Kata-kata mertua sontak membuat telapak tanganku gemetaran. Apa aku tak dianggap lagi sebagai menantu sekaligus ibu dari kedua cucunya?
"Maaf Bu, tapi yang istri Kak Haris itu aku. Jadi, jelas akulah nyonya rumah dan berhak mengatur keuangan," ujarku dengan suara bergetar."Omong kosong! Aku masih ada disini dan kamu berani bilang kalau kamu nyonya rumah? Haris, lihat istrimu. Dia tak menganggapku sama sekali."Usai berkata demikian, mertua Saat ini aku sungguh mengutuki diri sebab tidak pintar bersilat lidah. terisak sedangkan Silvy sibuk menenangkan beliau. Sekarang, aku benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis yang menyakiti seisi rumah."Ibu pasti tahu bukan itu maksudku yang sebenarnya. Tolong jangan bikin situasi makin runyam," kataku dengan suara tersendat."Apa katamu? Aku bikin runyam?" tangis mertua makin pilu. Beliau bahkan mulai memukul-mukul dadanya. "Ya, Tuhan lihat kesusahanku. Aku sudah difitnah... ."Lidahku makin kelu, tak tahu lagi harus bilang apa. Mau dijelaskan salah, tak dijelaskan bikin sesak. Entah apa lagi yang harus kulakukan. Saat ini aku sungguh mengutuki diri sebab tidak pintar bersilat lidah.Ditengah kebingunganku, mendadak Silvy angkat bicara. "Kak Tiara, bibi sudah tua. Tolong jangan membuatnya risau. Apa yang beliau utarakan barusan murni karena khawatir dengan situasi kakak. Mengapa hal begini saja kakak tak bisa paham?"Diliputi emosi yang kuat, aku menyahut cepat, "tutup mulutmu! Tak usah ikut campur urusan keluargaku. Gara-gara kamu, keluargaku jadi berantakan."Dan ini jadi kesalahan yang sangat fatal di mata Haris. Sebab begitu air mata Silvy keluar akibat kata-kataku, tangannya yang besar langsung menggebrak meja hingga Ciara yang ketakutan mendekapku erat."Cukup Tiara! Jangan bertingkah seperti anak-anak. Mengapa kamu sangat suka menyakiti hati keluargaku, hah?"Mataku nanar memandang wajahnya, mencari sedikit rasa bersalah di sana karena sudah menyakitiku tanpa henti. Tetapi nihil. Haris berubah jadi sosok yang tak kukenal."Pa, kenapa kamu sedikitpun tak peduli dengan perasaanku? Apa wajar uang belanja dipegang oleh seseorang yang bukan istri?"Haris membuang pandang ke sembarang arah. "Yah, itu karena kamu sedang tak sehat. Nanti kalau situasimu sudah pulih, ibu pasti akan memberimu tanggung jawab lagi."Aku cuma bisa tersenyum getir. Beginilah rasanya hidup dengan mertua. Serasa menumpang walau semua keperluan rumah kami yang bayar. Seperti tak punya hak, meski rumah ini dulunya diperbaiki pakai uangku.Ingin rasanya mengeluarkan unek-unek yang sudah sesak di dalam. Namun menyadari ketakutan Ciara, aku memilih mundur."Baiklah kalau itu mau kalian. Ingat untuk menepati janji ketika kakiku sudah pulih."Tanpa menunggu respon mereka, aku langsung menghela Ciara sebab kakaknya sudah melipir sejak tadi."Mama baik-baik saja?" tanya puteriku ketika kami sudah tiba di kamarnya."Ya, sayang. Mama baik-baik saja. Adek nggak perlu khawatir.""Kalau gitu Mama langsung tidur, tak perlu membaca dongeng untukku."Lihatlah betapa pengertiannya puteriku. Ciara yang manis adalah anugerah Tuhan dalam hidup yang getir ini. Penuh rasa syukur, kudekap dia hingga aroma strawberry yang melekat di rambutnya meresap ke indra penciuman.Setelah menyelimuti Ciara aku berkunjung ke kamar Cipta. Putera sulungku tampak asyik dengan gawainya. Sedikitpun tak menoleh meski aku sengaja membuka pintu agak keras."Jangan tidur kemalaman ya, Kak." Aku berusaha sabar menghadapi sikap cueknya.Bocah dua belas tahun itu berdehem kecil, seolah aku bukanlah sesuatu yang harus direspon.Menghadapi tingkahnya yang makin menjadi, aku cuma bisa mengelus dada. Sebab tak bijak mengajaknya bicara ketika hatiku sedang tidak karuan, akhirnya kuputuskan langsung ke kamarku.Aku langsung menghempaskan diri ketika pintu sudah tertutup. Kuletakkan tangan di atas mata, dan aku pun mulai menangis. Mulanya