Mediasi kemarin jadi pertemuan terakhirku dengan Haris. Penutupnya lebih dramatis dari yang kukira sebab Chris memutuskan kasih 'pelajaran' sampai muka mantan suamiku memar.
Untunglah kuasa Bambang sigap mengatur segalanya. Kalau tidak, bisa-bisa giliranku yang kena tuntutan hukum sekarang."Kamu mau kemana lagi, Dek? Sebaiknya jangan terlalu banyak keluar. Kita tak tahu apa yang dipikirkan Haris," tegur Chris ketika melihatku buru-buru melintasi ruang tamu."Lantas bagaimana dengan butikku? Hampir dua minggu aku tak ke sana?"Melihat wajah memelasku karena sudah lama tak memegang pensil dan kertas desain, akhirnya Chris mengalah."Terserah kamu saja, tetapi tetap waspada."Mendapat persetujuannya, aku langsung tancap gas menuju Ratu Mode yang sekarang berkembang cukup pesat.Kecintaan wanita terhadap fashion adalah hal yang tak lekang oleh waktu. Sebab itu, jika dikerjakan sungguh-sungguh, industri ini bisa memberiTanpa ragu, Silvy menampilkan seringai ejekan, seolah aku manusia paling tolol di muka bumi. Memilin-milin rambutnya yang panjang, dia akhirnya buka mulut. "Tadinya aku mau diam saja. Kurasa lucu juga melihatmu seperti orang bodoh. Akan tetapi... karena kamu sudah peduli pada anakku, anggap saja informasi ini sebagai balas jasa." Dengan mimik muka berlebihan, Silvy melanjutkan," orang yang memintaku menggoda Haris adalah pria yang tengah dekat denganmu sekarang." Keningku mengernyit dalam. Satu-satunya pria yang dekat denganku hanya dia. "Hendra?" tanyaku tak percaya. Silvy mengedikkan bahu. Gestur tubuh yang menunjukkan jika tebakanku benar. "Tapi... kenapa?" Aku tak bisa menerima bila Hendra yang selalu tulus menolong adalah biang kerok dari penderitaanku selama ini. "Kamu pasti bohong? Iya, kan?!" Tanpa sadar suaraku meninggi, bahkan aku sampai berdiri hendak memaksa Silvy buka mulut. Tetapi perempuan culas itu terlihat santai, sedikitpun tidak terintimidasi dengan s
"Ah, ya ampun," desahku untuk kesekian kali sambil menutup buku besar yang semakin tidak masuk akal isinya. Malam ini memang jadi sangat panjang tapi bukan lantaran aku sibuk bekerja melainkan memikirkan keculasan Hendra. Hatiku tak bisa menerima bila orang sebaik dia rupanya menusuk dari belakang. Kenapa harus Hendra? Sebab terlalu malas melanjutkan pekerjaan, aku membuka gawai yang sejak tadi sengaja kumatikan. Belasan pesan dan puluhan panggilan masuk dari Cipta, Ambar, Chris, bahkan Hendra sudah mengantri. Kubalas pesan Cipta lebih dulu sebelum meneliti isi pesan Hendra. [Tiara, maaf sudah bikin kamu kecewa. Tapi kejadian yang sebenarnya bukan seperti itu][Tiara, kamu dimana?][Tiara, tolong angkat teleponku]... Dan pesan-pesan lain yang isinya kurang lebih sama. Kutatap jam di layar gawai, ternyata sudah lewat tengah malam. Sebab terlalu bingung mau berbuat apa, kulempar benda itu
Tubuhku membatu, kata-kata semanis ini sudah lama tak kudengar. Mungkin hanya mendiang ayah yang dulu pernah mengatakannya. Itu pun sudah lama sekali. Mengabaikan perasaan, aku menyahuti perkataan Hendra dengan nada datar. "Jangan mengucapkan sesuatu yang tak mungkin kamu tepati. Lagipula, aku belum memaafkanmu Hendra." Pria yang tampak sangat menarik dengan pakaian casual itu, menatapku sejurus lamanya. Aku tahu kamu belum memaafkanku. Setidaknya, dengar dulu ceritaku seutuhnya, bagaimana?" Aku diam saja, tidak membantah atau mengiyakan. Hal ini rupanya dimaknai Hendra tanda persetujuan. Dia pun membuka mulut dan mengutarakan cerita versinya. "Dulu, waktu kamu menikah sama Haris, aku sangat terpukul. Sebab itulah, aku sampai kabur ke luar negeri, berkarir di sana sementara waktu sampai bisa melupakanmu." Hendra memulai kisahnya dengan pembukaan yang sangat menyentuh hati. Tanpa sadar, jantu
