Aku terbangun dengan kaget. Hal terakhir yang kuingat sebelum tidak sadarkan diri adalah, aku berjalan sempoyongan dengan kepala pusing dan perutku mual. Lidahku terasa pedar dan tenggorokanku panas.
Tapi saat ini, aku benar-benar hampir melompat dari ranjang empuk king size dengan set bed cover yang mahal. Aku bisa mengetahui itu mahal karena tidak seperti selimut dan sprei ku di rumah. Yang kusam, kasar dan berbulu.Astaga..astagaDengan panik aku turun dari ranjang dan mendapati hanya menggunakan kamisol saja. Di sebuah kamar mewah yang aku bahkan tidak tau ini rumah siapa?.Saat aku sedang memekik ketakutan dengan tubuh polos ku, seorang pria masuk. Membuatku mematung di tempatku berdiri. Sejenak aku terpesona.Dia pria paling tampan dan seksi yang pernah aku temui. Bahkan teman kuliahku tidak ada yang mampu mempesona ku. Pria itu tersenyum hangat padaku, lalu dia duduk di kursi dekat jendela.Dia menawarkan ku sebuah paperbag sambil terus tersenyum. Membuatku curiga padanya. Dan sepersekian detik yang lambat itu, aku baru menyadari aku belum berpakaian.Kamisol ku cukup tipis dan aku hanya memakai G-string!. Sangat memalukan. Tapi sudah terlambat untuk menutupi tubuhku. Kini aku berjalan perlahan sambil mengambil paperbag dari pria itu. Tatapan matanya menusuk jantungku yang berdetak tak menentu.Aku melihat kedalam paperbag itu dan mendapati isinya pakaian. Mataku melotot ke arahnya."Apa yang sudah kau lakukan dengan pakaian ku? Dan kenapa aku bisa ada disini?" geramku marah.Di Pikiranku terbayang dia membuka pakaianku dan meraba tubuhku yang masih suci ini. Pria itu hanya tergelak. Lalu dia berdiri dan berjalan mendekatiku. Matanya tidak melepaskan mataku.Wajahku memerah dan tubuhku panas. Karena sekarang aku semakin mundur dan dihadang ranjang. Sedangkan dia tidak menghentikan langkahnya. Wajah kami bertemu.Aku bisa merasakan nafasnya yang hangat dan harum. Sedikit memejamkan mata karena harumnya memabukkan."Berapa usiamu nona muda?" tanyanya setengah berbisik."D-dua puluh ta-hun," jawabku terbata.Dia menyunggingkan senyuman mengejek, "well, kau seumuran dengan keponakanku, dan untungnya aku bukan pengidap Nekrofilia, jadi berhentilah berpikiran aku sudah menodai mu," pria itu berucap dengan penekanan di setiap kata-katanya.Dia mundur, lalu mengerling jahil padaku, "pakailah itu, aku menunggumu dibawah untuk sarapan. Dan jika kepalamu masih pusing, aku sudah menyediakan ibuprofen di meja,"Dia pergi keluar, meninggalkan aku yang masih mematung dengan kikuk. Aku sempat berdoa agar lantai ini menelanku. Semoga saja dia berkata jujur dan aku belum ternodai.Dengan lunglai aku mencari kamar mandi. Menatap setiap sudut kamar yang klimis dengan cat broken white. Tentu saja kamar mandinya terlihat sangat jelas. Itu hanya sebuah ruangan kecil dengan dinding kaca yang buram. Terletak di sudut kanan kamar mewah itu.Aku berdecak kagum saat masuk ke kamar mandi itu. Terlihat kecil dari luar tapi isinya benar-benar mewah dan lengkap. Bathtub marmer segitiga, yang diatasnya di hiasi rak-rak penyimpanan yang penuh dengan berbagai macam sabun.Aku meletakkan paperbag di atas wastafel, lalu membuka kamisolku. Berdiri dengan berkacak pinggang sambil berpikir aku akan mandi pakai shower atau berendam di bathtub.Pilihanku jatuh pada bathtub, meskipun di rumah juga aku mandi pakai gayung. Bukan berarti aku tidak tertarik dengan shower persegi yang besar itu. Pasti nyaman sekali jika