Pendapat Hendra yang masuk akal, membuatku bungkam. Agaknya orang impulsif memang butuh teman yang teliti.
Perjalanan pulang kami lalui dalam keheningan hingga sejurus kemudian gedung sekolah Cipta mulai terlihat.Ketika melewati gang kecil di belakang sekolah, aku kaget bukan main. Tampak seorang remaja berseragam putih-biru sedang terbujur dengan wajah menghadap ke jalanan beraspal sementara empat remaja lain sibuk menghajarnya."Kamu harus menolong anak itu!" Aku berteriak histeris seraya memegang lengan Hendra."Shit happens everyday. Tak usah ikut campur dalam segala hal."Minimnya respon Hendra membuatku naik pitam. "Cepat tolong dia kataku!"Mungkin karena raut mukaku yang kelewat panik, Hendra akhirnya menepi meski wajahnya tampak kesal.Setelah merapikan setelan mahalnya dia langsung turun menghampiri keempat bocah itu sedangkan aku mengekor dari belakang."Apa yang kalian lakukan di sini?""Katakan yang sejujurnya, mengapa anak-anak itu merundungmu?" kataku pada Cipta yang masih diperban kepala dan lengannya. Meski sudah empat hari dirawat, dia masih nampak trauma. Sebab itu, walau sudah tak sabar ingin tahu yang sebenarnya, aku menahan diri sampai Cipta agak pulih. "Sebaiknya... mama jangan merepotkan diri."Lihatlah, bocah keras kepala ini masih berusaha mengelak meski hidupnya hampir berakhir kemarin. Sikap Cipta sontak bikin aku muntab."Kalau begitu jangan terkapar di depan mataku! Jangan mendapat masalah, jangan bikin aku khawatir."Aku meraung marah sebelum terisak pilu. "Kenapa kamu sangat membenci Mama, Cipta? Mama... sudah berusaha bertahan... tetapi papamu yang tidak menginginkanku lagi. Katakan... kenapa ini semua jadi salahku?"Aku menutup wajah dengan kedua tangan agar tangisku yang menyedihkan tidak membuat Cipta terganggu. Air mataku tumpah ruah, seolah semua kekecewaan yang terpendam padanya meluber detik ini. Aku tak tahu seperti apa ekspresi muka C
Setelah percakapan dengan Haris di rumah sakit, aku langsung menghubungi Bambang Suseno -- sekarang resmi sebagai kuasa hukumku -- untuk memasukkan gugatan ke pengadilan. Agar Cipta secepatnya bisa tinggal denganku. Sementara itu, spy cam yang diletakkan Hendra di depan rumah rahasia Silvy, akhirnya berbuah manis. "Rupanya laki-laki yang keluar-masuk kesana adalah mantan suaminya," ujar Hendra lewat sambungan telepon. "Tapi buat apa? Bukannya Silvy benci pria itu?""Mana kutahu. Sudah ya, aku mau kerja lagi.""Tunggu... tunggu."Aku buru-buru menghentikan sebelum Hendra memutus panggilan. Setelah memutar otak sejenak, sepertinya hal yang bisa kulakukan saat ini adalah melakukan tipu muslihat lain. "Hendra, bisa kamu cari tahu dengan pihak mana developer perumahan kerja sama soal pemeliharaan gedung?""Bisa kucari tahu nanti. Tapi buat apa?""Aku mau mengirim tukang ledeng atau tukang listr
Silvy masih ingin mendebatku. "Kamu pikir itu... ."Sebelum ucapannya selesai, ibunda Haris buru-buru memberi isyarat tutup mulut dan meminta menantu baru itu membawanya keluar. "Baamm!"Daun pintu yang terbanting jadi salam perpisahan kedua manusia beda generasi itu. "Dasar tak punya etika," rutukku seraya meletakkan mangkok buah di atas nakas. Setelah memastikan ruangan tertata rapi, aku duduk di sisi Cipta. "Mereka sudah lama datang? Apa saja yang dibicarakan nenek denganmu?""Tak banyak, Ma. Beliau cuma meminta agar aku memilih Papa kalau sampai persidangan terjadi."Aku tersenyum sinis. Entah kenapa ibunda Haris berkeras ingin mempertahankan Cipta di rumah keluarga Danendra padahal mereka sendiri tak becus mengurus. Apa karena beliau malu kalau sampai kalah di persidangan?Sayang sekali, wawasan mantan mertua masih minim. Tentu saja aku tak akan melanjutkan masalah ini ke persidangan. Ada senjata ampuh y
