(◔‿◔)
Naura mengangguk. “Sebagian besar sudah, Mas. Nanti aku akan berangkat langsung dari kantor.”Dion menghela napas. “Semoga perjalananmu lancar.”Naura mengangguk lagi, tetapi kali ini tanpa bicara. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata-kata Dion terdengar datar, tanpa emosi. Namun, Naura mencoba untuk tidak memikirkan itu terlalu dalam.Setelah selesai membereskan semua, Naura memasak sarapan sederhana. Meja makan menjadi tempat mereka bertemu lagi, tetapi seperti biasanya, keheningan mengisi ruang di antara mereka. Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu.“Naura,” panggil Dion tiba-tiba, memecah suasana.Naura mengangkat wajahnya. “Iya, Mas?”“Nanti kalau di sana, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa makan, ya?” Kata-katanya terdengar tulus, tetapi Naura tahu, itu hanyalah basa-basi kecil sebelum ia meminta sesuatu lagi.“Baik, Mas,” jawab Naura singkat.Tiba di kantor, Naura sudah bersiap menunggu keberangkatan dengan Reval. Sebuah koper kecil tergeleta
Reval tidak langsung merespons. Ia hanya menggerakkan alis sedikit, tanda bahwa ia mendengar. Keheningan melingkupi mobil, menciptakan ketegangan yang hampir membuat Naura menyesal telah mengucapkan kata-kata itu.“Apakah ini ada hubungannya dengan suamimu, Dion?” akhirnya Reval bertanya, suaranya datar, tetapi ada nada menyelidik yang membuat Naura merasa seperti sedang diinterogasi.Naura tercekat. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. Haruskah ia jujur? Haruskah ia mengakui bahwa Dion-lah alasan di balik permintaannya? Tapi apa yang akan Reval pikirkan tentangnya jika ia mengatakan yang sebenarnya?Kebingungan menghantamnya, seperti gelombang besar yang sulit dihentikan. Naura menunduk, menghindari tatapan Reval yang begitu tajam.“Tidak, Pak,” jawab Naura berbohong, suaranya hampir seperti bisikan.Reval mendengkus pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa.Naura merasa dadanya sesak. Ia tahu ia harus memberikan alasan. Dan alasan itu harus masuk akal. Namun, kebohongan yan
Reval mendesah pelan, tatapan matanya menunjukkan ketidaksenangan. “Bagaimana ini bisa terjadi? Saya sudah memastikan pemesanan dua kamar beberapa hari yang lalu.”Resepsionis tampak cemas. “Kami sangat meminta maaf, Pak. Saat ini hotel kami penuh. Namun, kamar yang tersedia adalah suite dengan dua tempat tidur. Kami pastikan kamar itu nyaman.”Reval mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah Naura. “Kamu keberatan?”Naura merasa jantungnya seperti ingin melompat keluar. “Ehm, saya ... saya kira—”“Ini hanya tiga hari. Kita bisa mengatur ini,” potong Reval santai.“Baik, Pak. Kami akan mengantar Anda ke kamar,” ujar resepsionis dengan suara penuh permohonan maaf.Saat pintu kamar suite terbuka, Naura tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu begitu luas, dengan sofa kulit di ruang tamu kecil, meja makan, dan balkon yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Dua tempat tidur besar terletak di sisi ruangan, dipisahkan oleh meja kecil. Meski begitu, hati Naura merasa resah. Mengap
