"Mau nonton film?" James bertanya sambil menyalakan tv, dia menghubungkannya ke ponsel.
Saat ini, kami sudah berada di dalam apartemen James yang super mewah."Aku gerah," kataku sambil menciumi bajuku yang terasa lengket. Banyak pekerjaan yang aku lakukan sejak pagi dan belum mandi.James memandangku dengan binar cerah dimatanya, aku melihat dia berharap." Ayo, di kamarku ada bathtub besar yang bisa kita pakai berdua," kata James santai sambil naik kelantai atas, aku tidak bisa protes karena dia mendadak jadi tuli."Aku mau mandi sendirian, James!" keluhku sambil mengikutinya, langkahnya lebar sekali.Hah! Dia benar-benar jadi tuli sungguhan. Aku menghentakkan kaki dengan jengkel."Apa kau bawa baju ganti sayang?" James bertanya, aku mengabaikannya."Tidak, mungkin bisa pakai pengering handuk?" tanyaku sambil berjalan melewatinya. Satu persatu pakaian yang aku kenakan kulepaskan."Ada mesin cuci dry clean," jawabnya sambil memunguti pakaianku yang berserakan dilantai.Aku hanya mengenakan handuk. Sementara James turun kebawah untuk mengurus pakaianku.Sama seperti dirumahnya, kamar mandi ini juga mewah, bathtub nya berbetuk lingkaran dikelilingi aneka macam sabun. Aku melepaskan handuk dan masuk kesana setelah mengisinya dengan air dan menuangkan sabun cair. nyaman sekali rasanya bisa berendam setelah seharian berlelah-lelah."Alice?" James mengetuk pintu. Aku mendengus melihat betapa sopannya paman seksi itu."Masuk saja James, aku didalam!" seruku dari dalam kamar mandi."Sesuai izinmu sayang!" Seru James masuk sambil nyengir kuda, dia hanya mengenakan celana boxer.Aku geli melihatnya. Padahal didalam sini aku tidak memakai apapun. Aku ingin menguji kesungguhan kata-kata James." Masuklah kesini," aku merentangkan tangan menyambutnya. Dia melirik handuk yang tergantung dan wajahnya memerah."Kau mau memancing ku?hmmm?" mata James berbinar jahil."Sedikit, kita akan lihat apakah aku memang memiliki hak veto,""Bagus sekali!"James masuk ke bathtub. Dia meraba kakiku dengan senyuman jahil, tapi menghentikannya ketika sampai dilutut. Dia sedang mempermainkan gairahku."Berhentilah memancingku paman nakal!" aku menggerutu geli."Kau panggil aku paman? lancang sekali kau gadis muda!"James memelukku dari belakang. Dia mencoba membuatku berdiri tapi aku menekan tubuhku agar tetap dibawah permukaan air. Kami tertawa bersama. Tak lama kemudian James mengalah. Dia menyandarkan tubuhku di dadanya. Dengan gerakan perlahan dia mulai menciumi rambutku, turun ke telingaku, ke tengkukku.Tangannya meraba perutku hingga naik ke dada. Aku menutupinya dengan kedua tangan, agar James tidak bisa memegang area sensitifku."Kau belum mau memintanya sayang?" James berbisik tepat ditelingaku, aku hanya menggeleng."Jangan siksa aku sayang," James memohon lagi. Dengan nakal dia menyerang pangkal paha ku, refleks aku bangun. Dan dia membelalakkan matanya ketika tubuhku yang polos terekspos.Baru sadar, aku duduk lagi menghadap James. Memukuli dadanya yang bidang. Ada bulu halus uang menggelitik tanganku. Dia benar-benar seksi, tatapan matanya memohon padaku. Tapi aku masih kuat.James mendudukkanku diatas pahanya, aku terkesiap saat merasakan senjatanya yang mengeras dibawahku. James mengerling nakal, " Jangan takut sayang, dia jinak kok," ucapnya menggodaku.Aku memutar bola mataku jengah.Dia belum menyerah. Tangannya mengelus punggungku, lalu menarikku