Sepeninggal tamu-tamu tak diundang tadi, aku memutuskan menginap di rumah sakit. Kamar VVIP menyediakan ranjang khusus bagi penjaga pasien. "Bagaimana perasaanmu setelah keempat bocah nakal itu minta maaf?" tanyaku pada Cipta yang tengah memberiku tatapan kagum. "Lebih baik, Ma."Aku menepuk pelan pundaknya. "Itu bagus. Jadi cepatlah sembuh jagoan, Mama butuh pelindung."Kelakarku membuat Cipta tersipu. Pada dasarnya, puteraku adalah sosok pemalu. Meski akhir-akhir ini kami makin dekat, tetapi dia masih cukup canggung mendengar kalimat berisi pujian. "Tapi bagaimana Mama bisa bikin mereka sampai datang kemari? Soalnya, mereka semua orang kaya."Dengan gaya jenaka, aku memegang dagu dengan kedua ujung jari. "Mamanya siapa dulu, dong? Cipta!"Anakku tergelak namun rasa penasaran di matanya demikian kentara. Tak mau lagi berlama-lama menyimpan rahasia, akhirnya aku jujur tentang latar belakang, kedua orang tuak
Didorong rasa penasaran yang teramat dalam, aku meminta satpam yang bekerja di rumah Haris untuk mencari rambut tuannya beserta rambut anak Silvy. Besoknya rambut itu sudah dikirim ke butikku. Aku menimbang-nimbang plastik dengan zip lock ketat itu seraya mengamati dua helai rambut didalamnya. "Kamu yakin harus melakukan ini?" selidik Ambar yang sengaja kuundang untuk percakapan rahasia. "Aku yakin, Kak. Keculasan Silvy harus dihentikan."Kata-kataku yang penuh kesungguhan, membuat Ambar tidak lagi berusaha membujuk. Serta-merta dia mengambil sampel rambut dari tanganku. "Baiklah, tapi akan butuh waktu untuk mengetahui hasilnya.""Tak apa, Kak. Asal kebenaran bisa diungkap."Usai pertemuan dengan Ambar, aku tak membuang waktu untuk bertemu kenalan lama, manusia serba bisa jika menyangkut pencarian informasi. "Ada perlu apa, Tiara? Kukira kamu tak tinggal di bumi lagi." Basa-basinya yang kasar berh
Beberapa hari kemudian, panggilan mediasi pun ditujukan padaku dan Haris. Dalam sebuah ruangan tertutup, kami bersama kuasa hukum masing-masing dipertemukan. Sementara itu, seorang hakim muda yang bertugas sebagai mediator duduk di kursi utama. Acara diawali dengan pembacaan poin-poin gugatan kuasa hukumku sementara kuasa hukum Haris beserta mediator tampak serius menyimak. "Kepada saudara tergugat, apakah delik yang disampaikan saudara penggugat benar adanya?"Haris terpekur sementara aku harap-harap cemas menanti. Pasalnya, tak begitu yakin jika Silvy bisa memaksa Haris mundur di tahap mediasi ini. Sejauh yang kutahu, mantan suami bisa sangat keras kepala ketika menginginkan sesuatu. Haris mengangkat muka dan menjawab mediator. "Tidak benar, yang mulia."Aku mengumpat dalam hati. Apa segitu susahnya mengakui kesalahan? Gugatan yang kusampaikan terkait pengalihan hak asuh sudah disertai bukti cukup. Terlebih sebab Cipta mema
