Meski sudah tahu kemana arah perkataan Silvy, aku pura-pura bingung untuk membuat pertunjukannya makin seru.
"Fitnah apa maksudmu?""Jangan pura-pura. Kamu yang menyebar fitnah tentang perselingkuhanku dan Haris, iya kan?"Sepertinya Silvy memang punya bakat jadi pelawak. Sejak tadi dia tak berhenti membuatku ketawa dengan kata-kata yang konyol. "Fitnah? Lha, kamu sendiri yang bilang perselingkuhan berarti nggak fitnah, dong.""Aaarggghh! Capek ngomong sama kamu. Pokoknya kamu ingat satu hal. Aku nggak akan membiarkan hal ini begitu saja. Kamu bakal kena batunya nanti."Telunjuk Silvy yang menuding-nuding benar-benar bikin muak. Kata etika sepertinya tidak tertera dalam kamusnya.Aku mengedik tak acuh. "Tentu saja. Tolong berikan perlawanan yang gahar supaya lebih seru... ."Kalimatku tak sempat selesai karena dia keburu kabur dengan muka merah padam.Beberapa hari aku menunggu, namun tak ada berita lanjutanTentu aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Ketika semua orang sibuk memikirkan langkah selanjutnya, aku langsung berdiri dan memberi usul brilian. "Maaf, bila saya lancang sebagai anggota baru. Menurut saya, perihal memilih CEO baru tetap harus dilakukan sesuai prosedur, yaitu melalui Rapat Umum Pemegang Saham."Ada kasak-kusuk sejenak sebelum pria sepuh yang sudah lebih dulu berdiri tadi, ikut menyatakan persetujuan. "Saya rasa itu saran yang baik. Bagaimana menurut yang hadir?"Beberapa orang langsung menyatakan setuju sedangkan Haris yang tadinya sudah memucat, kini agak tenang. Akhirnya ketua dewan komisaris yang sejak tadi berdiam diri, ikut angkat bicara. "Karena mayoritas anggota sudah menyatakan persetujuan, sekarang saya bertanya pada presdir, apakah Anda bersedia bila kita mengadakan Rapat umum itu secepatnya?"Menjawab pertanyaan ketua dewan, Haris berkata mantap. "Sebagai presdir EraCipta, saya menginginkan
Ekspresi muka Haris campur-aduk, bibirnya bergerak mau bilang sesuatu, namun aku tak menunggunya bicara. Entah mendapat dorongan dari mana, aku menarik tangan Hendra dan membawanya lekas pergi dari hadapan Haris. Ketika sudah di parkiran, barulah aku sadar betapa salah tindakanku barusan. "Ma--maaf, aku... aku benar-benar sedang tidak fokus," ujarku terbata. Wajahku makin memanas hingga bulir-bulir keringat mulai membasahi pelipis. Hendra sialan juga tidak membuat situasi lebih baik, bahkan boleh dibilang dia justru membuatku makin canggung. Pasalnya, setelah aku menjelaskan situasi, dia tetap diam sambil memberiku tatapan penuh arti. "Kalau begitu aku pergi dulu," pungkasku pada akhirnya. Baru saja kakiku hendak beranjak, Hendra justru buka mulut. "Kamu yakin bisa pulang sendiri? Bagaimana kalau kuantar saja?""Tak perlu, aku bisa pulang sendiri."Setelah menolak tawarannya yang murah hati, aku
Pendapat Hendra yang masuk akal, membuatku bungkam. Agaknya orang impulsif memang butuh teman yang teliti. Perjalanan pulang kami lalui dalam keheningan hingga sejurus kemudian gedung sekolah Cipta mulai terlihat. Ketika melewati gang kecil di belakang sekolah, aku kaget bukan main. Tampak seorang remaja berseragam putih-biru sedang terbujur dengan wajah menghadap ke jalanan beraspal sementara empat remaja lain sibuk menghajarnya. "Kamu harus menolong anak itu!" Aku berteriak histeris seraya memegang lengan Hendra. "Shit happens everyday. Tak usah ikut campur dalam segala hal."Minimnya respon Hendra membuatku naik pitam. "Cepat tolong dia kataku!"Mungkin karena raut mukaku yang kelewat panik, Hendra akhirnya menepi meski wajahnya tampak kesal. Setelah merapikan setelan mahalnya dia langsung turun menghampiri keempat bocah itu sedangkan aku mengekor dari belakang. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Katakan yang sejujurnya, mengapa anak-anak itu merundungmu?" kataku pada Cipta yang masih diperban kepala dan lengannya. Meski sudah empat hari dirawat, dia masih nampak trauma. Sebab itu, walau sudah tak sabar ingin tahu yang sebenarnya, aku menahan diri sampai Cipta agak pulih. "Sebaiknya... mama jangan merepotkan diri."Lihatlah, bocah keras kepala ini masih berusaha mengelak meski hidupnya hampir berakhir kemarin. Sikap Cipta sontak bikin aku muntab."Kalau begitu jangan terkapar di depan mataku! Jangan mendapat masalah, jangan bikin aku khawatir."Aku meraung marah sebelum terisak pilu. "Kenapa kamu sangat membenci Mama, Cipta? Mama... sudah berusaha bertahan... tetapi papamu yang tidak menginginkanku lagi. Katakan... kenapa ini semua jadi salahku?"Aku menutup wajah dengan kedua tangan agar tangisku yang menyedihkan tidak membuat Cipta terganggu. Air mataku tumpah ruah, seolah semua kekecewaan yang terpendam padanya meluber detik ini. Aku tak tahu seperti apa ekspresi muka C