“Saya … ingin mengajukan pinjaman, Pak.” Naura berdiri beberapa langkah dari meja, meremas jemarinya yang basah oleh keringat. Suaranya sedikit bergetar. Reval menghentikan tangannya yang sedari tadi sibuk menandatangani berkas-berkas. Tatapannya langsung tertuju pada Naura, tatapan yang sulit diartikan. CEO duda itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak berubah. “Berapa yang kamu butuhkan?” “Dua miliar, Pak.” Ruangan itu mendadak hening, seolah waktu berhenti. Naura menggigit bibir, menunggu reaksi yang tidak kunjung datang. Reval akhirnya tertawa kecil, suara yang tidak membawa kehangatan. “Kamu sadar betapa besar angka itu, kan?” “Saya sadar, Pak. Tapi saya tidak punya pilihan lain,” jawab Naura, nadanya memohon. Reval mengangguk pelan, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke arah jendela besar di belakang meja, melihat pemandangan kota yang sibuk. “Kamu tahu, Naura, perusahaan tidak seperti lembaga amal. Kami tidak memberikan uang begitu saja tanpa a
Naura harus ke rumah sakit ketika mendapatkan pesan dari Dion, suaminya, yang mengatakan kalau ibu mertuanya kritis di ICU. Saat di perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Naura berbunyi, menampilkan pemberitahuan bahwa uang sebesar empat miliar sudah dikirimkan ke rekening Naura. “I-ini … banyak sekali.” Naura menutup mulutnya, ia terkejut karena Reval memberikan dua kali lipat dari yang Naura pinjam. Selama di dalam taksi, Naura hanya bisa menangis, takdirnya kini sudah ada di depan mata. Sesampainya di ruang gawat darurat, Naura menemukan ibu mertuanya terbaring lemah di balik kaca ruang ICU. Perempuan tua itu adalah satu-satunya yang pernah memperlakukan Naura seperti keluarga sejak ia menikah dengan Dion. Hati Naura mencelos melihat kondisinya, tapi sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, suara Dion terdengar dari belakang. “Uangnya mana?” tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun empati di wajahnya. Naura berbalik, menyerahkan amplop tebal yang ia bawa. Dion langsung mera
Reval melangkah mendekati Naura tanpa ekspresi. “Aku di sini. Tidak ada yang perlu kamu sembunyikan,” ujar Reval singkat, sambil menyentuh bahu Naura dengan lembut, namun tidak menunjukkan kehangatan. Naura menatap Reval, terkejut oleh kata-kata itu. Sentuhan di bahunya terasa aneh, dingin, seolah tidak ada emosi di baliknya. Rasa cemas menyelimuti dirinya, namun ia tetap terdiam. Namun, ia merasa tak mampu menolak. Perlahan ia menarik napas, berusaha meredam gemuruh jantungnya yang semakin cepat. Pandangannya tetap tertunduk, enggan bertemu mata Reval. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Naura mulai membuka kancing bajunya satu per satu. Setiap helai pakaian yang terlepas menambah rasa terpapar yang semakin dalam, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Namun tatapan dingin Reval tetap menembusnya, seolah menahan setiap niat untuk mundur. Ketika pakaian terakhir terlepas, Naura merasa tubuhnya hampir tidak terlindungi, meskipun hanya ada sedikit kain yang menutupi tubuhnya
Naura memandangnya dengan ekspresi bingung, masih mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ciuman mendadak itu, kehadiran Reval yang mendominasi, dan kalimat terakhirnya tentang malam esok membuatnya dilanda kegelisahan yang memuncak. “Tunggu … apa maksudmu besok malam adalah malam yang sesungguhnya?” tanya Naura, suaranya terdengar lemah, hampir berbisik. Reval menoleh sekilas, kemudian mendengus kecil. Ia berjalan menuju pintu kamar hotel tanpa menjawab langsung. Ketika ia membuka pintu untuk membuat Naura keluar dari kamarnya, ekspresinya masih sama, dingin dan penuh kontrol. “Kita belum selesai, Naura. Sampai apa yang kulakukan padamu setimpal dengan uang yang sudah kuberikan,” katanya dengan nada yang begitu tenang, namun penuh tekanan. Naura merasa seperti ditampar oleh kata-kata itu. Bibirnya sedikit terbuka, ingin membalas, tetapi ia tak menemukan kekuatan untuk melakukannya. Ia hanya berdiri mematung beberapa detik sebelum akhirnya berjalan keluar dengan langkah be
