Mataku perlahan terbuka, dan langit-langit putih kamar langsung menyerbu netraku.
'Aneh, bukannya tadi aku diseret ke dalam mobil?'Benakku masih sibuk menerka, ketika sebuah kesadaran menghantam otakku. Ya! Sepertinya aku baru terbangun dari mimpi buruk, dan lucunya mimpi itu terlalu nyata hingga kukira hidupku sudah berakhir di sana.'Ah, syukurlah.'Tanpa sadar, aku menghela nafas lega.Ketika masih berusaha menyesuaikan diri, sesuatu tiba-tiba menyentuh lenganku. Refleks aku menoleh. Rupanya putri kecilku sudah berdiri di sisi ranjang.Bibir mungilnya yang pucat mengumandangkan tanya, "mama sudah bangun? Mama kenapa? Tadi seperti mengigau."Aku tersenyum, tak menyangka masih bisa melihatnya di sini. Segera kugenggam tangan mungil itu. Seperti biasa, suhunya lebih dingin dari yang wajar."Entahlah, barusan Mama mimpi... tapi kayak nyata.""Ah, Mama... mimpi, kan cuma bunga-bunga tidur."Kuharap Ciara benar, namun entah kenapa firasatku bilang, mimpiku tak sesederhana itu. Sampai sekarang, semua kejadian tadi masih jelas terbayang di pikiran. Seolah keberadaanku disinilah yang ilusi."Oh iya, Papa mana?" tanyaku waktu melihat kamar VVIP yang sangat lengang ini.Ciara menarik nafas lalu duduk di sebelahku. Matanya yang indah nampak serius padahal umurnya masih sembilan tahun."Kayaknya nanti malam baru mampir, Ma. Kata papa ada klien penting, jadi bakal sibuk sepanjang hari.""Oh, lantas kakakmu di mana?""Kak Cipta masih sibuk dengan tugasnya. Ada kerja kelompok katanya."Penjelasan Ciara membuatku tercenung. Betapa tega mereka membiarkan anak sekecil ini berjaga sendirian. Apalagi kesehatan putri bungsuku pun tidak bagus.Walau terlihat normal, Ciara lahir dengan kelainan jantung bawaan yang membuat darahnya tidak bisa mengalir dengan lancar. Masalah ini baru kami ketahui setahun belakangan, setelah dia pingsan usai pelajaran olahraga."Sudah berapa lama Mama tertidur?" tanyaku lagi."Sudah hampir dua hari, Ma. Kata dokter Mama kena gegar otak ringan gara-gara jatuh dari tangga.""Lalu, selama Mama tak sadarkan diri, papa pernah kemari?"Ciara mengangguk lalu mengacungkan jari telunjuknya. "Satu kali." Setelah itu dia juga menjelaskan bila nenek dan kakaknya tidak datang sama sekali.Beginilah keluarga kami sekarang. Aku tak tahu sejak kapan, perlahan semuanya berubah lebih dingin. Padahal dulu Haris adalah orang yang perhatian padaku dan kedua anak kami.Kapan semuanya mulai tak sama?Sejak usaha Haris semakin maju? Sejak aku lebih sibuk berkutat dengan tugas rumah tangga? Atau ... sejak kembalinya Silvy ke rumah kami? Nama ini membuat pupil mataku membesar tiba-tiba."Dek, selama Mama di sini bagaimana situasi rumah?"Ciara menatapku sejenak, seperti mencari hal aneh dari kalimatku. Sejak kecil, putri bungsuku memang lebih perasa dibanding kakaknya.Dia menyerah waktu melihat mukaku yang tetap tenang, tanpa riak. "Seperti biasa, Ma. Nenek sama Bik Ratih di rumah menjaga kami. Papa berangkat ke kantor sama tante Silvy."Nyess!Kesadaranku seperti disiram seember air dingin.Benar, disini letak ketololanku yang utama. Silvy, sepupu kami yang janda, tiba-tiba bercerai dengan suaminya. Kabarnya pria benalu itu kerap melakukan kekerasan.Merasa tak punya tujuan, Silvy kembali ke rumah mertua dan minta bekerja di bagian administrasi perusahaan biar ilmunya nggak sia-sia katanya. Aku yang polos ini membiarkan saja, karena kasihan pada situasinya.Gara-gara