mandi diguyur air seperti pijatan hujan.Botol-botol sabun itu tampak mewah, seperti kristal. Aku memilih satu untuk ku gunakan. Aroma lavender yang menyenangkan. Cukup membuat otot-otot ku yang tegang menjadi rileks.Berendam air hangat di bathtub mewah, dengan busa mewah di dalam kamar mandi orang yang tidak kukenali, bukanlah impian ku. Tapi ini cukup menyenangkan. Setidaknya, pria itu memberikan aku kesempatan sendirian untuk mencerna semua yang terjadi padaku.Aku mencoba mengingat kejadian kemarin yang membuatku sangat emosional. Meskipun titik beratnya bukan pada masalah itu.Malam itu, aku dan temanku Cici nongkrong di sebuah kafe yang cukup terkenal. Kami mendiskusikan masalah toko pakaian yang kami rintis berdua di sebuah pusat perbelanjaan.Sekitar setengah jam berada di sana. Kami melihat Bobi, pacarku sedang bersama seorang wanita yang ku taksir usianya sekitar 45 tahun. Mereka berpelukan mesra sambil duduk di kursi tak jauh dari kami.Aku, yang sebelumnya sudah mengetahui kebusukannya. Mengambil kesempatan emas itu untuk melabrak Bobi. Dia sangat terkejut hingga tak sempat mengelak saat aku menyiram wajahnya dengan minuman sisa yang ada di sebelahku.Well, mereka belum sempat memesan. Jadi aku mengambil apa saja yang bisa ku raih untuk melampiaskan rasa kesal ku.Aku tidak sempat melihat reaksi Bobi saat aku berbalik dan pergi. Karena kalut, aku mengambil satu botol minuman milik salah satu pengunjung. Dia mencegahku, tapi aku menenggak langsung minuman aneh itu.Tanpa menoleh kebelakang, aku berjalan keluar dengan cepat. Mengabaikan Cici yang berlari mengejar ku. Aku mencegat taksi pertama yang muncul. Meminta sopir segera melajukan mobilnya.Aku sedang kalut, jadi air mataku tumpah begitu mobil melaju. Tiba-tiba kepalaku pusing dan aku ingin muntah. Jadi aku keluar dari taksi dan muntah-muntah di pinggir jalan yang sepi.Tidak tau berada dimana, aku berjalan dengan sempoyongan menyusuri jalan yang di kelilingi rumah-rumah mewah. Setelah itu, aku tidak ingat lagi.**Dan disinilah aku berada. Sedang memakai gaun cantik pemberian pria yang sepertinya sudah menyelamatkan aku. Aku belum sepenuhnya yakin pada pria itu, tapi setidaknya aku sudah memastikan bahwa aku masih perawan dan itu melegakan."Kau sudah siap?" pria itu masuk tanpa mengetuk pintu membuatku terlonjak kaget."Belum," jawabku sambil mengeluh. Resleting gaun ini panjang sekali sampai ke pinggul. Dan aku kesulitan menutupnya.Pria itu sepertinya melihat kesulitanku dan datang menghampiri, "butuh bantuan?" tanyanya menawarkan dirinya.Aku berdecak dengan kesal karena tanganku sudah pegal. Dia tidak mengunggu persetujuan ku lagi. Dengan perlahan menahan pinggulku dengan tangan kirinya. Sementara tangan kananya menaikkan resleting gaunku.Darahku berdesir hebat, bulu kudukku meremang saat jarinya menyentuh sepanjang kulit punggungku yang polos. Gaun yang diberikannya sudah memiliki cup bra, dan kamisolku bau muntah. Terpaksa aku hanya memakai gaun itu dan celana dalam yang diberikannya.Aku merasakan nafasnya di tengkukku. Dia menyibakkan rambutku ke depan agar tidak tersangkut resleting. Mata kami bertemu di cermin. Tatapannya membuat wajahku semakin panas. Perutku di penuhi kepakan sayap kupu-kupu.Dia tersenyum, masih memandangku melalui cermin."Namaku, James," dia berbisik di telingaku. Aku masih terpaku pada tatapan matanya yang berwarna hijau topaz. Benar-benar memukau."Eh.. aku Alice," jawabku balas