Akhirnya setelah berjibaku nyaris setahun, restoran yang kuidamkan pun berdiri dengan megah. Golden Phoenik adalah namanya, sebab hidupku sendiri mirip dengan burung legenda itu.
Bangkit dari abu kematian setelah mengalami penderitaan."Ada berapa customer yang order meja untuk hari ini?" tanyaku tanpa menoleh dari spreadsheet excel yang tengah kugeluti."Ada lima yang pesan meja dan satu private room, Bu Tiara."Aku mengangguk namun terus berhitung dengan kalkulator yang sejak pagi tadi sudah standby. Keuangan perusahaan memang masih kutangani sepenuhnya karena belum menemukan pegawai yang pas untuk mengurus hal ini.Kepalaku yang tengah menunduk harus mendongak ketika sebuah sapaan tiba-tiba menyapa ruang dengarku."Wah, ternyata kakak kerja di sini, ya?"Darah langsung berdesir ketika mata ini bersirobok dengan wajah yang jadi mimpi burukku belakangan."Kamu? Kenapa bisa di sini?"Wajah Silvy m"Kenapa kamu tega, Haris?"Aku meratap berulang-ulang di rumah minimalis yang terletak di belakang restoran. Rumah ini sengaja kubangun sebagai tempat tinggal sekaligus tempat bersembunyi dari kenyataan hidup yang pahit. Rupanya belum setahun di sini, manusia yang jadi sumber deritaku sudah menampakkan diri. Tadinya kukira luka itu sudah sembuh, ternyata cuma hibernasi di dalam. Tatkala melihat hidup Silvy baik-baik saja bersama bayinya yang lucu, barulah aku sadar bila hati ini masih berdarah-darah. "Kenapa anakmu bisa sehat sementara Ciaraku yang manisa mati mengenaskan? Kenapa?!"Aku bertanya-tanya sambil memegang buku harian Ciara yang tulisannya mulai kabur lantaran dibasuh air mata. Tanganku menggigil membaca catatan harian Ciara sebelum kematiannya. [Papa, kenapa pergi liburan sama tante Silvy? Kenapa bukan mama yang diajak?][Aku ingin liburan bareng papa, Mama, dan Kakak seperti dulu. ][Papa, kenap
Tubuhku mendadak limbung sebab pegangan Haris lepas seketika. Tindakannya tepat seperti yang bisa diharapkan dari pengkhianat berhati lemah. Aku merapikan gaun yang agak kusut sebelum menatap Silvy berang. "Makanya kalau punya suami diawasi. Biar nggak jelajatan matanya kemana-mana."Silvy mendekat, langkahnya anggun dan terukur hingga dress panjangnya bergoyang indah. Begitu tiba disisi Haris, langsung digandengnya lengan pengkhianat itu mesra. Haris yang sekejap tadi bernafsu menggodaku, kini tampak merangkul Silvy. "Maaf Sayang, itu tak seperti yang kamu lihat. Tiara hampir jatuh. Aku cuma membantunya berdiri."Menatap mata suaminya, Silvy menyahut tenang. "Aku tahu sayang. Tak mungkin kamu tergoda sama perempuan tua, iya kan?""Tentu. Tentu saja."Usai bermanis-manis dengan Haris, Silvy mengarahkan matanya padaku. "Maaf saja, aku memang percaya suamiku tapi tidak denganmu.""Maksud kamu?!"Mata Silvy menel
Tak menunggu lama, aku segera mengurus segala keperluan untuk membangkitkan lagi usaha yang dulu digeluti ibu. Jika dulu butiknya cuma menjual pakaian jadi, sekarang aku menambah sebuah gedung berlantai tiga di sebelah. Gedung ini khusus menyediakan aneka kain yang bisa dipilih oleh para pelanggan, sedangkan di lantai tiga merupakan tempat untuk konsultasi dan menjahit pakaian. Pelanggan yang datang bisa memilih pakaian jadi, atau membeli kain saja, atau membeli kain lalu dijahit di sini. Untuk kategori terakhir, mereka bisa konsultasi jenis kain dan model macam apa yang sesuai dengan bentuk tubuh. Tak tanggung-tanggung, tempat usaha yang kedua ini kuberi nama Ratu Mode. "Rupanya begitu dapat kekuasaan, kamu sangat mendominasi, ya." Ambar menukas saat bertandang ke butik. "Tak ada pilihan, Kak. Untuk menjalankan rencana secepatnya, aku harus bergerak agresif.""Mengapa harus buru-buru, Tiara? Kamu punya banyak waktu."Aku cum
