ckckckck......
Reval mendesah pelan, tatapan matanya menunjukkan ketidaksenangan. “Bagaimana ini bisa terjadi? Saya sudah memastikan pemesanan dua kamar beberapa hari yang lalu.” Resepsionis tampak cemas. “Kami sangat meminta maaf, Pak. Saat ini hotel kami penuh. Namun, kamar yang tersedia adalah suite dengan dua tempat tidur. Kami pastikan kamar itu nyaman.” Reval mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah Naura. “Kamu keberatan?” Naura merasa jantungnya seperti ingin melompat keluar. “Ehm, saya ... saya kira—” “Ini hanya tiga hari. Kita bisa mengatur ini,” potong Reval santai. “Baik, Pak. Kami akan mengantar Anda ke kamar,” ujar resepsionis dengan suara penuh permohonan maaf. Saat pintu kamar suite terbuka, Naura tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu begitu luas, dengan sofa kulit di ruang tamu kecil, meja makan, dan balkon yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Dua tempat tidur besar terletak di sisi ruangan, dipisahkan oleh meja kecil. Meski begitu, hati Naura merasa resah.
Reval berdiri diam, tubuhnya tegap mengunci Naura pada posisi yang tak memungkinkan untuk melarikan diri. Matanya menatap Naura, tajam namun tenang, seolah ia tahu bahwa kendali sepenuhnya ada di tangannya. Naura merasa jantungnya berdetak begitu cepat, seakan siap meledak kapan saja. Tubuhnya terpaku di tempat, napasnya terasa sesak. Ia tahu apa yang diinginkan Reval. Dan ia tahu, dirinya sudah berjanji memberikan yang terbaik untuk Reval. Namun, perasaan ragu dan takut terus menghantui pikirannya. Dengan tangan yang bergetar, Naura mulai menggapai tepi pakaian yang menutupi tubuhnya. Setiap gerakan terasa seperti menantang dirinya sendiri, bertentangan dengan seluruh rasa yang ada di hatinya. Kain itu perlahan terlepas dari tubuhnya, jatuh ke lantai dengan suara yang hampir tak terdengar. Reval hanya diam, memperhatikan setiap gerakan Naura. Senyuman tipis muncul, nyaris seperti simbol kemenangan yang membuat Naura semakin terintimidasi. Tatapan matanya tetap terfokus,
Suara Naura terdengar begitu putus asa, menggema di ruangan yang hening. Reval membeku sejenak, sebelah alisnya terangkat. Tatapan pria itu menyiratkan campuran emosi. Keinginan, perhatian, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Tanpa kata, ia menggeser posisinya, membuat jarak antara mereka lebih dekat lagi. “Tutup matamu, Naura,” bisik Reval, nadanya lembut, hampir seperti perintah yang menenangkan. Naura menurut, meski tubuhnya masih sedikit tegang. Reval bergerak dengan kehati-hatian yang luar biasa, seperti seseorang yang mengerti bahwa wanita di hadapannya ini adalah sesuatu yang rapuh. Tangan besarnya perlahan menyentuh bahu Naura, memberikan pijatan lembut yang menenangkan. Sentuhan itu membuat Naura menghela napas panjang, melepaskan beban yang selama ini menumpuk di tubuh dan pikirannya. “Apakah sakit?” tanya Reval tiba-tiba, suaranya penuh perhatian. Naura menggeleng, meski ia tidak yakin apakah jawaban itu sepenuhnya benar. Ia hanya tahu bahwa saat ini, ia mera
Naura merasa seperti berada di dalam mimpi. Perlahan, ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Awalnya ragu, tetapi kemudian terasa semakin pasti. Wanita itu membuka matanya dengan perlahan, hanya untuk mendapati kepala Reval berada begitu dekat, nyaris menyentuh wajahnya. “Pak Reval …,” bisik Naura kaget, suaranya hampir tidak terdengar. Naura langsung memalingkan wajah, mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Seolah waktu enggan berpihak padanya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Naura langsung melirik ke arah meja kecil di dekat tempat tidur, tempat ponselnya bergetar dengan nyaring. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Reval, tetapi pria itu hanya sedikit mengendurkan cengkeramannya, memberinya ruang untuk bergerak, meski masih terasa ada aura kepemilikan di sana. “Telepon dari Mas Dion,” gumam Naura, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menelan ludah, rasa gelisah mulai merayap di hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel itu dan m