kedadanya. Area sensitif di dadaku tergelitik saat james bergerak kekanan dan kekiri. Dengan ganas dia menciumi leherku, turun hingga ke dada atasku. Tanpa sadar aku menikmatinya, sambil sedikit mendesah. James jadi kalap dan aku tidak bisa menahan diriku lagi.Dengan pelan aku mendekatkan wajahku ke wajah James yang menengadah, dia menantikan aku beraksi. Meskipun dia sudah sangat bergairah tapi dia tetap menepati janjinya."Terima kasih," gumamku tepat di depan bibirnya. Dia menungguku.Dengan banyak keraguan aku memperhatikan wajah James. Hidungnya bagaikan dipahat, rahangnya dipenuhi janggut tipis, bentuk bibirnya indah sekali. Aku sangat ingin melumat bibir itu.Setelah memastikan aku tidak akan menyesal memberikan ciuman pertamaku dengannya, bibirku menyentuh bibirnya. James menyambutku dengan gairah yang berapi-api. Bibirku habis dilumatnya bahkan rahang ku juga tak luput diciumi. Aku dengan berani memegang kepalanya agar tak menjauh dariku. Dengan segenap hati aku menikmati setiap sentuhannya."Oh James!" aku memohon padanya.sementara James meremas setiap bagian tubuhku yang menonjol. Senjata James semakin tegak dibawah. Dia menggeseknya hingga aku jadi gila.Tapi aku masih ingat. Meski dikuasai nafsu, aku tidak akan bertindak bodoh. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri hanya akan memberikan keperawananku pada suamiku kelak. Jika kami berjodoh, maka aku akan jadi milik James sepenuhnya.Ditengah gempuran gairah kami berdua, aku berpikir apakah James benar-benar mencintaiku dengan tulus?, hanya dia dan tuhan yang tau. Aku memang sudah gila, tapi James harus membuktikan dulu cintanya padaku."Sayang," James mendesah di telingaku. Aku masih memeluknya erat."Hmmm?" Hanya itu yang keluar dari mulutku, aku tidak tahan dengan rangsangan dibawah sana."Apa ini ciuman pertama mu?""Ya, kau benar" Bisikku . James menghentikan aksi nya. Menatap lekat mataku. Dia mencium bibirku lama dan manis."Terima kasih sudah mempercayaiku, memberikan ciuman pertamamu untukku" ucap James penuh penekanan yang romantis."Kurasa aku sudah gila James, tapi aku tidak menyesal." keluhku bersamaan dengan pengakuan gilaku.James menciumi leherku, dan memelukku sangat erat. Kami menikmati momen itu sedikit lebih lama."Bagaimana? Sudah selesai mandinya?" tanyanya saat airnya sudah mulai dingin."Oke, ayo keluar!" aku berdiri, tidak punya malu lagi didepan James."Tubuhmu benar-benar sempurna sayang," Kata James memuji.Dia membawaku keluar dari bathtub. Dengan manisnya James melilitkan handuk padaku, aku hanya tersenyum berterima kasih.Memakai kaos singlet dan celana boxer milik James, biasanya aku begini ketika sedang sendirian dirumah. Tapi berada di dekat James membuatku nyaman. Kami melanjutkan acara menonton yang tertunda,setelah dua jam dikamar mandi.James memutar film barat yang berjudul "Revolutionary Road" yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet. Aku tau film ini. Beberapa orang bilang, film ini seperti fanfic jika Jake masih hidup di film Titanic. Entah kenapa James memutar film ini. Jelas film ini berkisah tentang rumah tangga.Kami duduk santai di sofa bed, sambil berpelukan dan makan berondong jagung. Rasanya lebih menyenangkan daripada nonton di bioskop.James tidak menertawaiku saat aku menangis di beberapa adegan yang menyedihkan. Sesulit itu membangun rumah tangga."Bagaimana pendapatmu tentang film