Astaga! Aku nyaris memaki bila tak ingat Hendra sedang duduk di depanku. Apa dalam pikirannya aku terlihat seperti perempuan yang gede rasa sekarang? "Ehem, sepertinya kamu sangat pengertian," gumamku tak jelas. Hendra tak menanggapi. Kelihatannya dia lebih asyik menyeruput kopi hitam pekat miliknya. Ketika kami tengah sibuk dengan pikiran masing-masing, pada saat ini pula mataku bersirobok dengan seorang pria yang tengah menggandeng mesra gadis belia. Apa yang menarik minatku bukanlah tampilan mereka yang mencolok, melainkan muka pria itu seperti tak asing. Rasanya kami pernah ketemu entah dimana. "Tak usah terlalu ambil pusing dengan urusan orang lain."Teguran Hendra bikin aku buru-buru memalingkan muka. "Aku tak ambil pusing. Cuma wajah itu seperti tak asing."Hendra mengernyit lalu bertanya keheranan. "Kamu tak ingat? Bukannya itu mantan suami Silvy?""Ah, aku ingat sekarang," desahku menahan
"Selamat siang, Bu Tiara. Mohon segera ke sekolah karena anak ibu terlibat perkelahian."Suara si penelepon nyaris membuatku bilang tak lagi punya anak sebelum keburu ingat bahwa masih ada satu bocah pengkhianat yang pernah lahir rahimku yang malang. "Maaf, tapi Anda bisa menelepon ayahnya karena saya sangat sibuk," elakku"Sudah kami coba, Bu. Tetapi nomor pak Haris juga sedang sibuk."Tak punya pilihan, akhirnya aku cuma bisa menyanggupi permintaan guru BK tempat Cipta bersekolah. Dengan menggunakan taksi, akhirnya aku tiba di sana tiga puluh menit kemudian. Sekolah ini masih seperti yang kuingat. Tampak angkuh dengan gedung luas lima lantai serta jalur penyeberangan khusus yang dibuat mirip jembatan layang. Aku bergegas menuju ruang BK dan langsung disambut dengan pemandangan dua bocah laki-laki yang sedang dihukum. Berdiri menghadap dinding kosong. "Ada apa dengan Cipta, Bu?" cetusku tak sabar ketika sudah duduk
Sejurus kemudian, manajer butik kembali. Mukanya tetap tenang waktu menyampaikan pesan dari pelanggan merepotkan itu. "Bu, katanya beliau tetap harus ketemu owner paling lama minggu depan."Aku mengangguk dengan ekspresi tak sabar. Sadar bila diriku tak suka diganggu lebih jauh, manajer segera keluar ruangan. Aku bangkit dari duduk, lalu menatap keluar jendela. Mataku tepat pula bersirobok dengan Silvy yang tengah memasuki mobil. Sepertinya Haris membelikan istri mudanya mobil baru. Duhai! Enaknya jadi istri muda. Disaat aku bertungkus lumus dalam kesusahan waktu menemani Haris merintis, dia tinggal memetik segala yang manis. 'Lupakan! Lupakan!'Batinku berulang-ulang mengingatkan hingga jantung yang sekejap tadi mulai tak karuan kembali tenang. Mengesampingkan kelakuan Silvy yang bikin sebal, aku kembali fokus pada pekerjaan hingga tak terasa hari yang baru kembali datang. Pagi ini aku sedang sibuk memaja
