(人 •͈ᴗ•͈)
Dion menegakkan tubuhnya sedikit. Ia menatap Naura dengan penuh harap, meskipun wajahnya masih dihiasi luka yang belum kering. “Apa syaratnya?” Ruangan itu terasa hening setelah Dion mengajukan pertanyaan. Hanya suara detak jam dinding yang terus berdetak seperti mengingatkan waktu yang berjalan tanpa henti. Naura menghela napas panjang. Matanya menatap lurus pada suaminya, mencoba mengukur reaksi dari apa yang akan ia katakan. “Besok aku harus menemani Pak Reval keluar kota, Mas. Mungkin sampai tiga hari,” jelas Naura dengan nada yang sedapat mungkin dibuat tenang. Dion mengerutkan kening sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Ya, itu tidak masalah. Asalkan aku dapatkan uangnya, Naura.” Jawaban Dion membuat hati Naura sedikit terguncang. Begitu sederhananya pria itu menyetujui, seolah kepergian istrinya bersama pria lain tidak membawa beban apa pun. Namun, Naura menahan lidahnya. Ia tidak ingin menambah panjang konflik malam ini. “Mas, kamu yakin tidak apa-apa aku pergi se
Naura mengangguk. “Sebagian besar sudah, Mas. Nanti aku akan berangkat langsung dari kantor.” Dion menghela napas. “Semoga perjalananmu lancar.” Naura mengangguk lagi, tetapi kali ini tanpa bicara. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata-kata Dion terdengar datar, tanpa emosi. Namun, Naura mencoba untuk tidak memikirkan itu terlalu dalam. Setelah selesai membereskan semua, Naura memasak sarapan sederhana. Meja makan menjadi tempat mereka bertemu lagi, tetapi seperti biasanya, keheningan mengisi ruang di antara mereka. Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu. “Naura,” panggil Dion tiba-tiba, memecah suasana. Naura mengangkat wajahnya. “Iya, Mas?” “Nanti kalau di sana, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa makan, ya?” Kata-katanya terdengar tulus, tetapi Naura tahu, itu hanyalah basa-basi kecil sebelum ia meminta sesuatu lagi. “Baik, Mas,” jawab Naura singkat. Tiba di kantor, Naura sudah bersiap menunggu keberangkatan dengan Reval. Sebuah koper kecil te
Reval tidak langsung merespons. Ia hanya menggerakkan alis sedikit, tanda bahwa ia mendengar. Keheningan melingkupi mobil, menciptakan ketegangan yang hampir membuat Naura menyesal telah mengucapkan kata-kata itu. “Apakah ini ada hubungannya dengan suamimu, Dion?” akhirnya Reval bertanya, suaranya datar, tetapi ada nada menyelidik yang membuat Naura merasa seperti sedang diinterogasi. Naura tercekat. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. Haruskah ia jujur? Haruskah ia mengakui bahwa Dion-lah alasan di balik permintaannya? Tapi apa yang akan Reval pikirkan tentangnya jika ia mengatakan yang sebenarnya? Kebingungan menghantamnya, seperti gelombang besar yang sulit dihentikan. Naura menunduk, menghindari tatapan Reval yang begitu tajam. “Tidak, Pak,” jawab Naura berbohong, suaranya hampir seperti bisikan. Reval mendengkus pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Naura merasa dadanya sesak. Ia tahu ia harus memberikan alasan. Dan alasan itu harus masuk akal. Namun, kebohong
Reval mendesah pelan, tatapan matanya menunjukkan ketidaksenangan. “Bagaimana ini bisa terjadi? Saya sudah memastikan pemesanan dua kamar beberapa hari yang lalu.” Resepsionis tampak cemas. “Kami sangat meminta maaf, Pak. Saat ini hotel kami penuh. Namun, kamar yang tersedia adalah suite dengan dua tempat tidur. Kami pastikan kamar itu nyaman.” Reval mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah Naura. “Kamu keberatan?” Naura merasa jantungnya seperti ingin melompat keluar. “Ehm, saya ... saya kira—” “Ini hanya tiga hari. Kita bisa mengatur ini,” potong Reval santai. “Baik, Pak. Kami akan mengantar Anda ke kamar,” ujar resepsionis dengan suara penuh permohonan maaf. Saat pintu kamar suite terbuka, Naura tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu begitu luas, dengan sofa kulit di ruang tamu kecil, meja makan, dan balkon yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Dua tempat tidur besar terletak di sisi ruangan, dipisahkan oleh meja kecil. Meski begitu, hati Naura merasa resah.