Setelah percakapan dengan Haris di rumah sakit, aku langsung menghubungi Bambang Suseno -- sekarang resmi sebagai kuasa hukumku -- untuk memasukkan gugatan ke pengadilan. Agar Cipta secepatnya bisa tinggal denganku. Sementara itu, spy cam yang diletakkan Hendra di depan rumah rahasia Silvy, akhirnya berbuah manis. "Rupanya laki-laki yang keluar-masuk kesana adalah mantan suaminya," ujar Hendra lewat sambungan telepon. "Tapi buat apa? Bukannya Silvy benci pria itu?""Mana kutahu. Sudah ya, aku mau kerja lagi.""Tunggu... tunggu."Aku buru-buru menghentikan sebelum Hendra memutus panggilan. Setelah memutar otak sejenak, sepertinya hal yang bisa kulakukan saat ini adalah melakukan tipu muslihat lain. "Hendra, bisa kamu cari tahu dengan pihak mana developer perumahan kerja sama soal pemeliharaan gedung?""Bisa kucari tahu nanti. Tapi buat apa?""Aku mau mengirim tukang ledeng atau tukang listr
Silvy masih ingin mendebatku. "Kamu pikir itu... ."Sebelum ucapannya selesai, ibunda Haris buru-buru memberi isyarat tutup mulut dan meminta menantu baru itu membawanya keluar. "Baamm!"Daun pintu yang terbanting jadi salam perpisahan kedua manusia beda generasi itu. "Dasar tak punya etika," rutukku seraya meletakkan mangkok buah di atas nakas. Setelah memastikan ruangan tertata rapi, aku duduk di sisi Cipta. "Mereka sudah lama datang? Apa saja yang dibicarakan nenek denganmu?""Tak banyak, Ma. Beliau cuma meminta agar aku memilih Papa kalau sampai persidangan terjadi."Aku tersenyum sinis. Entah kenapa ibunda Haris berkeras ingin mempertahankan Cipta di rumah keluarga Danendra padahal mereka sendiri tak becus mengurus. Apa karena beliau malu kalau sampai kalah di persidangan?Sayang sekali, wawasan mantan mertua masih minim. Tentu saja aku tak akan melanjutkan masalah ini ke persidangan. Ada senjata ampuh y
Sepeninggal tamu-tamu tak diundang tadi, aku memutuskan menginap di rumah sakit. Kamar VVIP menyediakan ranjang khusus bagi penjaga pasien. "Bagaimana perasaanmu setelah keempat bocah nakal itu minta maaf?" tanyaku pada Cipta yang tengah memberiku tatapan kagum. "Lebih baik, Ma."Aku menepuk pelan pundaknya. "Itu bagus. Jadi cepatlah sembuh jagoan, Mama butuh pelindung."Kelakarku membuat Cipta tersipu. Pada dasarnya, puteraku adalah sosok pemalu. Meski akhir-akhir ini kami makin dekat, tetapi dia masih cukup canggung mendengar kalimat berisi pujian. "Tapi bagaimana Mama bisa bikin mereka sampai datang kemari? Soalnya, mereka semua orang kaya."Dengan gaya jenaka, aku memegang dagu dengan kedua ujung jari. "Mamanya siapa dulu, dong? Cipta!"Anakku tergelak namun rasa penasaran di matanya demikian kentara. Tak mau lagi berlama-lama menyimpan rahasia, akhirnya aku jujur tentang latar belakang, kedua orang tuak
Didorong rasa penasaran yang teramat dalam, aku meminta satpam yang bekerja di rumah Haris untuk mencari rambut tuannya beserta rambut anak Silvy. Besoknya rambut itu sudah dikirim ke butikku. Aku menimbang-nimbang plastik dengan zip lock ketat itu seraya mengamati dua helai rambut didalamnya. "Kamu yakin harus melakukan ini?" selidik Ambar yang sengaja kuundang untuk percakapan rahasia. "Aku yakin, Kak. Keculasan Silvy harus dihentikan."Kata-kataku yang penuh kesungguhan, membuat Ambar tidak lagi berusaha membujuk. Serta-merta dia mengambil sampel rambut dari tanganku. "Baiklah, tapi akan butuh waktu untuk mengetahui hasilnya.""Tak apa, Kak. Asal kebenaran bisa diungkap."Usai pertemuan dengan Ambar, aku tak membuang waktu untuk bertemu kenalan lama, manusia serba bisa jika menyangkut pencarian informasi. "Ada perlu apa, Tiara? Kukira kamu tak tinggal di bumi lagi." Basa-basinya yang kasar berh