Kata-kata Ambar kemarin terus kugaungkan agar gonjang-ganjing yang menimpa Eracipta tidak mempengaruhi hidupku.Dua hari berlalu sejak bermasalahnya aplikasi we-cara dirilis, tak ada tanda-tanda akan membaik. Justru suasana makin keruh karena berhembus isu bahwa pemegang saham mulai gelisah. Hal ini membuat harga saham EraCipta terus merosot. Siangnya, ketika aku tengah sibuk membuat sketsa gaun, telepon dari Hendra tiba-tiba mengusik. "Berapa saham yang mau kamu beli? Para pemegang saham mulai gelisah?""Secepat itu?" tanyaku tak percaya. "Tentu saja tidak. Tapi akan jadi cepat bila ada yang mengatur di belakang layar."Tanpa menunggu komentarku, Hendra bercerita bahwa dia sudah mengatur agar berita kacaunya aplikasi keluaran Eracipta berhembus hebat dengan bantuan hacker. Para pejuang keyboard ini membuat beritanya selalu muncul di pencarian teratas. Setengah ragu, aku kembali menyela. "Memangnya Haris ta
Rupanya Silvy tidak mengecewakanku. Masalah ganti rugi yang belum dipenuhi Ratu Mode kini viral dimana-mana, sampai-sampai selebgram di kota kami pun ikut membahasnya. Pada saat ini pula berita perselingkuhan yang masih disimpan Haris rapat-rapat, mulai terendus. Tentu saja aku tak tinggal diam. Lewat akun alter, kukirimkan bukti tak langsung ke kanal berita gosip lokal. Ada foto pernikahanku dan Haris -- Silvy kecil ada didalamnya -, foto perkawinan Silvy, serta foto perkawinan Haris dan Silvy di catatan sipil. Hasilnya, "boom!" Berita meledak tanpa kendali, sampai masuk level nasional. Pada saat inilah Silvy yang beberapa hari lalu tersenyum jumawa sambil mengolok-olok butikku, kembali datang dengan raut panik. "Cepat! Mana atasan kalian? Aku mau bicara sekarang!" Dia langsung menyeru begitu memasuki butik. Aku mengamati tingkahnya yang mirip cacing kepanasan lewat kamera CCTV di ruanganku. Manajer dan beberapa
"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!"Aku berteriak panik seraya mencari jalan keluar tetapi ketiga orang dewasa yang duduk di sofa, bergeming. Sedikitpun, tak kasihan sama perempuan yang tengah menangis, mengiba. Sementara itu, dua petugas berseragam putih mulai mendekat, salah satu dari mereka bahkan sudah siap dengan borgolnya. "Haris! Kenapa diam saja? Tolong aku!"Aku makin panik, hendak melarikan diri dari jendela, akan tetapi pembantu kami sudah berdiri di sana, siap dengan sebuah sapu di tangan. Astaga! Apa mereka menganggapku anjing sekarang? Sebab semua jalan sudah buntu, aku akhirnya kembali ke hadapan laki-laki yang kusebut suami. Dengan air mata membanjiri pipi, aku mulai berteriak. "Haris, jelaskan maksud semua ini!"Pria yang sudah kudampingi selama tiga belas tahun itu menatap dingin. "Jangan berlebihan, Tiara. Mereka datang untuk menolongmu. Kurasa kamu butuh perawatan agar mentalmu stab
Keputusanku sepertinya sangat tepat, karena seminggu kemudian, anakku akhirnya pulang dengan berbagai bingkisan yang konon pemberian kerabat keluarga Danendra. "Ma, nenek juga menitipkan dokumen ini." Cipta menyerahkan sebuah map berwarna kuning. Meski sudah bisa menebak, tetap saja kuluangkan waktu melihat isinya. Ternyata benar, semua ini surat tanah dan bangunan yang masih dimiliki Haris. Tak sampai sepertiga dari kekayaannya diawal. Padahal, semua sahamnya pun sudah dijual saat memutuskan hengkang dari EraCipta. "Baiklah, Mama simpan semuanya. Kelak bila sudah cukup dewasa, kamu bisa mengambilnya."Cipta mengangguk lalu masuk kamar. Rupanya, ini jadi perbincangan kami yang terakhir karena sejak hari itu, anakku selalu menutup diri. Bila tidak sekolah, dia langsung mendekam di kamar dan hanya keluar bila ada urusan yang mengharuskannya begitu. Kucoba mendekatinya agar mau bicara, namun mulut anakku seperti terku
