Kesambet apa Reval??? bisa cerita panjang kali lebar dg Naura (╥﹏╥)
Cahaya matahari pagi mulai merembes melalui celah-celah dinding gubuk kecil itu. Naura perlahan membuka matanya, merasa ada sesuatu yang hangat dan nyaman di bawah kepalanya. Seketika wajahnya memerah ketika menyadari bahwa ia telah tidur di pangkuan Reval. Jemari lelaki itu masih bertengger lembut di rambutnya, seolah melindungi dari dinginnya malam sebelumnya. Ia melirik wajah Reval yang masih terpejam, napasnya teratur. Wajahnya yang biasanya dingin tampak lebih tenang dalam tidur. Naura mencoba bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, tetapi gerakannya terhenti oleh suara keras dari luar. Brak! Pintu gubuk terbuka lebar, disertai suara langkah-langkah tergesa. “Pak Reval, Ibu Naura!” panggil seseorang dengan suara penuh kecemasan. Naura terlonjak, buru-buru menegakkan tubuhnya. Ia salah tingkah saat mendapati pandangan Reval yang baru terbangun, masih sedikit mengantuk, tetapi dengan cepat menyadari situasi. “Ervan!” seru Naura, suaranya bergetar. Lelaki tersebut ber
Naura tertegun, matanya membulat tak percaya. Jemarinya menggenggam ponsel gemetar. Ia menatap kosong ke arah lantai, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba melonjak. “Mas Dion,” ia berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil, meski ada getaran yang tak bisa disembunyikan, “Pak Reval sedang sakit Mas, mana mungkin aku menanyakan soal uang itu? Kenapa Mas Dion tidak menanyakan keadaanku?” Hening sesaat di ujung sana, sebelum Dion menjawab, “Aku tanya begitu karena ini penting, Naura. Kalau aku nggak butuh, aku nggak akan repot-repot nanya. Kamu bisa kan coba cari cara?” Naura terdiam, rahangnya mengeras. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan amarah yang mulai naik. Tanpa menjawab, ia menekan tombol merah dan memutus panggilan itu. Telepon berakhir, meninggalkan keheningan yang menggantung. Naura menatap layar ponselnya, hatinya terasa kosong. Tiba-tiba Reval muncul di belakang Naura. Meski ia tidak mendengar isi percakapan, ekspresi Naura sudah cukup membuatnya be
Beberapa jam kemudian, dokter menyatakan bahwa Reval sudah cukup stabil untuk meninggalkan rumah sakit. Dengan bantuan Ervan, Reval dibantu berpindah ke kursi roda. Naura berdiri di sisi Reval, menunggu dengan sabar. “Terima kasih atas bantuannya, Dokter,” ucap Reval sambil menyalami dokter dengan tangan yang masih sedikit lemas. Naura memperhatikan setiap gerakan Reval, memastikan ia baik-baik saja. Namun, sesaat sebelum mereka keluar dari ruang perawatan, Callista muncul dengan tergesa-gesa. “Reval sayang, kamu sudah boleh pulang?” tanyanya, wajahnya terlihat lega. Reval mengangguk singkat. “Dokter bilang aku sudah bisa istirahat di luar rumah sakit.” Callista langsung menyambar pegangan kursi roda Reval, seolah memastikan bahwa dirinya yang akan mengurus lelaki itu. “Ayo, aku antar kamu kembali ke hotel. Naura, kamu pasti juga butuh istirahat.” Naura menatap Callista sejenak, tetapi tidak berkata apa-apa. Langkahnya melambat, membiarkan Callista mendorong kursi roda R