ini?" tanya James saat filmnya berakhir.Aku menatapnya curiga, " Apa maksudmu menyuguhkan ku film sedih itu?""Entahlah, rasanya menyenangkan saja ada yang menemani aku belajar dari sebuah film," jawabnya santai."Kau mau menikah?" pertanyaan itu langsung menyembur dari mulutku."Belum sayang, aku merasa tidak pernah siap. Menikah bukan hal mudah, dan sangat disayangkan jika menghabiskan seumur hidup dengan orang yang salah.""Hahaha, harusnya wanita yang berkata seperti itu," aku geli mendengar penuturan James." Mungkin benar, tapi aku mencoba memahami sudut pandang wanita""Kau sangat peduli," pujiku sambil mencium dagu James, "apa kau memang belum pernah menikah?""Kau meragukanku?" tanya James tersinggung."Tidak juga, karena ibumu mengatakannya dengan sangat jelas!""Ya, ibuku sebenarnya tidak punya tipe menantu idaman. Dia hanya ingin melihatku bahagia, bahkan dia sering menangis memikirkan aku yang masih sendiri. Dia takut aku tidak bisa menikah karena trauma yang aku alami,""Trauma? jelaskan padaku James," aku menekan setiap kata-kataku."Sebenarnya aku anak angkat," kata james sambil memutar-mutar ujung rambutku. Aku terkejut dan memandangi matanya. Dia tidak mau melihatku."Tapi ibumu terlihat menyayangimu seperti anak kandung," kataku heran dengan fakta itu."Ya, bagiku dia malaikat. Dia mengadopsiku saat usiaku tujuh tahun. Saat itu dia masih aktif sebagai dokter spesalis anak, dan mereka menemukan aku di sebuah hotel bersama ibu kandungku yang sudah meninggal."Mataku membulat, lalu aku memeluk erat James. Mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Tak terasa mataku basah. James melanjutkan kisahnya."Kata mama, saat dia menemukanku saat itu diketahui bahwa kami turis. Ibu kandungku meninggal karena overdosis. Di tanda pengenal nya, dia
James berang mendengar aku di tuduh murahan oleh wanita murahan itu. Dia menutupiku dengan selimut, sementara dia memakai celana boxernya. James berjalan perlahan ke arah Clarisa."Apa kamu pikir kamu berharga?" wajah James menyeringai muak."Tapi... James," ucap Clarisa terbata-bata."Kita hanya sebatas teman ranjang, dan aku menyesal pernah melakukannya dengan kamu. Pergi dari sini atau perlu aku tarik kamu keluar!" "Dia masih anak ingusan James, apa dia bisa memuaskan hasrat liar kamu itu,""Diam! Dia wanita yang aku cintai. Bahkan dia jauh lebih dewasa dibanding kamu!""Hah? Cinta? Sejak kapan kamu main cinta James? Kamu itu hanya butuh pelampiasan. Dan aku bisa jadi apapun buat kamu. Bahkan aku bawa mainan baru untuk kamu,"Aku melihat Clarisa mengeluarkan cambuk kecil dari tasnya. Ujung cambuk itu ada bola kristal kecil yang menggantung bersama bulu. Dia juga mengeluarkan sepasang apa itu? Lato-lato?. Aku tidak tau apa gunanya semua itu. James mengerang frustasi. Dia melempar
"Alice!" Oliv melotot padaku saat pagi harinya aku baru pulang kerumahnya. Aku merasa sedang dimarahi ibuku. "Maafkan aku Liv, aku ketiduran dirumahku," kataku mengarang cerita agar mereka tidak curiga padaku. Hanya Cici yang tau dan dia sedang berpura-pura memarahi aku juga. "Mana camilan yang kau janjikan padaku!" Cici menagih janjiku dengan wajah datar yang dingin.Hampir saja aku melempar sepatuku ke wajahnya. Pandai sekali dia bersandiwara.Aku menunjuk ke meja makan. James memberikan aku uang untuk membeli semua belanjaan itu. Aku pergi sendiri ke supermarket. Cici bertepuk tangan dengan riang setelah melihat aku menepati janji. Oliv melotot sesaat lalu dia juga tersenyum. Sebenarnya, Oliv tidak bisa sembarang makan camilan, tapi kami kasihan padanya. Jadi aku berinisiatif membawa camilan yang sangat rendah gula dan pewarna makanan. Uang yang diberikan James cukup untuk uang bensinku selama sebulan. Aku sempat berbelanja bahan dapur supaya tidak perlu bolak-balik lagi,
