Tak menunggu lama, aku segera mengurus segala keperluan untuk membangkitkan lagi usaha yang dulu digeluti ibu.
Jika dulu butiknya cuma menjual pakaian jadi, sekarang aku menambah sebuah gedung berlantai tiga di sebelah. Gedung ini khusus menyediakan aneka kain yang bisa dipilih oleh para pelanggan, sedangkan di lantai tiga merupakan tempat untuk konsultasi dan menjahit pakaian.Pelanggan yang datang bisa memilih pakaian jadi, atau membeli kain saja, atau membeli kain lalu dijahit di sini. Untuk kategori terakhir, mereka bisa konsultasi jenis kain dan model macam apa yang sesuai dengan bentuk tubuh. Tak tanggung-tanggung, tempat usaha yang kedua ini kuberi nama Ratu Mode."Rupanya begitu dapat kekuasaan, kamu sangat mendominasi, ya." Ambar menukas saat bertandang ke butik."Tak ada pilihan, Kak. Untuk menjalankan rencana secepatnya, aku harus bergerak agresif.""Mengapa harus buru-buru, Tiara? Kamu punya banyak waktu."Aku cumAstaga! Aku nyaris memaki bila tak ingat Hendra sedang duduk di depanku. Apa dalam pikirannya aku terlihat seperti perempuan yang gede rasa sekarang? "Ehem, sepertinya kamu sangat pengertian," gumamku tak jelas. Hendra tak menanggapi. Kelihatannya dia lebih asyik menyeruput kopi hitam pekat miliknya. Ketika kami tengah sibuk dengan pikiran masing-masing, pada saat ini pula mataku bersirobok dengan seorang pria yang tengah menggandeng mesra gadis belia. Apa yang menarik minatku bukanlah tampilan mereka yang mencolok, melainkan muka pria itu seperti tak asing. Rasanya kami pernah ketemu entah dimana. "Tak usah terlalu ambil pusing dengan urusan orang lain."Teguran Hendra bikin aku buru-buru memalingkan muka. "Aku tak ambil pusing. Cuma wajah itu seperti tak asing."Hendra mengernyit lalu bertanya keheranan. "Kamu tak ingat? Bukannya itu mantan suami Silvy?""Ah, aku ingat sekarang," desahku menahan
"Selamat siang, Bu Tiara. Mohon segera ke sekolah karena anak ibu terlibat perkelahian."Suara si penelepon nyaris membuatku bilang tak lagi punya anak sebelum keburu ingat bahwa masih ada satu bocah pengkhianat yang pernah lahir rahimku yang malang. "Maaf, tapi Anda bisa menelepon ayahnya karena saya sangat sibuk," elakku"Sudah kami coba, Bu. Tetapi nomor pak Haris juga sedang sibuk."Tak punya pilihan, akhirnya aku cuma bisa menyanggupi permintaan guru BK tempat Cipta bersekolah. Dengan menggunakan taksi, akhirnya aku tiba di sana tiga puluh menit kemudian. Sekolah ini masih seperti yang kuingat. Tampak angkuh dengan gedung luas lima lantai serta jalur penyeberangan khusus yang dibuat mirip jembatan layang. Aku bergegas menuju ruang BK dan langsung disambut dengan pemandangan dua bocah laki-laki yang sedang dihukum. Berdiri menghadap dinding kosong. "Ada apa dengan Cipta, Bu?" cetusku tak sabar ketika sudah duduk
Sejurus kemudian, manajer butik kembali. Mukanya tetap tenang waktu menyampaikan pesan dari pelanggan merepotkan itu. "Bu, katanya beliau tetap harus ketemu owner paling lama minggu depan."Aku mengangguk dengan ekspresi tak sabar. Sadar bila diriku tak suka diganggu lebih jauh, manajer segera keluar ruangan. Aku bangkit dari duduk, lalu menatap keluar jendela. Mataku tepat pula bersirobok dengan Silvy yang tengah memasuki mobil. Sepertinya Haris membelikan istri mudanya mobil baru. Duhai! Enaknya jadi istri muda. Disaat aku bertungkus lumus dalam kesusahan waktu menemani Haris merintis, dia tinggal memetik segala yang manis. 'Lupakan! Lupakan!'Batinku berulang-ulang mengingatkan hingga jantung yang sekejap tadi mulai tak karuan kembali tenang. Mengesampingkan kelakuan Silvy yang bikin sebal, aku kembali fokus pada pekerjaan hingga tak terasa hari yang baru kembali datang. Pagi ini aku sedang sibuk memaja
Kata-kata Ambar kemarin terus kugaungkan agar gonjang-ganjing yang menimpa Eracipta tidak mempengaruhi hidupku.Dua hari berlalu sejak bermasalahnya aplikasi we-cara dirilis, tak ada tanda-tanda akan membaik. Justru suasana makin keruh karena berhembus isu bahwa pemegang saham mulai gelisah. Hal ini membuat harga saham EraCipta terus merosot. Siangnya, ketika aku tengah sibuk membuat sketsa gaun, telepon dari Hendra tiba-tiba mengusik. "Berapa saham yang mau kamu beli? Para pemegang saham mulai gelisah?""Secepat itu?" tanyaku tak percaya. "Tentu saja tidak. Tapi akan jadi cepat bila ada yang mengatur di belakang layar."Tanpa menunggu komentarku, Hendra bercerita bahwa dia sudah mengatur agar berita kacaunya aplikasi keluaran Eracipta berhembus hebat dengan bantuan hacker. Para pejuang keyboard ini membuat beritanya selalu muncul di pencarian teratas. Setengah ragu, aku kembali menyela. "Memangnya Haris ta