Peringatan Bambang kemarin bikin aku sangat hati-hati, nyaris paranoid, terlebih ketika Cipta dan Chris sudah pergi. Sejak memutuskan tinggal lagi di ibu kota, Chris memang sudah bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Katanya sambil lirik-lirik lahan yang cocok untuk buka praktik mandiri. Sebab itulah, dia tak bisa selalu mendampingiku. Namun status sebagai tahanan rumah, bikin aku tak bisa terus-menerus diam di tempat. Ada kegiatan wajib lapor yang mesti kutekuni. Pagi ini kebetulan pula jadwalnya. "Bu Tiara, kita belum telat, kan?" Supri memastikan sembari fokus mengamati jalanan di depan sana. "Belum, Pak." Aku menyahut sekenanya sambil bertanya-tanya kapan kiranya kedua bajingan yang menyeretku dalam masalah, tertangkap. "Drtdrtdrtdrt... ." Getar ponsel, tiba-tiba membuat kegelisahan hatiku makin menjadi. Sebuah pesan gambar nyaris membuat aliran darahku berhenti. Dalam gambar itu, Cipta terduduk lemah dengan tangan dan kaki terikat. Kata-kata singkat yang menyertainya
Kalimat tajamku membuat pria bercodet terbahak-bahak sampai Setiadi salah tingkah. "Aku suka cara bicaramu, nyonya muda." Setelah itu dia menoleh pada Setiadi. "Itu baru cara yang benar mengurus bisnis. Tak usah sok bawa perasaan, hahahaha... ."Dari pengamatanku, sepertinya si Codet tak begitu suka dengan Setiadi pun sebaliknya. Sebab waktu sang atasan menertawakan dirinya, tangan ayah Silvy ini mengepal, seperti hendak menghajar seseorang. Sejurus kemudian, pria bercodet memberi perintah dan anak buahnya, -- bekas manajerku yang kabur--, segera menyusun tripod dan sebuah ponsel. Setelah itu mereka membuat panggilan. Pada dering pertama, panggilan langsung terhubung dan tampaklah wajah Hendra dan Chris pada layar kecil itu. Muka mereka terlihat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. "Katakan apa yang kalian mau?" tukas Hendra setelah matanya memindaiku sekilas. "Ha! Satu lagi orang cerdas, saya suka, saya suka."P
Aku meraba-raba dalam kegelapan, mencari anakku, ketika tangannya tiba-tiba sudah merangkul kakiku. "Ma, aku di sini," ujarnya lemahLangsung kupeluk tubuhnya, berusaha memberi rasa aman yang aku sendiri tak punya. Kami berdua saling menguatkan di tengah situasi mencekam ini. Rasa lapar yang membelit perut kami sekejap tadi, mendadak lenyap. "Braakk!"Tiba-tiba pintu terhempas dan masuklah dua pria bertubuh tegap, memegang senter besar yang sorot cahayanya seketika membuatku silau. "Ayo, ikut kami sekarang juga. Kalau tidak, kalian akan mati konyol."Cipta menggigil dalam pelukanku. Mendengar kematian di usia semuda ini, pastilah bikin siapapun ketakutan. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian sangat kejam?" Aku berusaha tetap tenang meski suara yang bergetar tidak bisa menutupi yang sebenarnya. Keduanya tak menyahut. Dengan kasar, salah satu dari mereka menarik Cipta dan memanggulnya seperti sekarung beras sedan
"Bagaimana situasi anakku?" Begitu membuka mata aku langsung bertanya pada Hendra yang duduk terpekur di sisi ranjang. Setelah dilarikan dari cengkeraman bandit kemarin malam, barulah pagi ini aku bangun. Sepertinya, tendangan dan siksaan yang kuterima bertubi-tubi, menyebabkan luka dalam sebab sekujur tubuhku terasa nyeri. Pria itu memegang tanganku. "Cipta sedang dirawat. Kamu tenanglah, dia pasti baikan.""Kamu tidak berbohong, kan?""Aku tak membohongimu, Tiara." Dia menyahut sungguh-sungguh. "Cipta memang terserempet peluru, tapi bagian bahu saja."Usai berkata demikian, Hendra bercerita tentang peristiwa malam itu. Cipta yang cerdas menyadari sekelompok orang sedang bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk melumpuhkan penjahat. Sama seperti pikiranku, dia pun menggigit bahu Anton hingga pria itu refleks menembak, yang rupanya berhasil menyerempet bahunya. Ketika tubuh anakku terlempar, orang yang bersembunyi
Tiga minggu berlalu, pembicaraanku dengan Cipta kemarin masih terngiang-ngiang hingga detik ini. Meski demikian, kuputuskan untuk abai. Pada akhirnya, dengan atau tanpa pasangan, seseorang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. "Bu, kita langsung ke rumah tahanan sekarang?" Supri bertanya kali kedua. Aku mengangguk mantap tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi Silvy di rumah tahanan sebab kurasa perlu mengabarkan perilaku ayahnya. Bukan lantaran dendam atau apa, hanya saja dia harus tahu bahwa ayahnya masih hidup. "Kenapa lagi kamu kemari?"Seperti biasa, kata-kata sapaannya tak pernah ramah. "Cuma mau bilang, ayah yang kamu rindukan masih sehat dan hidup."Dia langsung berhenti memelintir rambutnya, menatapku penuh tanya, seolah apa yang kusampaikan tak mungkin benar-benar terjadi. "Aku tak percaya. Mana buktinya?"Kubuka gawai lalu mencari fot