James berkendara dengan kecepatan yang lumayan tinggi Beberapa kali melakukan panggilan telepon kepada bawahannya. Dia terus memasang wajah sangar, aku takut melihat ekspresinya yang seakan ingin membunuh seseorang. Sekitar satu jam perjalanan,kami sampai dirumahku. Aku penasaran bagaimana James tau alamat orang tuaku, padahal aku belum memberitahunya. Bahkan dia tidak bertanya. Aku langsung membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. Rumahku tampak ramai dikunjungi tetangga. Aku menerobos barisan tetangga yang sedang membicarakan ayahku. "Ibu!" aku langsung menghampiri ibuku yang sedang duduk dilantai dengan wajah lesu. Dia langsung memelukku erat, hanya bisa menangis tanpa bisa berkata apa-apa. Aku merasa bersalah kepada mereka."Ayah bagaimana buk?""Dibawa baron kerumahnya nak, katanya kalau mau jemput ayah harus lunasi hutangnya hari ini," Ibu menjelaskan sambil menangis. Aku tidak bisa menenangkan nya lagi.James menunggu. Dia sedang berdiri didekat pintu menyaksikan tangi
" Apa kamu duda?" tanya ayah lagi saat aku tidak menjawabnya"Belum pernah menikah pak," James menjawab dengan santai."Begini james," ayah mencondongkan tubuhnya ke depan. "siapapun pasti curiga saat ada pria mapan yang kaya raya dan juga tampan seperti kamu belum pernah menikah," ayah melanjutkan kata-katanya dengan iris mata yang menggelap dan sangar."Anda meragukan saya?" James masih bersikap santai, sementara kepalaku sudah panas."Ayah, James memang masih bujangan. Dia adik papanya oliv. Tidak mungkin kan aku tidak tau latar belakangnya," aku mencoba menengahi mereka. "Putriku, kamu memang sudah pandai. Tak sia-sia kamu kuliah di kota besar," pujian ayah mengandung sarkasme yang tepat pada sasarannya. Aku hanya bisa menunduk, itu sebuah sindiran keras bagiku."Mungkin benar kamu jujur tentang statusmu. Jika kamu bukan orang kaya dan tidak tampan mungkin saya tidak curiga James.""Ayah, kok bicara seperti itu? " Ibu keluar dari dapur dengan tersenyum, lalu duduk mendekat
"Bisakah kau menjemputku hari ini?" aku mengirim pesan pada James, menunggu dengan harap-harap cemas. Lama sekali aku menunggu."Bisa, tunggu satu jam lagi," hanya itu balasan dari James. Aku berusaha berpikir positif,dia pasti sedang sibuk.Sambil menunggu James, aku bersiap-siap. Saat sudah hampir satu jam, aku berpamitan dengan ibu. Ayah sudah berangkat bekerja. Aku sengaja menghindarinya, dan berencana pergi sebelum dia pulang.Tak lama kemudian, sebuah mobil berwarna hitam datang. Aku sudah sumringah sampai saat membuka pintu depan, kekecewaan menerpa. Bukan James yang menjemputku, tapi salah satu bawahannya. Dia berpakaian rapi dengan jas hitam yang mewah. Dengan lesu aku duduk dikursi belakang.Mobil langsung melaju pelan. Aku tidak berminat berbicara atau membuka ponsel. Jadi kami diam selama perjalanan. Pikiranku melayang entah kemana , sesekali menyeka air mata diujung mataku. Ada dengan James? Aku tau perkataan ayah pasti menyakiti hatinya, tapi bukankah dia cinta padaku?