"Kenapa kamu harus melakukan ini?" gumamku sambil mengusap wajah Hendra dengan kapas antiseptik. "Tak apa, Tiara. Laki-laki bajingan macam Haris menang harus dikasih pelajaran."Aku agak kaget mendengar kemarahan Hendra sampai tak sadar bila tanganku sudah menekan lukanya lebih kuat. Ketika wajahnya meringis barulah aku sadar yang terjadi. "Maaf, maaf, aku tak sengaja."Hendra cuma tersenyum tipis. "It's okay. Mendapat perhatian darimu sudah cukup. Rasanya seperti mimpi."Aku kembali terkesiap. Saat ini pikiranku kembali teringat dengan laporan Anton tempo hari. Rasa penasaran kembali meronta-ronta didalam sana. Memberanikan diri, aku mulai bertanya. "Hendra... mengapa kamu sebaik ini? Maksudku... kamu sangat perhatian sampai aku tidak enak hati."Dia menatapku sekilas. "Karena kamu memang layak diperhatikan. Tanpa melakukan apa-apa, semua perhatian bakal tertuju padamu."Ada gejolak rasa dalam batinku. Sejak
Perbincanganku dengan Hendra ditambah kerelaan Haris melepas hak asuh Cipta, bikin suasana hati ini sangat baik. Jadi, dalam satu kesempatan langka, kuputuskan menelepon Silvy segera setelah Hendra mengantarku pulang. "Untuk apa kamu menghubungiku?" sergahnya kasar ketika telepon sudah tersambung. "Terima kasih sudah bikin Haris mundur. Kamu memang berbakat jadi rubah penggoda.""Kamu menelepon hanya untuk mengejekku?"Aku mempermainkan jemari seraya memikirkan hal remeh apa lagi yang bisa kukatakan agar Silvy dongkol. "Kenapa harus mengejekmu? Aku justru salut kamu bisa merebut cinta Haris padaku dengan mudah. Kalau bukan jelmaan rubah, aku tak tahu lagi apa namanya."Diluar dugaan, Silvy yang tadinya jengkel mendadak tertawa sangat keras. "Cinta? Kamu saja yang kepedean merasa dicintai. Asal tahu saja, Haris tak pernah tertarik padamu. Dulu dia punya pacar tetapi karena kamu terus mendekatinya tanpa malu, ditambah
"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!"Aku berteriak panik seraya mencari jalan keluar tetapi ketiga orang dewasa yang duduk di sofa, bergeming. Sedikitpun, tak kasihan sama perempuan yang tengah menangis, mengiba. Sementara itu, dua petugas berseragam putih mulai mendekat, salah satu dari mereka bahkan sudah siap dengan borgolnya. "Haris! Kenapa diam saja? Tolong aku!"Aku makin panik, hendak melarikan diri dari jendela, akan tetapi pembantu kami sudah berdiri di sana, siap dengan sebuah sapu di tangan. Astaga! Apa mereka menganggapku anjing sekarang? Sebab semua jalan sudah buntu, aku akhirnya kembali ke hadapan laki-laki yang kusebut suami. Dengan air mata membanjiri pipi, aku mulai berteriak. "Haris, jelaskan maksud semua ini!"Pria yang sudah kudampingi selama tiga belas tahun itu menatap dingin. "Jangan berlebihan, Tiara. Mereka datang untuk menolongmu. Kurasa kamu butuh perawatan agar mentalmu stab
Keputusanku sepertinya sangat tepat, karena seminggu kemudian, anakku akhirnya pulang dengan berbagai bingkisan yang konon pemberian kerabat keluarga Danendra. "Ma, nenek juga menitipkan dokumen ini." Cipta menyerahkan sebuah map berwarna kuning. Meski sudah bisa menebak, tetap saja kuluangkan waktu melihat isinya. Ternyata benar, semua ini surat tanah dan bangunan yang masih dimiliki Haris. Tak sampai sepertiga dari kekayaannya diawal. Padahal, semua sahamnya pun sudah dijual saat memutuskan hengkang dari EraCipta. "Baiklah, Mama simpan semuanya. Kelak bila sudah cukup dewasa, kamu bisa mengambilnya."Cipta mengangguk lalu masuk kamar. Rupanya, ini jadi perbincangan kami yang terakhir karena sejak hari itu, anakku selalu menutup diri. Bila tidak sekolah, dia langsung mendekam di kamar dan hanya keluar bila ada urusan yang mengharuskannya begitu. Kucoba mendekatinya agar mau bicara, namun mulut anakku seperti terku