Reval berdiri diam, tubuhnya tegap mengunci Naura pada posisi yang tak memungkinkan untuk melarikan diri. Matanya menatap Naura, tajam namun tenang, seolah ia tahu bahwa kendali sepenuhnya ada di tangannya. Naura merasa jantungnya berdetak begitu cepat, seakan siap meledak kapan saja. Tubuhnya terpaku di tempat, napasnya terasa sesak. Ia tahu apa yang diinginkan Reval. Dan ia tahu, dirinya sudah berjanji memberikan yang terbaik untuk Reval. Namun, perasaan ragu dan takut terus menghantui pikirannya. Dengan tangan yang bergetar, Naura mulai menggapai tepi pakaian yang menutupi tubuhnya. Setiap gerakan terasa seperti menantang dirinya sendiri, bertentangan dengan seluruh rasa yang ada di hatinya. Kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya, jatuh ke lantai dengan suara yang hampir tak terdengar. Reval hanya diam, memperhatikan setiap gerakan Naura. Senyuman tipis muncul, nyaris seperti simbol kemenangan yang membuat Naura semakin terintimidasi. Tatapan matanya tetap terfokus,
Suara Naura terdengar begitu putus asa, menggema di ruangan yang hening. Reval membeku sejenak, sebelah alisnya terangkat. Tatapan pria itu menyiratkan campuran emosi. Keinginan, perhatian, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Tanpa kata, ia menggeser posisinya, membuat jarak antara mereka lebih dekat lagi. “Tutup matamu, Naura,” bisik Reval, nadanya lembut, hampir seperti perintah yang menenangkan. Naura menurut, meski tubuhnya masih sedikit tegang. Reval bergerak dengan kehati-hatian yang luar biasa, seperti seseorang yang mengerti bahwa wanita di hadapannya ini adalah sesuatu yang rapuh. Tangan besarnya perlahan menyentuh bahu Naura, memberikan pijatan lembut yang menenangkan. Sentuhan itu membuat Naura menghela napas panjang, melepaskan beban yang selama ini menumpuk di tubuh dan pikirannya. “Apakah sakit?” tanya Reval tiba-tiba, suaranya penuh perhatian. Naura menggeleng, meski ia tidak yakin apakah jawaban itu sepenuhnya benar. Ia hanya tahu bahwa saat ini, ia mera
Naura merasa seperti berada di dalam mimpi. Perlahan, ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Awalnya ragu, tetapi kemudian terasa semakin pasti. Wanita itu membuka matanya dengan perlahan, hanya untuk mendapati kepala Reval berada begitu dekat, nyaris menyentuh wajahnya. “Pak Reval …,” bisik Naura kaget, suaranya hampir tidak terdengar. Naura langsung memalingkan wajah, mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Seolah waktu enggan berpihak padanya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Naura langsung melirik ke arah meja kecil di dekat tempat tidur, tempat ponselnya bergetar dengan nyaring. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Reval, tetapi pria itu hanya sedikit mengendurkan cengkeramannya, memberinya ruang untuk bergerak, meski masih terasa ada aura kepemilikan di sana. “Telepon dari Mas Dion,” gumam Naura, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menelan ludah, rasa gelisah mulai merayap di hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel itu dan m
Reval mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kunci dengan gantungan sederhana berbentuk angka. Ia memutar kunci itu dengan jari telunjuknya sambil menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara keseriusan dan sesuatu yang lain. “Naura, ini kunci kamar sebelah. Kemarin ada insiden kecil, tapi sudah diperbaiki. Kamu bisa pindah ke sana sekarang.” Suaranya terdengar tenang, hampir terlalu santai. Mata Naura langsung berbinar. Seulas senyum lega tergambar di wajahnya. “Bapak serius?” tanya Naura antusias, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Reval hanya mengangguk pelan, mengangkat kunci itu sedikit lebih tinggi. Melihatnya, Naura tanpa ragu langsung mengulurkan tangan, berusaha meraih kunci itu. Namun tepat ketika ujung jarinya hampir menyentuh, Reval dengan santai menjauhkan tangannya, membuat kunci itu melambai-lambai di udara. Kening Naura berkerut. Senyum di wajahnya memudar, berganti dengan ekspresi kesal. Ia mencoba merebut
