Wah, gawat! udah mulai menikmati nih Naura ^_________^ lanjut gak??? Oh ya, author lagi mudik nih, nggak tau setelah ini masih bisa update atau tidak. :-) Selamat liburan....
Naura merasa seperti berada di dalam mimpi. Perlahan, ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Awalnya ragu, tetapi kemudian terasa semakin pasti. Wanita itu membuka matanya dengan perlahan, hanya untuk mendapati kepala Reval berada begitu dekat, nyaris menyentuh wajahnya. “Pak Reval …,” bisik Naura kaget, suaranya hampir tidak terdengar. Naura langsung memalingkan wajah, mencoba menciptakan jarak di antara mereka. Seolah waktu enggan berpihak padanya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Naura langsung melirik ke arah meja kecil di dekat tempat tidur, tempat ponselnya bergetar dengan nyaring. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Reval, tetapi pria itu hanya sedikit mengendurkan cengkeramannya, memberinya ruang untuk bergerak, meski masih terasa ada aura kepemilikan di sana. “Telepon dari Mas Dion,” gumam Naura, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menelan ludah, rasa gelisah mulai merayap di hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel itu dan m
Reval mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kunci dengan gantungan sederhana berbentuk angka. Ia memutar kunci itu dengan jari telunjuknya sambil menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara keseriusan dan sesuatu yang lain. “Naura, ini kunci kamar sebelah. Kemarin ada insiden kecil, tapi sudah diperbaiki. Kamu bisa pindah ke sana sekarang.” Suaranya terdengar tenang, hampir terlalu santai. Mata Naura langsung berbinar. Seulas senyum lega tergambar di wajahnya. “Bapak serius?” tanya Naura antusias, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Reval hanya mengangguk pelan, mengangkat kunci itu sedikit lebih tinggi. Melihatnya, Naura tanpa ragu langsung mengulurkan tangan, berusaha meraih kunci itu. Namun tepat ketika ujung jarinya hampir menyentuh, Reval dengan santai menjauhkan tangannya, membuat kunci itu melambai-lambai di udara. Kening Naura berkerut. Senyum di wajahnya memudar, berganti dengan ekspresi kesal. Ia mencoba merebut
Naura menelan ludah, rasa gugupnya meningkat. Callista melangkah mendekat dengan anggun, sepatu hak tingginya berderap pelan di sepanjang koridor. Wajah wanita itu memancarkan kepercayaan diri, senyumnya lebar namun dingin, seperti seseorang yang sedang menikmati kemenangan kecil. “Kamu Naura, kan?” Callista berhenti tepat di depan Naura, menatapnya dari atas ke bawah dengan ekspresi menilai. “Asisten Reval?” Naura berusaha mengendalikan dirinya. “Iya, saya asisten Pak Reval.” “Oh, aku tahu,” ucap Callista santai, tangannya terangkat untuk merapikan rambut panjangnya yang tergerai sempurna. “Aku hanya tidak menyangka Reval akan membawamu ke sini. Biasanya dia lebih suka melakukan urusan bisnis sendirian.” Naura menunduk sedikit, merasa tidak nyaman dengan sorot mata tajam Callista. Ada sesuatu dalam cara wanita itu berbicara yang terasa menusuk, meski kata-katanya terdengar biasa saja. “Permisi, saya harus masuk ke kamar saya,” kata Naura akhirnya, mencoba mengakhiri percakapan