Reval mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kunci dengan gantungan sederhana berbentuk angka. Ia memutar kunci itu dengan jari telunjuknya sambil menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara keseriusan dan sesuatu yang lain. “Naura, ini kunci kamar sebelah. Kemarin ada insiden kecil, tapi sudah diperbaiki. Kamu bisa pindah ke sana sekarang.” Suaranya terdengar tenang, hampir terlalu santai. Mata Naura langsung berbinar. Seulas senyum lega tergambar di wajahnya. “Bapak serius?” tanya Naura antusias, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Reval hanya mengangguk pelan, mengangkat kunci itu sedikit lebih tinggi. Melihatnya, Naura tanpa ragu langsung mengulurkan tangan, berusaha meraih kunci itu. Namun tepat ketika ujung jarinya hampir menyentuh, Reval dengan santai menjauhkan tangannya, membuat kunci itu melambai-lambai di udara. Kening Naura berkerut. Senyum di wajahnya memudar, berganti dengan ekspresi kesal. Ia mencoba merebut
Naura menelan ludah, rasa gugupnya meningkat. Callista melangkah mendekat dengan anggun, sepatu hak tingginya berderap pelan di sepanjang koridor. Wajah wanita itu memancarkan kepercayaan diri, senyumnya lebar namun dingin, seperti seseorang yang sedang menikmati kemenangan kecil. “Kamu Naura, kan?” Callista berhenti tepat di depan Naura, menatapnya dari atas ke bawah dengan ekspresi menilai. “Asisten Reval?” Naura berusaha mengendalikan dirinya. “Iya, saya asisten Pak Reval.” “Oh, aku tahu,” ucap Callista santai, tangannya terangkat untuk merapikan rambut panjangnya yang tergerai sempurna. “Aku hanya tidak menyangka Reval akan membawamu ke sini. Biasanya dia lebih suka melakukan urusan bisnis sendirian.” Naura menunduk sedikit, merasa tidak nyaman dengan sorot mata tajam Callista. Ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara yang terasa menusuk, meski kata-katanya terdengar biasa saja. “Permisi, saya harus masuk ke kamar saya,” kata Naura akhirnya, mencoba mengakhiri percakapan
Jantung Naura berdetak lebih cepat. Ia merasa Reval bisa membaca pikirannya. “Tidak ada hubungannya dengan itu,” elaknya. “Saya hanya ingin istirahat di kamar.” Reval tersenyum tipis, tetapi senyum itu terlihat seperti sindiran. “Baiklah, kalau itu alasanmu. Tapi kalau ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, kamu tahu di mana mencariku.” Reval mengedipkan sebelah matanya seraya berbalik dan berjalan pergi. Naura menutup pintu dengan cepat, lalu bersandar pada dinding. Perasaan lega dan kesal bercampur menjadi satu di dalam dirinya. “Kenapa dia harus bersikap seperti itu?” gumamnya. Ia merasa Reval sengaja menggoda dan memancing emosinya, tetapi ia tidak tahu apa tujuan pria itu. Waktu berlalu, dan Naura mencoba mengalihkan pikirannya dengan mempelajari dokumen yang ia bawa. Tetapi setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, pikirannya selalu kembali kepada Reval dan Callista. Ia merasa seperti terjebak dalam pusaran emosi yang tak berujung. Tiba-tiba, suara dering ponselnya m
