"Kenapa begitu?"
"Apa Kakak bilang?!"Baik mertua maupun Silvy yang baru memasuki teras rumah sama-sama kaget meski dengan intonasi berbeda.Kutatap dua wanita yang masih kerabat itu bergantian. "Ibu pasti tahu aku belum pulih betul. Selain kaki masih agak pincang, kepalaku juga suka pening tiba-tiba. Lalu bagaimana caranya aku merawat Ibu?"Silvy langsung duduk di sebelah mertua, dengan suara selembut madu dia mulai menabur benih-benih kebencian di hati bibinya."Aduh, gimana ya? Yang menantunya bibi itu Kakak. Masak menantu perempuan tak mau merawat mertuanya?""Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih sakit. Paling tidak sebulan ini, harus istirahat."Rupanya penjelasanku yang sedemikian detail, tidak berpengaruh apapun pada Silvy. Dengan gaya manja, dia mulai memijit-mijit pundak mertuaku."Kurang tahu sih, tapi kalau aku pribadi pasti tak akan tega membiarkan mertuaku dirawat orang lain. Bagaimanapun, beliau sudah membesarkan dan mendidik suami kita dengan baik."Mertua yang sekejap tadi berwajah masam, tampak mengangguk setuju. Bibirnya mulai tersenyum sementara tangannya mengelus lembut bahu Silvy, selayaknya seorang ibu pada puterinya."Kamu memang perempuan baik, seandainya saja Tiara bisa berbakti seperti kamu."Sontak kedua tanganku mengepal, darah serasa mendidih hingga pandanganku mulai berkunang-kunang. Kurang berbakti apa aku hingga masih dikritik terang-terangan? Di depan orang luar pula.Selama tiga belas tahun jadi isteri Haris, apa yang tidak kuberikan untuk keluarga ini? Bahkan Silvy, perempuan yang dipuji-puji beliau, aku masih ikut andil merawatnya hingga lulus sekolah menengah dan menikah. Lalu kenapa?Kutahan kepahitan hati, lalu menatap wajah culas Silvy. "Yah, kurasa kamu benar. Lantas, sewaktu masih menikah dulu, apa kamu sudah berbakti pada mertuamu? Bukankah katamu mertua sudah mendidik suami kita dengan baik? Kenapa kamu tinggalkan suami yang baik itu?""Kakak!"Silvy berseru nyaring dan setelah itu dia mulai meratap. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan dengan sangat sempurna.Tentu saja mertuaku jadi panik, pun dengan suamiku yang baru ikut bergabung setelah memasukkan mobilnya ke garasi.Pasangan ibu dan anak itu memberiku tatapan maut yang membuat perasaan makin hancur."Kamu punya otak, nggak sih? Kok tega membahas luka dalam pernikahan Silvy." Mertuaku memulai serangannya.Haris, puteranya yang berbakti tak ketinggalan menguatkan pernyataan sang ibu. "Tiara, kalau aku tahu kamu seperti ini, tak bakal aku menikahimu. Kamu perempuan berbisa!"Aku berusaha tenang, memandang keduanya bergantian, meski netraku sudah mulai kabur oleh air mata. Sementara itu, tampak Ciara sedang mengintip percakapan kami di ambang pintu. Rupanya, puteriku urung naik ke atas gara-gara keributan ini.Menyadari betapa terluka tatapannya yang polos, aku memilih menyudahi percakapan walau hatiku masih sangat sakit."Maaf sudah menyinggung kamu Silvy, tapi lain kali jangan ikut campur masalah rumah tanggaku."Setelahnya aku beranjak tanpa mempedulikan cacian mertua. Kugandeng tangan mungil Ciara, dan tertatih-tatih kami menaiki tangga menuju lantai dua."Ma, kenapa Papa dan nenek marah sama Mama?"Pertanyaan yang dilontarkan puteriku begitu kami memasuki kamar langsung menusuk jantungku dengan telak. Anak mana yang tidak sakit hati menyaksikan ibunya dianiaya walau secara