"Selamat pagi, bu Tiara. Kami mau mengabarkan bahwa suami Anda sudah meninggal sekitar pukul satu subuh tadi."Aku membatu di tempat, tak tahu harus bereaksi apa. Setelah sekian menit lamanya, barulah bisa kutemukan suaraku. "Maaf, tapi saya tak punya suami lagi."Pihak rumah sakit yang menelepon jadi kelabakan sebab butuh beberapa saat baginya untuk kembali merespon. "Bukankah suami ibu bernama Haris Danendra? Soalnya nomor ini diberi nama 'istri' pada kontak beliau."Duarr! Bagai petir yang datang tiba-tiba, jantungku nyaris berhenti. Haris, mantan suamiku, meninggal? Tapi kenapa? Enam bulan lalu kami baru saja bertemu. "Apa Anda yakin? Setahu saya pak Haris sehat, tak ada penyakit fatal yang bisa membuat beliau meninggal."Dalam hati, aku masih berharap mereka salah nomor. Semoga yang meninggal itu Haris yang lain, bukan pria yang pernah jadi suamiku. Sayang sekali, harapanku tak terkabul.
Beta testing dilakukan pada end user yang dipilih dari berbagai komunitas. Ada sekitar seratus lima puluh user yang berpartisipasi dalam hal ini. Berbeda dengan Alpa testing yang dilakukan di lab, maka testing kedua bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja selama periode yang ditentukan. "Apakah masih ada masalah?" tanyaku pada Hendra lewat sambungan telepon setelah lebih satu minggu masa testing berlangsung. "Sejauh ini belum ada. Aku yakin, kali ini aplikasinya sudah sembilan puluh sembilan persen siap."Hatiku agak lega mendapat kepastian ini sebab tak lama lagi, kami akhirnya bisa meluncurkan inovasi baru untuk memanjakan pelanggan. Perkataan Hendra ternyata bukan bualan karena dua minggu kemudian, aplikasi Ratu Mode akhirnya resmi diluncurkan. Meski menelan milyaran rupiah untuk pengembangan, desain, dan pemasaran, aku tetap bersemangat. Menandai peluncuran tersebut, aku mengadakan acara kecil-kecilan di aula gedung E
Begitu data mentah yang akan diinput ke direktori sudah siap, Hendra langsung mengerahkan tim khusus untuk mewujudkan impianku. "Kamu harus sabar, butuh beberapa bulan agar aplikasinya bisa sempurna," ujar Hendra setelah beberapa waktu. "Kapan alpha testing bisa dikerjakan?"Sembari mengotak-atik bahasa pemrograman di layar monitor, Hendra menyahut singkat. "Paling cepat dua bulan lagi.""Baiklah, yang penting hasil akhirnya memuaskan."Membiarkan Hendra menyelesaikan segala hal menyangkut aplikasi, aku kembali larut dalam kesibukan lain agar penantian ini tidak terlalu panjang. Salah satu hal yang kutekuni, tentu saja merancang busana untuk menyambut tahun baru. Rencananya, kami akan meluncurkan busana berkonsep asimetris dengan warna pastel yang soft. Aku tengah sibuk dengan coretan-coretan di atas kertas ketika Bambang menghubungi. "Selamat siang bu Tiara, maaf mengganggu waktunya. Persidangan untuk tind