mimpi sialan tadi, firasatku soal Silvy jadi tak enak."Lantas, apa Papa juga selalu pulang bareng tante Silvy? Jam berapa mereka pulang?"Masih dengan wajahnya polosnya, Ciara menyahut cepat, "iya Ma, selalu pulang bareng. Biasanya jam sepuluh kadang sampai jam dua belas malam."Sekujur tubuhku mendadak beku.Mau mual, mau marah, mau berteriak, semua emosi negatif bercampur jadi satu. Kalau mimpiku benar, Jangan-jangan kegilaan mereka sudah dimulai sejak lama. Cuma aku yang terlalu bodoh, tak bisa menyadarinya.Hal macam apa yang dikerjakan dua manusia dewasa sampai jam dua belas malam? Orang dungu pun pasti paham masalahnya tak sesederhana itu."Ma, muka Mama kok makin pucat? Tidur dulu Ma, kata dokter nggak boleh banyak berpikir, nanti gegar otaknya makin parah.Ciara yang baik buru-buru membantuku berbaring lagi, namun hatiku yang kacau terlampau buta melihat perhatiannya.Otakku sepenuhnya tertuju pada hubungan tak lazim yang mungkin saja terjadi diantara suamiku dan sepupunya."Apa nenek tak marah kalau mereka pulang malam-malam?"Kening Ciara agak berkerut sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Nggak Ma. Kata nenek, tante dan papa pulang malam karena lembur."Sudah kuduga. Perempuan tua yang kupangil mertua itu tak mungkin menegur Silvy walau tindakannya itu kurang pantas.Meski cuma keponakan tak langsung -- ayah Silvy anak dari pamannya mertua-- ikatan batin tak mungkin hilang begitu saja.Silvy terpaut usia tiga belas tahun denganku. Jadi waktu Haris memboyongku ke rumah ibunya, Silvy masih bocah sembilan tahun yang rambutnya kerap kukepang dua. Gara-gara ini pula aku tak menaruh curiga waktu dia meminta kerja di perusahaan startup milik kami. Dia sudah seperti adik yang tak pernah kumiliki.Sekarang, aku mulai berpikir ulang soal anggapan ini."Ma, ada lagi yang mama butuhkan? Biar Ciara ambil."Suara puteriku kembali menyadarkanku dari pikiran yang berkelana."Tak usah, Dek. Kamu istirahat saja, pasti sudah capek, kan?"Ciara pun menurut. Dia kembali berbaring di sofa panjang sambil membaca buku-buku komik kesukaannya.Sementara putriku sibuk dengan dunianya, aku pun sibuk dengan duniaku. Sambil memandang tembok kamar yang dicat putih, aku berpikir banyak tentang hal yang harus kulakukan selanjutnya bila ternyata mimpiku tadi berubah jadi kenyataan.Umurku sekarang sudah tiga puluh empat tahun, empat bulan lagi tiga lima. Dulu aku nikah muda, hanya beberapa bulan setelah tamat kuliah. Itu pun tanpa restu ibu karena beliau tak pernah menyukai Haris.'Terlalu manut sama ibunya juga punya bakat selingkuh.' Begitu ucapan beliau waktu itu."Ah, ibu..." Desahku lirih. Tak terasa air mataku menitik mengenang sosok yang tubuhnya sudah terbujur kaku di kedalaman bumi.Waktu muda dulu, aku menganggap omongan ibu cuma angin lalu. Namun setelah berumah tangga hampir tiga belas tahun dengan Haris, baru kusadari betapa berat punya suami yang terlalu manut sama ibunya. Apa-apa mesti didikte, apalagi kalau tinggal serumah dengan mertua, makin kacau saja.Kadang-kadang hati mengkel setengah mati tapi tak ada tempat mengadu. Karena sudah pasti suami bakal membela sang ibu atau paling banter memintamu bersabar."Ma, kayaknya papa udah datang." Puteriku tiba-tiba menukas seraya bangkit menuju pintu.Dan benarlah, sejurus kemudian daun pintu langsung terkuak sebelum Ciara sempat menyentuh kenopnya. Bersamaan dengan ini, masuklah sosok manusia