Tubuhku membatu, kata-kata semanis ini sudah lama tak kudengar. Mungkin hanya mendiang ayah yang dulu pernah mengatakannya. Itu pun sudah lama sekali.
Mengabaikan perasaan, aku menyahuti perkataan Hendra dengan nada datar. "Jangan mengucapkan sesuatu yang tak mungkin kamu tepati. Lagipula, aku belum memaafkanmu Hendra." Pria yang tampak sangat menarik dengan pakaian casual itu, menatapku sejurus lamanya. Aku tahu kamu belum memaafkanku. Setidaknya, dengar dulu ceritaku seutuhnya, bagaimana?" Aku diam saja, tidak membantah atau mengiyakan. Hal ini rupanya dimaknai Hendra tanda persetujuan. Dia pun membuka mulut dan mengutarakan cerita versinya. "Dulu, waktu kamu menikah sama Haris, aku sangat terpukul. Sebab itulah, aku sampai kabur ke luar negeri, berkarir di sana sementara waktu sampai bisa melupakanmu." Hendra memulai kisahnya dengan pembukaan yang sangat menyentuh hati. Tanpa sadar, jantuPeringatan Bambang kemarin bikin aku sangat hati-hati, nyaris paranoid, terlebih ketika Cipta dan Chris sudah pergi. Sejak memutuskan tinggal lagi di ibu kota, Chris memang sudah bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Katanya sambil lirik-lirik lahan yang cocok untuk buka praktik mandiri. Sebab itulah, dia tak bisa selalu mendampingiku. Namun status sebagai tahanan rumah, bikin aku tak bisa terus-menerus diam di tempat. Ada kegiatan wajib lapor yang mesti kutekuni. Pagi ini kebetulan pula jadwalnya. "Bu Tiara, kita belum telat, kan?" Supri memastikan sembari fokus mengamati jalanan di depan sana. "Belum, Pak." Aku menyahut sekenanya sambil bertanya-tanya kapan kiranya kedua bajingan yang menyeretku dalam masalah, tertangkap. "Drtdrtdrtdrt... ." Getar ponsel, tiba-tiba membuat kegelisahan hatiku makin menjadi. Sebuah pesan gambar nyaris membuat aliran darahku berhenti. Dalam gambar itu, Cipta terduduk lemah dengan tangan dan kaki terikat. Kata-kata singkat yang menyertainya
Kalimat tajamku membuat pria bercodet terbahak-bahak sampai Setiadi salah tingkah. "Aku suka cara bicaramu, nyonya muda." Setelah itu dia menoleh pada Setiadi. "Itu baru cara yang benar mengurus bisnis. Tak usah sok bawa perasaan, hahahaha... ."Dari pengamatanku, sepertinya si Codet tak begitu suka dengan Setiadi pun sebaliknya. Sebab waktu sang atasan menertawakan dirinya, tangan ayah Silvy ini mengepal, seperti hendak menghajar seseorang. Sejurus kemudian, pria bercodet memberi perintah dan anak buahnya, -- bekas manajerku yang kabur--, segera menyusun tripod dan sebuah ponsel. Setelah itu mereka membuat panggilan. Pada dering pertama, panggilan langsung terhubung dan tampaklah wajah Hendra dan Chris pada layar kecil itu. Muka mereka terlihat tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. "Katakan apa yang kalian mau?" tukas Hendra setelah matanya memindaiku sekilas. "Ha! Satu lagi orang cerdas, saya suka, saya suka."P
Aku meraba-raba dalam kegelapan, mencari anakku, ketika tangannya tiba-tiba sudah merangkul kakiku. "Ma, aku di sini," ujarnya lemahLangsung kupeluk tubuhnya, berusaha memberi rasa aman yang aku sendiri tak punya. Kami berdua saling menguatkan di tengah situasi mencekam ini. Rasa lapar yang membelit perut kami sekejap tadi, mendadak lenyap. "Braakk!"Tiba-tiba pintu terhempas dan masuklah dua pria bertubuh tegap, memegang senter besar yang sorot cahayanya seketika membuatku silau. "Ayo, ikut kami sekarang juga. Kalau tidak, kalian akan mati konyol."Cipta menggigil dalam pelukanku. Mendengar kematian di usia semuda ini, pastilah bikin siapapun ketakutan. "Apa yang terjadi? Kenapa kalian sangat kejam?" Aku berusaha tetap tenang meski suara yang bergetar tidak bisa menutupi yang sebenarnya. Keduanya tak menyahut. Dengan kasar, salah satu dari mereka menarik Cipta dan memanggulnya seperti sekarung beras sedan