Sebuah tepuk tangan nyaring terdengar di ruangan itu.“Jadi ini semua perbuatan Mama?” ujar Reval, suaranya rendah tetapi penuh tekanan.Wanita paruh baya yang masih duduk itu tersentak. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi keterkejutan.“Reval! Ka–kamu ...”“Kenapa, Ma?” Reval melangkah maju, ekspresinya dingin. “Terkejut karena aku dan Naura mendengar pembicaraan kalian?”Di belakang Reval, Naura berdiri dengan tubuh menegang. Jantungnya berdetak kencang, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata dokter dan mama Reval masih terngiang di telinganya.Dion dan Callista memang berselingkuh.Bukan jebakan.Mereka benar-benar mengkhianati dirinya.Mama Reval hanya berusaha menutupi fakta itu dengan kebohongan lain.Ruangan itu terasa semakin menyempit. Napas Naura tersengal, seakan udara mendadak menipis. Dadanya berdenyut, bukan hanya karena kekecewaan, tetapi juga karena rasa bodoh yang terus menyergap.“Jadi ...” Suara Naura bergetar. “Tidak ada yang menjebak merek
Naura tertawa kecil, getir. Matanya kembali menatap Dion.“Bukankah saya bodoh?” Suaranya bergetar. “Saya berusaha percaya bahwa dia pria yang baik, bahwa dia adalah orang yang bisa saya cintai tanpa takut dikhianati lagi. Tapi lihat sekarang ... ternyata saya tidak lebih dari seorang wanita bodoh yang terus saja berharap pada sesuatu yang sia-sia.”Suara Naura pecah di akhir kalimat.Dan saat itu, pertahanannya runtuh.Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat menahan isakan.Reval tak bisa lagi hanya diam.Tanpa ragu, ia menarik Naura ke dalam pelukannya.Naura semula memberontak, kedua tangannya mendorong dada Reval, tetapi pria itu tak goyah.“Lepaskan,” ucapnya lirih, suaranya teredam di dada Reval.“Tangismu tidak akan membuat semua ini berubah, Naura.” Reval semakin mengeratkan pelukannya.Naura kembali mencoba melawan, tetapi kekuatannya sudah habis. Ia akhirnya menyerah.Tangannya mengepal di dada Reval, lalu tanpa bisa ditahan lagi, ia menangis sejadi-jadinya.Isak
Koper milik Naura tergeletak begitu saja. Wanita itu tidak lagi peduli. Tangannya gemetar saat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, napasnya tersengal. Ia baru saja menerima sebuah kabar yang menghantamnya lebih keras dari apa pun. Dion. Ditemukan di kamar hotel. Bersama seorang wanita. Tak sadarkan diri. Keadaannya … tak berbusana. Perut Naura terasa seperti dipukul keras. Otaknya berusaha mencerna, tapi semuanya terasa begitu absurd, begitu menyakitkan. Tangannya melambai, menghentikan taksi yang melintas. Tanpa ragu, ia masuk dan menyebutkan satu tujuan. Rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bayangan Dion berputar di pikirannya. Pria yang selama ini menjadi harapan terakhirnya, tempatnya berpulang setelah semua yang terjadi dengan Reval. Namun sekarang, seolah takdir kembali menertawakannya. Air mata sudah berlinang di pipinya. Ia tak peduli. Taksi berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Naura bergegas keluar, hampir tersandung karena langkahnya yang terbu
Jantung Naura berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menegakkan duduknya, menatap wajah wanita paruh baya itu dengan perasaan tak menentu.“Ada apa dengan Mas Dion, Bu?” tanyanya hati-hati.Ibu Lastri menghela napas. Tangannya saling bertaut, pertanda bahwa ia sedang berusaha menyusun kata-kata. “Tadi Dion sempat menghubungi Ibu. Katanya dia sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi tidak bisa menjemputmu.”Naura mengerutkan kening. “Kenapa Mas Dion nggak bilang langsung kepadaku, Bu? Dihubungi juga susah.”Ibu Lastri terdiam sesaat. “Em, itu….”Naura menangkap kegugupan di raut wajah wanita itu. Matanya yang biasanya lembut kini seperti menyimpan sesuatu.“Ada apa, Bu?” desaknya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan.Ibu Lastri tersenyum tipis, tapi senyumnya terasa tidak natural. “Mungkin sinyalnya sedang buruk, Nak.”Naura terdiam, berusaha mencerna jawaban itu. Tapi sesuatu dalam dirinya berteriak bahwa ada yang janggal. Ia menatap wajah wanita itu lebih lama, berha
Dinda menghela napas panjang, lalu memaksa bibirnya tersenyum meski matanya masih berlinang. “Hadiah kecil untukmu. Jangan pernah lupakan aku, ya?” Jemari Naura bergetar saat menerima kotak itu. Rasanya berat sekali untuk menggenggamnya, seolah kotak kecil itu membawa seluruh kenangan yang pernah mereka lalui bersama. Ia menatap Dinda, lalu Ervan. Keduanya memiliki ekspresi yang berbeda. Dinda yang emosional, sementara Ervan lebih menahan, tetapi sorot matanya jelas menunjukkan kepedulian yang mendalam. Naura tersenyum tipis, menahan sesak yang mengganjal di dadanya. “Terima kasih ... untuk segalanya,” ujar Naura pelan, tetapi cukup jelas untuk keduanya dengar. Dinda menggigit bibirnya, menahan tangis yang hendak pecah. “Kalau kamu butuh tempat pulang ... aku di sini, Naura.” Ervan mengangguk pelan, menambahkan, “Kami di sini.” Naura tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap mereka dalam diam, menghafal wajah mereka untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya melangkah mun
