"Hai, juga , Dek." sahutku setenang mungkin. Bagaimana pun, aku tak mungkin menuduh orang lain cuma gara-gara mimpi. "Aku sudah baikan."
"Syukurlah Kak. Rumah jadi sepi tanpa kehadiran Kakak," ujar Silvy ramah.Kata-katanya ini agak menenangkan hatiku yang sejak tadi berantakan.Tak lama, Haris menyusul dari belakang. Dia bergegas menghampiriku. "Hai sayang," sapanya dengan senyum kaku yang tak sampai ke mata.Selepas itu kehangatan tubuhnya langsung melingkupiku. Dengan suara selembut madu, dia berbisik. "Bagaimana? sudah sembuh? Kamu hampir bikin aku mati ketakutan."Biasanya, Haris dalam mode perhatian selalu sukses bikin aku meleleh. Namun entah kenapa, detik ini aku agak sungkan membalas gestur romantisnya.Sungguh! Sekali rasa curiga tertanam, perasaan tak akan pernah lagi sama."Aku baik-baik saja. Tubuhku saja yang masih agak ngilu," sahutku sambil melepaskan diri dari rangkulannya.Pada saat inilah netraku bertatapan dengan muka Silvy. Ada kilat tak suka di matanya yang nampak jelas walau detik berikutnya langsung hilang, digantikan oleh senyum yang sulit kuartikan."Aku iri pada kalian, Kak. Sudah paruh baya pun masih tetap mesra."Tak ada yang salah dengan perkataan Silvy. Andaikata kecurigaan belum ada, pasti hatiku bangga dan menganggapnya pujian. Sekarang malah jadi terasa hambar apalagi dia mengatakannya dengan gestur tubuh yang aneh. Mengelus perut.Ya! Dia mengelus perutnya. Wanita hamil cenderung melakukan gerakan ini tanpa disadari. Apa jangan-jangan...Lihatlah, pikiranku mendadak liar lagi. Aku benar-benar benci dengan mimpi tadi. Membuat pikiranku jadi curiga tak karuan."Sayang, kamu kok tiba-tiba pucat? Apa ada yang sakit?"Haris mulai menyentuh kening dan leherku. Perhatiannya ini membuatku menepis jauh-jauh pikiran buruk yang masih berkelindan di otakku."Iya Pah, aku benar-benar lemas. Kamu jangan pulang ya, temani aku di sini."Tanpa banyak kata, aku pura-pura semaput dalam dekapannya. Bila benar suamiku punya hubungan dengan Silvy, ini saat yang tepat membuktikannya.Dari sudut mataku, nampak muka Haris penuh pergolakan. Sementara itu, Silvy pun tak berbeda. Mulutnya membuka dan menutup, seperti mau bilang sesuatu.Ada sejurus lamanya dia nampak dilema, hingga akhirnya betina kecil itu mengungkapkan isi hatinya. "Anu Kak, ... kalau kak Haris di sini siapa yang antar kami pulang? Terus teman bibi pun tak ada di rumah...""Kita pulang naik ojek aja Tante, nanti kita bisa temani nenek di rumah," sambar Ciara yang sejak tadi berdiam diri.Rupanya puteriku yang belia jauh lebih cerdas dibanding perempuan dewasa ini."Ta--Tapi... .""Pah, cepat panggil dokter. Aku sudah mau pingsan," desakku sambil memijit-mijit pelipis.Tak punya alasan berkelit, Haris segera beranjak, sementara Silvy menatap tak senang. Langsung kupelototi balik matanya hingga dia berpaling sendiri."Tante, ayo pulang. Ojek yang kupesan sudah menunggu di bawah." Lagi-lagi Ciara mengusik ketenangan Silvy."Kamu! Siapa suruh pesan ojek?" tanyanya ketus.Rupanya otak Silvy masih bekerja. Tak lama, dia langsung menyadari ada yang salah dengan sikapnya, "maaf, tante keceplosan. Maksud tante seharusnya kamu menunggu keputusan Papa."Kupandangi wajah Silvy lekat-lekat. Mungkin kalau tatapan bisa menusuk, mukanya sudah berdarah-darah detik ini. "Kamu, jangan pernah meninggikan suara pada anakku. Ingat apa posisimu di rumah kami!"Begitu mataku berpaling ke arah pintu, aku cepat-cepat menangis sesenggukan sampai Ciara dan Silvy heran sendiri.Waktu tiga sosok berseragam masuk, barulah Silvy paham apa yang terjadi. Dia terlambat melakukan keahliannya. Dari dulu, dia selalu menangis tertahan untuk mendapatkan keinginannya. Sekarang, aku sudah lebih dulu melakukan gebrakan."