cuma isakan kecil, lama-lama membesar dengan sendirinya."Malangnya nasibmu, Tiara," gumamku ketika membayangkan situasiku saat ini.Orang tua tak punya, saudara entah kemana, suami tak peduli, bahkan putera yang kulahirkan tak menganggapku ada. Entah bagaimana ceritanya, bisa kudapat takdir sekejam ini.Aku menangis berlama-lama hingga jatuh tertidur dan baru terjaga keesokan paginya ketika sebuah ketukan menyambangi pintu kamar.Kubuka pintu dengan mata yang masih sembab dan tampaklah Silvy berdiri di depanku dengan wajah segar dan tubuh wangi. Tiba-tiba saja aku merasa seperti gembel yang menyedihkan."Mau apa lagi kamu ke sini?" tanyaku tanpa bisa menyembunyikan nada permusuhan"Maaf mengganggu tidur nyaman Kakak, tapi aku mau minta ATM khusus uang belanja."Kutatap dia dari ujung kaki hingga rambut dan tiba-tiba saja emosiku tambah memuncak. Bisa-bisanya orang yang menumpang tinggal membuatku terlihat seperti pecundang."Oh, rupanya kamu sangat miskin sampai-sampai uang belanja rumah tangga orang pun diincar. Dasar gembel!"Tanpa mempedulikan protesnya, aku masuk dan mengambil ATM yang dimaksud dari laci meja.Begitu aku kembali ke ambang pintu, Silvy yang sekejap tadi nampak segar kini terlihat pucat. Gara-gara terlalu marah, aku tak ambil pusing."Nah, makan uangnya sesukamu!" seruku sambil melemparkan kartu ATM ke kakinya.Alih-alih menjawab, Silvy malah menutup mulut dan, "huek!"Dia seperti ingin memuntahkan sesuatu.Aku menatap curiga tetapi Silvy buru-buru pergi setelah mengambil kartu yang tergeletak di dekat kakinya.Aku memandangi kepergiannya hingga menghilang dibalik tangga."Apa-apaan," gumamku tak sadar.Setelahnya, aku segera menekan nomor lama yang sudah bertahun-tahun tak kuhubungi. Panggilanku diangkat nyaris seketika."Halo ... Silvy!" Suara dari seberang sana terdengar nyaring sampai kupingku nyaris berdenging."Santai aja, Kak. Nggak usah pakai toa."Suara itu tergelak lalu mulai berbasa-basi dan mengolokku yang tiba-tiba saja menghubunginya.Aku menanggapi basa-basi beliau lalu kami mulai bercerita tentang masa lalu.Ya! Kak Ambar adalah mantan kekasih kakakku sebelum dia memutuskan berkarir di Australia. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai dokter kandungan dan bahkan teman sekelas waktu kuliah dulu.Setelah ngobrol sekian lama, akhirnya kuutarakan niat sesungguhnya."Untuk apa Silvy? Membongkar situasi kesehatan orang lain itu melanggar kode etik dokter," protesnya."Tapi ini penting Kak. Soalnya ART ini masih gadis dan tak mau jujur soal keadaannya. Padahal aku curiga dia tengah hamil. Aku takut terjadi apa-apa."Demi melancarkan misi, aku terpaksa berbohong. Aku ingin tahu yang sesungguhnya tanpa perlu membuka aib rumah tangga.Mungkin karena bujukan yang meyakinkan, akhirnya Ambar menyanggupi meski sambil menggerutu.Menunggu konfirmasi darinya, aku segera mandi dan merias wajah sedikit. Usai mengurus keperluan pribadi, aku lantas turun ke bawah dan menikmati sarapan yang cuma tersisa remahannya."Kamu bagaimana, sih? Harusnya kamu labrak saja perempuan tak tahu diri itu tadi."Samar-samar kudengar suara mertua menasihati Silvy lewat pintu kamar beliau yang sedikit terbuka. Kamar beliau dan Silvy memang sama-sama terletak di lantai satu, bersebelahan pula.Meski kesal aku sedang tak berniat meladeni. Gegas aku menaiki tangga menuju kamarku dan langsung memeriksa gawai yang terletak di atas ranjang. Ternyata ada pesan masuk dari dokter spesialis jantung yang menangani Ciara.