berbisik."Kau wangi sekali, membangkitkan gairahku," ucap James masih bertahan di tengkukku. Perlahan, tangannya memegang pinggulku dan membuat kami berhadapan secara langsung.Aku menunduk malu. Sambil mengutuk diri sendiri karena merasa terhipnotis dengan tatapan dan kata-kata James. Dimana akal sehatku pergi? Sekarang, aku malah tidak ingin beranjak dari tempatku berdiri. Menantikan James."Mau sarapan atau langsung pulang?" James bertanya dengan lembut, sedikit menunduk untuk menatap wajahku yang semakin merendah.Aku bingung, hanya menatap dasinya yang berwarna biru gelap. Sepertinya dia akan berangkat bekerja. Jadi aku putuskan langsung pulang saja."Aku akan pulang sendiri, naik taksi," ucapku kikuk setelah berpikir cukup lama. Mata james menelisik mataku, juga hatiku.James menggeleng sambil menyingkap rambut yang menutupi wajahku, "kau akan pulang bersamaku. Jangan membuatku menjadi pria yang tidak bertanggung jawab nona," itu perintah bukan permintaan.Aku sedikit mendongak saat melihat wajahnya. Ah, betapa seksinya bibir James. Janggut tipis yang rapi, rambut cokelat bergelombang, dan pahatan hidung yang sempurna.Tanpa terasa aku mengangguk, masih terhipnotis matanya yang indah.***"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah membaik?" tanya James saat kami sudah berada di mobilnya."Ya, sudah lebih baik," jawabku singkat. Aku duduk dengan kaku sementara James mengemudi.Aku sempat melihat supir pribadinya sudah menunggu, tapi James mengambil kunci mobil dan menyetir sendiri. Membuatku merasa percaya diri dengan menyangka dia ingin hanya berduaan denganku."Apa kau suka minum?" tanya James lagi dengan sedikit ragu. Aku mengerti yang dia maksud. Minum apa lagi yang bisa membuatmu mabuk?.Aku menggeleng kuat, "aku tidak sengaja minum itu, ku pikir air mineral biasa,""Bagus sekali, kebetulan yang luar biasa," gumam James pada dirinya sendiri. Senyuman sumringah nya membuat hatiku cerah."Terima kasih sudah menolongku, dan maafkan atas tuduhan ku sebelumnya," kataku minta maaf, sambil memuntir jari-jariku karena gugup."Tidak masalah, Alice. Aku senang kau pingsan tepat didepan gerbang rumahku," timpal James tanpa menutupi perasaan bersyukurnya atas kejadian itu.Anehnya, aku juga sama bersyukurnya dengan dirinya.Aku berdiri di depan pintu rumahku sambil melambai pada James. Menggeleng kuat untuk menghilangkan pengaruh hipnotis yang membuatku seperti kerasukan. Merasa nyaman bersama pria yang baru saja aku kenal, itu bukanlah diriku yang biasanya.Saat menyadari kantong yang aku pegang berisi pakaian bersih yang aku kenakan semalam, aku langsung membuangnya di tong sampah. Berusaha membuang jauh-jauh kenangan buruk bersama Bobi.Aku berjalan masuk ke dalam rumah dengan perasaan berbunga- bunga. Menatap diri di cermin yang terasa bukan aku. Biasanya, kaos dan celana jeans menjadi outfit andalanku sehari-hari. Melihat tubuhku dalam balutan gaun, membuatku menjadi orang yang berbeda. Ponselku berdering, Cici memanggil..."Halo, Ci," aku mengangkatnya di deringan pertama, Cici pasti khawatir."Oh syukurlah!" Cici berseru lega, "kau dari mana saja? Semalaman aku menghubungimu dan rumahmu kosong!" nah, Cici menunjukkan taringnya."Maaf, hapeku lowbat," jawabku beralasan. Saat bertemu nanti dia past