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Haris dengan muka penuh kekhawatiran.Di depan dokter dan perawat yang hadir, dia mesti menjaga image sebagai pengusaha sukses yang sayang keluarga."Nggak ada, Pah. Aku baik-baik aja," sahutku namun tetap menangis tertahan seolah ada sosok yang mengancam agar aku tak buka mulut."Ibu harus stabil emosinya, jangan menangis dulu. Nanti cedera kepalanya makin parah." Dokter yang menemani Haris mulai berpetuah.Demi mendengar cederaku dibawa-bawa, Ciara tak mau lagi tinggal diam. "Ini semua gara-gara Tante, Pa. Tadi tante kesal, nyaris membentak adek karena langsung pesan ojek pulang. Kayaknya tante lebih suka Papa yang antar kami."Muka Haris merah padam. Malu dan murka bercampur jadi satu, apalagi saat ini dua orang asing ada di antara kami.Pikiran Ciara bisa saja polos, tapi orang dewasa beda lagi ceritanya. Otak mereka selalu bisa menghubungkan titik-titik yang terpisah."Kenapa mesti menunggu Papa? Kalian pulang saja. Papa yang menjaga mama malam ini."Saat kalimatnya terucap, mata Haris menatap Silvy penuh ancaman. Dan janda muda itu langsung bungkam seribu bahasa. Dengan muka cemberut mirip kulit purut, dia melangkah gontai diikuti Ciara yang masih sempat berpamitan dan mendaratkan ciuman di keningku.Dokter melakukan pemeriksaan standar, seperti mengecek tensi dan detak jantung. Tak berapa lama pemeriksaan pun selesai. Dokter berwajah teduh itu menatapku simpatik sebelum menoleh pada Haris."Keadaan Ibu baik-baik saja. Hanya tensinya agak tinggi. Tolong dijaga emosi ibu tetap stabil, jangan sampai cedera kepalanya makin parah."Haris manggut-manggut sebelum mengucapkan terima kasih pada dokter.Begitu ruangan sudah kosong, nyatalah kami berdua sudah seperti orang asing, bingung harus bicara apa. Sepertinya, waktu dan situasi sudah membuat kami semakin jauh."Ehem, Mama mau makan apa atau ada yang mau dibeli mungkin? Biar kupesan ke bawah." Haris membuka percakapan.Wajahnya gelisah sambil mempermainkan gawai di tangan. Seolah ada seseorang yang harus segera dia hubungi detik ini juga."Aku cuma butuh kamu, Pah." Aku berkata manja sambil mati-matian menahan mual. Pasalnya, bahasa tubuh macam ini sudah lama tak kulakukan, terlebih sejak kedua anak kami beranjak remaja.Rupanya aku tak sendirian. Haris juga nampak terkesima dengan tindakanku. "Kamu ... baik-baik aja, Kan?" tanyanya heran"Ya, aku baik-baik saja. Duduklah di sini, aku mau bercerita, " ujarku lalu meletakkan tangan di sisi tubuh.Agak ragu, Haris mulai melangkah dan duduk tepat di sampingku. Mukanya menatapku dalam-dalam seolah mencari tanda-tanda ketidak-warasan."Kamu tahu Pah, waktu koma kemarin aku merasa dibawa entah kemana. Jiwaku melayang ke tempat yang gelap, penuh siksaan. Aku ... sangat takut... ."Sambil bercerita kupegang tangannya seolah trauma berat. Mataku menerawang jauh bagai orang yang tengah membayangkan pengalaman mengerikan di suatu tempat."