Dua hari setelah kepergian Haris, tiba-tiba saja Ciara jadi sangat murung. Walau sudah kuhibur dengan berbagai cara, tetap tak membuahkan hasil.
Puncaknya pagi ini, tubuh puteriku mendadak demam. Seperti biasa kukompes tubuhnya dengan air hangat dan kuberi tablet parasetamol."Ma, aku mau makan bubur ayam buatan mama. Sudah lama sekali rasanya tak makan bubur itu." Ciara yang sedang tergolek lemah tiba-tiba meminta."Baiklah, mama masak bubur ayam dulu. Kamu rebahan aja di sini yang tenang, ya."Usai berpamitan pada puteriku, aku meminta Cipta menemani adiknya. Meski agak bersungut, tak urung dia bergerak juga ke kamar Ciara sedang aku langsung turun ke bawah.Kusiapkan kaldu ayam lalu mencampurnya dengan sedikit beras di dalam slow cooker.Sembari menunggu alat itu mengerjakan tugasnya, aku memasukkan ayam rebus tadi dalam chopper, lalu menyiapkan toping lain, seperti seledri, bawang goreng, dan kuah bubur.SetelaPrameswari?Sudah lama sekali rasanya tak mendengar nama ini. Buru-buru kumasukkan semua pil tadi ke saku jaket lalu mengusap wajah dengan tangan. Setelah memastikan tak ada lagi sisa air mata, barulah aku berbalik. "Maaf, Anda siapa?"Pria bersetelan necis itu mengangguk takzim sebelum menyahut, "perkenalkan saya Bambang Suseno, pengacara pribadi almarhum nyonya Prameswari.""Lantas, ada apa Anda kemari?"Pria itu segera membuka koper kecilnya lalu mengeluarkan setumpuk dokumen. "Nyonya Prameswari telah mengubah wasiat tepat sehari sebelum kematiannya. Beliau berpesan agar semua asetnya diwariskan pada kedua anaknya apabila mereka mengunjungi makamnya, paling lambat sepuluh tahun sejak wasiat ini ditulis."Penuturannya membuatku mematung. Sebab kami berdua tak ada yang mau melanjutkan bisnis keluarga, maka dalam kekecewaan yang besar ibu sudah menulis wasiat agar semua asetnya dihibahkan pada badan
Meski kaget, aku cepat-cepat menghampiri Ambar. Dia nampak letih dalam balutan setelan kerjanya. Dugaanku dia baru pulang dari rumah sakit. "Kakak kok bisa tahu aku di sini?"Ambar tak menyahut. Dengan santai dia nyelonong masuk dan langsung duduk pada salah satu sofa di ruang tamu rumah ibuku. "Ya tahulah. Pengacaramu itu masih sepupu jauhku."Aku kehabisan kata-kata. Ternyata kehidupanku tak akan pernah lepas dari bayang-bayang kak Ambar. "Pantas saja," gumamku pasrah lalu duduk di depannya. Setelah itu tanganku dengan cekatan membuka kresek hitam di atas meja. "Kakak, bawa apa?""Hmm, makan aja apa yang ada. Aku tahu kamu pasti lapar."Tanpa sungkan lagi, aku segera membuka kotak-kotak makanan dan hatiku langsung terharu. Meski sudah tak komunikasi bertahun-tahun, kak Ambar masih tak lupa tentang makanan kesukaanku. Ayam kodok. Tak sabaran, aku langsung menikmati nasi putih dan ayam kodok dengan lahap. Ke
Akhirnya setelah berjibaku nyaris setahun, restoran yang kuidamkan pun berdiri dengan megah. Golden Phoenik adalah namanya, sebab hidupku sendiri mirip dengan burung legenda itu. Bangkit dari abu kematian setelah mengalami penderitaan. "Ada berapa customer yang order meja untuk hari ini?" tanyaku tanpa menoleh dari spreadsheet excel yang tengah kugeluti. "Ada lima yang pesan meja dan satu private room, Bu Tiara."Aku mengangguk namun terus berhitung dengan kalkulator yang sejak pagi tadi sudah standby. Keuangan perusahaan memang masih kutangani sepenuhnya karena belum menemukan pegawai yang pas untuk mengurus hal ini. Kepalaku yang tengah menunduk harus mendongak ketika sebuah sapaan tiba-tiba menyapa ruang dengarku. "Wah, ternyata kakak kerja di sini, ya?"Darah langsung berdesir ketika mata ini bersirobok dengan wajah yang jadi mimpi burukku belakangan. "Kamu? Kenapa bisa di sini?"Wajah Silvy m
"Kenapa kamu tega, Haris?"Aku meratap berulang-ulang di rumah minimalis yang terletak di belakang restoran. Rumah ini sengaja kubangun sebagai tempat tinggal sekaligus tempat bersembunyi dari kenyataan hidup yang pahit. Rupanya belum setahun di sini, manusia yang jadi sumber deritaku sudah menampakkan diri. Tadinya kukira luka itu sudah sembuh, ternyata cuma hibernasi di dalam. Tatkala melihat hidup Silvy baik-baik saja bersama bayinya yang lucu, barulah aku sadar bila hati ini masih berdarah-darah. "Kenapa anakmu bisa sehat sementara Ciaraku yang manisa mati mengenaskan? Kenapa?!"Aku bertanya-tanya sambil memegang buku harian Ciara yang tulisannya mulai kabur lantaran dibasuh air mata. Tanganku menggigil membaca catatan harian Ciara sebelum kematiannya. [Papa, kenapa pergi liburan sama tante Silvy? Kenapa bukan mama yang diajak?][Aku ingin liburan bareng papa, Mama, dan Kakak seperti dulu. ][Papa, kenap