"Ada apa denganmu?" James menggeram dengan marah, Alice membuatnya sangat khawatir. Mengembalikan kartu kreditnya yang bahkan belum sama sekali digunakan, bahkan dia minta diturunkan ditengah jalan. James semakin marah lagi karena Alice malah memutus sambungan panggilan videonya."Dia ada disekitarmu Jody, perhatikan dengan seksama dia bilang melihatmu didepan, berarti dia sedang berada didalam ruangan," "Oh saya menemukannya pak, dia ada didalam minimarket," kata Jody senang ."Bagus, bujuk dia untuk pulang.""Jika tidak bisa pak? Dia terlihat sangat marah," Jody bertanya dengan ragu. James berpikir sebentar. Bagaimana caranya dia bisa tau keadaan Alice tanpa sepengetahuannya."Kalau begitu, buntuti saja kemana dia pergi. Tugas kamu sekarang hanya mengawasi Alice""Baik pak".Dengan gerah James melepas dasinya, dan dua kancing kemejanya. Saat ini libido nya naik, dia ingin pelampiasan. Biasanya James akan menghubungi salah satu wanitanya. Tapi sejak bertemu Alice tidak satupun
"Hai tante!" Jody berseru sambil memeluk Rita, mamanya James. Dia tersenyum melihat Jody yang selalu bersikap hangat padanya."Kamu datang juga?" tanya Rita tersenyum, dia memeluk Jody dengan sayang."Kasihan James, dia tidak punya pasangan untuk datang kesini, jadi aku berbaik hati menemaninya," kata Jody penuh percaya diri."Dia hanya mau numpang makan ma, jangan percaya," Sahut james jengah. Dia berlenggang ke dapur."Apakah kamu sudah punya pasangan kalau begitu?" Tanya Rita curiga. James hanya diam."James terlalu perfectionis ma" Laila, kakak ipar James nyeletuk dengan sedikit tertawa. Di dalam keluarga James, mau anak atau menantu bahkan teman dekat dianggap sama. Orang tua mereka selalu memperlakukan mereka dengan adil. Jadi mereka tidak pernah canggung untuk saling mengungkapan perasaan. Tapi memang James orang yang tertutup, keluarganya sudah berusaha membuatnya nyaman berada disekitar mereka. Begitupun tidak membuat James mengubah sikapnya yang dingin dan sedikit bicar
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.
"sial!" James mengumpat dan berlari kebawah badan pesawat. Sontak semua pembajak keluar dari pesawat sambil membawa senjata mereka. Thomas bergegas masuk kedalam kabin kembali dan mengevakuasi para penumpang. Hatiku mencelos saat James terus dikejar-kejar para pembajak itu. Aku mengerti kenapa Thomas sengaja menyebut nama James, karena hal itu memancing para pembajak mengejarnya dan mengabaikan penumpang lain. Untungnya, tim SWAT yang sudah siap siaga segera berlari mengejar James dan membentuk barikade untuk menghalangi para pembajak itu. Tapi mereta tak gentar, seakan tak takut mati atau mereka tau petugas itu tidak akan langsung menembak mereka.James malah lebih dulu menyelamatkan wanita tua yang sedang bersamanya. Aku ketar-ketir memikirkan siapa gerangan wanita itu. Tiba-tiba saja seseorang berlari menghampiri James, dan kusadari itu adalah Scott. Dia langsung menutupi wanita tua dengan jaket dan memeluknya erat. Sebuah mobil SUV yang tadi menguntitku menghampiri mereka dan