Reval mengangkat alis, jelas memahami arah pikiran Naura. “Kamu benar-benar memikirkan hal seperti itu?” tanya Reval dengan nada tidak percaya, tetapi ada jejak kesenangan di baliknya. “Saya tidak berpikir apa-apa,” jawab Naura cepat, tetapi matanya tetap menghindari tatapan Reval. Reval mendesah, kemudian menatap Naura lebih dalam. “Naura, aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi aku tidak melakukan apa pun dengan Callista. Kalau aku mau, aku sudah melakukannya dari dulu. Tapi aku tidak pernah mau.” Naura mendongak, sedikit terpukul dengan kata-kata itu. “Lalu kenapa membiarkan dia di sini?” “Karena dia tidak mau pergi,” jawab Reval jujur. “Tapi aku sudah menyuruhnya untuk tidak datang lagi. Itu cukup, kan?” Naura tidak menjawab. Ada rasa lega di dadanya, tapi juga perasaan aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Reval, yang tampaknya bisa membaca sedikit perasaan itu, mendekat lagi, kali ini dengan senyum kecil di wajahnya. “Kamu terlihat lucu saat cemburu, Naura,” ujar Rev
Naura tidak menjawab. Sejujurnya, kata-kata Reval membuat dadanya bergetar hebat, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Dalam diam, ia hanya bisa menunduk, berharap waktu bisa bergerak lebih cepat dan situasi ini segera berlalu. Namun, Reval tidak membutuhkan jawaban. Dengan gerakan lembut, ia mengangkat tangannya, menyibakkan anak rambut yang menutupi wajah Naura. Sentuhan itu membuat Naura memejamkan mata, mencoba mengendalikan jantungnya yang berdegup kencang. Jemari Reval mendarat di pipinya, hangat dan menenangkan, tetapi sekaligus membingungkan. “Kamu tidak perlu merasa terganggu dengan Callista,” ujar Reval, suaranya lebih pelan namun penuh ketegasan. “Dia tidak berarti apa-apa bagiku. Yang perlu kamu tahu—” Ucapan Reval terpotong oleh dering ponsel yang mendadak memecah suasana. Naura terkejut, buru-buru mengambil ponselnya dari saku. Nama Dion tertera di layar, membuat wajah Naura berubah tegang. “Saya harus pergi,” pamit Naura tergesa-gesa, mencoba melepas
Naura mencoba menenangkan dirinya, tetapi setiap kali mobil berbelok tajam atau melaju lebih cepat, rasa paniknya kembali memuncak. Kegelapan kain yang menutup matanya membuat semua terasa semakin mencekam. Ia hanya bisa mendengar suara deru mesin mobil dan tawa rendah salah satu pria di dalam mobil. “Kita dapat yang cantik malam ini,” suara itu terdengar di dekat telinganya. Naura menggigil. Ia mencoba bergerak, tetapi tangan dan kakinya terikat terlalu erat. Tubuhnya terasa lemas, seolah semua kekuatannya telah menguap bersama harapan untuk lolos. “Sudah, jangan terlalu banyak bicara. Kalau terlalu rusuh, bos nggak bakal senang,” sahut suara lain yang terdengar lebih tegas. Mereka menyebut ‘bos’. Naura semakin ketakutan. Siapa bos yang mereka maksud? ‘Apa yang akan mereka lakukan padaku?’ Tiba-tiba, mobil berhenti mendadak. Naura terdorong ke depan, meski sabuk pengaman mencegah tubuhnya jatuh sepenuhnya. “Sampai. Bawa dia keluar,” perintah suara itu lagi. Naura mendenga
“Pak Reval?” Naura berbisik, hampir tidak percaya. Reval melangkah masuk dengan tenang, mengenakan setelan jas yang masih rapi meski wajahnya tampak dingin dan serius. Ia berhenti di tengah ruangan, matanya menyapu semua orang di sana, sebelum akhirnya berhenti di wajah Naura. “Lepaskan dia,” suara Reval terdengar datar, tapi penuh otoritas. Lelaki berjas hitam itu tertawa kecil. “Dan siapa kamu sampai berani memberi perintah di sini?” Reval tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan ponsel dari saku, menekan beberapa tombol, lalu memperlihatkan layar ke lelaki itu. Wajah lelaki itu berubah drastis, dari penuh percaya diri menjadi pucat pasi. “Bagaimana … kamu bisa tahu tentang ini?” gumamnya dengan nada terkejut. “Aku punya cara,” jawab Reval sambil melipat tangan. “Sekarang, lepaskan dia, atau aku pastikan semua yang kamu sembunyikan akan berakhir di tangan yang salah.” Lelaki itu terdiam, terlihat sedang mempertimbangkan situasi. Setelah beberapa detik, ia akhirnya membe