Jantung Naura berdetak lebih cepat. Ia merasa Reval bisa membaca pikirannya. “Tidak ada hubungannya dengan itu,” elaknya. “Saya hanya ingin istirahat di kamar.” Reval tersenyum tipis, tetapi senyum itu terlihat seperti sindiran. “Baiklah, kalau itu alasanmu. Tapi kalau ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, kamu tahu di mana mencariku.” Reval mengedipkan sebelah matanya seraya berbalik dan berjalan pergi. Naura menutup pintu dengan cepat, lalu bersandar pada dinding. Perasaan lega dan kesal bercampur menjadi satu di dalam dirinya. “Kenapa dia harus bersikap seperti itu?” gumamnya. Ia merasa Reval sengaja menggoda dan memancing emosinya, tetapi ia tidak tahu apa tujuan pria itu. Waktu berlalu, dan Naura mencoba mengalihkan pikirannya dengan mempelajari dokumen yang ia bawa. Tetapi setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, pikirannya selalu kembali kepada Reval dan Callista. Ia merasa seperti terjebak dalam pusaran emosi yang tak berujung. Tiba-tiba, suara dering ponselnya m
Naura menghela napas panjang. Jalanan yang sempit dan bergelombang membuat tubuhnya mulai terasa pegal. Ia bergeser di kursinya, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman. Namun, tak lama kemudian, mobil tiba-tiba mengeluarkan suara aneh, seperti sesuatu yang tergores di bawahnya. “Pak, suara apa itu?” Naura bertanya dengan nada cemas. Reval mengerutkan dahi, seolah mencoba mendengarkan lebih jelas. Ia perlahan memperlambat laju mobil. “Tunggu sebentar.” Mobil perlahan berhenti di pinggir jalan, di tengah area yang dikelilingi oleh hutan kecil. Tidak ada kendaraan lain yang lewat, hanya terdengar suara burung di kejauhan dan desiran angin yang membawa aroma daun basah. Reval melepas sabuk pengamannya, lalu keluar dari mobil, membuka kap mesin, dan memeriksa bagian dalamnya dengan cermat. Asap tipis keluar dari radiator, membuatnya menghela napas panjang. Sementara Naura tetap duduk di dalam, menunggu dengan gelisah. Setelah beberapa menit, Reval kembali masuk ke mobil dengan wa
Reval mendesah panjang, mengusap wajahnya yang tampak kelelahan. Ia berjalan kembali mendekati Naura, suaranya lebih lembut kali ini. “Naura, aku hanya mencari sinyal. Kalau kita tetap di mobil, siapa tahu bantuan datang lebih cepat.” “Tapi kalau sesuatu terjadi?” Naura menelan ludah, suaranya meredup. Ia memandang Reval dengan sorot mata yang penuh ketakutan, bahkan sedikit memohon. “Bagaimana kalau ada binatang buas? Atau ... hal lain?” Reval terdiam sejenak. Ia mengamati Naura yang berdiri di depannya, tubuhnya sedikit gemetar, namun matanya tetap mencoba memberanikan diri. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar, perasaan yang sulit ia jelaskan. Akhirnya, Reval mengulurkan tangan. “Baiklah, ikut aku. Tapi jangan jauh-jauh dariku,” kata Reval pelan, nadanya lebih hangat dari sebelumnya. Naura mengangguk cepat, meraih tangan Reval tanpa ragu. Sentuhan itu mengejutkan Reval, tetapi ia tidak menarik diri. Sebaliknya, ia menggenggam tangan Naura lebih erat, seolah memastikan
Reval tersenyum, tatapannya melembut saat ia melihat Naura yang masih gemetar, tetapi berusaha tegar. Ia menghela napas panjang, menepuk pundak Naura sekali lagi, kali ini dengan gerakan yang lebih menenangkan. “Aku bercanda Naura,” kata Reval, suaranya lebih pelan. “Tapi serius, kamu nggak perlu takut lagi. Aku di sini.” Naura menatap Reval. Matanya masih sedikit berkaca-kaca. Hatinya mulai tenang, meskipun ketakutan tadi masih meninggalkan sisa di dadanya. Namun, ada sesuatu dalam nada bicara Reval. Rasa perlindungan yang tak biasa, yang membuatnya merasa lebih aman. “Kenapa kamu nekat banget ikut aku tadi?” tanya Reval, mengangkat alisnya. “Padahal jelas-jelas kamu takut setengah mati.” Naura mendesah, mencoba mengalihkan pandangan. “Saya nggak mau sendirian di mobil. Suasana gelap, dan …” Ia ragu sejenak sebelum melanjutkan, “saya juga nggak mau Bapak kenapa-napa.” Reval terdiam. Jawaban itu membuatnya sedikit terkejut, meskipun ia tidak menunjukkannya. “Kamu khawatir sama