"Bagaimana situasi anakku?" Begitu membuka mata aku langsung bertanya pada Hendra yang duduk terpekur di sisi ranjang. Setelah dilarikan dari cengkeraman bandit kemarin malam, barulah pagi ini aku bangun. Sepertinya, tendangan dan siksaan yang kuterima bertubi-tubi, menyebabkan luka dalam sebab sekujur tubuhku terasa nyeri. Pria itu memegang tanganku. "Cipta sedang dirawat. Kamu tenanglah, dia pasti baikan.""Kamu tidak berbohong, kan?""Aku tak membohongimu, Tiara." Dia menyahut sungguh-sungguh. "Cipta memang terserempet peluru, tapi bagian bahu saja."Usai berkata demikian, Hendra bercerita tentang peristiwa malam itu. Cipta yang cerdas menyadari sekelompok orang sedang bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk melumpuhkan penjahat. Sama seperti pikiranku, dia pun menggigit bahu Anton hingga pria itu refleks menembak, yang rupanya berhasil menyerempet bahunya. Ketika tubuh anakku terlempar, orang yang bersembunyi
Tiga minggu berlalu, pembicaraanku dengan Cipta kemarin masih terngiang-ngiang hingga detik ini. Meski demikian, kuputuskan untuk abai. Pada akhirnya, dengan atau tanpa pasangan, seseorang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. "Bu, kita langsung ke rumah tahanan sekarang?" Supri bertanya kali kedua. Aku mengangguk mantap tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi Silvy di rumah tahanan sebab kurasa perlu mengabarkan perilaku ayahnya. Bukan lantaran dendam atau apa, hanya saja dia harus tahu bahwa ayahnya masih hidup. "Kenapa lagi kamu kemari?"Seperti biasa, kata-kata sapaannya tak pernah ramah. "Cuma mau bilang, ayah yang kamu rindukan masih sehat dan hidup."Dia langsung berhenti memelintir rambutnya, menatapku penuh tanya, seolah apa yang kusampaikan tak mungkin benar-benar terjadi. "Aku tak percaya. Mana buktinya?"Kubuka gawai lalu mencari fot
Hari yang dinanti kakakku pun tiba. Pagi ini dia terlihat tampan dalam balutan setelan tiga potong. Dan karena sebulan menjelang pesta, dia sudah wara-wiri di tempat fitness, maka tubuhnya yang bongsor terlihat lebih proporsional. "Tiara, kakakmu rupanya sangat tampan, ya." Dia berkata sambil mematut diri di depan cermin. "Hemm," sahutku malas. "Beruk pun kalau pakai tuxedo, tampan juga."Serta-merta tangannya bergerak cepat menoyor kepalaku. "Adek durhaka, sia-sia kakak melindungimu sepenuh hati."Aku pura-pura mau muntah dan makin meledeknya. Kebahagiaan tersendiri melihat melihat kakakku bad mood. Padahal kalau mau jujur, aku sangat sedih sekarang. Belum lama kebersamaan kami, Chris harus menikah dengan pujaan hatinya. Meskipun Ambar juga dekat denganku, tetap saja setelah pesta ini, kakak sah jadi milik perempuan lain. Andaikata aku masih bersuami, mungkin tak semiris ini rasanya. "Hei, kok diam? Sedih ya, karen
Seruan MC tidak membawa riak apapun padaku sebab memang sejak awal kehadiranku di sini hanya meramaikan suasana, bukan untuk melantai. Aku terpaku mengamati orang-orang,-- lebih tepatnya outfit mereka -- ,yang mulai turun ke lantai dansa. Ada beberapa gaun yang cukup menarik minat tetapi banyak pula yang terlihat aneh, tak cocok dengan bentuk tubuh pemakainya. Tiba-tiba Hendra yang sekejap tadi duduk, berdiri dan mencondongkan tubuh ke arahku. "May I have this dance with you?" tanyanyaSontak aku ternganga, mengamati wajahnya yang berselimut humor. "Ta--tapi... ."Hendra mengedipkan mata dan aku pun mengamati sekeliling. Tampaknya beberapa tamu yang kebetulan duduk di dekat kami, mulai menoleh kemari. Pria tengil ini membuatku jadi pusat perhatian. Tak mau membuat kehebohan di pesta kakak sendiri, aku akhirnya ikut ke lantai dansa. Grogi betul rasanya, saat berpasang-pasang mata mengamati gerak-gerikku den
Begitu data mentah yang akan diinput ke direktori sudah siap, Hendra langsung mengerahkan tim khusus untuk mewujudkan impianku. "Kamu harus sabar, butuh beberapa bulan agar aplikasinya bisa sempurna," ujar Hendra setelah beberapa waktu. "Kapan alpha testing bisa dikerjakan?"Sembari mengotak-atik bahasa pemrograman di layar monitor, Hendra menyahut singkat. "Paling cepat dua bulan lagi.""Baiklah, yang penting hasil akhirnya memuaskan."Membiarkan Hendra menyelesaikan segala hal menyangkut aplikasi, aku kembali larut dalam kesibukan lain agar penantian ini tidak terlalu panjang. Salah satu hal yang kutekuni, tentu saja merancang busana untuk menyambut tahun baru. Rencananya, kami akan meluncurkan busana berkonsep asimetris dengan warna pastel yang soft. Aku tengah sibuk dengan coretan-coretan di atas kertas ketika Bambang menghubungi. "Selamat siang bu Tiara, maaf mengganggu waktunya. Persidangan untuk tind