[Hasil pemeriksaan menunjukkan jantung anaknya harus segera dipasangi katup yang baru, Bu. Tolong konsultasi besok pagi untuk jadwal tindakan]Bunyi pesan ini langsung membuat kakiku melemah hingga tak sadar sudah terduduk di atas lantai.Puteriku memang didiagnosa Stenosis Aorta, dan untuk pengobatan dokter sudah meresepkan obat. Rupanya, ini tak berarti banyak sebab Ciara makin sering sesak nafas belakangan.Belum pulih dari rasa kaget, panggilan masuk dari Ambar kembali menghampiri gawaiku."Silvy, aku sudah periksa barusan. ART kamu memang sedang hamil dua bulan."Usai mendengar kalimatnya, seluruh kekuatan seperti lenyap dari tubuhku hingga gawai yang sedang kupegang jatuh begitu saja menghantam lantai yang dingin."Kamu kenapa duduk di lantai, sih? Kayak anak kecil aja!"Omelan Haris ketika daun pintu terkuak adalah hal pertama yang menyadarkanku dari pikiran yang mengawang entah kemana. Kutatap muka Haris sejurus lamanya sampai dia membuang pandang ke sembarang arah. Semalam, pria yang kusebut suami ini sepertinya tidak mampir ke kamar kami. Dia tidur di kamar ibu, atau di ruang kerjanya, atau bahkan di tempat lain, aku tak tahu. "Aku ... aku capek, Pa," sahutku setengah protes terhadap situasi saat ini. "Jangan konyol, Ma. Siapa yang tidak capek hidup."Usai menyahuti perkataanku, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. Dengan posisi macam ini, kami persis majikan dan babu."Katakan, kenapa kamu memintaku pulang tiba-tiba? Padahal perusahaan sedang sibuk-sibuknya?"Tanpa banyak bicara, kutunjukkan pesan dari dokter yang menangani Ciara. Haris memindai hasil laporan itu sekilas. Tentang istilah medis dan h
"Maaf bila sudah menyakitimu, tapi... aku memang sangat mencintai Silvy dan tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Kuharap kita semua bisa hidup akur bersama."Mataku nanar menatap pria yang pernah sangat kucintai itu. Hidup akur katanya? Bahkan sekarang, kalau bukan karena mati-matian menahan diri, aku nyaris membunuh mereka semua. Bayangkan, kurang sakit apa perbuatannya? Sejak di rumah sakit kemarin, aku berusaha berbaik sangka meski firasatku sudah jelek soal mereka berdua. Namun apa balasannya? Dia malah tega bercumbu mesra ketika aku nyaris sekarat gara-gara terlalu lelah memikirkan penyakit putri kami. "Mimpi kamu Haris!" seruku tanpa ampun. Seumur-umur baru kali ini aku memanggil nama suamiku secara langsung. "Ckckck! Perempuan macam apa yang berani tak sopan sama suami. Dasar perempuan liar."Umpatan mertua nyaris membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Dalam situasi begini, beliau masih sanggup membahas sopan santun.
"Ma, temani aku menggambar ya," pinta puteriku yang tiba-tiba saja masuk kamar. Penuh rasa bersalah aku lekas bangkit dan mengikuti Ciara ke kamarnya. Ruangan minimalis itu tertata rapi seperti biasa. Bedanya, pada dinding yang selalu kosong terpajang lukisan polos Ciara. Di sana hanya ada aku dan dia sedang duduk menatap mentari senja. Meski hati agak mencelos, kudiamkan saja. Sudah seminggu terakhir, aku nyaris tak pernah melihat suami dan puteraku. Soal Haris, aku memang sudah mati rasa. Demi menjaga kewarasan, aku harus membuangnya jauh-jauh. Beda cerita dengan Cipta. Walau sudah berusaha mendekatinya dengan berbagai cara, dia selalu menatapku dengan sorot bermusuhan, seolah akulah antagonis yang membuat neneknya susah. "Lukisanmu makin bagus, Nak." Aku berkata tulus seraya menyusuri permukaannya dengan tangan. "Jelaslah, anak siapa dulu dong? Tiara!"Candaan Ciara membuat senyum terbit di bibirku. Kuamati bina
Dua hari setelah kepergian Haris, tiba-tiba saja Ciara jadi sangat murung. Walau sudah kuhibur dengan berbagai cara, tetap tak membuahkan hasil. Puncaknya pagi ini, tubuh puteriku mendadak demam. Seperti biasa kukompes tubuhnya dengan air hangat dan kuberi tablet parasetamol. "Ma, aku mau makan bubur ayam buatan mama. Sudah lama sekali rasanya tak makan bubur itu." Ciara yang sedang tergolek lemah tiba-tiba meminta."Baiklah, mama masak bubur ayam dulu. Kamu rebahan aja di sini yang tenang, ya."Usai berpamitan pada puteriku, aku meminta Cipta menemani adiknya. Meski agak bersungut, tak urung dia bergerak juga ke kamar Ciara sedang aku langsung turun ke bawah. Kusiapkan kaldu ayam lalu mencampurnya dengan sedikit beras di dalam slow cooker.Sembari menunggu alat itu mengerjakan tugasnya, aku memasukkan ayam rebus tadi dalam chopper, lalu menyiapkan toping lain, seperti seledri, bawang goreng, dan kuah bubur. Setela
