetapi tetap waspada."Mendapat persetujuannya, aku langsung tancap gas menuju Ratu Mode yang sekarang berkembang cukup pesat. Kecintaan wanita terhadap fashion adalah hal yang tak lekang oleh waktu. Sebab itu, jika dikerjakan sungguh-sungguh, industri ini bisa memberi
Tanpa ragu, Silvy menampilkan seringai ejekan, seolah aku manusia paling tolol di muka bumi. Memilin-milin rambutnya yang panjang, dia akhirnya buka mulut. "Tadinya aku mau diam saja. Kurasa lucu juga melihatmu seperti orang bodoh. Akan tetapi... karena kamu sudah peduli pada anakku, anggap saja informasi ini sebagai balas jasa." Dengan mimik muka berlebihan, Silvy melanjutkan," orang yang memintaku menggoda Haris adalah pria yang tengah dekat denganmu sekarang." Keningku mengernyit dalam. Satu-satunya pria yang dekat denganku hanya dia. "Hendra?" tanyaku tak percaya. Silvy mengedikkan bahu. Gestur tubuh yang menunjukkan jika tebakanku benar. "Tapi... kenapa?" Aku tak bisa menerima bila Hendra yang selalu tulus menolong adalah biang kerok dari penderitaanku selama ini. "Kamu pasti bohong? Iya, kan?!" Tanpa sadar suaraku meninggi, bahkan aku sampai berdiri hendak memaksa Silvy buka mulut. Tetapi perempuan culas itu terlihat santai, sedikitpun tidak terintimidasi dengan s
"Ah, ya ampun," desahku untuk kesekian kali sambil menutup buku besar yang semakin tidak masuk akal isinya. Malam ini memang jadi sangat panjang tapi bukan lantaran aku sibuk bekerja melainkan memikirkan keculasan Hendra. Hatiku tak bisa menerima bila orang sebaik dia rupanya menusuk dari belakang. Kenapa harus Hendra? Sebab terlalu malas melanjutkan pekerjaan, aku membuka gawai yang sejak tadi sengaja kumatikan. Belasan pesan dan puluhan panggilan masuk dari Cipta, Ambar, Chris, bahkan Hendra sudah mengantri. Kubalas pesan Cipta lebih dulu sebelum meneliti isi pesan Hendra. [Tiara, maaf sudah bikin kamu kecewa. Tapi kejadian yang sebenarnya bukan seperti itu][Tiara, kamu dimana?][Tiara, tolong angkat teleponku]... Dan pesan-pesan lain yang isinya kurang lebih sama. Kutatap jam di layar gawai, ternyata sudah lewat tengah malam. Sebab terlalu bingung mau berbuat apa, kulempar benda itu
Tubuhku membatu, kata-kata semanis ini sudah lama tak kudengar. Mungkin hanya mendiang ayah yang dulu pernah mengatakannya. Itu pun sudah lama sekali. Mengabaikan perasaan, aku menyahuti perkataan Hendra dengan nada datar. "Jangan mengucapkan sesuatu yang tak mungkin kamu tepati. Lagipula, aku belum memaafkanmu Hendra." Pria yang tampak sangat menarik dengan pakaian casual itu, menatapku sejurus lamanya. Aku tahu kamu belum memaafkanku. Setidaknya, dengar dulu ceritaku seutuhnya, bagaimana?" Aku diam saja, tidak membantah atau mengiyakan. Hal ini rupanya dimaknai Hendra tanda persetujuan. Dia pun membuka mulut dan mengutarakan cerita versinya. "Dulu, waktu kamu menikah sama Haris, aku sangat terpukul. Sebab itulah, aku sampai kabur ke luar negeri, berkarir di sana sementara waktu sampai bisa melupakanmu." Hendra memulai kisahnya dengan pembukaan yang sangat menyentuh hati. Tanpa sadar, jantu
Peringatan Bambang kemarin bikin aku sangat hati-hati, nyaris paranoid, terlebih ketika Cipta dan Chris sudah pergi. Sejak memutuskan tinggal lagi di ibu kota, Chris memang sudah bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Katanya sambil lirik-lirik lahan yang cocok untuk buka praktik mandiri. Sebab itulah, dia tak bisa selalu mendampingiku. Namun status sebagai tahanan rumah, bikin aku tak bisa terus-menerus diam di tempat. Ada kegiatan wajib lapor yang mesti kutekuni. Pagi ini kebetulan pula jadwalnya. "Bu Tiara, kita belum telat, kan?" Supri memastikan sembari fokus mengamati jalanan di depan sana. "Belum, Pak." Aku menyahut sekenanya sambil bertanya-tanya kapan kiranya kedua bajingan yang menyeretku dalam masalah, tertangkap. "Drtdrtdrtdrt... ." Getar ponsel, tiba-tiba membuat kegelisahan hatiku makin menjadi. Sebuah pesan gambar nyaris membuat aliran darahku berhenti. Dalam gambar itu, Cipta terduduk lemah dengan tangan dan kaki terikat. Kata-kata singkat yang menyertainya
Kalimat tajamku membuat pria bercodet terbahak-bahak sampai Setiadi salah tingkah. "Aku suka cara bicaramu, nyonya muda." Setelah itu dia menoleh pada Setiadi. "Itu baru cara yang benar mengurus bisnis. Tak usah sok bawa perasaan, hahahaha... ."Dari pengamatanku, sepertinya si Codet tak begitu suka dengan Setiadi pun sebaliknya. Sebab waktu sang atasan menertawakan dirinya, tangan ayah Silvy ini mengepal, seperti hendak menghajar seseorang. Sejurus kemudian, pria bercodet memberi perintah dan anak buahnya, -- bekas manajerku yang kabur--, segera menyusun tripod dan sebuah ponsel. Setelah itu mereka membuat panggilan. Pada dering pertama, panggilan langsung terhubung dan tampaklah wajah Hendra dan Chris pada layar kecil itu. Muka mereka terlihat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. "Katakan apa yang kalian mau?" tukas Hendra setelah matanya memindaiku sekilas. "Ha! Satu lagi orang cerdas, saya suka, saya suka."P