yang sudah kuanggap seperti adik selama ini.Wanita muda itu masih tersenyum manis seperti biasa. Kalau dulu, aku mungkin sudah langsung menyambut hangat, selayaknya seorang kakak pada adiknya. Tapi hari ini, mulutku enggan membuka.Entah karena pengaruh mimpi tadi, tiba-tiba saja, garis lengkung yang dia tampilkan lebih mirip seringai ejekan di mataku."Hai Kak Tiara, bagaimana? Sudah baikan?""Hai, juga , Dek." sahutku setenang mungkin. Bagaimana pun, aku tak mungkin menuduh orang lain cuma gara-gara mimpi. "Aku sudah baikan.""Syukurlah Kak. Rumah jadi sepi tanpa kehadiran Kakak," ujar Silvy ramah. Kata-katanya ini agak menenangkan hatiku yang sejak tadi berantakan. Tak lama, Haris menyusul dari belakang. Dia bergegas menghampiriku. "Hai sayang," sapanya dengan senyum kaku yang tak sampai ke mata. Selepas itu kehangatan tubuhnya langsung melingkupiku. Dengan suara selembut madu, dia berbisik. "Bagaimana? sudah sembuh? Kamu hampir bikin aku mati ketakutan." Biasanya, Haris dalam mode perhatian selalu sukses bikin aku meleleh. Namun entah kenapa, detik ini aku agak sungkan membalas gestur romantisnya. Sungguh! Sekali rasa curiga tertanam, perasaan tak akan pernah lagi sama. "Aku baik-baik saja. Tubuhku saja yang masih agak ngilu," sahutku sambil melepaskan diri dari rangkulannya.Pada saat inilah netraku bertatapan dengan muka Silvy. Ada kilat tak suka di matanya yang
Akhirnya sisa pagi kembali kulewati dalam kesunyian. Dan semua orang pun tahu, kesunyian bukanlah teman yang baik untuk orang frustasi. Sebab dalam kesunyian, otak akan sibuk memikirkan hal yang tak semestinya. Dalam kasusku, jadi terpikir soal kemungkinan Silvy merajut asmara dengan suamiku, meski sebagian besar diriku berusaha keras menepisnya. Sejak dulu Haris cinta mati padaku, tak mungkin mendua. Untunglah sebelum rasa bimbang menelanku hidup-hidup, ketukan di pintu kamar menyelamatkan aku lebih dulu. "Hai Mama... kami datang... ." Ciara berseru antusias begitu daun pintu terkuak sementara Ciptadi yang menyusul di belakang bersikap biasa saja.Sedikit pun tak ada ekspresi peduli di mukanya. Dulu aku menganggap si sulung cuma anak yang sedikit cuek tapi kalau dipikir-pikir lagi, putera yang lebih dekat dengan neneknya ini, memang hampir tak pernah peduli padaku. Bahkan kalau tak salah, dalam mimpi aneh itu pun Cipta hadir, tetapi dia tak datang menolong waktu aku tengah dibor
Besoknya, setelah menikmati sarapan pagi khas rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Sebelum pulang aku sudah banyak merenung tentang situasiku, dan kuputuskan untuk bersikap biasa saja, sampai aku bisa membuktikan kecurigaanku. Dalam kesempatan ini, sengaja aku merias wajah, memakai parfum, serta dress yang cantik. Persis wanita yang mau pergi kencan. "Sayang... kamu tampak berbeda, " ujar Haris begitu melihatku di ambang pintu. Sejak tadi, aku bisa melihatnya sudah tak sabar menunggu. Mondar-mandir di ruang tamu -- kamar VVIP memang punya ruang duduk khusus -- persis orang kebakaran jenggot. Aku melirik sekilas lalu melempar senyum tipis. Lupakan tatapan hangat yang selalu kuberikan waktu masih jatuh cinta dulu, sebab sekarang aku sedang berusaha menata pikiranku ke titik nol. Tanpa cinta, tanpa prasangka. "Itu tasku ya Pah, tolong dibawa. Lenganku masih sakit," kataku datar. Kalau dulu aku selalu sukarela membawa tas dan perlengkapan anak-anak tanpa diminta, untuk hari ini?