Prameswari?Sudah lama sekali rasanya tak mendengar nama ini. Buru-buru kumasukkan semua pil tadi ke saku jaket lalu mengusap wajah dengan tangan. Setelah memastikan tak ada lagi sisa air mata, barulah aku berbalik. "Maaf, Anda siapa?"Pria bersetelan necis itu mengangguk takzim sebelum menyahut, "perkenalkan saya Bambang Suseno, pengacara pribadi almarhum nyonya Prameswari.""Lantas, ada apa Anda kemari?"Pria itu segera membuka koper kecilnya lalu mengeluarkan setumpuk dokumen. "Nyonya Prameswari telah mengubah wasiat tepat sehari sebelum kematiannya. Beliau berpesan agar semua asetnya diwariskan pada kedua anaknya apabila mereka mengunjungi makamnya, paling lambat sepuluh tahun sejak wasiat ini ditulis."Penuturannya membuatku mematung. Sebab kami berdua tak ada yang mau melanjutkan bisnis keluarga, maka dalam kekecewaan yang besar ibu sudah menulis wasiat agar semua asetnya dihibahkan pada badan
Meski kaget, aku cepat-cepat menghampiri Ambar. Dia nampak letih dalam balutan setelan kerjanya. Dugaanku dia baru pulang dari rumah sakit. "Kakak kok bisa tahu aku di sini?"Ambar tak menyahut. Dengan santai dia nyelonong masuk dan langsung duduk pada salah satu sofa di ruang tamu rumah ibuku. "Ya tahulah. Pengacaramu itu masih sepupu jauhku."Aku kehabisan kata-kata. Ternyata kehidupanku tak akan pernah lepas dari bayang-bayang kak Ambar. "Pantas saja," gumamku pasrah lalu duduk di depannya. Setelah itu tanganku dengan cekatan membuka kresek hitam di atas meja. "Kakak, bawa apa?""Hmm, makan aja apa yang ada. Aku tahu kamu pasti lapar."Tanpa sungkan lagi, aku segera membuka kotak-kotak makanan dan hatiku langsung terharu. Meski sudah tak komunikasi bertahun-tahun, kak Ambar masih tak lupa tentang makanan kesukaanku. Ayam kodok. Tak sabaran, aku langsung menikmati nasi putih dan ayam kodok dengan lahap. Ke
Akhirnya setelah berjibaku nyaris setahun, restoran yang kuidamkan pun berdiri dengan megah. Golden Phoenik adalah namanya, sebab hidupku sendiri mirip dengan burung legenda itu. Bangkit dari abu kematian setelah mengalami penderitaan. "Ada berapa customer yang order meja untuk hari ini?" tanyaku tanpa menoleh dari spreadsheet excel yang tengah kugeluti. "Ada lima yang pesan meja dan satu private room, Bu Tiara."Aku mengangguk namun terus berhitung dengan kalkulator yang sejak pagi tadi sudah standby. Keuangan perusahaan memang masih kutangani sepenuhnya karena belum menemukan pegawai yang pas untuk mengurus hal ini. Kepalaku yang tengah menunduk harus mendongak ketika sebuah sapaan tiba-tiba menyapa ruang dengarku. "Wah, ternyata kakak kerja di sini, ya?"Darah langsung berdesir ketika mata ini bersirobok dengan wajah yang jadi mimpi burukku belakangan. "Kamu? Kenapa bisa di sini?"Wajah Silvy m
"Kenapa kamu tega, Haris?"Aku meratap berulang-ulang di rumah minimalis yang terletak di belakang restoran. Rumah ini sengaja kubangun sebagai tempat tinggal sekaligus tempat bersembunyi dari kenyataan hidup yang pahit. Rupanya belum setahun di sini, manusia yang jadi sumber deritaku sudah menampakkan diri. Tadinya kukira luka itu sudah sembuh, ternyata cuma hibernasi di dalam. Tatkala melihat hidup Silvy baik-baik saja bersama bayinya yang lucu, barulah aku sadar bila hati ini masih berdarah-darah. "Kenapa anakmu bisa sehat sementara Ciaraku yang manisa mati mengenaskan? Kenapa?!"Aku bertanya-tanya sambil memegang buku harian Ciara yang tulisannya mulai kabur lantaran dibasuh air mata. Tanganku menggigil membaca catatan harian Ciara sebelum kematiannya. [Papa, kenapa pergi liburan sama tante Silvy? Kenapa bukan mama yang diajak?][Aku ingin liburan bareng papa, Mama, dan Kakak seperti dulu. ][Papa, kenap