verbal?"Bukan apa-apa, Nak. Hanya kesalahpahaman kecil dan itu sering terjadi dalam kehidupan orang dewasa."Ciara menatapku tak percaya namun waktu melihat betapa lelah wajah ini, akhirnya dia tidak memperpanjang cerita."Sebaiknya Mama istirahat, muka Mama nampak kurang sehat."Aku mengangguk, tak lupa menarik tangan Puteriku agar kami sama-sama berbaring.Walaupun terlihat dewasa, Ciaraku nyatanya masih anak-anak. Tak berapa lama, matanya terpejam rapat dan dia pun tertidur pulas. Tak seperti aku yang masih sibuk dengan pikiranku, hingga terkenang dengan kejadian setahun silam.Waktu itu masih terbilang pagi, sekira pukul sepuluh. Aku yang tengah sibuk menyirami bunga di halaman, kaget oleh kedatangan Silvy yang tiba-tiba. Terlebih sebab dia datang dengan pakaian lusuh dan muka lebam-lebam."Boleh aku masuk, Kak?" tanyanya.Meski terheran-heran, aku segera membuka gerbang lalu memintanya duduk di teras. Tak lupa memanggil mertua agar beliau bisa berbincang dengan keponakan jauhnya itu. Berdasarkan cerita Silvy waktu itu, suaminya baru saja melakukan kekerasan dan ini bukan yang pertama.Demi mendengar kisah keponakannya, mertua langsung bertitah, "ceraikan saja suamimu dan tinggallah bersama Bibi."Padahal beliau belum berdiskusi sama sekali denganku maupun Haris.Akhirnya, Silvy yang malang resmi gabung lagi dalam Kartu Keluarga kami. Awalnya cuma numpang, tunggu ketemu kontrakan yang pas katanya, lalu mulai minta kerjaan yang sesuai dengan jurusannya di sekolah menengah, Administrasi Perkantoran.Dan sekarang, mulai ikut campur pula urusan rumah tangga kami. Sungguh definisi tepat dari 'Dikasih hati minta jantung'Sebab otakku terlalu sibuk berpikir, alhasil mata pun tak bisa terpejam hingga jam makan malam tiba."Ma, ayo makan. Semua sudah menunggu di bawah." Ciara yang sudah bangun dan mandi segera memanggilku untuk bergabung di meja makan.Meski malas dan masih kesal atas perlakuan mertua dan suami tadi pagi, kupaksa juga melangkah ke ruang makan.Di sekeliling meja bundar yang berkapasitas enam orang itu, sudah duduk semuanya, kecuali aku dan Ciara.Di sebelah kiri ibu mertua duduk Silvy -- biasanya aku yang di sana -- sedangkan di sebelah kanan adalah Haris. Dengan posisi begitu, terlihat seolah Silvy-lah menantu sedangkan aku orang luar.Mengabaikan rasa tak nyaman, aku duduk di ujung meja yang satu sedang kedua anakku duduk di sisi kanan dan kiri."Sebagaimana permintaanmu, mulai sekarang Silvy yang akan mengurus keperluanku sekaligus duduk di sisiku waktu makan malam." Mertua membuka acara makan dengan sambutan tak lazim.Aku tersenyum dan menyahut pasrah, "iya Ibu."Setelah itu, kami memulai acara makan dan disinilah siksaan sesungguhnya dimulai."Bi, silakan makan ikannya, durinya sudah kuambil." Silvy mulai bicara seraya meletakkan daging ikan di piring mertua.Wanita tua itu tersenyum lebar seraya memuji-muji Silvy, hal yang tak pernah dia lakukan walau aku melakukan hal yang lebih berat.Bergantian, kini Haris yang memasukkan sepotong sayur ke piring Silvy. "Makan sayur yang banyak Dek, biar... ."Belum sempat suamiku selesai bicara, si sepupu langsung berdehem kecil seperti takut terbongkar sesuatu. Lucunya, Haris pun segera bungkam meski setelah itu pertunjukan kemesraan antara mereka bertiga tetap berlanjut."Ibu, makanlah semur daging. Ibu paling suka ini, kan?" Ditengah kesedihanku, Ciara sudah