" Kau sudah tidur?" James mengirim pesan padaku." Belum," jawabku singkat. Aku sedang memandangi foto selfie kami saat berada di festival makanan tadi. James tampak tersenyum lebar dan menawan."Aku sudah rindu padamu," kata James membalas pesanku. Aku sampai harus membaca nya dua kali untuk memastikan. Jantungku berdegup kencang, tapi kucoba menepis perasaan berbunga dalam hatiku. Rasanya semua pria sama saja. Mengingat betapa pandainya James merayuku. Apalagi James yang sudah berumur, aku yakin dia hanya ingin menjadikan aku bonekanya. Pemikiran itu membuatku tak bernafsu membalas pesannya lagi.Aku putuskan untuk tidur saja. Besok aku harus mengontrol toko pakaian kami, lalu menjenguk sahabatku yang sedang berada di rumah sakit.Dengan menutup wajah menggunakan bantal, aku mengabaikan dering dan getaran ponselku. Aku yakin james yang menelepon. ***Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Karena rupanya semalam itu, selain James ada juga klien ku yang memesan dress c
"Apa kau masih bersama Oliv?" James mengirim pesan melalui aplikasi chatting."Ya, kenapa? hari ini Oliv sudah di perbolehkan pulang," "Tunggu aku,""Untuk apa?" aku memelototi ponselku, aku sudah cukup malu kemarin. "Tentu saja untuk menjemput keponakanku, Alice"Dia benar juga. Oliv kan keponakannya. Jadi hal yang wajar jika dia datang menjemputnya. Aku tidak membalas pesan James lagi. Terlalu malas menanggapinya.Saat siang hari, Oliv sudah dalam persiapan untuk pulang kerumah. Jadi kami membantu memasukkan barang-barangnya ke dalam mobil. Betapa terkejutnya aku, yang untung saja tas yang aku bawa tidak terlepas dari tangan. James sudah menunggu sambil bercengkrama dengan sopir Oliv.Cici menyikutku, lalu mengedikkan dagu nya kearah James yang pura-pura tidak melihat kami. Ketika aku selesai menyusun tas dibelakang mobil, James berdiri tepat disampingku."Apa?" tanyaku masam. Dia mengedipkan matanya menggodaku."Kau kelihatan kurang tidur sayang?" James mencoba menyentuh pipiku,
James menyambut diatas kasur. Dengan sedikit enggan aku ikut bersamanya. Menutupi rasa bersemangat karena bisa berduaan dengannya semalaman."Kau sudah gila!" gerutuku setelah naik ke atas kasur. James memelukku."Mereka juga butuh istirahat," sergah James seolah sudah melakukan hal yang baik."Apa kau akan menginap malam ini?" aku bertanya dengan acuh. "Tentu saja sayang, untuk apa obat tidur itu?" sergah James mengerling nakal padaku."Baiklah," kataku pasrah. "Boleh aku katakan sesuatu?" tanya James sedikit serius. Aku bersiap."Boleh, katakan saja,""Apakah kau sudah tau kalau temanmu, Cici sudah memanipulasi keuangan toko kalian?" James bertanya lagi dengan kaku."Oh, aku sudah tau," jawabku santai dan singkat."Kenapa kau tidak menegurnya?""Entahlah James, aku takut dia tersinggung dan hubungan kami renggang," "Hei," James mengambil daguku, "dalam bisnis, tidak mengenal teman atau keluarga. Uang itu bersifat objektif,"Aku berpikir sebentar, lalu menatap James heran, "dari m
EmmphhhEmmphhhHanya itu yang keluar dari mulutku. Aku ingin melawan tapi tenaganya kuat sekali. Sedangkan tubuhku meskipun cukup tinggi dan sintal, tetap saja hanya seorang wanita biasa. "James!" mataku membelalak saat kami sudah masuk ke dalam kamar mandi dekat dapur.Aku menggeser tubuhnya yang bongsor dan hendak membuka pintu. Tapi dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku kembali ketempat semula."Minggir! Aku mau masak!" aku menghardiknya. Tapi wajahnya benar-benar kelihatan marah, "apa?""Kemana saja kau seharian ini?" tanyanya frustasi."Beres-beres rumah Oliv terus kepasar sama Cici,""Lalu apakah kau tidak sempat mengangkat teleponku?" Aku lupa, dimana ku letakkan ponselku? Kucoba meraba tas kecilku. Tapi James sudah menemukannya lebih dulu. Entah dimana. Dia memberikannya padaku."Jangan pernah tinggalkan ponselmu, aku bisa gila jika tidak tau kabarmu barang sedetik. Ingat itu!" Aku menatap James tak percaya. Kenapa dia jadi begitu posesif? Lihat sekarang. Dia malah mening