Naura menghela napas panjang. Jalanan yang sempit dan bergelombang membuat tubuhnya mulai terasa pegal. Ia bergeser di kursinya, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Namun, tak lama kemudian, mobil tiba-tiba mengeluarkan suara aneh, seperti sesuatu yang tergores di bawahnya. “Pak, suara apa itu?” Naura bertanya dengan nada cemas. Reval mengerutkan dahi, seolah mencoba mendengarkan lebih jelas. Ia perlahan memperlambat laju mobil. “Tunggu sebentar.” Mobil perlahan berhenti di pinggir jalan, di tengah area yang dikelilingi oleh hutan kecil. Tidak ada kendaraan lain yang lewat, hanya terdengar suara burung di kejauhan dan desiran angin yang membawa aroma daun basah. Reval melepas sabuk pengamannya, lalu keluar dari mobil, membuka kap mesin, dan memeriksa bagian dalamnya dengan cermat. Asap tipis keluar dari radiator, membuatnya menghela napas panjang. Sementara Naura tetap duduk di dalam, menunggu dengan gelisah. Setelah beberapa menit, Reval kembali masuk ke mobil dengan wa
Naura duduk di sudut ruangan, kepalanya bersandar pada dinding kayu yang mulai lapuk. Tangannya masih terikat, tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Pikirannya terus berputar mencari celah. Ia harus keluar dari sini sebelum Dion benar-benar menghancurkan segalanya. Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka, dan pria bertopeng yang tadi datang kembali, kali ini tanpa nampan makanan. “Hari ini kau akan dipindahkan,” katanya singkat. Naura menelan ludah. Dipindahkan? Ke mana? Pria itu berjalan mendekat, menarik tali yang mengikat tangannya, lalu menyeretnya berdiri. “Ayo.” Naura tahu ia tak bisa melawan dalam kondisi seperti ini. Tapi, jika dia dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, peluangnya untuk selamat akan semakin kecil. ‘Tuhan, bantu aku…’ Saat mereka melewati lorong sempit yang gelap, Naura memperhatikan sekelilingnya. Matanya menangkap sebilah pisau kecil tergeletak di atas meja kayu di sudut ruangan. Tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan tubuhnya
“Paman Riko?” Reval merasakan amarah membakar seluruh tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, nyaris melayangkan pukulan ke wajah Dion, tetapi pria itu dengan santai menjauh, mengangkat ponselnya lebih tinggi. “Tenang, Reval. Kalau kau menyentuhku, aku bisa saja menyuruh Riko melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Naura,” katanya dengan seringai puas. Reval mengertakkan giginya. “Apa yang kau inginkan?” Dion menoleh ke Callista dan tertawa kecil. “Gampang. Akui bahwa anak dalam kandungan Callista adalah milikmu, nikahi dia, dan aku akan melepaskan Naura,” katanya santai. Reval mencibir. “Mimpi.” Callista mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. “Reval, kau tahu kau tidak punya pilihan, kan?” ujarnya manja, tangannya berusaha menyentuh dada Reval. Reval menepisnya kasar. “Kalian pikir aku bisa percaya pada kalian? Bahkan jika aku menuruti permintaan kalian, tidak ada jaminan Naura akan selamat.” Dion terkekeh. “Tentu saja ada jaminannya. Tapi kalau kau membangkang…” Ia memutar vide
“Sebenarnya ... ini bukan hal yang penting.” Naura tidak tahu harus menjawab apa. “Naura, ada apa? Apapun itu, aku akan mendengarkannya.” Naura menatap Reval, lalu mengambil secarik kertas. “Surat cerai saya sudah resmi. Saya dan Mas Dion … bukan suami-istri lagi.” Reval menatap surat itu. Rasanya seperti beban besar terangkat dari dadanya. Ia merasa lega dan informasi itu adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. Bagaimana mungkin Naura mengatakan bahwa itu tidak penting? Namun, ekspresi Naura masih terlihat berat dan seolah sedang dilanda gelisah yang mendalam. “Ada apa lagi?” tanya Reval lembut. Naura menggigit bibirnya. “Saya mendengar sesuatu dari Bu Lastri belakangan ini.” Reval mengernyit. “Apa?” Naura menghela napas, lalu menatap Reval dalam-dalam. “Callista. Sebenarnya dia tidak benar-benar tinggal di rumah Mas Dion. Waktu itu dia hanya kebetulan ada di sana saat saya mengajukan cerai dan dia sengaja memanas-manasi saya.” Reval menegang. “Dan