meletakkan sepotong daging di piringku.Mata langsung kukedip-kedipkan agar air yang nyaris tumpah, tertahan di dalam.Pada akhirnya, kuikuti strategi Ciara. Aku fokus pada kedua anakku dan menganggap tiga manusia di seberang sana adalah tamu yang numpang makan.Suasana hatiku jadi tak seburuk tadi, sebelum mertua kembali memporak-porandakannya dengan titah yang tak masuk akal."Berhubung kamu sedang sakit, serahkan uang belanja bulanan pada Silvy. Biar dia yang mengelola keperluan rumah mulai sekarang."Kata-kata mertua sontak membuat telapak tanganku gemetaran. Apa aku tak dianggap lagi sebagai menantu sekaligus ibu dari kedua cucunya? "Maaf Bu, tapi yang istri Kak Haris itu aku. Jadi, jelas akulah nyonya rumah dan berhak mengatur keuangan," ujarku dengan suara bergetar. "Omong kosong! Aku masih ada disini dan kamu berani bilang kalau kamu nyonya rumah? Haris, lihat istrimu. Dia tak menganggapku sama sekali."Usai berkata demikian, mertua Saat ini aku sungguh mengutuki diri sebab tidak pintar bersilat lidah. terisak sedangkan Silvy sibuk menenangkan beliau. Sekarang, aku benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis yang menyakiti seisi rumah. "Ibu pasti tahu bukan itu maksudku yang sebenarnya. Tolong jangan bikin situasi makin runyam," kataku dengan suara tersendat. "Apa katamu? Aku bikin runyam?" tangis mertua makin pilu. Beliau bahkan mulai memukul-mukul dadanya. "Ya, Tuhan lihat kesusahanku. Aku sudah difitnah... ."Li
"Kamu kenapa duduk di lantai, sih? Kayak anak kecil aja!"Omelan Haris ketika daun pintu terkuak adalah hal pertama yang menyadarkanku dari pikiran yang mengawang entah kemana. Kutatap muka Haris sejurus lamanya sampai dia membuang pandang ke sembarang arah. Semalam, pria yang kusebut suami ini sepertinya tidak mampir ke kamar kami. Dia tidur di kamar ibu, atau di ruang kerjanya, atau bahkan di tempat lain, aku tak tahu. "Aku ... aku capek, Pa," sahutku setengah protes terhadap situasi saat ini. "Jangan konyol, Ma. Siapa yang tidak capek hidup."Usai menyahuti perkataanku, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. Dengan posisi macam ini, kami persis majikan dan babu."Katakan, kenapa kamu memintaku pulang tiba-tiba? Padahal perusahaan sedang sibuk-sibuknya?"Tanpa banyak bicara, kutunjukkan pesan dari dokter yang menangani Ciara. Haris memindai hasil laporan itu sekilas. Tentang istilah medis dan h
"Maaf bila sudah menyakitimu, tapi... aku memang sangat mencintai Silvy dan tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Kuharap kita semua bisa hidup akur bersama."Mataku nanar menatap pria yang pernah sangat kucintai itu. Hidup akur katanya? Bahkan sekarang, kalau bukan karena mati-matian menahan diri, aku nyaris membunuh mereka semua. Bayangkan, kurang sakit apa perbuatannya? Sejak di rumah sakit kemarin, aku berusaha berbaik sangka meski firasatku sudah jelek soal mereka berdua. Namun apa balasannya? Dia malah tega bercumbu mesra ketika aku nyaris sekarat gara-gara terlalu lelah memikirkan penyakit putri kami. "Mimpi kamu Haris!" seruku tanpa ampun. Seumur-umur baru kali ini aku memanggil nama suamiku secara langsung. "Ckckck! Perempuan macam apa yang berani tak sopan sama suami. Dasar perempuan liar."Umpatan mertua nyaris membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Dalam situasi begini, beliau masih sanggup membahas sopan santun.
