Perbincanganku dengan Hendra ditambah kerelaan Haris melepas hak asuh Cipta, bikin suasana hati ini sangat baik. Jadi, dalam satu kesempatan langka, kuputuskan menelepon Silvy segera setelah Hendra mengantarku pulang.
"Untuk apa kamu menghubungiku?" sergahnya kasar ketika telepon sudah tersambung."Terima kasih sudah bikin Haris mundur. Kamu memang berbakat jadi rubah penggoda.""Kamu menelepon hanya untuk mengejekku?"Aku mempermainkan jemari seraya memikirkan hal remeh apa lagi yang bisa kukatakan agar Silvy dongkol."Kenapa harus mengejekmu? Aku justru salut kamu bisa merebut cinta Haris padaku dengan mudah. Kalau bukan jelmaan rubah, aku tak tahu lagi apa namanya."Diluar dugaan, Silvy yang tadinya jengkel mendadak tertawa sangat keras."Cinta? Kamu saja yang kepedean merasa dicintai. Asal tahu saja, Haris tak pernah tertarik padamu. Dulu dia punya pacar tetapi karena kamu terus mendekatinya tanpa malu, ditambahSepulang dari rapat umum, aku langsung melangkah menuju basement, tempat dimana parkiran EraCipta berada. Namun baru akan memasuki lift, Hendra langsung mendatangiku dengan senyum sumringah yang tampak begitu mempesona. Aku sampai pangling untuk sesaat. "Tiara, terima kasih ya. Kalau bukan karena dukuganmu, aku tak akan bisa memenangkannya dengan mudah." Kata-kata yang ramah disertai tatapan hangat, membuat jantungku berdegup sangat kencang. Ke mana saja aku hingga tak sempat memperhatikan pesona Hendra dulu? "Setidaknya itu hal yang bisa kulakukan untuk orang yang sudah membantuku sejauh ini." Aku berucap sedatar mungkin demi menutupi rasa gugup yang makin menjadi. Anehnya, tangan Hendra yang kekar langsung meluncur ke atas puncak kepala dan mengacak rambutku sedikit. Aku jadi seperti gadis kecil yang sedang gugup dihadapan sang pacar, terlebih karena tubuh Hendra yang jangkung menjulang tinggi di depanku. Situasi macam ap
"Kamu baik-baik saja, Tiara?" Respon panik Hendra menyambutku pertama kali ketika mata ini terbuka. Kutatap wajahnya sambil berusaha mengingat kejadian apa yang membuatku sampai terbaring dengan selang infus. Sekelebat ingatan akhirnya singgah di otakku. "Dimana Haris?" tanyaku parau sebab tenggorokanku masih sangat perih, seperti terbakar. Bukan menjawab, Hendra justru buru-buru menuangkan secangkir teh lalu membantu aku minum. Dua tegukan cukup membuatku merasa baikan. "Dimana Haris sekarang?" ulangku lagi. "Kamu tidak apa-apa, kan?" "Tenang Tiara. Bajingan itu tak akan bisa lagi menyakitimu. Dia sedang dalam pemeriksaan polisi." Mendengar penuturan Haris, aku menarik nafas lega. Masih terbayang dalam benakku betapa menakutkan kegilaan mantan suamiku kemarin. Sungguh tak menyangka dia sanggup melakukan hal keji bahkan pembunuhan. "Sudah berap
Besoknya, sekira pukul sepuluh, aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sebab Cipta harus masuk sekolah, dan baik Ambar maupun Hendra punya kesibukan tersendiri, akhirnya aku pulang bersama supirku, Supriyadi. "Untung Ibu nggak kenapa-kenapa, kalau tidak ... kalau tidak pasti saya merasa bersalah seumur hidup." Pria paruh baya itu berkata begitu aku memasuki mobil. "Tak apa, Pak. Itu bukan salah bapak."Menurut penuturan Hendra, supirku sudah sampai lebih awal di parkiran. Tetapi asisten Haris langsung menyeretnya secara paksa lalu membawa mobil entah kemana.Sampai detik ini, mobil tersebut masih dalam penanganan pihak berwajib. Untuk sementara, Hendra meminjamkan mobilnya padaku.Dengan wajah haru, Supri berkata lagi. "Semoga Ibu selalu dalam lindungan Tuhan. Ibu orang baik."Aku tersenyum kecil sembari menatap ke jalanan yang ramai di luar sana. Hatiku penuh dilema, antara memenjarakan Haris atau mengikuti kema
Besoknya, waktu kami baru selesai sarapan, rumah tiba-tiba kedatangan tamu. Tamu tersebut, orang lama tentunya. Ambar. "Cepat juga angin berhembus, Kak." Aku menggoda dengan senyum lebar yang tak kusembunyikan. Ambar yang terpaut usia dua tahun diatasku nampak kikuk. Sementara itu, si beruang yang tahu-tahu saja sudah berdiri di belakang, langsung menoyor kepalaku. "Anak kecil, masuk sana. Tak usah ikut campur urusan orang dewasa." Aku meleletkan lidah. Sebelum pergi masih sempat kugoda mereka berdua. "Jangan kelamaan mikirnya. Nanti keburu uzur." Usai mengucapkan kalimat sindiran ini, aku berlari kecil sebelum tangan Chris beruang mendarat lagi di kepalaku. Hanya sesaat memasuki rumah, deru mobil pun terdengar. Sepertinya, kedua manusia dewasa itu ingin bicara secara pribadi. Baru memasuki rumah, aku berpapasan dengan Cipta yang sudah bersiap hendak pergi. "Ma, aku cabut dulu. Ada tugas kelompok dari sekolah." Sontak langkahku terhenti. Berhubung ini hari libur, tadin