Tubuhku mendadak limbung sebab pegangan Haris lepas seketika. Tindakannya tepat seperti yang bisa diharapkan dari pengkhianat berhati lemah. Aku merapikan gaun yang agak kusut sebelum menatap Silvy berang. "Makanya kalau punya suami diawasi. Biar nggak jelajatan matanya kemana-mana."Silvy mendekat, langkahnya anggun dan terukur hingga dress panjangnya bergoyang indah. Begitu tiba disisi Haris, langsung digandengnya lengan pengkhianat itu mesra. Haris yang sekejap tadi bernafsu menggodaku, kini tampak merangkul Silvy. "Maaf Sayang, itu tak seperti yang kamu lihat. Tiara hampir jatuh. Aku cuma membantunya berdiri."Menatap mata suaminya, Silvy menyahut tenang. "Aku tahu sayang. Tak mungkin kamu tergoda sama perempuan tua, iya kan?""Tentu. Tentu saja."Usai bermanis-manis dengan Haris, Silvy mengarahkan matanya padaku. "Maaf saja, aku memang percaya suamiku tapi tidak denganmu.""Maksud kamu?!"Mata Silvy menel
Tak menunggu lama, aku segera mengurus segala keperluan untuk membangkitkan lagi usaha yang dulu digeluti ibu. Jika dulu butiknya cuma menjual pakaian jadi, sekarang aku menambah sebuah gedung berlantai tiga di sebelah. Gedung ini khusus menyediakan aneka kain yang bisa dipilih oleh para pelanggan, sedangkan di lantai tiga merupakan tempat untuk konsultasi dan menjahit pakaian. Pelanggan yang datang bisa memilih pakaian jadi, atau membeli kain saja, atau membeli kain lalu dijahit di sini. Untuk kategori terakhir, mereka bisa konsultasi jenis kain dan model macam apa yang sesuai dengan bentuk tubuh. Tak tanggung-tanggung, tempat usaha yang kedua ini kuberi nama Ratu Mode. "Rupanya begitu dapat kekuasaan, kamu sangat mendominasi, ya." Ambar menukas saat bertandang ke butik. "Tak ada pilihan, Kak. Untuk menjalankan rencana secepatnya, aku harus bergerak agresif.""Mengapa harus buru-buru, Tiara? Kamu punya banyak waktu."Aku cum
Astaga! Aku nyaris memaki bila tak ingat Hendra sedang duduk di depanku. Apa dalam pikirannya aku terlihat seperti perempuan yang gede rasa sekarang? "Ehem, sepertinya kamu sangat pengertian," gumamku tak jelas. Hendra tak menanggapi. Kelihatannya dia lebih asyik menyeruput kopi hitam pekat miliknya. Ketika kami tengah sibuk dengan pikiran masing-masing, pada saat ini pula mataku bersirobok dengan seorang pria yang tengah menggandeng mesra gadis belia. Apa yang menarik minatku bukanlah tampilan mereka yang mencolok, melainkan muka pria itu seperti tak asing. Rasanya kami pernah ketemu entah dimana. "Tak usah terlalu ambil pusing dengan urusan orang lain."Teguran Hendra bikin aku buru-buru memalingkan muka. "Aku tak ambil pusing. Cuma wajah itu seperti tak asing."Hendra mengernyit lalu bertanya keheranan. "Kamu tak ingat? Bukannya itu mantan suami Silvy?""Ah, aku ingat sekarang," desahku menahan
"Selamat siang, Bu Tiara. Mohon segera ke sekolah karena anak ibu terlibat perkelahian."Suara si penelepon nyaris membuatku bilang tak lagi punya anak sebelum keburu ingat bahwa masih ada satu bocah pengkhianat yang pernah lahir rahimku yang malang. "Maaf, tapi Anda bisa menelepon ayahnya karena saya sangat sibuk," elakku"Sudah kami coba, Bu. Tetapi nomor pak Haris juga sedang sibuk."Tak punya pilihan, akhirnya aku cuma bisa menyanggupi permintaan guru BK tempat Cipta bersekolah. Dengan menggunakan taksi, akhirnya aku tiba di sana tiga puluh menit kemudian. Sekolah ini masih seperti yang kuingat. Tampak angkuh dengan gedung luas lima lantai serta jalur penyeberangan khusus yang dibuat mirip jembatan layang. Aku bergegas menuju ruang BK dan langsung disambut dengan pemandangan dua bocah laki-laki yang sedang dihukum. Berdiri menghadap dinding kosong. "Ada apa dengan Cipta, Bu?" cetusku tak sabar ketika sudah duduk