"Ma, temani aku menggambar ya," pinta puteriku yang tiba-tiba saja masuk kamar. Penuh rasa bersalah aku lekas bangkit dan mengikuti Ciara ke kamarnya. Ruangan minimalis itu tertata rapi seperti biasa. Bedanya, pada dinding yang selalu kosong terpajang lukisan polos Ciara. Di sana hanya ada aku dan dia sedang duduk menatap mentari senja. Meski hati agak mencelos, kudiamkan saja. Sudah seminggu terakhir, aku nyaris tak pernah melihat suami dan puteraku. Soal Haris, aku memang sudah mati rasa. Demi menjaga kewarasan, aku harus membuangnya jauh-jauh. Beda cerita dengan Cipta. Walau sudah berusaha mendekatinya dengan berbagai cara, dia selalu menatapku dengan sorot bermusuhan, seolah akulah antagonis yang membuat neneknya susah. "Lukisanmu makin bagus, Nak." Aku berkata tulus seraya menyusuri permukaannya dengan tangan. "Jelaslah, anak siapa dulu dong? Tiara!"Candaan Ciara membuat senyum terbit di bibirku. Kuamati bina
Dua hari setelah kepergian Haris, tiba-tiba saja Ciara jadi sangat murung. Walau sudah kuhibur dengan berbagai cara, tetap tak membuahkan hasil. Puncaknya pagi ini, tubuh puteriku mendadak demam. Seperti biasa kukompes tubuhnya dengan air hangat dan kuberi tablet parasetamol. "Ma, aku mau makan bubur ayam buatan mama. Sudah lama sekali rasanya tak makan bubur itu." Ciara yang sedang tergolek lemah tiba-tiba meminta."Baiklah, mama masak bubur ayam dulu. Kamu rebahan aja di sini yang tenang, ya."Usai berpamitan pada puteriku, aku meminta Cipta menemani adiknya. Meski agak bersungut, tak urung dia bergerak juga ke kamar Ciara sedang aku langsung turun ke bawah. Kusiapkan kaldu ayam lalu mencampurnya dengan sedikit beras di dalam slow cooker.Sembari menunggu alat itu mengerjakan tugasnya, aku memasukkan ayam rebus tadi dalam chopper, lalu menyiapkan toping lain, seperti seledri, bawang goreng, dan kuah bubur. Setela
Prameswari?Sudah lama sekali rasanya tak mendengar nama ini. Buru-buru kumasukkan semua pil tadi ke saku jaket lalu mengusap wajah dengan tangan. Setelah memastikan tak ada lagi sisa air mata, barulah aku berbalik. "Maaf, Anda siapa?"Pria bersetelan necis itu mengangguk takzim sebelum menyahut, "perkenalkan saya Bambang Suseno, pengacara pribadi almarhum nyonya Prameswari.""Lantas, ada apa Anda kemari?"Pria itu segera membuka koper kecilnya lalu mengeluarkan setumpuk dokumen. "Nyonya Prameswari telah mengubah wasiat tepat sehari sebelum kematiannya. Beliau berpesan agar semua asetnya diwariskan pada kedua anaknya apabila mereka mengunjungi makamnya, paling lambat sepuluh tahun sejak wasiat ini ditulis."Penuturannya membuatku mematung. Sebab kami berdua tak ada yang mau melanjutkan bisnis keluarga, maka dalam kekecewaan yang besar ibu sudah menulis wasiat agar semua asetnya dihibahkan pada badan
Meski kaget, aku cepat-cepat menghampiri Ambar. Dia nampak letih dalam balutan setelan kerjanya. Dugaanku dia baru pulang dari rumah sakit. "Kakak kok bisa tahu aku di sini?"Ambar tak menyahut. Dengan santai dia nyelonong masuk dan langsung duduk pada salah satu sofa di ruang tamu rumah ibuku. "Ya tahulah. Pengacaramu itu masih sepupu jauhku."Aku kehabisan kata-kata. Ternyata kehidupanku tak akan pernah lepas dari bayang-bayang kak Ambar. "Pantas saja," gumamku pasrah lalu duduk di depannya. Setelah itu tanganku dengan cekatan membuka kresek hitam di atas meja. "Kakak, bawa apa?""Hmm, makan aja apa yang ada. Aku tahu kamu pasti lapar."Tanpa sungkan lagi, aku segera membuka kotak-kotak makanan dan hatiku langsung terharu. Meski sudah tak komunikasi bertahun-tahun, kak Ambar masih tak lupa tentang makanan kesukaanku. Ayam kodok. Tak sabaran, aku langsung menikmati nasi putih dan ayam kodok dengan lahap. Ke