Reval tersenyum tipis meskipun rasa sakit masih terasa. “Dulu, waktu aku remaja, aku sering menjelajah hutan. Salah satu pelajaran berharga yang aku dapat adalah bagaimana mengatasi kaki terkilir.” Naura memiringkan kepalanya, jelas penasaran. “Menjelajah hutan? Serius, Pak?” Reval mengangguk, pandangannya berubah sedikit jauh, seperti mengingat masa lalunya. “Iya, aku dulu sering ikut eksplorasi bersama teman-teman. Ada satu kejadian yang sampai sekarang nggak pernah aku lupa.” Ia mulai memijat pergelangan kakinya dengan gerakan hati-hati, sambil melanjutkan ceritanya. “Waktu itu, aku dan beberapa teman masuk ke dalam hutan besar di dekat desa kakekku. Kami terlalu asyik menjelajah sampai akhirnya tersesat. Malam mulai turun, dan kami mulai panik.” Naura mendekat sedikit, tertarik dengan ceritanya. “Terus, apa yang terjadi?” Reval tersenyum samar, matanya sedikit berkaca-kaca mengenang. “Aku terpeleset di tebing kecil dan pergelangan kakiku terkilir. Teman-temanku juga ketakutan
Jari-jarinya mencengkeram kertas itu lebih erat. Perasaannya campur aduk antara keterkejutan, luka, dan amarah yang tak terbendung. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk ke dalam jantungnya. Surat itu penuh dengan pengakuan, kehangatan, dan cinta yang begitu dalam. Cinta yang Naura pikir hanya miliknya.Tetapi satu kalimat membuat seluruh tubuhnya menegang.“Aku hanya bisa berharap kita bertemu di waktu yang tepat, ketika aku bisa memilihmu tanpa ragu, tanpa batasan.”Napas Naura memburu. Siapa wanita yang dimaksud oleh Reval? Jantungnya terasa seperti ingin melompat keluar dari dadanya. Ia memandang surat itu dengan tatapan kosong sebelum menurunkannya perlahan. Tidak mungkin ini untuknya. Surat ini tidak mungkin ditujukan untuknya.Suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah lorong. Naura buru-buru menyembunyikan surat itu di balik tumpukan amplop lain. Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia takut Reval bisa mendengarnya dari kejauhan. Ketika sosok pr
Naura menatap layar komputernya dengan tatapan kosong. Dokumen yang seharusnya ia revisi sudah terbuka sejak tadi, tetapi tidak satu pun kata yang berhasil ia pahami. Jemarinya menggenggam mouse, tetapi tidak ada perintah yang ia jalankan.Fokusnya sepenuhnya terganggu.Pikirannya terus kembali ke satu hal. Siapa yang menemui Reval tadi?Yang membuat Naura resah adalah karena lelaki itu sama sekali tidak menyebutkan apa pun kepadanya.Naura menghela napas panjang, lalu melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Layar masih gelap, tidak ada notifikasi dari Reval. Tidak ada pesan yang mengingatkan tentang makan siang atau menyelipkan kata-kata manis yang mungkin berhasil membuatnya tersenyum.Ia menggigit bibir, berusaha menepis kegelisahannya.“Naura.”Suara Dinda membuatnya tersentak. Ia buru-buru menoleh ke arah sahabatnya yang berdiri dengan kedua tangan menyilang.“Apa yang sedang kamu pikirkan?” Dinda mengangkat alis. “Sejak tadi aku melihatmu cuma duduk diam menatap layar. Bah