... namun yang paling bikin aku takut adalah siksaan yang dihadapi para pendosa, Pa. Ada pembunuh, pencuri, pemfitnah, bahkan pezina.""Sudah Tiara, cukup! Tak usah menceritakan hal diluar nalar. Kamu tahu, masalah surga dan neraka sudah tidak relevan sekarang."Kata-kataku langsung berhenti mengalir. Dari dulu, Haris memang menyukai hal logis, semua yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Ini pula yang jadi pembeda kami berdua.Menyadari diriku sudah salah strategi, otakku kembali memikirkan rencana berikutnya."Kadang Pa, kalau kuingat betapa sulit hidup kita dulu sampai harus menggadai barang, tak kusangka kita bisa semakmur ini. Semuanya berkat kebaikan Tuhan dan juga kerja kerasmu, Pa. Aku ... bangga jadi istrimu."Seraya meniupkan puja-puji ke telinganya, aku mulai menggosok-gosok tanganku yang lembut ke pangkal pahanya dengan gerakan sealami mungkin. Seperti tidak sengaja.Nafas Haris mulai memburu. "Iya Sayang, tapi kamu berbaring saja ya biar lebih santai."Tanpa menunggu persetujuanku, Haris buru-buru membantuku berbaring hingga mata kami saling beradu. Seperti waktu malam pertama dulu.Haris menelan ludah sejenak, lalu melanjutkan perkataannya. "Itu juga karena pengorbananmu, rela meninggalkan hidup yang berkecukupan bahkan menggadai semua perhiasan demi usahaku ... ."Meski tidak berlanjut ke hal yang intim, akhirnya, malam ini kami habiskan bernostalgia tentang masa lalu hingga pada satu titik aku nyaris percaya Haris akan selalu bersamaku.Sayangnya, aku harus menepis anggapan ini sebab ketika terbangun pada jam dua subuh, Haris sudah tak ada di sisiku.Akhirnya sisa pagi kembali kulewati dalam kesunyian. Dan semua orang pun tahu, kesunyian bukanlah teman yang baik untuk orang frustasi. Sebab dalam kesunyian, otak akan sibuk memikirkan hal yang tak semestinya. Dalam kasusku, jadi terpikir soal kemungkinan Silvy merajut asmara dengan suamiku, meski sebagian besar diriku berusaha keras menepisnya. Sejak dulu Haris cinta mati padaku, tak mungkin mendua. Untunglah sebelum rasa bimbang menelanku hidup-hidup, ketukan di pintu kamar menyelamatkan aku lebih dulu. "Hai Mama... kami datang... ." Ciara berseru antusias begitu daun pintu terkuak sementara Ciptadi yang menyusul di belakang bersikap biasa saja.Sedikit pun tak ada ekspresi peduli di mukanya. Dulu aku menganggap si sulung cuma anak yang sedikit cuek tapi kalau dipikir-pikir lagi, putera yang lebih dekat dengan neneknya ini, memang hampir tak pernah peduli padaku. Bahkan kalau tak salah, dalam mimpi aneh itu pun Cipta hadir, tetapi dia tak datang menolong waktu aku tengah dibor
Besoknya, setelah menikmati sarapan pagi khas rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Sebelum pulang aku sudah banyak merenung tentang situasiku, dan kuputuskan untuk bersikap biasa saja, sampai aku bisa membuktikan kecurigaanku. Dalam kesempatan ini, sengaja aku merias wajah, memakai parfum, serta dress yang cantik. Persis wanita yang mau pergi kencan. "Sayang... kamu tampak berbeda, " ujar Haris begitu melihatku di ambang pintu. Sejak tadi, aku bisa melihatnya sudah tak sabar menunggu. Mondar-mandir di ruang tamu -- kamar VVIP memang punya ruang duduk khusus -- persis orang kebakaran jenggot. Aku melirik sekilas lalu melempar senyum tipis. Lupakan tatapan hangat yang selalu kuberikan waktu masih jatuh cinta dulu, sebab sekarang aku sedang berusaha menata pikiranku ke titik nol. Tanpa cinta, tanpa prasangka. "Itu tasku ya Pah, tolong dibawa. Lenganku masih sakit," kataku datar. Kalau dulu aku selalu sukarela membawa tas dan perlengkapan anak-anak tanpa diminta, untuk hari ini?
