Emmphhh
EmmphhhHanya itu yang keluar dari mulutku. Aku ingin melawan tapi tenaganya kuat sekali. Sedangkan tubuhku meskipun cukup tinggi dan sintal, tetap saja hanya seorang wanita biasa."James!" mataku membelalak saat kami sudah masuk ke dalam kamar mandi dekat dapur.Aku menggeser tubuhnya yang bongsor dan hendak membuka pintu. Tapi dengan mudahnya dia mengangkat tubuhku kembali ketempat semula."Minggir! Aku mau masak!" aku menghardiknya. Tapi wajahnya benar-benar kelihatan marah, "apa?""Kemana saja kau seharian ini?" tanyanya frustasi."Beres-beres rumah Oliv terus kepasar sama Cici,""Lalu apakah kau tidak sempat mengangkat teleponku?"Aku lupa, dimana ku letakkan ponselku? Kucoba meraba tas kecilku. Tapi James sudah menemukannya lebih dulu. Entah dimana. Dia memberikannya padaku."Jangan pernah tinggalkan ponselmu, aku bisa gila jika tidak tau kabarmu barang sedetik. Ingat itu!"Aku menatap James tak percaya. Kenapa dia jadi begitu posesif? Lihat sekarang. Dia malah meninggalkanku begitu saja.Dengan kesal aku keluar kamar mandi setelah menyimpan ponselku di dalam tas. Mengambil kantong belanjaan yang sempat terlempar di depan pintu dapur.Sejenak aku melupakan sikap posesif James. Karena ketika memasak, semua amarahku menguap. Sinta memintaku memasak lebih banyak karena keluarga Oliv sedang berkumpul.Tentu saja aku iyakan dengan senang hati, karena disinlah keahlianku. Memasak sudah menjadi hobiku sejak kecil. Ibuku selalu berkata, "jika orang lain bisa membuat makanan seenak itu tentu kita juga bisa membuatnya".Sejak saat itu ku sering mengikuti kelas memasak. Mulai dari makanan khas indonesia maupun luar negeri. Beberapa resep juga aku modifikasi. Ku pikir suatu saat akan bisa menjadi modal utamaku membuka bisnis di bidang kuliner." Wah, harum sekali," seorang wanita paruh baya masuk kedapur sambil menghirup aroma masakanku.Aku dengan sopan langsung menjabat tangannya berkenalan, "Alice,tante," sapaku sambil sedikit menunduk."Temannya Oliv? Ya ampun. Jarang -jarang loh ada gadis seperti kamu yang pinter masak," pujiannya membuatku ingin terbang."Oh ya, nama tante Rita. Neneknya Oliv," timpalnya memperkenalkan diri.James duduk di kursi dapur sambil mengawasi ku dengan mata elangnya. Aku hanya memutar bola mataku jengah. Dia berlebihan sekali."Nah James ini anak tante yang bungsu. Kalian udah saling kenal?" tanyanya padaku."Sudah ma," James yang menjawabnya."Emm bagus kalau begitu. Ini loh menantu idaman mama nak. Kalau kamu suka sama Alice. Mama langsung memberikan restu. Sudah cantik, pinter masak, sopan lagi. Pokoknya mama langsung klop sama dia," kata tante Rita terus memuji.Wajahku merah padam. Dengan kikuk melanjutkan acara memasakku yang sudah hampir selesai. Tante Rita membantuku menghidangkan makanan. Tak lupa dia mencicipi semua hasil karya ku."Oh my god!" serunya dengan heboh, membuat James tersenyum geli, "ini semuanya enak -enak!"Kami semua berkumpul di meja makan. Ada om Hans, papanya James. Tante Rita, dan beberapa kerabat Oliv lainnya. Aku duduk tepat bersebelahan dengan James.Kami makan sambil bercengkrama. Selama itu pula, James terus menggodaku. Tangannya yang nakal terus saja meraba pahaku yang terekspos karena aku mengganti baju dengan gaun.Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Matanya terus melihat kearah piringnya, atau melihat ke arah orang yang sedang berbicara. Dia terus mengabaikan ku secara vokal tapi menggodaku secara fisik. Sangat keterlaluan.Oliv banyak tertawa selama kunjungan keluarganya. Karena dia sering sekali ditinggal sendirian. Nenek dan kakeknya terlihat sangat menyayangi Oliv, tapi mereka juga sibuk.Tante Rita masih bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit ternama, dan dia menjabat sebagai direktur disana. Sedangkan Hans, masih aktif mengelola bisnisnya yang sudah dia bangun selama puluhan tahun.Tapi yang aku baru ketahui adalah,m, ketiga putra-nya ternyata membangun bisnis mereka sendiri. Tanpa bantuan modal dari sang ayah. Didikan Hans begitu disiplin sehingga anak-anaknya menjadi mandiri dan sukses.Aku semakin menatap James dengan kekaguman. Karena dari mereka bertiga, hanya dia yang bisa melampaui pencapaian Hans.Saat menjelang sore, keluarga Oliv berpamitan. Aku membungkus beberapa cake dan roti panggang buatanku selama berkutat di dapur bersama tante Rita. Dia ternyata tidak begitu pandai memasak.Hanya James yang tinggal, karena dia tidak tinggal serumah dengan orang tuanya.James menatapku penuh ketajaman. Dan aku membalasnya dengan melotot. Masih merasa jengkel karena dia bersikap posesif padaku."Kau marah?" tanyanya memecah kesunyian.Bisa kurasakan tatapan kami bagaikan perang mata laser."Tidak!" jawabku singkat."Jangan membuatku gila, nona muda!" James langsung mendorongku ke dinding dapur dan menekan tubuhku. Bibir kami hampir bertemu, tapi James tidak mau menciumku lebih dulu."Lalu kenapa wajahmu terlihat jelek sekali? Calon menantu idaman?""Berhentilah menggodaku dan pulanglah. