(╬☉д⊙)⊰⊹ฺ
Jantung Naura berdetak lebih cepat. Ia merasa Reval bisa membaca pikirannya. “Tidak ada hubungannya dengan itu,” elaknya. “Saya hanya ingin istirahat di kamar.” Reval tersenyum tipis, tetapi senyum itu terlihat seperti sindiran. “Baiklah, kalau itu alasanmu. Tapi kalau ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, kamu tahu di mana mencariku.” Reval mengedipkan sebelah matanya seraya berbalik dan berjalan pergi. Naura menutup pintu dengan cepat, lalu bersandar pada dinding. Perasaan lega dan kesal bercampur menjadi satu di dalam dirinya. “Kenapa dia harus bersikap seperti itu?” gumamnya. Ia merasa Reval sengaja menggoda dan memancing emosinya, tetapi ia tidak tahu apa tujuan pria itu. Waktu berlalu, dan Naura mencoba mengalihkan pikirannya dengan mempelajari dokumen yang ia bawa. Tetapi setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, pikirannya selalu kembali kepada Reval dan Callista. Ia merasa seperti terjebak dalam pusaran emosi yang tak berujung. Tiba-tiba, suara dering ponselnya m
Naura menghela napas panjang. Jalanan yang sempit dan bergelombang membuat tubuhnya mulai terasa pegal. Ia bergeser di kursinya, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Namun, tak lama kemudian, mobil tiba-tiba mengeluarkan suara aneh, seperti sesuatu yang tergores di bawahnya. “Pak, suara apa itu?” Naura bertanya dengan nada cemas. Reval mengerutkan dahi, seolah mencoba mendengarkan lebih jelas. Ia perlahan memperlambat laju mobil. “Tunggu sebentar.” Mobil perlahan berhenti di pinggir jalan, di tengah area yang dikelilingi oleh hutan kecil. Tidak ada kendaraan lain yang lewat, hanya terdengar suara burung di kejauhan dan desiran angin yang membawa aroma daun basah. Reval melepas sabuk pengamannya, lalu keluar dari mobil, membuka kap mesin, dan memeriksa bagian dalamnya dengan cermat. Asap tipis keluar dari radiator, membuatnya menghela napas panjang. Sementara Naura tetap duduk di dalam, menunggu dengan gelisah. Setelah beberapa menit, Reval kembali masuk ke mobil dengan wa
Reval mendesah panjang, mengusap wajahnya yang tampak kelelahan. Ia berjalan kembali mendekati Naura, suaranya lebih lembut kali ini. “Naura, aku hanya mencari sinyal. Kalau kita tetap di mobil, siapa tahu bantuan datang lebih cepat.” “Tapi kalau sesuatu terjadi?” Naura menelan ludah, suaranya meredup. Ia memandang Reval dengan sorot mata yang penuh ketakutan, bahkan sedikit memohon. “Bagaimana kalau ada binatang buas? Atau ... hal lain?” Reval terdiam sejenak. Ia mengamati Naura yang berdiri di depannya, tubuhnya sedikit gemetar, namun matanya tetap mencoba memberanikan diri. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar, perasaan yang sulit ia jelaskan. Akhirnya, Reval mengulurkan tangan. “Baiklah, ikut aku. Tapi jangan jauh-jauh dariku,” kata Reval pelan, nadanya lebih hangat dari sebelumnya. Naura mengangguk cepat, meraih tangan Reval tanpa ragu. Sentuhan itu mengejutkan Reval, tetapi ia tidak menarik diri. Sebaliknya, ia menggenggam tangan Naura lebih erat, seolah memastikan
Reval tersenyum, tatapannya melembut saat ia melihat Naura yang masih gemetar, tetapi berusaha tegar. Ia menghela napas panjang, menepuk pundak Naura sekali lagi, kali ini dengan gerakan yang lebih menenangkan. “Aku bercanda Naura,” kata Reval, suaranya lebih pelan. “Tapi serius, kamu nggak perlu takut lagi. Aku di sini.” Naura menatap Reval. Matanya masih sedikit berkaca-kaca. Hatinya mulai tenang, meskipun ketakutan tadi masih meninggalkan sisa di dadanya. Namun, ada sesuatu dalam nada bicara Reval. Rasa perlindungan yang tak biasa, yang membuatnya merasa lebih aman. “Kenapa kamu nekat banget ikut aku tadi?” tanya Reval, mengangkat alisnya. “Padahal jelas-jelas kamu takut setengah mati.” Naura mendesah, mencoba mengalihkan pandangan. “Saya nggak mau sendirian di mobil. Suasana gelap, dan …” Ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, “saya juga nggak mau Bapak kenapa-napa.” Reval terdiam. Jawaban itu membuatnya sedikit terkejut, meskipun ia tidak menunjukkannya. “Kamu khawatir sama