Akhirnya setelah berjibaku nyaris setahun, restoran yang kuidamkan pun berdiri dengan megah. Golden Phoenik adalah namanya, sebab hidupku sendiri mirip dengan burung legenda itu. Bangkit dari abu kematian setelah mengalami penderitaan. "Ada berapa customer yang order meja untuk hari ini?" tanyaku tanpa menoleh dari spreadsheet excel yang tengah kugeluti. "Ada lima yang pesan meja dan satu private room, Bu Tiara."Aku mengangguk namun terus berhitung dengan kalkulator yang sejak pagi tadi sudah standby. Keuangan perusahaan memang masih kutangani sepenuhnya karena belum menemukan pegawai yang pas untuk mengurus hal ini. Kepalaku yang tengah menunduk harus mendongak ketika sebuah sapaan tiba-tiba menyapa ruang dengarku. "Wah, ternyata kakak kerja di sini, ya?"Darah langsung berdesir ketika mata ini bersirobok dengan wajah yang jadi mimpi burukku belakangan. "Kamu? Kenapa bisa di sini?"Wajah Silvy m
"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!"Aku berteriak panik seraya mencari jalan keluar tetapi ketiga orang dewasa yang duduk di sofa, bergeming. Sedikitpun, tak kasihan sama perempuan yang tengah menangis, mengiba. Sementara itu, dua petugas berseragam putih mulai mendekat, salah satu dari mereka bahkan sudah siap dengan borgolnya. "Haris! Kenapa diam saja? Tolong aku!"Aku makin panik, hendak melarikan diri dari jendela, akan tetapi pembantu kami sudah berdiri di sana, siap dengan sebuah sapu di tangan. Astaga! Apa mereka menganggapku anjing sekarang? Sebab semua jalan sudah buntu, aku akhirnya kembali ke hadapan laki-laki yang kusebut suami. Dengan air mata membanjiri pipi, aku mulai berteriak. "Haris, jelaskan maksud semua ini!"Pria yang sudah kudampingi selama tiga belas tahun itu menatap dingin. "Jangan berlebihan, Tiara. Mereka datang untuk menolongmu. Kurasa kamu butuh perawatan agar mentalmu stab
Keputusanku sepertinya sangat tepat, karena seminggu kemudian, anakku akhirnya pulang dengan berbagai bingkisan yang konon pemberian kerabat keluarga Danendra. "Ma, nenek juga menitipkan dokumen ini." Cipta menyerahkan sebuah map berwarna kuning. Meski sudah bisa menebak, tetap saja kuluangkan waktu melihat isinya. Ternyata benar, semua ini surat tanah dan bangunan yang masih dimiliki Haris. Tak sampai sepertiga dari kekayaannya diawal. Padahal, semua sahamnya pun sudah dijual saat memutuskan hengkang dari EraCipta. "Baiklah, Mama simpan semuanya. Kelak bila sudah cukup dewasa, kamu bisa mengambilnya."Cipta mengangguk lalu masuk kamar. Rupanya, ini jadi perbincangan kami yang terakhir karena sejak hari itu, anakku selalu menutup diri. Bila tidak sekolah, dia langsung mendekam di kamar dan hanya keluar bila ada urusan yang mengharuskannya begitu. Kucoba mendekatinya agar mau bicara, namun mulut anakku seperti terku