“Naura! Mana sarapan? Apa kau mau aku kelaparan?” teriak Dion dari ruang tamu, nadanya penuh kemarahan. Suara teriakan Dion di pagi hari membangunkan Naura dari tidurnya. Naura membuka matanya dengan berat. Tubuhnya terasa lemah, dan setiap gerakan memunculkan rasa nyeri yang tajam. Dengan langkah tertatih, ia berusaha bangkit dari tempat tidur. Rasa nyeri di selangkangan menjadi pengingat pahit akan tadi malam, sebuah malam yang ia jalani dengan terpaksa, tanpa ruang untuk dirinya sendiri. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya terasa seperti ditarik oleh beban yang tak kasatmata, beban dari perasaan hampa yang terus-menerus menghantuinya. ‘Aku harus bertahan,’ pikirnya, menguatkan diri meski hatinya terasa semakin remuk. Ia menuju kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan letih. Air dingin mengalir di kulitnya, tapi tidak cukup untuk menghapus perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setelah selesai, Naura mengenakan pakaian sederhana dan segera ke dapur untuk m
Reval mendesah pelan, tatapan matanya menunjukkan ketidaksenangan. “Bagaimana ini bisa terjadi? Saya sudah memastikan pemesanan dua kamar beberapa hari yang lalu.”Resepsionis tampak cemas. “Kami sangat meminta maaf, Pak. Saat ini hotel kami penuh. Namun, kamar yang tersedia adalah suite dengan dua tempat tidur. Kami pastikan kamar itu nyaman.”Reval mengerutkan dahi, lalu menoleh ke arah Naura. “Kamu keberatan?”Naura merasa jantungnya seperti ingin melompat keluar. “Ehm, saya ... saya kira—”“Ini hanya tiga hari. Kita bisa mengatur ini,” potong Reval santai.“Baik, Pak. Kami akan mengantar Anda ke kamar,” ujar resepsionis dengan suara penuh permohonan maaf.Saat pintu kamar suite terbuka, Naura tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu begitu luas, dengan sofa kulit di ruang tamu kecil, meja makan, dan balkon yang menghadap langsung ke pemandangan kota. Dua tempat tidur besar terletak di sisi ruangan, dipisahkan oleh meja kecil. Meski begitu, hati Naura merasa resah. Mengap
Reval tidak langsung merespons. Ia hanya menggerakkan alis sedikit, tanda bahwa ia mendengar. Keheningan melingkupi mobil, menciptakan ketegangan yang hampir membuat Naura menyesal telah mengucapkan kata-kata itu.“Apakah ini ada hubungannya dengan suamimu, Dion?” akhirnya Reval bertanya, suaranya datar, tetapi ada nada menyelidik yang membuat Naura merasa seperti sedang diinterogasi.Naura tercekat. Ia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. Haruskah ia jujur? Haruskah ia mengakui bahwa Dion-lah alasan di balik permintaannya? Tapi apa yang akan Reval pikirkan tentangnya jika ia mengatakan yang sebenarnya?Kebingungan menghantamnya, seperti gelombang besar yang sulit dihentikan. Naura menunduk, menghindari tatapan Reval yang begitu tajam.“Tidak, Pak,” jawab Naura berbohong, suaranya hampir seperti bisikan.Reval mendengkus pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa.Naura merasa dadanya sesak. Ia tahu ia harus memberikan alasan. Dan alasan itu harus masuk akal. Namun, kebohongan yan