"Kenapa begitu?""Apa Kakak bilang?!"Baik mertua maupun Silvy yang baru memasuki teras rumah sama-sama kaget meski dengan intonasi berbeda. Kutatap dua wanita yang masih kerabat itu bergantian. "Ibu pasti tahu aku belum pulih betul. Selain kaki masih agak pincang, kepalaku juga suka pening tiba-tiba. Lalu bagaimana caranya aku merawat Ibu?"Silvy langsung duduk di sebelah mertua, dengan suara selembut madu dia mulai menabur benih-benih kebencian di hati bibinya. "Aduh, gimana ya? Yang menantunya bibi itu Kakak. Masak menantu perempuan tak mau merawat mertuanya?""Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih sakit. Paling tidak sebulan ini, harus istirahat."Rupanya penjelasanku yang sedemikian detail, tidak berpengaruh apapun pada Silvy. Dengan gaya manja, dia mulai memijit-mijit pundak mertuaku. "Kurang tahu sih, tapi kalau aku pribadi pasti tak akan tega membiarkan mertuaku dirawat orang lain. Bagaimanapun, beliau sudah membesarkan dan mendidik suami kita dengan baik."Mertua yang se
Kata-kata mertua sontak membuat telapak tanganku gemetaran. Apa aku tak dianggap lagi sebagai menantu sekaligus ibu dari kedua cucunya? "Maaf Bu, tapi yang istri Kak Haris itu aku. Jadi, jelas akulah nyonya rumah dan berhak mengatur keuangan," ujarku dengan suara bergetar. "Omong kosong! Aku masih ada disini dan kamu berani bilang kalau kamu nyonya rumah? Haris, lihat istrimu. Dia tak menganggapku sama sekali."Usai berkata demikian, mertua Saat ini aku sungguh mengutuki diri sebab tidak pintar bersilat lidah. terisak sedangkan Silvy sibuk menenangkan beliau. Sekarang, aku benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis yang menyakiti seisi rumah. "Ibu pasti tahu bukan itu maksudku yang sebenarnya. Tolong jangan bikin situasi makin runyam," kataku dengan suara tersendat. "Apa katamu? Aku bikin runyam?" tangis mertua makin pilu. Beliau bahkan mulai memukul-mukul dadanya. "Ya, Tuhan lihat kesusahanku. Aku sudah difitnah... ."Li
"Kamu kenapa duduk di lantai, sih? Kayak anak kecil aja!"Omelan Haris ketika daun pintu terkuak adalah hal pertama yang menyadarkanku dari pikiran yang mengawang entah kemana. Kutatap muka Haris sejurus lamanya sampai dia membuang pandang ke sembarang arah. Semalam, pria yang kusebut suami ini sepertinya tidak mampir ke kamar kami. Dia tidur di kamar ibu, atau di ruang kerjanya, atau bahkan di tempat lain, aku tak tahu. "Aku ... aku capek, Pa," sahutku setengah protes terhadap situasi saat ini. "Jangan konyol, Ma. Siapa yang tidak capek hidup."Usai menyahuti perkataanku, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. Dengan posisi macam ini, kami persis majikan dan babu."Katakan, kenapa kamu memintaku pulang tiba-tiba? Padahal perusahaan sedang sibuk-sibuknya?"Tanpa banyak bicara, kutunjukkan pesan dari dokter yang menangani Ciara. Haris memindai hasil laporan itu sekilas. Tentang istilah medis dan h