"Selamat pagi, bu Tiara. Kami mau mengabarkan bahwa suami Anda sudah meninggal sekitar pukul satu subuh tadi."Aku membatu di tempat, tak tahu harus bereaksi apa. Setelah sekian menit lamanya, barulah bisa kutemukan suaraku. "Maaf, tapi saya tak punya suami lagi."Pihak rumah sakit yang menelepon jadi kelabakan sebab butuh beberapa saat baginya untuk kembali merespon. "Bukankah suami ibu bernama Haris Danendra? Soalnya nomor ini diberi nama 'istri' pada kontak beliau."Duarr! Bagai petir yang datang tiba-tiba, jantungku nyaris berhenti. Haris, mantan suamiku, meninggal? Tapi kenapa? Enam bulan lalu kami baru saja bertemu. "Apa Anda yakin? Setahu saya pak Haris sehat, tak ada penyakit fatal yang bisa membuat beliau meninggal."Dalam hati, aku masih berharap mereka salah nomor. Semoga yang meninggal itu Haris yang lain, bukan pria yang pernah jadi suamiku. Sayang sekali, harapanku tak terkabul.
Beta testing dilakukan pada end user yang dipilih dari berbagai komunitas. Ada sekitar seratus lima puluh user yang berpartisipasi dalam hal ini. Berbeda dengan Alpa testing yang dilakukan di lab, maka testing kedua bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja selama periode yang ditentukan. "Apakah masih ada masalah?" tanyaku pada Hendra lewat sambungan telepon setelah lebih satu minggu masa testing berlangsung. "Sejauh ini belum ada. Aku yakin, kali ini aplikasinya sudah sembilan puluh sembilan persen siap."Hatiku agak lega mendapat kepastian ini sebab tak lama lagi, kami akhirnya bisa meluncurkan inovasi baru untuk memanjakan pelanggan. Perkataan Hendra ternyata bukan bualan karena dua minggu kemudian, aplikasi Ratu Mode akhirnya resmi diluncurkan. Meski menelan milyaran rupiah untuk pengembangan, desain, dan pemasaran, aku tetap bersemangat. Menandai peluncuran tersebut, aku mengadakan acara kecil-kecilan di aula gedung E
Begitu data mentah yang akan diinput ke direktori sudah siap, Hendra langsung mengerahkan tim khusus untuk mewujudkan impianku. "Kamu harus sabar, butuh beberapa bulan agar aplikasinya bisa sempurna," ujar Hendra setelah beberapa waktu. "Kapan alpha testing bisa dikerjakan?"Sembari mengotak-atik bahasa pemrograman di layar monitor, Hendra menyahut singkat. "Paling cepat dua bulan lagi.""Baiklah, yang penting hasil akhirnya memuaskan."Membiarkan Hendra menyelesaikan segala hal menyangkut aplikasi, aku kembali larut dalam kesibukan lain agar penantian ini tidak terlalu panjang. Salah satu hal yang kutekuni, tentu saja merancang busana untuk menyambut tahun baru. Rencananya, kami akan meluncurkan busana berkonsep asimetris dengan warna pastel yang soft. Aku tengah sibuk dengan coretan-coretan di atas kertas ketika Bambang menghubungi. "Selamat siang bu Tiara, maaf mengganggu waktunya. Persidangan untuk tind