"Kenapa begitu?""Apa Kakak bilang?!"Baik mertua maupun Silvy yang baru memasuki teras rumah sama-sama kaget meski dengan intonasi berbeda. Kutatap dua wanita yang masih kerabat itu bergantian. "Ibu pasti tahu aku belum pulih betul. Selain kaki masih agak pincang, kepalaku juga suka pening tiba-tiba. Lalu bagaimana caranya aku merawat Ibu?"Silvy langsung duduk di sebelah mertua, dengan suara selembut madu dia mulai menabur benih-benih kebencian di hati bibinya. "Aduh, gimana ya? Yang menantunya bibi itu Kakak. Masak menantu perempuan tak mau merawat mertuanya?""Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih sakit. Paling tidak sebulan ini, harus istirahat."Rupanya penjelasanku yang sedemikian detail, tidak berpengaruh apapun pada Silvy. Dengan gaya manja, dia mulai memijit-mijit pundak mertuaku. "Kurang tahu sih, tapi kalau aku pribadi pasti tak akan tega membiarkan mertuaku dirawat orang lain. Bagaimanapun, beliau sudah membesarkan dan mendidik suami kita dengan baik."Mertua yang se
Kata-kata mertua sontak membuat telapak tanganku gemetaran. Apa aku tak dianggap lagi sebagai menantu sekaligus ibu dari kedua cucunya? "Maaf Bu, tapi yang istri Kak Haris itu aku. Jadi, jelas akulah nyonya rumah dan berhak mengatur keuangan," ujarku dengan suara bergetar. "Omong kosong! Aku masih ada disini dan kamu berani bilang kalau kamu nyonya rumah? Haris, lihat istrimu. Dia tak menganggapku sama sekali."Usai berkata demikian, mertua Saat ini aku sungguh mengutuki diri sebab tidak pintar bersilat lidah. terisak sedangkan Silvy sibuk menenangkan beliau. Sekarang, aku benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis yang menyakiti seisi rumah. "Ibu pasti tahu bukan itu maksudku yang sebenarnya. Tolong jangan bikin situasi makin runyam," kataku dengan suara tersendat. "Apa katamu? Aku bikin runyam?" tangis mertua makin pilu. Beliau bahkan mulai memukul-mukul dadanya. "Ya, Tuhan lihat kesusahanku. Aku sudah difitnah... ."Li
"Kamu kenapa duduk di lantai, sih? Kayak anak kecil aja!"Omelan Haris ketika daun pintu terkuak adalah hal pertama yang menyadarkanku dari pikiran yang mengawang entah kemana. Kutatap muka Haris sejurus lamanya sampai dia membuang pandang ke sembarang arah. Semalam, pria yang kusebut suami ini sepertinya tidak mampir ke kamar kami. Dia tidur di kamar ibu, atau di ruang kerjanya, atau bahkan di tempat lain, aku tak tahu. "Aku ... aku capek, Pa," sahutku setengah protes terhadap situasi saat ini. "Jangan konyol, Ma. Siapa yang tidak capek hidup."Usai menyahuti perkataanku, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. Dengan posisi macam ini, kami persis majikan dan babu."Katakan, kenapa kamu memintaku pulang tiba-tiba? Padahal perusahaan sedang sibuk-sibuknya?"Tanpa banyak bicara, kutunjukkan pesan dari dokter yang menangani Ciara. Haris memindai hasil laporan itu sekilas. Tentang istilah medis dan h
"Maaf bila sudah menyakitimu, tapi... aku memang sangat mencintai Silvy dan tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Kuharap kita semua bisa hidup akur bersama."Mataku nanar menatap pria yang pernah sangat kucintai itu. Hidup akur katanya? Bahkan sekarang, kalau bukan karena mati-matian menahan diri, aku nyaris membunuh mereka semua. Bayangkan, kurang sakit apa perbuatannya? Sejak di rumah sakit kemarin, aku berusaha berbaik sangka meski firasatku sudah jelek soal mereka berdua. Namun apa balasannya? Dia malah tega bercumbu mesra ketika aku nyaris sekarat gara-gara terlalu lelah memikirkan penyakit putri kami. "Mimpi kamu Haris!" seruku tanpa ampun. Seumur-umur baru kali ini aku memanggil nama suamiku secara langsung. "Ckckck! Perempuan macam apa yang berani tak sopan sama suami. Dasar perempuan liar."Umpatan mertua nyaris membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Dalam situasi begini, beliau masih sanggup membahas sopan santun.
"Ma, temani aku menggambar ya," pinta puteriku yang tiba-tiba saja masuk kamar. Penuh rasa bersalah aku lekas bangkit dan mengikuti Ciara ke kamarnya. Ruangan minimalis itu tertata rapi seperti biasa. Bedanya, pada dinding yang selalu kosong terpajang lukisan polos Ciara. Di sana hanya ada aku dan dia sedang duduk menatap mentari senja. Meski hati agak mencelos, kudiamkan saja. Sudah seminggu terakhir, aku nyaris tak pernah melihat suami dan puteraku. Soal Haris, aku memang sudah mati rasa. Demi menjaga kewarasan, aku harus membuangnya jauh-jauh. Beda cerita dengan Cipta. Walau sudah berusaha mendekatinya dengan berbagai cara, dia selalu menatapku dengan sorot bermusuhan, seolah akulah antagonis yang membuat neneknya susah. "Lukisanmu makin bagus, Nak." Aku berkata tulus seraya menyusuri permukaannya dengan tangan. "Jelaslah, anak siapa dulu dong? Tiara!"Candaan Ciara membuat senyum terbit di bibirku. Kuamati bina