Reval tersenyum tipis meskipun rasa sakit masih terasa. “Dulu, waktu aku remaja, aku sering menjelajah hutan. Salah satu pelajaran berharga yang aku dapat adalah bagaimana mengatasi kaki terkilir.” Naura memiringkan kepalanya, jelas penasaran. “Menjelajah hutan? Serius, Pak?” Reval mengangguk, pandangannya berubah sedikit jauh, seperti mengingat masa lalunya. “Iya, aku dulu sering ikut eksplorasi bersama teman-teman. Ada satu kejadian yang sampai sekarang nggak pernah aku lupa.” Ia mulai memijat pergelangan kakinya dengan gerakan hati-hati, sambil melanjutkan ceritanya. “Waktu itu, aku dan beberapa teman masuk ke dalam hutan besar di dekat desa kakekku. Kami terlalu asyik menjelajah sampai akhirnya tersesat. Malam mulai turun, dan kami mulai panik.” Naura mendekat sedikit, tertarik dengan ceritanya. “Terus, apa yang terjadi?” Reval tersenyum samar, matanya sedikit berkaca-kaca mengenang. “Aku terpeleset di tebing kecil dan pergelangan kakiku terkilir. Teman-temanku juga ketakutan
Cahaya matahari pagi mulai merembes melalui celah-celah dinding gubuk kecil itu. Naura perlahan membuka matanya, merasa ada sesuatu yang hangat dan nyaman di bawah kepalanya. Seketika wajahnya memerah ketika menyadari bahwa ia telah tidur di pangkuan Reval. Jemari lelaki itu masih bertengger lembut di rambutnya, seolah melindungi dari dinginnya malam sebelumnya. Ia melirik wajah Reval yang masih terpejam, napasnya teratur. Wajahnya yang biasanya dingin tampak lebih tenang dalam tidur. Naura mencoba bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, tetapi gerakannya terhenti oleh suara keras dari luar. Brak! Pintu gubuk terbuka lebar, disertai suara langkah-langkah tergesa. “Pak Reval, Ibu Naura!” panggil seseorang dengan suara penuh kecemasan. Naura terlonjak, buru-buru menegakkan tubuhnya. Ia salah tingkah saat mendapati pandangan Reval yang baru terbangun, masih sedikit mengantuk, tetapi dengan cepat menyadari situasi. “Ervan!” seru Naura, suaranya bergetar. Lelaki tersebut ber
Naura tertegun, matanya membulat tak percaya. Jemarinya menggenggam ponsel gemetar. Ia menatap kosong ke arah lantai, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba melonjak. “Mas Dion,” ia berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil, meski ada getaran yang tak bisa disembunyikan, “Pak Reval sedang sakit Mas, mana mungkin aku menanyakan soal uang itu? Kenapa Mas Dion tidak menanyakan keadaanku?” Hening sesaat di ujung sana, sebelum Dion menjawab, “Aku tanya begitu karena ini penting, Naura. Kalau aku nggak butuh, aku nggak akan repot-repot nanya. Kamu bisa kan coba cari cara?” Naura terdiam, rahangnya mengeras. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan amarah yang mulai naik. Tanpa menjawab, ia menekan tombol merah dan memutus panggilan itu. Telepon berakhir, meninggalkan keheningan yang menggantung. Naura menatap layar ponselnya, hatinya terasa kosong. Tiba-tiba Reval muncul di belakang Naura. Meski ia tidak mendengar isi percakapan, ekspresi Naura sudah cukup membuatnya be
Beberapa jam kemudian, dokter menyatakan bahwa Reval sudah cukup stabil untuk meninggalkan rumah sakit. Dengan bantuan Ervan, Reval dibantu berpindah ke kursi roda. Naura berdiri di sisi Reval, menunggu dengan sabar. “Terima kasih atas bantuannya, Dokter,” ucap Reval sambil menyalami dokter dengan tangan yang masih sedikit lemas. Naura memperhatikan setiap gerakan Reval, memastikan ia baik-baik saja. Namun, sesaat sebelum mereka keluar dari ruang perawatan, Callista muncul dengan tergesa-gesa. “Reval sayang, kamu sudah boleh pulang?” tanyanya, wajahnya terlihat lega. Reval mengangguk singkat. “Dokter bilang aku sudah bisa istirahat di luar rumah sakit.” Callista langsung menyambar pegangan kursi roda Reval, seolah memastikan bahwa dirinya yang akan mengurus lelaki itu. “Ayo, aku antar kamu kembali ke hotel. Naura, kamu pasti juga butuh istirahat.” Naura menatap Callista sejenak, tetapi tidak berkata apa-apa. Langkahnya melambat, membiarkan Callista mendorong kursi roda R
