"Selamat pagi, bu Tiara. Kami mau mengabarkan bahwa suami Anda sudah meninggal sekitar pukul satu subuh tadi."
Aku membatu di tempat, tak tahu harus bereaksi apa. Setelah sekian menit lamanya, barulah bisa kutemukan suaraku."Maaf, tapi saya tak punya suami lagi."Pihak rumah sakit yang menelepon jadi kelabakan sebab butuh beberapa saat baginya untuk kembali merespon."Bukankah suami ibu bernama Haris Danendra? Soalnya nomor ini diberi nama 'istri' pada kontak beliau."Duarr!Bagai petir yang datang tiba-tiba, jantungku nyaris berhenti. Haris, mantan suamiku, meninggal? Tapi kenapa? Enam bulan lalu kami baru saja bertemu."Apa Anda yakin? Setahu saya pak Haris sehat, tak ada penyakit fatal yang bisa membuat beliau meninggal."Dalam hati, aku masih berharap mereka salah nomor. Semoga yang meninggal itu Haris yang lain, bukan pria yang pernah jadi suamiku.Sayang sekali, harapanku tak terkabul.Keputusanku sepertinya sangat tepat, karena seminggu kemudian, anakku akhirnya pulang dengan berbagai bingkisan yang konon pemberian kerabat keluarga Danendra. "Ma, nenek juga menitipkan dokumen ini." Cipta menyerahkan sebuah map berwarna kuning. Meski sudah bisa menebak, tetap saja kuluangkan waktu melihat isinya. Ternyata benar, semua ini surat tanah dan bangunan yang masih dimiliki Haris. Tak sampai sepertiga dari kekayaannya diawal. Padahal, semua sahamnya pun sudah dijual saat memutuskan hengkang dari EraCipta. "Baiklah, Mama simpan semuanya. Kelak bila sudah cukup dewasa, kamu bisa mengambilnya."Cipta mengangguk lalu masuk kamar. Rupanya, ini jadi perbincangan kami yang terakhir karena sejak hari itu, anakku selalu menutup diri. Bila tidak sekolah, dia langsung mendekam di kamar dan hanya keluar bila ada urusan yang mengharuskannya begitu. Kucoba mendekatinya agar mau bicara, namun mulut anakku seperti terku
"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!"Aku berteriak panik seraya mencari jalan keluar tetapi ketiga orang dewasa yang duduk di sofa, bergeming. Sedikitpun, tak kasihan sama perempuan yang tengah menangis, mengiba. Sementara itu, dua petugas berseragam putih mulai mendekat, salah satu dari mereka bahkan sudah siap dengan borgolnya. "Haris! Kenapa diam saja? Tolong aku!"Aku makin panik, hendak melarikan diri dari jendela, akan tetapi pembantu kami sudah berdiri di sana, siap dengan sebuah sapu di tangan. Astaga! Apa mereka menganggapku anjing sekarang? Sebab semua jalan sudah buntu, aku akhirnya kembali ke hadapan laki-laki yang kusebut suami. Dengan air mata membanjiri pipi, aku mulai berteriak. "Haris, jelaskan maksud semua ini!"Pria yang sudah kudampingi selama tiga belas tahun itu menatap dingin. "Jangan berlebihan, Tiara. Mereka datang untuk menolongmu. Kurasa kamu butuh perawatan agar mentalmu stab
Mataku perlahan terbuka, dan langit-langit putih kamar langsung menyerbu netraku. 'Aneh, bukannya tadi aku diseret ke dalam mobil?'Benakku masih sibuk menerka, ketika sebuah kesadaran menghantam otakku. Ya! Sepertinya aku baru terbangun dari mimpi buruk, dan lucunya mimpi itu terlalu nyata hingga kukira hidupku sudah berakhir di sana. 'Ah, syukurlah.'Tanpa sadar, aku menghela nafas lega. Ketika masih berusaha menyesuaikan diri, sesuatu tiba-tiba menyentuh lenganku. Refleks aku menoleh. Rupanya putri kecilku sudah berdiri di sisi ranjang.Bibir mungilnya yang pucat mengumandangkan tanya, "mama sudah bangun? Mama kenapa? Tadi seperti mengigau."Aku tersenyum, tak menyangka masih bisa melihatnya di sini. Segera kugenggam tangan mungil itu. Seperti biasa, suhunya lebih dingin dari yang wajar. "Entahlah, barusan Mama mimpi... tapi kayak nyata.""Ah, Mama... mimpi, kan cuma bunga-bunga tidur."Kuharap Ciara benar, namun entah kenapa firasatku bilang, mimpiku tak sesederhana itu. Sampa
"Hai, juga , Dek." sahutku setenang mungkin. Bagaimana pun, aku tak mungkin menuduh orang lain cuma gara-gara mimpi. "Aku sudah baikan.""Syukurlah Kak. Rumah jadi sepi tanpa kehadiran Kakak," ujar Silvy ramah. Kata-katanya ini agak menenangkan hatiku yang sejak tadi berantakan. Tak lama, Haris menyusul dari belakang. Dia bergegas menghampiriku. "Hai sayang," sapanya dengan senyum kaku yang tak sampai ke mata. Selepas itu kehangatan tubuhnya langsung melingkupiku. Dengan suara selembut madu, dia berbisik. "Bagaimana? sudah sembuh? Kamu hampir bikin aku mati ketakutan." Biasanya, Haris dalam mode perhatian selalu sukses bikin aku meleleh. Namun entah kenapa, detik ini aku agak sungkan membalas gestur romantisnya. Sungguh! Sekali rasa curiga tertanam, perasaan tak akan pernah lagi sama. "Aku baik-baik saja. Tubuhku saja yang masih agak ngilu," sahutku sambil melepaskan diri dari rangkulannya.Pada saat inilah netraku bertatapan dengan muka Silvy. Ada kilat tak suka di matanya yang