"Mau nonton film?" James bertanya sambil menyalakan tv, dia menghubungkannya ke ponsel.Saat ini, kami sudah berada di dalam apartemen James yang super mewah."Aku gerah," kataku sambil menciumi bajuku yang terasa lengket. Banyak pekerjaan yang aku lakukan sejak pagi dan belum mandi.James memandangku dengan binar cerah dimatanya, aku melihat dia berharap." Ayo, di kamarku ada bathtub besar yang bisa kita pakai berdua," kata James santai sambil naik kelantai atas, aku tidak bisa protes karena dia mendadak jadi tuli."Aku mau mandi sendirian, James!" keluhku sambil mengikutinya, langkahnya lebar sekali. Hah! Dia benar-benar jadi tuli sungguhan. Aku menghentakkan kaki dengan jengkel."Apa kau bawa baju ganti sayang?" James bertanya, aku mengabaikannya. "Tidak, mungkin bisa pakai pengering handuk?" tanyaku sambil berjalan melewatinya. Satu persatu pakaian yang aku kenakan kulepaskan."Ada mesin cuci dry clean," jawabnya sambil memunguti pakaianku yang berserakan dilantai. Aku hanya
"Ya, ibuku sebenarnya tidak punya tipe menantu idaman. Dia hanya ingin melihatku bahagia, bahkan dia sering menangis memikirkan aku yang masih sendiri. Dia takut aku tidak bisa menikah karena trauma yang aku alami,""Trauma? jelaskan padaku James," aku menekan setiap kata-kataku."Sebenarnya aku anak angkat," kata james sambil memutar-mutar ujung rambutku. Aku terkejut dan memandangi matanya. Dia tidak mau melihatku."Tapi ibumu terlihat menyayangimu seperti anak kandung," kataku heran dengan fakta itu."Ya, bagiku dia malaikat. Dia mengadopsiku saat usiaku tujuh tahun. Saat itu dia masih aktif sebagai dokter spesalis anak, dan mereka menemukan aku di sebuah hotel bersama ibu kandungku yang sudah meninggal."Mataku membulat, lalu aku memeluk erat James. Mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Tak terasa mataku basah. James melanjutkan kisahnya."Kata mama, saat dia menemukanku saat itu diketahui bahwa kami turis. Ibu kandungku meninggal karena overdosis. Di tanda pengenal nya, dia
James berang mendengar aku di tuduh murahan oleh wanita murahan itu. Dia menutupiku dengan selimut, sementara dia memakai celana boxernya. James berjalan perlahan ke arah Clarisa."Apa kamu pikir kamu berharga?" wajah James menyeringai muak."Tapi... James," ucap Clarisa terbata-bata."Kita hanya sebatas teman ranjang, dan aku menyesal pernah melakukannya dengan kamu. Pergi dari sini atau perlu aku tarik kamu keluar!" "Dia masih anak ingusan James, apa dia bisa memuaskan hasrat liar kamu itu,""Diam! Dia wanita yang aku cintai. Bahkan dia jauh lebih dewasa dibanding kamu!""Hah? Cinta? Sejak kapan kamu main cinta James? Kamu itu hanya butuh pelampiasan. Dan aku bisa jadi apapun buat kamu. Bahkan aku bawa mainan baru untuk kamu,"Aku melihat Clarisa mengeluarkan cambuk kecil dari tasnya. Ujung cambuk itu ada bola kristal kecil yang menggantung bersama bulu. Dia juga mengeluarkan sepasang apa itu? Lato-lato?. Aku tidak tau apa gunanya semua itu. James mengerang frustasi. Dia melempar
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.