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te
Naura menggeleng cepat. “Tidak. Saya sudah ganti baju yang lebih nyaman. Masa Bapak tetap dengan pakaian basah seperti itu? Saya tidak bisa membiarkan itu.” Reval menatapnya lama, menyadari bahwa wanita di depannya ini benar-benar keras kepala. “Jadi kalau aku tidak ganti baju, kamu tidak mau makan?” tanya Reval sekali lagi untuk memastikan. Naura mengangguk mantap. Reval mendesah panjang. “Baiklah,” ujar Reval pasrah. Naura tersenyum puas. “Ayo kita cari baju untuk Bapak.” Mereka kembali berkeliling dan kali ini, Naura yang mengambil alih pencarian. Ia dengan serius memilihkan pakaian untuk Reval, membandingkan warna dan bahan dengan ekspresi sangat fokus, seolah sedang mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Reval hanya bisa mengamati dari belakang, tersenyum kecil melihat keseriusan Naura. “Bagaimana dengan ini?” Naura mengangkat sebuah kaus berwarna hitam dengan gambar kelapa dan tulisan besar Life’s a Beach. Reval melirik kaus itu, lalu menaikkan satu alisnya. “Aku t
Reval masih menatap Naura setelah ciuman panjang mereka terhenti. Napas keduanya masih tersengal, dan mata mereka tetap terkunci dalam keheningan yang berbicara lebih dari seribu kata. Perlahan, Reval mengangkat tangannya, membelai lembut pipi Naura dengan ujung jemarinya. Jari-jarinya menyusuri pipi halus itu dengan penuh kelembutan, lalu bergerak menyelipkan helai rambut yang tertiup angin ke belakang telinga Naura. “Aku mencintaimu, Naura.” Suaranya rendah, dalam, namun tegas. Tidak ada keraguan di sana. Naura membeku. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kata-kata Reval begitu tiba-tiba, begitu nyata, hingga Naura tidak siap untuk menghadapinya. Reval memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan ekspresi Naura yang kebingungan. “Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” tanyanya lagi, suaranya lebih lembut kali ini. Naura menunduk. Jemarinya saling meremas di atas pangkuannya. Jantungnya berdegup begitu cepat hingga ia
Ekspresi Reval mengeras. “Itu bukan urusan kita, Naura.” “Tapi dia masih tak sadarkan diri—” “Dia akan baik-baik saja. Ada dokter dan perawat di sini. Naura, kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas seseorang yang tidak pernah memikirkan perasaanmu.” Naura terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Reval yang membuat hatinya bergetar. Seakan pria itu bukan hanya berbicara tentang Callista, tetapi juga tentang Dion. Ia tahu Reval benar. Callista bukan tanggung jawabnya. Dion juga bukan. Namun, rasa iba itu tetap ada, menggantung di sudut hatinya. “Saya tidak ingin pergi dalam keadaan seperti ini,” gumamnya. Reval menghembuskan napas panjang. “Naura.” Ia meraih bahu gadis itu, menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu tetap di sini, apa yang akan berubah?” Naura menggigit bibir. Ia tidak bisa menjawab. “Kamu hanya akan terus terjebak dalam rasa sakit dan keraguan.” Suara Reval melembut. Kini Naura merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti perasaannya. Reval berbicara dengan n