Selama perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka. Reval fokus pada jalan, sementara Naura sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia tidak bisa mengabaikan kebenaran dari kata-kata Reval, tetapi ia juga tidak bisa mengingkari perasaannya terhadap Dion. Meskipun Dion telah berbuat salah, Naura merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab sebagai istri. ‘Bagaimana Pak Reval tahu tentang Mas Dion? Bukankah saat peristiwa di diskotek tadi, Pak Reval tidak ada di sana?’ tanya Naura di dalam hatinya. Suara mesin mobil yang melaju menjadi satu-satunya pengisi keheningan di antara mereka. Jalanan gelap dengan lampu kota yang berkedip-kedip terlihat di jendela. Naura melirik ke luar, mencoba mengenali arah yang mereka tuju, tetapi semakin lama, ia semakin bingung. “Pak Reval,” akhirnya ia memberanikan diri berbicara, “kita tidak menuju hotel, ya?” Reval tidak langsung menjawab. Ia menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus pada kemudi. “Kita akan sampai sebentar lagi.” Jawaban itu memb
Namun, Reval tak menjawab mamanya. Alih-alih, ia melangkah mendekati Callista, membuat gadis itu mundur setapak demi setapak hingga punggungnya hampir menyentuh dinding.“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di pesta malam itu?” Suaranya rendah, namun setiap kata menghantam Callista seperti cambukan. “Aku sudah melihat semuanya, Callista.”Mata Callista membesar. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Jantungnya berdegup kencang, hampir menenggelamkan suara di sekitarnya.“Kamu salah paham, Reval. Bukan aku pelakunya.”Suara Callista terdengar gemetar, meski ia berusaha tetap tenang. Namun, Reval tak bergeming. Napasnya berat, dada naik-turun cepat seolah menahan badai amarah yang siap meledak. Jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya.Adelia melangkah maju, berdiri di antara mereka dengan wajah penuh amarah. “Kamu lebih membela perempuan itu daripada tunanganmu sendiri?” Suaranya menggema di ruangan luas, mengguncang udara seolah-olah dinding ikut menyaksikan
Mendengar itu, senyuman di wajah Reval kian lebar. Ia menjauhkan wajahnya sedikit, namun tatapannya tetap mengunci mata Callista. Lalu, dengan gerakan tenang, ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Layar ponsel menyala, memantulkan cahaya redup yang menerangi wajahnya. Jempolnya bergerak cepat, membuka sebuah video yang tersimpan di galeri.Saat video mulai diputar, suara samar terdengar. Suara langkah kaki, suara pintu yang terbuka, dan suara seseorang yang berbicara dengan nada terburu-buru. Callista menoleh ke arah layar, dan seketika wajahnya memucat. Bola matanya melebar, bibirnya ternganga tanpa mampu mengeluarkan suara.“Apakah kamu ingat kejadian ini, Callista?” tanya Reval, suaranya terdengar tenang, namun setiap kata mengandung tekanan yang tak bisa diabaikan.Tubuh Callista membeku. Di layar, sosoknya sendiri terlihat dengan jelas. Berdiri di depan sebuah pintu kamar hotel, berbicara dengan seseorang yang wajahnya tak terlihat jelas karena sudut pengambil