"Selamat pagi, bu Tiara. Kami mau mengabarkan bahwa suami Anda sudah meninggal sekitar pukul satu subuh tadi."Aku membatu di tempat, tak tahu harus bereaksi apa. Setelah sekian menit lamanya, barulah bisa kutemukan suaraku. "Maaf, tapi saya tak punya suami lagi."Pihak rumah sakit yang menelepon jadi kelabakan sebab butuh beberapa saat baginya untuk kembali merespon. "Bukankah suami ibu bernama Haris Danendra? Soalnya nomor ini diberi nama 'istri' pada kontak beliau."Duarr! Bagai petir yang datang tiba-tiba, jantungku nyaris berhenti. Haris, mantan suamiku, meninggal? Tapi kenapa? Enam bulan lalu kami baru saja bertemu. "Apa Anda yakin? Setahu saya pak Haris sehat, tak ada penyakit fatal yang bisa membuat beliau meninggal."Dalam hati, aku masih berharap mereka salah nomor. Semoga yang meninggal itu Haris yang lain, bukan pria yang pernah jadi suamiku. Sayang sekali, harapanku tak terkabul.
Beta testing dilakukan pada end user yang dipilih dari berbagai komunitas. Ada sekitar seratus lima puluh user yang berpartisipasi dalam hal ini. Berbeda dengan Alpa testing yang dilakukan di lab, maka testing kedua bisa dikerjakan dimana saja dan kapan saja selama periode yang ditentukan. "Apakah masih ada masalah?" tanyaku pada Hendra lewat sambungan telepon setelah lebih satu minggu masa testing berlangsung. "Sejauh ini belum ada. Aku yakin, kali ini aplikasinya sudah sembilan puluh sembilan persen siap."Hatiku agak lega mendapat kepastian ini sebab tak lama lagi, kami akhirnya bisa meluncurkan inovasi baru untuk memanjakan pelanggan. Perkataan Hendra ternyata bukan bualan karena dua minggu kemudian, aplikasi Ratu Mode akhirnya resmi diluncurkan. Meski menelan milyaran rupiah untuk pengembangan, desain, dan pemasaran, aku tetap bersemangat. Menandai peluncuran tersebut, aku mengadakan acara kecil-kecilan di aula gedung E
Begitu data mentah yang akan diinput ke direktori sudah siap, Hendra langsung mengerahkan tim khusus untuk mewujudkan impianku. "Kamu harus sabar, butuh beberapa bulan agar aplikasinya bisa sempurna," ujar Hendra setelah beberapa waktu. "Kapan alpha testing bisa dikerjakan?"Sembari mengotak-atik bahasa pemrograman di layar monitor, Hendra menyahut singkat. "Paling cepat dua bulan lagi.""Baiklah, yang penting hasil akhirnya memuaskan."Membiarkan Hendra menyelesaikan segala hal menyangkut aplikasi, aku kembali larut dalam kesibukan lain agar penantian ini tidak terlalu panjang. Salah satu hal yang kutekuni, tentu saja merancang busana untuk menyambut tahun baru. Rencananya, kami akan meluncurkan busana berkonsep asimetris dengan warna pastel yang soft. Aku tengah sibuk dengan coretan-coretan di atas kertas ketika Bambang menghubungi. "Selamat siang bu Tiara, maaf mengganggu waktunya. Persidangan untuk tind