Seruan MC tidak membawa riak apapun padaku sebab memang sejak awal kehadiranku di sini hanya meramaikan suasana, bukan untuk melantai. Aku terpaku mengamati orang-orang,-- lebih tepatnya outfit mereka -- ,yang mulai turun ke lantai dansa. Ada beberapa gaun yang cukup menarik minat tetapi banyak pula yang terlihat aneh, tak cocok dengan bentuk tubuh pemakainya. Tiba-tiba Hendra yang sekejap tadi duduk, berdiri dan mencondongkan tubuh ke arahku. "May I have this dance with you?" tanyanyaSontak aku ternganga, mengamati wajahnya yang berselimut humor. "Ta--tapi... ."Hendra mengedipkan mata dan aku pun mengamati sekeliling. Tampaknya beberapa tamu yang kebetulan duduk di dekat kami, mulai menoleh kemari. Pria tengil ini membuatku jadi pusat perhatian. Tak mau membuat kehebohan di pesta kakak sendiri, aku akhirnya ikut ke lantai dansa. Grogi betul rasanya, saat berpasang-pasang mata mengamati gerak-gerikku den
Hari yang dinanti kakakku pun tiba. Pagi ini dia terlihat tampan dalam balutan setelan tiga potong. Dan karena sebulan menjelang pesta, dia sudah wara-wiri di tempat fitness, maka tubuhnya yang bongsor terlihat lebih proporsional. "Tiara, kakakmu rupanya sangat tampan, ya." Dia berkata sambil mematut diri di depan cermin. "Hemm," sahutku malas. "Beruk pun kalau pakai tuxedo, tampan juga."Serta-merta tangannya bergerak cepat menoyor kepalaku. "Adek durhaka, sia-sia kakak melindungimu sepenuh hati."Aku pura-pura mau muntah dan makin meledeknya. Kebahagiaan tersendiri melihat melihat kakakku bad mood. Padahal kalau mau jujur, aku sangat sedih sekarang. Belum lama kebersamaan kami, Chris harus menikah dengan pujaan hatinya. Meskipun Ambar juga dekat denganku, tetap saja setelah pesta ini, kakak sah jadi milik perempuan lain. Andaikata aku masih bersuami, mungkin tak semiris ini rasanya. "Hei, kok diam? Sedih ya, karen
Tiga minggu berlalu, pembicaraanku dengan Cipta kemarin masih terngiang-ngiang hingga detik ini. Meski demikian, kuputuskan untuk abai. Pada akhirnya, dengan atau tanpa pasangan, seseorang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. "Bu, kita langsung ke rumah tahanan sekarang?" Supri bertanya kali kedua. Aku mengangguk mantap tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi Silvy di rumah tahanan sebab kurasa perlu mengabarkan perilaku ayahnya. Bukan lantaran dendam atau apa, hanya saja dia harus tahu bahwa ayahnya masih hidup. "Kenapa lagi kamu kemari?"Seperti biasa, kata-kata sapaannya tak pernah ramah. "Cuma mau bilang, ayah yang kamu rindukan masih sehat dan hidup."Dia langsung berhenti memelintir rambutnya, menatapku penuh tanya, seolah apa yang kusampaikan tak mungkin benar-benar terjadi. "Aku tak percaya. Mana buktinya?"Kubuka gawai lalu mencari fot
"Bagaimana situasi anakku?" Begitu membuka mata aku langsung bertanya pada Hendra yang duduk terpekur di sisi ranjang. Setelah dilarikan dari cengkeraman bandit kemarin malam, barulah pagi ini aku bangun. Sepertinya, tendangan dan siksaan yang kuterima bertubi-tubi, menyebabkan luka dalam sebab sekujur tubuhku terasa nyeri. Pria itu memegang tanganku. "Cipta sedang dirawat. Kamu tenanglah, dia pasti baikan.""Kamu tidak berbohong, kan?""Aku tak membohongimu, Tiara." Dia menyahut sungguh-sungguh. "Cipta memang terserempet peluru, tapi bagian bahu saja."Usai berkata demikian, Hendra bercerita tentang peristiwa malam itu. Cipta yang cerdas menyadari sekelompok orang sedang bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk melumpuhkan penjahat. Sama seperti pikiranku, dia pun menggigit bahu Anton hingga pria itu refleks menembak, yang rupanya berhasil menyerempet bahunya. Ketika tubuh anakku terlempar, orang yang bersembunyi