Naura memejamkan mata, menolak perasaan yang menggumpal di dadanya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha mengendalikan getaran emosi yang berkecamuk. Tapi, getar suara Reval menembus pertahanannya. “Aku tidak peduli siapa ayah dari bayi yang kamu kandung. Yang kuinginkan... hanya kamu, Naura.” Sebuah bulir air mata jatuh di pipi Naura, entah karena keterkejutan atau rasa yang tak mampu dia jelaskan. Reval terdiam melihatnya, tatapannya melunak. Perlahan, jemarinya terangkat, menghapus jejak air mata itu dengan sentuhan yang begitu lembut seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. “Saya... tidak bisa.” Suara Naura lirih namun tegas, meski dadanya terasa sesak. “Saya istri orang lain, Pak Reval. Dan sebentar lagi Bapak akan menikah dengan Callista.” Reval tersenyum pahit, matanya menyimpan luka yang tak terucapkan. “Pernikahan itu tidak pernah kuinginkan. Hanya kamu... sejak awal, hanya kamu yang mengisi ruang kosong dalam hatiku, Naura.” Reval terdiam sejenak. Lalu, tanpa p
Hari yang dinanti telah tiba. Hari ini adalah hari terakhir Naura menjejakkan kakinya di perusahaan besar milik Reval. Ia akan segera meninggalkan kota yang penuh kenangan itu. Untuk terakhir kalinya, Naura ingin meminta maaf dan berterima kasih kepada Reval. Langkah kaki Naura menggema pelan di lantai marmer kantor. Setiap langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak yang ia tinggalkan adalah perpisahan dengan semua kenangan yang pernah terukir di tempat ini. Jantungnya berdetak tak menentu saat ia berdiri di depan pintu ruangan yang sudah begitu familiar. Ruangan di mana banyak kisahnya dengan Reval tercipta. Tangannya terangkat, mengetuk pintu kayu itu dengan ragu. Tok. Tok. Tok. Tak ada jawaban. Naura menunggu sejenak, berharap mendengar suara yang selama ini mampu menggetarkan hatinya. Namun, keheningan tetap menyelimuti ruangan di balik pintu itu. Perlahan, ia memutar kenop pintu. Tidak terkunci. Naura mendorong pintu dan melangkah masuk. Udara di dalam terasa sedikit
Rintik hujan turun pelan, mengetuk dedaunan dan memercik tanah merah yang masih basah. Udara di pemakaman terasa lembap, bercampur aroma tanah yang khas setelah hujan pertama. Angin semilir membawa desah dedaunan, seolah menjadi bisikan dari mereka yang beristirahat abadi di bawahnya. Di antara barisan nisan berwarna abu-abu, seorang pria berdiri diam. Jas hitam membungkus tubuhnya, tetapi dingin tetap merasuk hingga ke tulang. Rambutnya yang basah menempel di dahi, sementara tetesan air mengalir pelan di sepanjang rahangnya yang tegas. Sepasang mata kelamnya menatap nisan di depannya. Tatapan yang menyimpan luka tak terucap. Nama yang terukir di sana terasa seperti belati yang menusuk jantungnya setiap kali ia membacanya. Kirana A. Wijaya Reval berjongkok perlahan, membiarkan lututnya menyentuh tanah yang basah. Jemarinya terulur, menyentuh ukiran nama itu seolah berharap kehangatan masa lalu dapat merembes melalui batu yang dingin. Bibirnya bergerak, tetapi tak ada suara
Namun, Reval tak menjawab mamanya. Alih-alih, ia melangkah mendekati Callista, membuat gadis itu mundur setapak demi setapak hingga punggungnya hampir menyentuh dinding. “Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di pesta malam itu?” Suaranya rendah, namun setiap kata menghantam Callista seperti cambukan. “Aku sudah melihat semuanya, Callista.” Mata Callista membesar. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Jantungnya berdegup kencang, hampir menenggelamkan suara di sekitarnya. “Kamu salah paham, Reval. Bukan aku pelakunya.” Suara Callista terdengar gemetar, meski ia berusaha tetap tenang. Namun, Reval tak bergeming. Napasnya berat, dada naik-turun cepat seolah menahan badai amarah yang siap meledak. Jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. Adelia melangkah maju, berdiri di antara mereka dengan wajah penuh amarah. “Kamu lebih membela perempuan itu daripada tunanganmu sendiri?” Suaranya menggema di ruangan luas, mengguncang udara seolah-olah dinding ikut menya