Reval berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Firasat buruk terus menghantui pikirannya. Ponselnya di saku bergetar. Dengan malas, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Dahi Reval mengernyit. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ia melihat Callista duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Mata wanita itu tampak merah seolah habis menangis. Reval menutup pintu dan berjalan mendekat. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu yang ada di sini?” Callista menundukkan kepalanya, menggenggam ujung selimut dengan erat. “Aku … aku hamil, Reval.” Jantung Reval seperti berhenti berdetak sejenak. Ia menatap Callista dengan tatapan tajam. “Apa hubungannya denganku? Lalu di mana Naura? Aku ingin bertemu dengannya.” “Tentu saja ada hubungannya denganmu, Reval.” Callista mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata penuh harap. “Ini adalah anakmu.” Reval m
Ruang tamu dipenuhi keheningan yang menegangkan. Adelia duduk di sofa dengan tatapan dingin, sementara Reval berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh ketegasan. “Apa kamu bilang?” suara Adelia meninggi, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Reval menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku ingin mama meminta maaf kepada Naura.” Adelia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Kenapa tiba-tiba kamu meminta hal itu, Reval? Mama tidak merasa punya urusan dengan perempuan itu.” Reval mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. “Karena mama telah menyakitinya.” Adelia menyipitkan mata. “Jangan membesar-besarkan masalah, Reval. Lagipula, perempuan itu bukan siapa-siapa bagi mama.” Reval mendekat, menatap ibunya dengan tajam. “Bukan siapa-siapa? Dia adalah wanita yang sedang mengandung anakku, Ma!” Adelia terdiam sesaat. Matanya membulat, tapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa sinis. “Jadi, itu alasan kamu membelanya mati-matian
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion, meninggalkan jejak kemerahan yang jelas. Kepala pria itu sedikit tergeleng, namun bukan karena sakitnya tamparan itu, melainkan karena keterkejutannya. Callista berdiri di hadapannya dengan mata membelalak, napasnya memburu penuh amarah. “Ini semua gara-gara kamu, Dion!” suara Callista menggema di seluruh ruangan. Dion mengusap pipinya yang perih, ekspresinya berubah dingin. “Kenapa kamu menamparku, Callista? Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.” Callista mendengkus kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seakan merasa jijik dengan situasi yang sedang terjadi. “Sial! Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan mendapatkan ini!” Suaranya bergetar, dan matanya menatap Dion dengan kebencian. Dion menyipitkan mata. “Maksudmu?” “Aku hamil, Dion! Aku mengandung anak sialan ini gara-gara kamu!” Callista berteriak frustrasi, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dion terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat, menc
Beberapa minggu telah berlalu. Naura berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali sebagai istri Dion. Pintu rumah itu masih sama seperti terakhir kali Naura melihatnya. Cat cokelat tua yang mulai memudar, gagang pintu berwarna perak yang kini tampak lebih kusam. Namun, bagi Naura, rumah ini sudah kehilangan maknanya sejak lama. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat berisi surat cerai. Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di dalam pernikahan yang telah hancur sejak lama. Dengan napas panjang, Naura mengetuk pintu. Dadanya berdebar, bukan karena ragu, tetapi karena ia ingin semua ini segera berakhir. Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka. “Naura!” Suara itu begitu akrab. Hangat. Seakan tidak ada luka yang pernah mengisi kehidupan mereka. Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan mata berbinar, seolah-olah kehadiran Naura adalah sesuatu yang ia rindukan sejak la
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te