Seruan MC tidak membawa riak apapun padaku sebab memang sejak awal kehadiranku di sini hanya meramaikan suasana, bukan untuk melantai. Aku terpaku mengamati orang-orang,-- lebih tepatnya outfit mereka -- ,yang mulai turun ke lantai dansa. Ada beberapa gaun yang cukup menarik minat tetapi banyak pula yang terlihat aneh, tak cocok dengan bentuk tubuh pemakainya. Tiba-tiba Hendra yang sekejap tadi duduk, berdiri dan mencondongkan tubuh ke arahku. "May I have this dance with you?" tanyanyaSontak aku ternganga, mengamati wajahnya yang berselimut humor. "Ta--tapi... ."Hendra mengedipkan mata dan aku pun mengamati sekeliling. Tampaknya beberapa tamu yang kebetulan duduk di dekat kami, mulai menoleh kemari. Pria tengil ini membuatku jadi pusat perhatian. Tak mau membuat kehebohan di pesta kakak sendiri, aku akhirnya ikut ke lantai dansa. Grogi betul rasanya, saat berpasang-pasang mata mengamati gerak-gerikku den
Hari yang dinanti kakakku pun tiba. Pagi ini dia terlihat tampan dalam balutan setelan tiga potong. Dan karena sebulan menjelang pesta, dia sudah wara-wiri di tempat fitness, maka tubuhnya yang bongsor terlihat lebih proporsional. "Tiara, kakakmu rupanya sangat tampan, ya." Dia berkata sambil mematut diri di depan cermin. "Hemm," sahutku malas. "Beruk pun kalau pakai tuxedo, tampan juga."Serta-merta tangannya bergerak cepat menoyor kepalaku. "Adek durhaka, sia-sia kakak melindungimu sepenuh hati."Aku pura-pura mau muntah dan makin meledeknya. Kebahagiaan tersendiri melihat melihat kakakku bad mood. Padahal kalau mau jujur, aku sangat sedih sekarang. Belum lama kebersamaan kami, Chris harus menikah dengan pujaan hatinya. Meskipun Ambar juga dekat denganku, tetap saja setelah pesta ini, kakak sah jadi milik perempuan lain. Andaikata aku masih bersuami, mungkin tak semiris ini rasanya. "Hei, kok diam? Sedih ya, karen
Tiga minggu berlalu, pembicaraanku dengan Cipta kemarin masih terngiang-ngiang hingga detik ini. Meski demikian, kuputuskan untuk abai. Pada akhirnya, dengan atau tanpa pasangan, seseorang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. "Bu, kita langsung ke rumah tahanan sekarang?" Supri bertanya kali kedua. Aku mengangguk mantap tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi Silvy di rumah tahanan sebab kurasa perlu mengabarkan perilaku ayahnya. Bukan lantaran dendam atau apa, hanya saja dia harus tahu bahwa ayahnya masih hidup. "Kenapa lagi kamu kemari?"Seperti biasa, kata-kata sapaannya tak pernah ramah. "Cuma mau bilang, ayah yang kamu rindukan masih sehat dan hidup."Dia langsung berhenti memelintir rambutnya, menatapku penuh tanya, seolah apa yang kusampaikan tak mungkin benar-benar terjadi. "Aku tak percaya. Mana buktinya?"Kubuka gawai lalu mencari fot
"Bagaimana situasi anakku?" Begitu membuka mata aku langsung bertanya pada Hendra yang duduk terpekur di sisi ranjang. Setelah dilarikan dari cengkeraman bandit kemarin malam, barulah pagi ini aku bangun. Sepertinya, tendangan dan siksaan yang kuterima bertubi-tubi, menyebabkan luka dalam sebab sekujur tubuhku terasa nyeri. Pria itu memegang tanganku. "Cipta sedang dirawat. Kamu tenanglah, dia pasti baikan.""Kamu tidak berbohong, kan?""Aku tak membohongimu, Tiara." Dia menyahut sungguh-sungguh. "Cipta memang terserempet peluru, tapi bagian bahu saja."Usai berkata demikian, Hendra bercerita tentang peristiwa malam itu. Cipta yang cerdas menyadari sekelompok orang sedang bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk melumpuhkan penjahat. Sama seperti pikiranku, dia pun menggigit bahu Anton hingga pria itu refleks menembak, yang rupanya berhasil menyerempet bahunya. Ketika tubuh anakku terlempar, orang yang bersembunyi