Scott tidak mau bertutur sapa dengan Thomas. Dia bilang, hal itu akan lebih baik bagiku. Dia hanya ingin bertindak dibelakang layar. Tidak secara terang-terangan mendukung rencanaku. Aku manut saja dengan apa yang dikatakan Scott. Dia lebih berpengalaman soal ini dibanding aku. Setidaknya Scott mau menerima tekadku untuk bekerja sama dengan Thomas. "Kau harus memikirkan cara yang bagus untuk membujuk James. Dia akan pulang sekitar jam sepuluh malam""Oke," Dengan bekal arahan dari Scott, aku mengatur rencana agar James mau menerima pendapatku. Dan dengan beberapa bumbu tambahan berupa bujuk rayuan. Aku tau ini tidak akan mudah. ***Jam sembilan malam, aku berangkat ke bandara internasional untuk menjemput James. Ini akan menjadi kejutan, karena James meminta Scott yang menjemputnya. Keadaan sangat kondusif sampai aku berhenti di lampu merah. Sebuah mobil SUV mencurigakan yang aku tau sejak dari rumah sakit terus mengikutiku. Kepalaku jadi panas memikirkan kemungkinan adanya ora
"Olive" bibirku bergetar, tanpa suara menyebut nama gadis yang sedang terbaring lemah disana. Segera kuhampiri dia, untuk memastikan mungkin aku salah lihat. Tapi kekecewaan mengaliri setiap sel di tubuhku. Itu memang Olive, dia sedang tertidur atau entah kenapa. Matanya terpejam dengan lebam disekitar matanya, juga dibeberapa bagian wajahnya. Aku menoleh kebelakang, tempat Scott sedang diam memperhatikan reaksiku. "Apa yang terjadi?" tanyaku singkat, tak mampu mengucap lebih panjang lagi." Kecelakaan, aku tidak bisa menceritakan detailnya padamu," suara Scott dipenuhi perasaan bersalah. Jadi aku hanya mengangguk. Tak ingin membuatnya semakin sedih. "Olive," kucoba memanggilnya, dan dia membuka mata perlahan. Tersenyum, hal pertama yang dia lakukan ketika sadar aku didepan matanya. "Hai," sapa Olive dengan suara parau. Aku memeluk tubuhnya dan menangis disana. Hampir saja mengutuk keadaan yang sedang kami alami. "Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja," Olive mengusap lembut kepa
Karena James masih di Arizona, aku mengajak Thomas kembali kerumah sakit. Dia harus sering-sering menjaga Bella. Apalagi disaat kondisi kejiwaan sangat mengkhawatirkan."Terima kasih," ucap Thomas saat kami sedabg duduk berhadapan disisi Bella. "Jangan sering bilang begitu, nanti tidak ada artinya lagi," jawabku tersenyum. "Tentu, akan ku ingat," "Apakah Bella sudah makan?" "Sudah, dan dia terpaksa diberi obat tidur agar bisa istirahat,"Aku hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Kasihan sekali Bella, harus merasakan guncangan mental yang begitu hebat. Aku pernah dengar tentang Babyblues. Dan kurasa, Bella sedang mengalaminya. Bukan hanya bayinya, tapi kondisi Bella lebih mengkhawatirkan lagi. Thomas sempat berpikir untuk memberikan bayi Bella pada orang tua yang siap mengambilnya, tapi dia tidak tega jika suatu saat Bella menginginkan bayinya. "Ini memang pilihan sulit, disatu sisi kita menginginkan kehidupan yang layak untuk bayinya, tapi Bella juga membutuhkan waktu untuk se
"sayang," "Apa? Siapa ini?" tanya James terkejut diseberang telepon. "Kau sudah lupa aku hah?" kataku bersungut-sungut. "Bukan begitu, tapi Alice tidak memanggilku begitu," jawab James mengelak dengan sok bijak. "Baiklah, Apakah kau sedang sibuk?" "Jelas sekali sayangku, aku sangat santai saat ini""Kau dimana?" "Di Arizona," "APA?" aku memekik di telepon. Dan yakin James sedang menjauhkan ponsel dari telinganya."Ya, aku sedang santai di Arizona. Menikmati sengatan matahari dikulitku sambil melihat pemandangan proyek yang indah sekali," jawab James sarkas. "Lucu sekali," gerutuku kesal. "Ada apa sayang?" tanya James melembutkan nada bicaranya. Aku tersenyum. "Tunggu sebentar, pacarku sedang membutuhkanku. Ya, kau urus saja dulu itu," kata James tak sabar pada seseorang yang sedang bersamanya. "Apa kau pulang malam ini?" tanyaku genit,"Oh tentu aku pulang jika upah yang kudapat setimpal, sayangku," "Jangan banyak berharap sayaang, aku punya rencana yang sangat bagus untuk