"sial!" James mengumpat dan berlari kebawah badan pesawat. Sontak semua pembajak keluar dari pesawat sambil membawa senjata mereka. Thomas bergegas masuk kedalam kabin kembali dan mengevakuasi para penumpang. Hatiku mencelos saat James terus dikejar-kejar para pembajak itu. Aku mengerti kenapa Thomas sengaja menyebut nama James, karena hal itu memancing para pembajak mengejarnya dan mengabaikan penumpang lain. Untungnya, tim SWAT yang sudah siap siaga segera berlari mengejar James dan membentuk barikade untuk menghalangi para pembajak itu. Tapi mereta tak gentar, seakan tak takut mati atau mereka tau petugas itu tidak akan langsung menembak mereka.James malah lebih dulu menyelamatkan wanita tua yang sedang bersamanya. Aku ketar-ketir memikirkan siapa gerangan wanita itu. Tiba-tiba saja seseorang berlari menghampiri James, dan kusadari itu adalah Scott. Dia langsung menutupi wanita tua dengan jaket dan memeluknya erat. Sebuah mobil SUV yang tadi menguntitku menghampiri mereka dan
Scott tidak mau bertutur sapa dengan Thomas. Dia bilang, hal itu akan lebih baik bagiku. Dia hanya ingin bertindak dibelakang layar. Tidak secara terang-terangan mendukung rencanaku. Aku manut saja dengan apa yang dikatakan Scott. Dia lebih berpengalaman soal ini dibanding aku. Setidaknya Scott mau menerima tekadku untuk bekerja sama dengan Thomas. "Kau harus memikirkan cara yang bagus untuk membujuk James. Dia akan pulang sekitar jam sepuluh malam""Oke," Dengan bekal arahan dari Scott, aku mengatur rencana agar James mau menerima pendapatku. Dan dengan beberapa bumbu tambahan berupa bujuk rayuan. Aku tau ini tidak akan mudah. ***Jam sembilan malam, aku berangkat ke bandara internasional untuk menjemput James. Ini akan menjadi kejutan, karena James meminta Scott yang menjemputnya. Keadaan sangat kondusif sampai aku berhenti di lampu merah. Sebuah mobil SUV mencurigakan yang aku tau sejak dari rumah sakit terus mengikutiku. Kepalaku jadi panas memikirkan kemungkinan adanya ora
"Olive" bibirku bergetar, tanpa suara menyebut nama gadis yang sedang terbaring lemah disana. Segera kuhampiri dia, untuk memastikan mungkin aku salah lihat. Tapi kekecewaan mengaliri setiap sel di tubuhku. Itu memang Olive, dia sedang tertidur atau entah kenapa. Matanya terpejam dengan lebam disekitar matanya, juga dibeberapa bagian wajahnya. Aku menoleh kebelakang, tempat Scott sedang diam memperhatikan reaksiku. "Apa yang terjadi?" tanyaku singkat, tak mampu mengucap lebih panjang lagi." Kecelakaan, aku tidak bisa menceritakan detailnya padamu," suara Scott dipenuhi perasaan bersalah. Jadi aku hanya mengangguk. Tak ingin membuatnya semakin sedih. "Olive," kucoba memanggilnya, dan dia membuka mata perlahan. Tersenyum, hal pertama yang dia lakukan ketika sadar aku didepan matanya. "Hai," sapa Olive dengan suara parau. Aku memeluk tubuhnya dan menangis disana. Hampir saja mengutuk keadaan yang sedang kami alami. "Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja," Olive mengusap lembut kepa
Karena James masih di Arizona, aku mengajak Thomas kembali kerumah sakit. Dia harus sering-sering menjaga Bella. Apalagi disaat kondisi kejiwaan sangat mengkhawatirkan."Terima kasih," ucap Thomas saat kami sedabg duduk berhadapan disisi Bella. "Jangan sering bilang begitu, nanti tidak ada artinya lagi," jawabku tersenyum. "Tentu, akan ku ingat," "Apakah Bella sudah makan?" "Sudah, dan dia terpaksa diberi obat tidur agar bisa istirahat,"Aku hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Kasihan sekali Bella, harus merasakan guncangan mental yang begitu hebat. Aku pernah dengar tentang Babyblues. Dan kurasa, Bella sedang mengalaminya. Bukan hanya bayinya, tapi kondisi Bella lebih mengkhawatirkan lagi. Thomas sempat berpikir untuk memberikan bayi Bella pada orang tua yang siap mengambilnya, tapi dia tidak tega jika suatu saat Bella menginginkan bayinya. "Ini memang pilihan sulit, disatu sisi kita menginginkan kehidupan yang layak untuk bayinya, tapi Bella juga membutuhkan waktu untuk se