Reval tersenyum miring. “Karena itu membuatku ingin melakukan sesuatu.”Jantung Naura hampir meloncat keluar dari dadanya. Ia tahu ia harus menjauh, harus menghentikan ini sebelum semuanya semakin lepas kendali. Tapi tubuhnya seolah membangkang, terpaku di tempat.Dan dalam sekejap, Reval menariknya ke dalam pelukan.Naura tersentak. Kedua tangannya otomatis terangkat, tapi sebelum ia bisa melakukan apa pun, Reval sudah menundukkan wajahnya.“Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” bisiknya tepat di telinga Naura, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri.“Me-memastikan apa?” suara Naura bergetar.Reval menatapnya dalam. “Bahwa kamu benar-benar milikku.”Sebelum Naura bisa memproses kata-kata itu, Reval sudah mendekatkan wajahnya. Napas hangat pria itu menyapu kulitnya, dan dalam sepersekian detik, bibirnya hampir menyentuh bibir Naura—Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuat mereka berdua tersentak. Naura langsung melangkah mundur dengan wajah memerah, sementara Reval mengumpat pelan.“
Naura menggeleng cepat. “Tidak apa-apa.” “Tadi lama sekali di depan. Kamu habis bertemu siapa?” bisik Dinda sambil meliriknya penuh selidik. “Tidak ada. Aku hanya ...” Naura menggigit bibirnya, mencari alasan. “Membaca pesan.” Dinda mengerutkan kening. “Pesan dari siapa?” Sebelum Naura bisa menjawab, rapat sudah dimulai. Namun, baru beberapa menit berjalan, ponsel Naura kembali bergetar. [Kamu tidak akan melirikku sekali saja?] Naura menegang. Ia mengangkat wajah dan melirik ke arah Reval sekilas. Pria itu tersenyum tipis. Naura langsung menunduk, merasakan panas di wajahnya. Sementara Reval masih menatapnya dengan ekspresi jahil. Rapat pun dimulai, tetapi Naura kesulitan berkonsentrasi. Reval sesekali meliriknya, bahkan pernah pura-pura mengatur dasinya hanya untuk menarik perhatiannya. Saat seorang kepala divisi sedang berbicara panjang lebar, Naura merasakan ponselnya bergetar lagi. Ia melirik layar. Tentu saja pesan dari Reval. [Kamu terlihat cantik hari ini.] Naura
Naura berjalan cepat menuju ruangannya, langkahnya masih terasa ragu setelah percakapan pagi tadi dengan Reval di dalam mobil. Rasa hangat yang pria itu tinggalkan di bibirnya masih membekas, tetapi pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab. Saat hendak membuka pintu ruangan, suara seorang wanita terdengar tergesa-gesa dari belakangnya. “Naura! Ke mana saja kamu? Bukankah seharusnya kamu sudah mulai bekerja lebih awal?” Langkah Naura terhenti. Ia menoleh dan mendapati Dinda berjalan cepat ke arahnya. Wajah sahabatnya itu dipenuhi ekspresi khawatir, kedua alisnya bertaut rapat. Naura menarik napas dalam, mencoba memasang senyum santai. “Hai, Dinda. Maaf ya? Aku jadi merepotkanmu.” Dinda berhenti tepat di depannya, masih dengan tatapan menyelidik. “Apakah kamu tahu, aku sampai nekat bertanya kepada Pak Reval?” Naura menegang seketika. “Kamu bertanya pada Pak Reval?” ulangnya, berusaha terdengar santai meskipun dadanya mulai berdebar. Dinda mengangguk. “Tentu saja
Naura berusaha melepaskan diri, tetapi Reval mempererat pelukannya. “Saya sudah menyiapkan sarapan,” ujar Naura, berharap bisa mengalihkan perhatian pria itu. Namun, bukannya melepaskan, Reval malah menariknya lebih dekat. “Aku sudah mendapatkan sarapan yang lebih manis,” gumam Reval seraya mencium pipi Naura lebih lama. Naura memutar bola matanya. “Kalau Bapak tidak segera bangun, saya akan makan sendiri.” Reval tertawa kecil, akhirnya melepas Naura dengan enggan. “Baiklah, baiklah. Aku akan bangun.” Beberapa menit kemudian, keduanya duduk di meja makan. Naura meletakkan piring di hadapan Reval, menunggu reaksi pria itu saat mencicipi masakannya. Reval mengambil sesendok nasi goreng, mengunyahnya perlahan. Alisnya terangkat sedikit, lalu ia mengangguk. “Hmm, enak.” Naura tersenyum lega. “Terima kasih.” Reval menatapnya dengan mata berbinar. “Kalau setiap pagi dimasakkan seperti ini, aku tidak keberatan untuk selalu bangun lebih pagi.” Naura terkekeh. “Saya tidak janji, Pak.”