Akhirnya sisa pagi kembali kulewati dalam kesunyian. Dan semua orang pun tahu, kesunyian bukanlah teman yang baik untuk orang frustasi. Sebab dalam kesunyian, otak akan sibuk memikirkan hal yang tak semestinya. Dalam kasusku, jadi terpikir soal kemungkinan Silvy merajut asmara dengan suamiku, meski sebagian besar diriku berusaha keras menepisnya. Sejak dulu Haris cinta mati padaku, tak mungkin mendua. Untunglah sebelum rasa bimbang menelanku hidup-hidup, ketukan di pintu kamar menyelamatkan aku lebih dulu. "Hai Mama... kami datang... ." Ciara berseru antusias begitu daun pintu terkuak sementara Ciptadi yang menyusul di belakang bersikap biasa saja.Sedikit pun tak ada ekspresi peduli di mukanya. Dulu aku menganggap si sulung cuma anak yang sedikit cuek tapi kalau dipikir-pikir lagi, putera yang lebih dekat dengan neneknya ini, memang hampir tak pernah peduli padaku. Bahkan kalau tak salah, dalam mimpi aneh itu pun Cipta hadir, tetapi dia tak datang menolong waktu aku tengah dibor
Besoknya, setelah menikmati sarapan pagi khas rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Sebelum pulang aku sudah banyak merenung tentang situasiku, dan kuputuskan untuk bersikap biasa saja, sampai aku bisa membuktikan kecurigaanku. Dalam kesempatan ini, sengaja aku merias wajah, memakai parfum, serta dress yang cantik. Persis wanita yang mau pergi kencan. "Sayang... kamu tampak berbeda, " ujar Haris begitu melihatku di ambang pintu. Sejak tadi, aku bisa melihatnya sudah tak sabar menunggu. Mondar-mandir di ruang tamu -- kamar VVIP memang punya ruang duduk khusus -- persis orang kebakaran jenggot. Aku melirik sekilas lalu melempar senyum tipis. Lupakan tatapan hangat yang selalu kuberikan waktu masih jatuh cinta dulu, sebab sekarang aku sedang berusaha menata pikiranku ke titik nol. Tanpa cinta, tanpa prasangka. "Itu tasku ya Pah, tolong dibawa. Lenganku masih sakit," kataku datar. Kalau dulu aku selalu sukarela membawa tas dan perlengkapan anak-anak tanpa diminta, untuk hari ini?
"Kenapa begitu?""Apa Kakak bilang?!"Baik mertua maupun Silvy yang baru memasuki teras rumah sama-sama kaget meski dengan intonasi berbeda. Kutatap dua wanita yang masih kerabat itu bergantian. "Ibu pasti tahu aku belum pulih betul. Selain kaki masih agak pincang, kepalaku juga suka pening tiba-tiba. Lalu bagaimana caranya aku merawat Ibu?"Silvy langsung duduk di sebelah mertua, dengan suara selembut madu dia mulai menabur benih-benih kebencian di hati bibinya. "Aduh, gimana ya? Yang menantunya bibi itu Kakak. Masak menantu perempuan tak mau merawat mertuanya?""Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih sakit. Paling tidak sebulan ini, harus istirahat."Rupanya penjelasanku yang sedemikian detail, tidak berpengaruh apapun pada Silvy. Dengan gaya manja, dia mulai memijit-mijit pundak mertuaku. "Kurang tahu sih, tapi kalau aku pribadi pasti tak akan tega membiarkan mertuaku dirawat orang lain. Bagaimanapun, beliau sudah membesarkan dan mendidik suami kita dengan baik."Mertua yang se
Kata-kata mertua sontak membuat telapak tanganku gemetaran. Apa aku tak dianggap lagi sebagai menantu sekaligus ibu dari kedua cucunya? "Maaf Bu, tapi yang istri Kak Haris itu aku. Jadi, jelas akulah nyonya rumah dan berhak mengatur keuangan," ujarku dengan suara bergetar. "Omong kosong! Aku masih ada disini dan kamu berani bilang kalau kamu nyonya rumah? Haris, lihat istrimu. Dia tak menganggapku sama sekali."Usai berkata demikian, mertua Saat ini aku sungguh mengutuki diri sebab tidak pintar bersilat lidah. terisak sedangkan Silvy sibuk menenangkan beliau. Sekarang, aku benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis yang menyakiti seisi rumah. "Ibu pasti tahu bukan itu maksudku yang sebenarnya. Tolong jangan bikin situasi makin runyam," kataku dengan suara tersendat. "Apa katamu? Aku bikin runyam?" tangis mertua makin pilu. Beliau bahkan mulai memukul-mukul dadanya. "Ya, Tuhan lihat kesusahanku. Aku sudah difitnah... ."Li