Aku menyapa kakak Thomas dengan senyuman malu. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi Thomas menggeleng pelan."Oh ku pikir," katanya tertawa kecil. "Hai, aku Alice," kataku mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku lemah. "Bella. Kalian serasi sekali kau tau," Aku tertawa hambar, melirik Thomas yang juga cekikikan. "Dia hanya bisa dijadikan teman, kak," kata Thomas lembut. "Benarkah? Apakah kau sudah menikah ,Alice?" "Belum,""Kalau begitu masih ada kesempatan yang terbuka," "Kau akan mengerti kalau kuberitahu nama kekasihnya, kak," Bella menaikkan satu alisnya. "James Peterson," Satu nama yang membuat air muka Bella berubah. Tapi dia berhasil menguasai dirinya kembali. Menyunggingkan senyuman yang entah artinya apa. "Well, kalau begitu kau harus berhati-hati dik," "Hmmmm... Sedang aku coba lakukan. Tapi gadis ini sulit sekali kutolak," Bella tertawa keras, sambil memegangi dadanya yang terlihat sakit. "Kalian berbicara seolah aku tidak ada disini," kataku memasang waja
Pagi ini berlangsung menyenangkan. Karena si pria megalomaniak itu sudah pergi ke kantor lebih dulu. Aku akhirnya bisa mandi dan sarapan dengan tenang. Beberapa pesan tak penting dari James hanya kubaca sekilas tanpa membalasnya. Aku tak ingin mengganggu pagi yang menyenangkan ini. Hari ini, Scott tidak bisa ikut ke kampus. Dia sedang ada tugas rahasia sejak beberapa hari yang lalu bersama Olive. Aku bahkan tidak dapat menghubungi Olive. Kupikir mereka sedang menyelidiki kapal selam perang milik rusia. Aku memutuskan akan mengendarai mobil sendiri saja. James sudah lama memberiku salah satu mobilnya yang sama sekali belum aku sentuh. Mungkin ini saat yang tepat untuk memanfaatkannya. Setelah membuka garasi yang menghabiskan seperempat bangunan itu, aku mencari -cari kunci mobilku yang tergantung apik dalam kotak kaca. Tak disangka, saat menemukan mobilku, sudah ada kertas yang berisi pesan dari James. "Hati-hati sayang. Aku tau kau akan menggunakannya suatu saat," Begitulah p
Meski gayaku percaya diri, tak urung lutut ku lemas juga. James masuk lebih dulu, sementara aku duduk diruang tunggu. Agensi ini memiliki nama besar. Menaungi banyak artis ternama. Aku merasa bagai semut berjalan dibawah kaki gajah. Tapi jika dipikir, bagus juga jadi semut kan?"Nona Alice?" "Ya?" aku langsung berdiri dengan gugup. Menahan kaki yang semakin gemetar habat. "Silahkan naik kelantai 3," kata seorang resepsionis berambut pirang yang cantik. "Baik," Aku masuk lift, lalu berhenti di lantai 2. Ada seorang pria jangkung, putih dengan garis wajah petak yang tegas. Hidung bagai dipahat dari pualam. Aku berpura-pura memerhatikan ponsel, tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia berdehem, dan ikut bersandar disebelahku, "ke lantai tiga?" tanyanya manis sekali. Tentu aku tidak ingin pingsan. "Ya," jawabku singkat. " Apa kau tidak mengenaliku, Alice?" Aku langsung m