Naura menatapnya dengan mata berkabut. Napasnya masih tersengal, tetapi ia berhasil mengangguk. “Saya percaya.” Jemari Reval membelai pipi Naura. “Aku harus tahu, Naura ... apa kamu merasakan hal yang sama seperti aku?” tanya Reval, tatapannya begitu dalam hingga membuat Naura tidak bisa menghindar. Naura menatap mata Reval yang begitu dekat, dan bibirnya sedikit terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak begitu cepat, seakan seluruh ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang tidak terucapkan. “Saya ....” Naura menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya tidak tahu, Pak Reval.” Suaranya terdengar ragu, tetapi ada kejujuran di sana, sebuah pengakuan yang bahkan membuat dirinya terkejut. Reval tersenyum kecil, tatapannya melunak. “Tidak tahu?” gumamnya sambil mengangkat satu alis. Jemarinya dengan lembut menyentuh dagu Naura, mengangkatnya sedikit agar wanita itu tetap menatapnya. “Apa yang kamu rasakan, Naura? Jangan takut untuk jujur.” Naura
Reval mengerutkan kening, menatap wanita itu dengan seksama. “Apa itu?” Naura menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Reval. “Katakanlah.” Alis Reval semakin bertaut, tetapi ia tetap diam, menunggu kelanjutan ucapan Naura. “Saya ingin tahu … sebenarnya siapa Kirana itu? Apakah benar, Bapak sangat mencintainya?” Hening. Wajah Reval yang sebelumnya tenang berubah drastis. Matanya menajam, rahangnya mengeras. Udara di antara mereka seketika menjadi berat, seperti ada sesuatu yang menekan. Dalam sekejap, langkah Reval menghantam lantai, mendekati Naura dengan tatapan gelap. Sebelum wanita itu sempat mundur, tubuhnya sudah terdorong hingga punggungnya membentur dinding. “Tidak seharusnya kamu menanyakan hal itu kepadaku, Naura.” Suara Reval rendah, tetapi penuh tekanan. Napasnya terdengar berat, emosinya seperti bergejolak di dalam dadanya. Naura terkejut. Dadanya naik-turun cepat, tubuhnya membeku di tempat. Matanya membesar ketik
Adelia meletakkan sendoknya dengan perlahan, tatapannya tajam menusuk ke arah putranya. Ruang makan yang sebelumnya dipenuhi suara alat makan kini mendadak sunyi. “Reval, apakah kamu serius?” suaranya datar, tetapi ada nada kekecewaan yang terselip di sana. Reval mengangguk mantap. “Aku tidak pernah seyakin ini dalam hidupku, Ma. Aku memilih Naura.” Adelia menghela napas panjang, tatapannya beralih ke arah Naura yang masih diam di tempatnya. “Wanita ini? Kamu yakin? Apa yang bisa dia berikan padamu?” Naura menelan ludah, merasakan tekanan dari tatapan wanita itu. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Reval lebih dulu berbicara. “Mama selalu melihat segalanya dari status dan latar belakang keluarga, tapi Mama lupa … perasaan dan kebahagiaan tidak bisa diukur dengan itu semua,” ujar Reval tegas. “Aku mencintai Naura bukan karena siapa dia di masa lalu, tetapi karena siapa dia di sisiku sekarang.” Adelia menatap putranya dalam diam. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan emosi yan