Sebuah tepuk tangan nyaring terdengar di ruangan itu. “Jadi ini semua perbuatan Mama?” ujar Reval, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. Wanita paruh baya yang masih duduk itu tersentak. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi keterkejutan. “Reval! Ka–kamu ...” “Kenapa, Ma?” Reval melangkah maju, ekspresinya dingin. “Terkejut karena aku dan Naura mendengar pembicaraan kalian?” Di belakang Reval, Naura berdiri dengan tubuh menegang. Jantungnya berdetak kencang, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata dokter dan mama Reval masih terngiang di telinganya. Dion dan Callista memang berselingkuh. Bukan jebakan. Mereka benar-benar mengkhianati dirinya. Mama Reval hanya berusaha menutupi fakta itu dengan kebohongan lain. Ruangan itu terasa semakin menyempit. Napas Naura tersengal, seakan udara mendadak menipis. Dadanya berdenyut, bukan hanya karena kekecewaan, tetapi juga karena rasa bodoh yang terus menyergap. “Jadi ...” Suara Naura bergetar. “Tidak ada yang menj
Naura tertawa kecil, getir. Matanya kembali menatap Dion. “Bukankah saya bodoh?” Suaranya bergetar. “Saya berusaha percaya bahwa dia pria yang baik, bahwa dia adalah orang yang bisa saya cintai tanpa takut dikhianati lagi. Tapi lihat sekarang ... ternyata saya tidak lebih dari seorang wanita bodoh yang terus saja berharap pada sesuatu yang sia-sia.” Suara Naura pecah di akhir kalimat. Dan saat itu, pertahanannya runtuh. Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat menahan isakan. Reval tak bisa lagi hanya diam. Tanpa ragu, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. Naura semula memberontak, kedua tangannya mendorong dada Reval, tetapi pria itu tak goyah. “Lepaskan,” ucapnya lirih, suaranya teredam di dada Reval. “Tangismu tidak akan membuat semua ini berubah, Naura.” Reval semakin mengeratkan pelukannya. Naura kembali mencoba melawan, tetapi kekuatannya sudah habis. Ia akhirnya menyerah. Tangannya mengepal di dada Reval, lalu tanpa bisa ditahan lagi, ia menangis sejadi-jad
Koper milik Naura tergeletak begitu saja. Wanita itu tidak lagi peduli. Tangannya gemetar saat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, napasnya tersengal. Ia baru saja menerima sebuah kabar yang menghantamnya lebih keras dari apa pun. Dion. Ditemukan di kamar hotel. Bersama seorang wanita. Tak sadarkan diri. Keadaannya … tak berbusana. Perut Naura terasa seperti dipukul keras. Otaknya berusaha mencerna, tapi semuanya terasa begitu absurd, begitu menyakitkan. Tangannya melambai, menghentikan taksi yang melintas. Tanpa ragu, ia masuk dan menyebutkan satu tujuan. Rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bayangan Dion berputar di pikirannya. Pria yang selama ini menjadi harapan terakhirnya, tempatnya berpulang setelah semua yang terjadi dengan Reval. Namun sekarang, seolah takdir kembali menertawakannya. Air mata sudah berlinang di pipinya. Ia tak peduli. Taksi berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Naura bergegas keluar, hampir tersandung karena langkahnya yang terbu
Jantung Naura berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menegakkan duduknya, menatap wajah wanita paruh baya itu dengan perasaan tak menentu. “Ada apa dengan Mas Dion, Bu?” tanyanya hati-hati. Ibu Lastri menghela napas. Tangannya saling bertaut, pertanda bahwa ia sedang berusaha menyusun kata-kata. “Tadi Dion sempat menghubungi Ibu. Katanya dia sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi tidak bisa menjemputmu.” Naura mengerutkan kening. “Kenapa Mas Dion nggak bilang langsung kepadaku, Bu? Dihubungi juga susah.” Ibu Lastri terdiam sesaat. “Em, itu….” Naura menangkap kegugupan di raut wajah wanita itu. Matanya yang biasanya lembut kini seperti menyimpan sesuatu. “Ada apa, Bu?” desaknya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan. Ibu Lastri tersenyum tipis, tapi senyumnya terasa tidak natural. “Mungkin sinyalnya sedang buruk, Nak.” Naura terdiam, berusaha mencerna jawaban itu. Tapi sesuatu dalam dirinya berteriak bahwa ada yang janggal. Ia menatap wajah wanita itu le