Seruan MC tidak membawa riak apapun padaku sebab memang sejak awal kehadiranku di sini hanya meramaikan suasana, bukan untuk melantai. Aku terpaku mengamati orang-orang,-- lebih tepatnya outfit mereka -- ,yang mulai turun ke lantai dansa. Ada beberapa gaun yang cukup menarik minat tetapi banyak pula yang terlihat aneh, tak cocok dengan bentuk tubuh pemakainya. Tiba-tiba Hendra yang sekejap tadi duduk, berdiri dan mencondongkan tubuh ke arahku. "May I have this dance with you?" tanyanyaSontak aku ternganga, mengamati wajahnya yang berselimut humor. "Ta--tapi... ."Hendra mengedipkan mata dan aku pun mengamati sekeliling. Tampaknya beberapa tamu yang kebetulan duduk di dekat kami, mulai menoleh kemari. Pria tengil ini membuatku jadi pusat perhatian. Tak mau membuat kehebohan di pesta kakak sendiri, aku akhirnya ikut ke lantai dansa. Grogi betul rasanya, saat berpasang-pasang mata mengamati gerak-gerikku den
Hari yang dinanti kakakku pun tiba. Pagi ini dia terlihat tampan dalam balutan setelan tiga potong. Dan karena sebulan menjelang pesta, dia sudah wara-wiri di tempat fitness, maka tubuhnya yang bongsor terlihat lebih proporsional. "Tiara, kakakmu rupanya sangat tampan, ya." Dia berkata sambil mematut diri di depan cermin. "Hemm," sahutku malas. "Beruk pun kalau pakai tuxedo, tampan juga."Serta-merta tangannya bergerak cepat menoyor kepalaku. "Adek durhaka, sia-sia kakak melindungimu sepenuh hati."Aku pura-pura mau muntah dan makin meledeknya. Kebahagiaan tersendiri melihat melihat kakakku bad mood. Padahal kalau mau jujur, aku sangat sedih sekarang. Belum lama kebersamaan kami, Chris harus menikah dengan pujaan hatinya. Meskipun Ambar juga dekat denganku, tetap saja setelah pesta ini, kakak sah jadi milik perempuan lain. Andaikata aku masih bersuami, mungkin tak semiris ini rasanya. "Hei, kok diam? Sedih ya, karen
Tiga minggu berlalu, pembicaraanku dengan Cipta kemarin masih terngiang-ngiang hingga detik ini. Meski demikian, kuputuskan untuk abai. Pada akhirnya, dengan atau tanpa pasangan, seseorang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. "Bu, kita langsung ke rumah tahanan sekarang?" Supri bertanya kali kedua. Aku mengangguk mantap tanpa mengalihkan pandangan dari luar jendela.Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi Silvy di rumah tahanan sebab kurasa perlu mengabarkan perilaku ayahnya. Bukan lantaran dendam atau apa, hanya saja dia harus tahu bahwa ayahnya masih hidup. "Kenapa lagi kamu kemari?"Seperti biasa, kata-kata sapaannya tak pernah ramah. "Cuma mau bilang, ayah yang kamu rindukan masih sehat dan hidup."Dia langsung berhenti memelintir rambutnya, menatapku penuh tanya, seolah apa yang kusampaikan tak mungkin benar-benar terjadi. "Aku tak percaya. Mana buktinya?"Kubuka gawai lalu mencari fot
"Bagaimana situasi anakku?" Begitu membuka mata aku langsung bertanya pada Hendra yang duduk terpekur di sisi ranjang. Setelah dilarikan dari cengkeraman bandit kemarin malam, barulah pagi ini aku bangun. Sepertinya, tendangan dan siksaan yang kuterima bertubi-tubi, menyebabkan luka dalam sebab sekujur tubuhku terasa nyeri. Pria itu memegang tanganku. "Cipta sedang dirawat. Kamu tenanglah, dia pasti baikan.""Kamu tidak berbohong, kan?""Aku tak membohongimu, Tiara." Dia menyahut sungguh-sungguh. "Cipta memang terserempet peluru, tapi bagian bahu saja."Usai berkata demikian, Hendra bercerita tentang peristiwa malam itu. Cipta yang cerdas menyadari sekelompok orang sedang bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk melumpuhkan penjahat. Sama seperti pikiranku, dia pun menggigit bahu Anton hingga pria itu refleks menembak, yang rupanya berhasil menyerempet bahunya. Ketika tubuh anakku terlempar, orang yang bersembunyi