Wajah Dion memucat seketika. Jemarinya melemah, cengkeramannya mengendur. Namun, amarahnya belum padam. “Jangan sok jadi pahlawan! Aku tahu kau punya niat lain terhadap Naura!” “Dan kau? Di mana kau saat istrimu nyaris kehilangan nyawa?” Tatapan Reval menusuk tajam. “Saat dia memanggil namamu, kau tidak ada. Kau bahkan tak bisa dihubungi. Aku yang menemukannya terkapar di kolam, aku yang membawanya ke rumah sakit. Sekarang kau datang dan menuduhku?” Dion terdiam. Napasnya masih memburu, namun sorot matanya goyah. Callista memandang keduanya dengan cemas. Matanya berpindah dari Dion ke Reval, seolah mencoba membaca situasi. “Sudah, Dion. Cukup! Jangan buat keributan di sini. Aku akan membawa Reval pulang.” “Tidak perlu.” Reval melepas tangan Dion dari kerahnya dengan tenang. “Aku akan pergi setelah Naura sadar. Tapi sebelum itu, aku ingin kau ingat satu hal.” Ia melangkah maju, berdiri tepat di depan Dion. Suaranya rendah namun tajam. “Jika kau tidak bisa menjaga Naura dan anak
Kelopak mata Naura perlahan terbuka. Mata beningnya tampak buram, seolah belum sepenuhnya sadar dari tidurnya yang lemah. “Pak Reval...?” “Iya, aku di sini. Kamu baik-baik saja?” Naura berkedip beberapa kali, lalu matanya turun ke perutnya. Sontak ia meraba perutnya dengan panik. “Bayi saya...” Reval segera menenangkan. “Tenang, bayi kamu baik-baik saja. Dokter sudah memastikan kondisinya stabil.” Air mata Naura menetes. Ia menutup wajahnya dengan tangan yang masih terhubung dengan selang infus. “Saya takut ... saya takut kehilangan dia.” Reval merasakan ada sesuatu yang mencubit hatinya. Ia meraih tangan Naura kembali, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu harus beristirahat dan jangan terlalu banyak berpikir.” Naura menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi ... Mas Dion ...” Reval menghela napas panjang, tetapi ia tidak ingin menambah beban Naura saat ini. “Aku sudah mencoba menghubungi Dion, tapi dia tidak bisa dihubungi. Aku akan
“Naura, jawab aku!” desak Reval, nadanya terdengar putus asa. Naura menelan ludah, kemudian menggeleng sangat pelan. “Tidak, Pak Reval…” suaranya terputus, menahan nyeri yang terus menyerang. “Ini… anak Mas Dion.” Perkataan itu seolah menghantam Reval. Rahangnya mengeras, matanya menyiratkan emosi yang sulit diartikan. Campuran antara marah, kecewa, dan luka. Dengan gerakan cepat, ia mencengkeram pergelangan tangan Naura yang lemah, seakan tak ingin mempercayai penolakannya. Reval menahan napas, menyadari Naura sudah kesakitan dan ketakutan. Tubuh wanita itu menggigil, wajahnya pucat pasi. Perlahan, genggamannya mengendur. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam luapan emosi yang hampir meledak. Tetapi keadaan Naura yang menegang, tangannya menekan perut, dan darah yang terus menetes ke lantai memaksanya untuk mengambil tindakan cepat. “Ervan!” teriak Reval, menoleh mencari sosok asistennya di antara kerumunan yang mulai berdatangan. Seketika, seorang pria berjas rapi munc
“Aku janji, aku cuma sebentar,” teriak Dion. Lalu, tanpa menunggu jawaban, lelaki itu melangkah pergi, menghilang di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah. Naura mematung di tempatnya. Pesta ini tidak lagi terasa menyenangkan. Sejak awal, ia sebenarnya enggan datang. Naura menghela napas panjang. Terasa sesak. Naura menegakkan tubuhnya. Tidak, ia tidak boleh sedih. Wanita itu hanya perlu mencari tempat yang lebih sepi. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah keluar dari keramaian, menuju tempat kolam renang berada. Tempat itu lebih tenang. Lampu-lampu taman menerangi air yang tampak berkilauan. Angin berembus lembut, membawa sedikit ketenangan bagi hatinya yang kalut. Naura melangkah lebih dekat ke tepi kolam. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat seorang anak kecil tertawa riang, bermain gelembung sabun bersama teman-temannya. Wajah mereka berseri-seri tanpa beban, tanpa tahu bahwa dunia orang dewasa begitu rumit. Perlahan, tangannya terangkat, mengelus perutnya yang ma