Naura mengangguk. “Sebagian besar sudah, Mas. Nanti aku akan berangkat langsung dari kantor.”Dion menghela napas. “Semoga perjalananmu lancar.”Naura mengangguk lagi, tetapi kali ini tanpa bicara. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata-kata Dion terdengar datar, tanpa emosi. Namun, Naura mencoba untuk tidak memikirkan itu terlalu dalam.Setelah selesai membereskan semua, Naura memasak sarapan sederhana. Meja makan menjadi tempat mereka bertemu lagi, tetapi seperti biasanya, keheningan mengisi ruang di antara mereka. Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu.“Naura,” panggil Dion tiba-tiba, memecah suasana.Naura mengangkat wajahnya. “Iya, Mas?”“Nanti kalau di sana, jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa makan, ya?” Kata-katanya terdengar tulus, tetapi Naura tahu, itu hanyalah basa-basi kecil sebelum ia meminta sesuatu lagi.“Baik, Mas,” jawab Naura singkat.Tiba di kantor, Naura sudah bersiap menunggu keberangkatan dengan Reval. Sebuah koper kecil tergeleta
Dion menegakkan tubuhnya sedikit. Ia menatap Naura dengan penuh harap, meskipun wajahnya masih dihiasi luka yang belum kering. “Apa syaratnya?”Ruangan itu terasa hening setelah Dion mengajukan pertanyaan. Hanya suara detak jam dinding yang terus berdetak seperti mengingatkan waktu yang berjalan tanpa henti. Naura menghela napas panjang. Matanya menatap lurus pada suaminya, mencoba mengukur reaksi dari apa yang akan ia katakan.“Besok aku harus menemani Pak Reval keluar kota, Mas. Mungkin sampai tiga hari,” jelas Naura dengan nada yang sedapat mungkin dibuat tenang.Dion mengerutkan kening sejenak, tetapi kemudian mengangguk. “Ya, itu tidak masalah. Asalkan aku dapatkan uangnya, Naura.”Jawaban Dion membuat hati Naura sedikit terguncang. Begitu sederhananya pria itu menyetujui, seolah kepergian istrinya bersama pria lain tidak membawa beban apa pun. Namun, Naura menahan lidahnya. Ia tidak ingin menambah panjang konflik malam ini.“Mas, kamu yakin tidak apa-apa aku pergi selama itu?”
Jantung Naura berdegup lebih cepat. Pesan itu singkat, tetapi Naura merasakan sesuatu yang tidak beres. Dalam pikirannya, berbagai kemungkinan buruk bermunculan, membuatnya merasa tak nyaman. Naura segera menyelesaikan laporan terakhir. Ia menyusun dokumen di mejanya dengan tergesa-gesa.Saat berjalan keluar dari ruangan, langkah cepat Naura menarik perhatian Dinda, rekannya.“Naura, kenapa terburu-buru?” tanya Dinda, menghentikan langkahnya.“Hai, Din.” Naura tersenyum tipis meski terlihat jelas wajahnya diliputi kecemasan. “Sepertinya ibu sangat membutuhkan aku di rumah. Aku duluan ya?”Tanpa menunggu jawaban, Naura berjalan ke arah pintu keluar. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, dan suara-suara bising di kantor seolah menghilang. Ia memesan ojek melalui aplikasi ponsel dan berdiri gelisah di pinggir jalan, menunggu pengemudi tiba.Tak lama, ojek datang, dan Naura segera naik. Angin sore menerpa wajahnya saat motor melaju, tetapi bukannya membuatnya merasa tenang, angin itu jus
Langit sore mulai menggelap, seolah menandakan hujan yang akan segera turun. Naura berdiri di tepi trotoar depan apartemen Reval, dengan ponsel di tangannya. Ia mencoba memesan taksi melalui aplikasi, tetapi sinyal yang tidak stabil membuatnya frustrasi. Pandangannya sesekali melirik ke arah pintu apartemen, memastikan tidak ada tanda-tanda Reval keluar untuk mengajaknya kembali ke kantor. Tiba-tiba, suara klakson mobil membuyarkan pikirannya. Sebuah sedan hitam berhenti tepat di depannya. Kaca jendela bagian depan perlahan turun, memperlihatkan wajah Ervan. Senyum ramah pria itu muncul, tetapi Naura hanya memandanginya dengan alis terangkat. “Bu Naura, ayo masuk,” ujar Ervan, seolah-olah itu hal yang sudah diputuskan tanpa perlu diskusi. Naura menggeleng halus. “Tidak usah, Ervan. Saya sudah memesan taksi. Lagi pula, sebentar lagi sudah jam lembur.” Ervan tertawa kecil, lalu melirik arlojinya. Ia kemudian keluar dari mobil. “Taksi di sekitar sini biasanya lama datangnya,