Rupanya Silvy tidak mengecewakanku. Masalah ganti rugi yang belum dipenuhi Ratu Mode kini viral dimana-mana, sampai-sampai selebgram di kota kami pun ikut membahasnya. Pada saat ini pula berita perselingkuhan yang masih disimpan Haris rapat-rapat, mulai terendus. Tentu saja aku tak tinggal diam. Lewat akun alter, kukirimkan bukti tak langsung ke kanal berita gosip lokal. Ada foto pernikahanku dan Haris -- Silvy kecil ada didalamnya -, foto perkawinan Silvy, serta foto perkawinan Haris dan Silvy di catatan sipil. Hasilnya, "boom!" Berita meledak tanpa kendali, sampai masuk level nasional. Pada saat inilah Silvy yang beberapa hari lalu tersenyum jumawa sambil mengolok-olok butikku, kembali datang dengan raut panik. "Cepat! Mana atasan kalian? Aku mau bicara sekarang!" Dia langsung menyeru begitu memasuki butik. Aku mengamati tingkahnya yang mirip cacing kepanasan lewat kamera CCTV di ruanganku. Manajer dan beberapa
Meski sudah tahu kemana arah perkataan Silvy, aku pura-pura bingung untuk membuat pertunjukannya makin seru. "Fitnah apa maksudmu?""Jangan pura-pura. Kamu yang menyebar fitnah tentang perselingkuhanku dan Haris, iya kan?"Sepertinya Silvy memang punya bakat jadi pelawak. Sejak tadi dia tak berhenti membuatku ketawa dengan kata-kata yang konyol. "Fitnah? Lha, kamu sendiri yang bilang perselingkuhan berarti nggak fitnah, dong.""Aaarggghh! Capek ngomong sama kamu. Pokoknya kamu ingat satu hal. Aku nggak akan membiarkan hal ini begitu saja. Kamu bakal kena batunya nanti."Telunjuk Silvy yang menuding-nuding benar-benar bikin muak. Kata etika sepertinya tidak tertera dalam kamusnya. Aku mengedik tak acuh. "Tentu saja. Tolong berikan perlawanan yang gahar supaya lebih seru... ."Kalimatku tak sempat selesai karena dia keburu kabur dengan muka merah padam. Beberapa hari aku menunggu, namun tak ada berita lanjutan
Tentu aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Ketika semua orang sibuk memikirkan langkah selanjutnya, aku langsung berdiri dan memberi usul brilian. "Maaf, bila saya lancang sebagai anggota baru. Menurut saya, perihal memilih CEO baru tetap harus dilakukan sesuai prosedur, yaitu melalui Rapat Umum Pemegang Saham."Ada kasak-kusuk sejenak sebelum pria sepuh yang sudah lebih dulu berdiri tadi, ikut menyatakan persetujuan. "Saya rasa itu saran yang baik. Bagaimana menurut yang hadir?"Beberapa orang langsung menyatakan setuju sedangkan Haris yang tadinya sudah memucat, kini agak tenang. Akhirnya ketua dewan komisaris yang sejak tadi berdiam diri, ikut angkat bicara. "Karena mayoritas anggota sudah menyatakan persetujuan, sekarang saya bertanya pada presdir, apakah Anda bersedia bila kita mengadakan Rapat umum itu secepatnya?"Menjawab pertanyaan ketua dewan, Haris berkata mantap. "Sebagai presdir EraCipta, saya menginginkan
Ekspresi muka Haris campur-aduk, bibirnya bergerak mau bilang sesuatu, namun aku tak menunggunya bicara. Entah mendapat dorongan dari mana, aku menarik tangan Hendra dan membawanya lekas pergi dari hadapan Haris. Ketika sudah di parkiran, barulah aku sadar betapa salah tindakanku barusan. "Ma--maaf, aku... aku benar-benar sedang tidak fokus," ujarku terbata. Wajahku makin memanas hingga bulir-bulir keringat mulai membasahi pelipis. Hendra sialan juga tidak membuat situasi lebih baik, bahkan boleh dibilang dia justru membuatku makin canggung. Pasalnya, setelah aku menjelaskan situasi, dia tetap diam sambil memberiku tatapan penuh arti. "Kalau begitu aku pergi dulu," pungkasku pada akhirnya. Baru saja kakiku hendak beranjak, Hendra justru buka mulut. "Kamu yakin bisa pulang sendiri? Bagaimana kalau kuantar saja?""Tak perlu, aku bisa pulang sendiri."Setelah menolak tawarannya yang murah hati, aku