Samar-samar netraku menangkap bayangan dinding berwarna kelabu di depan sana. Setelah itu, barulah aku sadar kenapa tubuh ini terasa kaku, sulit sekali digerakkan. Ternyata, posisiku di atas kursi dengan tangan dan kaki yang terikat kuat. "Akhirnya, kamu sadar juga." Suara Silvy sontak membuatku menoleh ke samping. Tampak wanita culas itu sedang bersantai sembari menikmati buah yang sudah dipotong-potong dalam wadah kecil. "Apa yang kamu lakukan, hah? Cepat lepaskan aku sekarang juga!""Lepas? Hahahha ... maaf, kamu tak mungkin lepas. Cuma malaikat maut yang bisa membebaskanmu dari sini, Tiara."Rasa takut menyergap segenap tubuhku. Sorot mata Silvy tampak liar, seperti orang kerasukan. Sosoknya yang ini tak pernah kulihat sebelumnya. "Silvy, tolong berpikir yang jernih. Kenapa harus pakai kekerasan, hah?"Wanita itu tertawa sangat keras, sampai tubuhnya terguncang. "Akhirnya kamu takut juga? Sayang sekali,
Melihat kedua orang ini membicarakan nasibku seperti bercerita tentang harga barang di pasaran, aku makin sesak nafas. Kubuka mulut susah payah, namun yang terjadi kain kumal itu makin masuk dalam tenggorokan. 'Tuhan, tolong aku!'Batinku berseru tak putus-putus sambil berharap agar siapapun segera menemukan tempat ini. Tadi sebelum berangkat menemui Silvy, aku sempat mengirim pesan pada Hendra. Namun karena tak kunjung ditanggapi, kuputuskan datang sendiri. Keputusan yang akhirnya bikin aku menyesal setengah mati. "Bersiaplah, Tiara. Sekarang aku akan mencabut kuku jempolmu, hahahaha... ."Aku memejamkan mata, berharap maut datang sekarang juga. "Braakk!"Tiba-tiba pintu ruangan terbanting, dan tampaklah Hendra beserta Christopher sudah berdiri di ambang pintu, persis pahlawan kesiangan dalam film India. "Bajingan!" Serta-merta Christopher menerjang mantan Silvy hingga pria kurus itu
Mediasi kemarin jadi pertemuan terakhirku dengan Haris. Penutupnya lebih dramatis dari yang kukira sebab Chris memutuskan kasih 'pelajaran' sampai muka mantan suamiku memar. Untunglah kuasa Bambang sigap mengatur segalanya. Kalau tidak, bisa-bisa giliranku yang kena tuntutan hukum sekarang. "Kamu mau kemana lagi, Dek? Sebaiknya jangan terlalu banyak keluar. Kita tak tahu apa yang dipikirkan Haris," tegur Chris ketika melihatku buru-buru melintasi ruang tamu. "Lantas bagaimana dengan butikku? Hampir dua minggu aku tak ke sana?"Melihat wajah memelasku karena sudah lama tak memegang pensil dan kertas desain, akhirnya Chris mengalah. "Terserah kamu saja, tetapi tetap waspada."Mendapat persetujuannya, aku langsung tancap gas menuju Ratu Mode yang sekarang berkembang cukup pesat. Kecintaan wanita terhadap fashion adalah hal yang tak lekang oleh waktu. Sebab itu, jika dikerjakan sungguh-sungguh, industri ini bisa memberi
Tanpa ragu, Silvy menampilkan seringai ejekan, seolah aku manusia paling tolol di muka bumi. Memilin-milin rambutnya yang panjang, dia akhirnya buka mulut. "Tadinya aku mau diam saja. Kurasa lucu juga melihatmu seperti orang bodoh. Akan tetapi... karena kamu sudah peduli pada anakku, anggap saja informasi ini sebagai balas jasa." Dengan mimik muka berlebihan, Silvy melanjutkan," orang yang memintaku menggoda Haris adalah pria yang tengah dekat denganmu sekarang." Keningku mengernyit dalam. Satu-satunya pria yang dekat denganku hanya dia. "Hendra?" tanyaku tak percaya. Silvy mengedikkan bahu. Gestur tubuh yang menunjukkan jika tebakanku benar. "Tapi... kenapa?" Aku tak bisa menerima bila Hendra yang selalu tulus menolong adalah biang kerok dari penderitaanku selama ini. "Kamu pasti bohong? Iya, kan?!" Tanpa sadar suaraku meninggi, bahkan aku sampai berdiri hendak memaksa Silvy buka mulut. Tetapi perempuan culas itu terlihat santai, sedikitpun tidak terintimidasi dengan s