“Pak ... saya tidak ...” Naura tergagap, mencoba mencari alasan, tetapi otaknya tidak bekerja dengan baik. Reval menyipitkan matanya, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang seolah mengejek. “Apa aku terlihat menakutkan?” Naura menggeleng cepat. “Bukan, Pak. Saya hanya ....” Kata-katanya terhenti ketika Reval mengulurkan tangan, menyentuh sudut bibir Naura dengan jemarinya yang panjang. Sentuhan itu ringan, hampir seperti angin, tetapi cukup untuk membuat Naura terdiam. “Kenapa kamu selalu tampak gelisah di dekatku?” bisik Reval, suaranya penuh dengan godaan yang samar. Naura menahan napas. Jantungnya berdebar tak karuan, seperti lonceng alarm yang berdentang tanpa henti. Ia mencoba membuang wajah, tetapi Reval malah semakin mendekat, membuat jarak di antara mereka nyaris tak bersisa. ‘Kenapa dia justru menanyakan hal ini? Apakah dia benar-benar tidak paham dengan statusku yang masih istri sah Mas Dion?’ Naura mengumpat di dalam hatinya, namun tak mampu meluahk
Naura duduk di ujung ranjang, tangannya menggenggam ujung roknya dengan gelisah. Ia memandang ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, di mana suara gemericik air terdengar samar dari dalam. “Apa yang dilakukan Pak Reval? Kenapa lama sekali?” gumam Naura. Waktu terasa berjalan lambat. Keheningan yang menyelimuti kamar membuat pikirannya berlarian ke berbagai arah. Setelah beberapa menit berlalu, suara dari dalam kamar mandi memecah keheningan. “Naura, ambilkan handukku!” Suara Reval terdengar jelas, tegas, namun tetap rendah seperti biasa. Naura terlonjak sedikit. “Ba–baik, Pak,” jawabnya gugup. Wanita itu segera berdiri, mencari-cari handuk di lemari yang terletak di sudut ruangan. Setelah menemukannya, ia berjalan ke arah pintu kamar mandi dengan langkah ragu. Tangannya terulur untuk mengetuk pintu, tetapi sebelum sempat melakukannya, suara Reval terdengar lagi dari dalam. “Masuk saja.” Naura menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia memutar ke
Ruangan itu masih sunyi, hanya ditemani suara pelan dari pendingin udara yang berhembus lembut. Naura terbangun perlahan, matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Sebentar, di mana ini? pikirnya, sebelum menyadari bahwa ia masih berada di kamar apartemen Reval. Tubuhnya terasa kaku, tetapi yang lebih mengganggunya adalah sesuatu yang berat di pinggangnya. Perlahan, ia menoleh ke samping dan langsung membeku. Tangan Reval bertengger di pinggangnya, menjaganya tetap dekat dengan tubuh pria itu. Jantung Naura langsung berdegup kencang. Ia menelan ludah, menatap wajah Reval yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Kedua mata pria itu masih terpejam, napasnya terdengar tenang, dan rambutnya sedikit berantakan, membuatnya terlihat lebih santai dibandingkan citra dingin yang biasa ditampilkan di kantor. Namun, ini bukan saatnya untuk mengagumi. Naura tahu ia harus segera bergerak. Ia tidak bisa terus berada di sini, terperangkap dalam situasi yang membuatnya gelisah.