"sayang," "Apa? Siapa ini?" tanya James terkejut diseberang telepon. "Kau sudah lupa aku hah?" kataku bersungut-sungut. "Bukan begitu, tapi Alice tidak memanggilku begitu," jawab James mengelak dengan sok bijak. "Baiklah, Apakah kau sedang sibuk?" "Jelas sekali sayangku, aku sangat santai saat ini""Kau dimana?" "Di Arizona," "APA?" aku memekik di telepon. Dan yakin James sedang menjauhkan ponsel dari telinganya."Ya, aku sedang santai di Arizona. Menikmati sengatan matahari dikulitku sambil melihat pemandangan proyek yang indah sekali," jawab James sarkas. "Lucu sekali," gerutuku kesal. "Ada apa sayang?" tanya James melembutkan nada bicaranya. Aku tersenyum. "Tunggu sebentar, pacarku sedang membutuhkanku. Ya, kau urus saja dulu itu," kata James tak sabar pada seseorang yang sedang bersamanya. "Apa kau pulang malam ini?" tanyaku genit,"Oh tentu aku pulang jika upah yang kudapat setimpal, sayangku," "Jangan banyak berharap sayaang, aku punya rencana yang sangat bagus untuk
Aku menyapa kakak Thomas dengan senyuman malu. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi Thomas menggeleng pelan."Oh ku pikir," katanya tertawa kecil. "Hai, aku Alice," kataku mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku lemah. "Bella. Kalian serasi sekali kau tau," Aku tertawa hambar, melirik Thomas yang juga cekikikan. "Dia hanya bisa dijadikan teman, kak," kata Thomas lembut. "Benarkah? Apakah kau sudah menikah ,Alice?" "Belum,""Kalau begitu masih ada kesempatan yang terbuka," "Kau akan mengerti kalau kuberitahu nama kekasihnya, kak," Bella menaikkan satu alisnya. "James Peterson," Satu nama yang membuat air muka Bella berubah. Tapi dia berhasil menguasai dirinya kembali. Menyunggingkan senyuman yang entah artinya apa. "Well, kalau begitu kau harus berhati-hati dik," "Hmmmm... Sedang aku coba lakukan. Tapi gadis ini sulit sekali kutolak," Bella tertawa keras, sambil memegangi dadanya yang terlihat sakit. "Kalian berbicara seolah aku tidak ada disini," kataku memasang waja
Pagi ini berlangsung menyenangkan. Karena si pria megalomaniak itu sudah pergi ke kantor lebih dulu. Aku akhirnya bisa mandi dan sarapan dengan tenang. Beberapa pesan tak penting dari James hanya kubaca sekilas tanpa membalasnya. Aku tak ingin mengganggu pagi yang menyenangkan ini. Hari ini, Scott tidak bisa ikut ke kampus. Dia sedang ada tugas rahasia sejak beberapa hari yang lalu bersama Olive. Aku bahkan tidak dapat menghubungi Olive. Kupikir mereka sedang menyelidiki kapal selam perang milik rusia. Aku memutuskan akan mengendarai mobil sendiri saja. James sudah lama memberiku salah satu mobilnya yang sama sekali belum aku sentuh. Mungkin ini saat yang tepat untuk memanfaatkannya. Setelah membuka garasi yang menghabiskan seperempat bangunan itu, aku mencari -cari kunci mobilku yang tergantung apik dalam kotak kaca. Tak disangka, saat menemukan mobilku, sudah ada kertas yang berisi pesan dari James. "Hati-hati sayang. Aku tau kau akan menggunakannya suatu saat," Begitulah p
Meski gayaku percaya diri, tak urung lutut ku lemas juga. James masuk lebih dulu, sementara aku duduk diruang tunggu. Agensi ini memiliki nama besar. Menaungi banyak artis ternama. Aku merasa bagai semut berjalan dibawah kaki gajah. Tapi jika dipikir, bagus juga jadi semut kan?"Nona Alice?" "Ya?" aku langsung berdiri dengan gugup. Menahan kaki yang semakin gemetar habat. "Silahkan naik kelantai 3," kata seorang resepsionis berambut pirang yang cantik. "Baik," Aku masuk lift, lalu berhenti di lantai 2. Ada seorang pria jangkung, putih dengan garis wajah petak yang tegas. Hidung bagai dipahat dari pualam. Aku berpura-pura memerhatikan ponsel, tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia berdehem, dan ikut bersandar disebelahku, "ke lantai tiga?" tanyanya manis sekali. Tentu aku tidak ingin pingsan. "Ya," jawabku singkat. " Apa kau tidak mengenaliku, Alice?" Aku langsung m