"Maaf bila sudah menyakitimu, tapi... aku memang sangat mencintai Silvy dan tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Kuharap kita semua bisa hidup akur bersama."Mataku nanar menatap pria yang pernah sangat kucintai itu. Hidup akur katanya? Bahkan sekarang, kalau bukan karena mati-matian menahan diri, aku nyaris membunuh mereka semua. Bayangkan, kurang sakit apa perbuatannya? Sejak di rumah sakit kemarin, aku berusaha berbaik sangka meski firasatku sudah jelek soal mereka berdua. Namun apa balasannya? Dia malah tega bercumbu mesra ketika aku nyaris sekarat gara-gara terlalu lelah memikirkan penyakit putri kami. "Mimpi kamu Haris!" seruku tanpa ampun. Seumur-umur baru kali ini aku memanggil nama suamiku secara langsung. "Ckckck! Perempuan macam apa yang berani tak sopan sama suami. Dasar perempuan liar."Umpatan mertua nyaris membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Dalam situasi begini, beliau masih sanggup membahas sopan santun.
"Ma, temani aku menggambar ya," pinta puteriku yang tiba-tiba saja masuk kamar. Penuh rasa bersalah aku lekas bangkit dan mengikuti Ciara ke kamarnya. Ruangan minimalis itu tertata rapi seperti biasa. Bedanya, pada dinding yang selalu kosong terpajang lukisan polos Ciara. Di sana hanya ada aku dan dia sedang duduk menatap mentari senja. Meski hati agak mencelos, kudiamkan saja. Sudah seminggu terakhir, aku nyaris tak pernah melihat suami dan puteraku. Soal Haris, aku memang sudah mati rasa. Demi menjaga kewarasan, aku harus membuangnya jauh-jauh. Beda cerita dengan Cipta. Walau sudah berusaha mendekatinya dengan berbagai cara, dia selalu menatapku dengan sorot bermusuhan, seolah akulah antagonis yang membuat neneknya susah. "Lukisanmu makin bagus, Nak." Aku berkata tulus seraya menyusuri permukaannya dengan tangan. "Jelaslah, anak siapa dulu dong? Tiara!"Candaan Ciara membuat senyum terbit di bibirku. Kuamati bina
Dua hari setelah kepergian Haris, tiba-tiba saja Ciara jadi sangat murung. Walau sudah kuhibur dengan berbagai cara, tetap tak membuahkan hasil. Puncaknya pagi ini, tubuh puteriku mendadak demam. Seperti biasa kukompes tubuhnya dengan air hangat dan kuberi tablet parasetamol. "Ma, aku mau makan bubur ayam buatan mama. Sudah lama sekali rasanya tak makan bubur itu." Ciara yang sedang tergolek lemah tiba-tiba meminta."Baiklah, mama masak bubur ayam dulu. Kamu rebahan aja di sini yang tenang, ya."Usai berpamitan pada puteriku, aku meminta Cipta menemani adiknya. Meski agak bersungut, tak urung dia bergerak juga ke kamar Ciara sedang aku langsung turun ke bawah. Kusiapkan kaldu ayam lalu mencampurnya dengan sedikit beras di dalam slow cooker.Sembari menunggu alat itu mengerjakan tugasnya, aku memasukkan ayam rebus tadi dalam chopper, lalu menyiapkan toping lain, seperti seledri, bawang goreng, dan kuah bubur. Setela