Naura langsung menegang. Dion hanya tertawa ringan. “Aku bilang juga apa, kan?” Naura merasa ada sesuatu yang panas menjalar di dadanya. Tatapan pria-pria itu kepadanya terasa berbeda. Bukan sekadar kagum, melainkan menelanjangi. Mereka menatapnya terlalu lama, seolah menikmati pemandangan di depan mata mereka. Naura menggigit bibirnya, menahan rasa tidak nyaman yang semakin menguasai dirinya. Para pria tersebut berbicara santai dengan Dion, sesekali tertawa, tetapi mata mereka terus melirik ke arah Naura. Naura semakin erat menggenggam lengan Dion, berharap suaminya menyadari kegelisahannya. Tetapi Dion seolah tak menyadari apa pun, atau lebih tepatnya, tidak peduli. Salah satu pria menyenggol Dion sambil melirik Naura. “Kau benar-benar beruntung, Dion.” Dion hanya tertawa, tidak memberikan reaksi lain. Lelaki itu melepaskan tangan Naura perlahan. “Mau minum?” tawar Dion kemudian. Naura hanya menggeleng pelan. “Kamu saja, Mas. Aku tidak haus.” Naura menatap pu
Siang itu, matahari bersinar terik, tetapi angin bertiup cukup sejuk, membawa aroma bunga dari halaman belakang rumah. Naura duduk di bangku kayu, menatap kosong ke taman kecil di hadapannya. Sejak menerima undangan itu dua hari lalu, pikirannya terus dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak menemukan jawaban. Reval dan Callista akan bertunangan. Semua orang di kantor diundang, termasuk dirinya. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. Ia tahu, dalam tubuhnya ada kehidupan baru yang kelak akan mengubah hidupnya. “Haruskah aku datang?” lirih Naura. Batinnya berkecamuk. “Untuk apa? Aku tidak punya alasan untuk berada di sana.” Naura menghela napas panjang, lalu memejamkan mata. Reval sudah membuat keputusan. Apa pun alasannya, Reval memilih Callista. Sekalipun ada banyak pertanyaan di hatinya, dia tidak berhak untuk mencari jawaban. Mendadak— Sebuah tepukan pelan di bahunya membuatnya tersentak. Naura menoleh cepat. “Sayang, ikut aku. Kita harus bersiap-siap,” kata
Seperti terkena sengatan listrik, ekspresi Dion langsung berubah. Senyum yang tadi mengembang di wajahnya perlahan memudar, digantikan dengan tatapan tidak suka. “Kenapa? Ini kan perjalanan kita berdua, Sayang. Aku ingin menikmati waktu hanya dengan kamu,” jawab Dion dengan nada yang terdengar sedikit kesal. Naura mengerutkan kening. “Tapi Mas, mereka juga pasti ingin jalan-jalan. Apalagi Ibu, dia jarang sekali keluar kota. Lagipula, kalau ada mereka, kita bisa lebih santai.” “Dion benar, Naura,” suara lembut Ibu Lastri memecah keheningan. “Kalian butuh waktu berdua. Biarkan ibu di sini saja bersama Bi Mirna.” Naura menghela napas pelan. “Tapi, Bu … kapan lagi kita bisa pergi bersama? Aku hanya ingin ibu juga menikmati waktu di luar kota.” Ibu Lastri tersenyum, namun sorot matanya menunjukkan sesuatu yang sulit Naura pahami. “Tidak usah, Nak. Ibu sudah cukup senang melihat kalian berdua pergi. Lagipula, siapa yang akan menjaga rumah kalau ibu ikut?” Naura melirik Bi Mirna yang