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan," sergahku berusaha melepaskan diri dari tubuhnya."Kau mengusirku? Kau berani?" James menaikkan satu alisnya. Dan membuatku curiga.Dengan secepat kilat James membopongku keluar rumah Oliv melalui pintu dapur. Cici yang hendak masuk ke dapur menutup matanya dengan tangan pura-pura tidak melihat kami."Lepaskan aku James!" aku memukuli pundaknya yang kekar. Dia mengangkatku seperti membawa bantal saja.James langsung memasukkan aku kedalam mobilnya. Dan memasangkan sabuk pengaman. Setelah mengerling nakal, dia duduk di kursi kemudi. Aku hanya bisa pasrah dalam sandranya."Mau kemana?" tanyaku setelah bisa menguasai diri. Nafasku cukup terengah-engah tadi."Ke apartemenku. Aku tidak tahan lagi terhadapmu,""Tidak tahan?""Kau membuatku gila, Alice. Rasanya aku ingin sekali membawamu pergi jauh yang hanya ada kota berdua. Aku tidak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Ini pertama kalinya denganmu,""Benarkah?" tanyaku terkejut sekaligus bahagia.ponselku berdering. Cici meminta panggilan video."hei," kataku kikuk saat wajah Cici memenuhi layar Ponselku.Cici mendelik, "kalian mau kemana? kalau Oliv nanya gimana?""emm mau keluar aja belum tau mau kemana," jawabku ragu sambil menggigit bibir bawahku.James menepikan mobil dan berbicara pada Cici. Dia mengeluarkan jurus mautnya tentang buah tangan dan lain sebagainya. Dan selalu berhasil pada Cici.Saat ponselku kembali, wajah Cici sudah sumringah. diiringi Sinta yang berbisik."Jangan lupa janji kalian ya! soal Oliv, biar kami yang urus,"Aku mengangguk meyakinkan mereka. Setelah negosiasi yang menyenangkan itu, Cici memutus sambungannya.Aku dan James hanya bisa tertawa lega."Mau nonton film?" James bertanya sambil menyalakan tv, dia menghubungkannya ke ponsel.Saat ini, kami sudah berada di dalam apartemen James yang super mewah."Aku gerah," kataku sambil menciumi bajuku yang terasa lengket. Banyak pekerjaan yang aku lakukan sejak pagi dan belum mandi.James memandangku dengan binar cerah dimatanya, aku melihat dia berharap." Ayo, di kamarku ada bathtub besar yang bisa kita pakai berdua," kata James santai sambil naik kelantai atas, aku tidak bisa protes karena dia mendadak jadi tuli."Aku mau mandi sendirian, James!" keluhku sambil mengikutinya, langkahnya lebar sekali. Hah! Dia benar-benar jadi tuli sungguhan. Aku menghentakkan kaki dengan jengkel."Apa kau bawa baju ganti sayang?" James bertanya, aku mengabaikannya. "Tidak, mungkin bisa pakai pengering handuk?" tanyaku sambil berjalan melewatinya. Satu persatu pakaian yang aku kenakan kulepaskan."Ada mesin cuci dry clean," jawabnya sambil memunguti pakaianku yang berserakan dilantai. Aku hanya
"Ya, ibuku sebenarnya tidak punya tipe menantu idaman. Dia hanya ingin melihatku bahagia, bahkan dia sering menangis memikirkan aku yang masih sendiri. Dia takut aku tidak bisa menikah karena trauma yang aku alami,""Trauma? jelaskan padaku James," aku menekan setiap kata-kataku."Sebenarnya aku anak angkat," kata james sambil memutar-mutar ujung rambutku. Aku terkejut dan memandangi matanya. Dia tidak mau melihatku."Tapi ibumu terlihat menyayangimu seperti anak kandung," kataku heran dengan fakta itu."Ya, bagiku dia malaikat. Dia mengadopsiku saat usiaku tujuh tahun. Saat itu dia masih aktif sebagai dokter spesalis anak, dan mereka menemukan aku di sebuah hotel bersama ibu kandungku yang sudah meninggal."Mataku membulat, lalu aku memeluk erat James. Mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Tak terasa mataku basah. James melanjutkan kisahnya."Kata mama, saat dia menemukanku saat itu diketahui bahwa kami turis. Ibu kandungku meninggal karena overdosis. Di tanda pengenal nya, dia
James berang mendengar aku di tuduh murahan oleh wanita murahan itu. Dia menutupiku dengan selimut, sementara dia memakai celana boxernya. James berjalan perlahan ke arah Clarisa."Apa kamu pikir kamu berharga?" wajah James menyeringai muak."Tapi... James," ucap Clarisa terbata-bata."Kita hanya sebatas teman ranjang, dan aku menyesal pernah melakukannya dengan kamu. Pergi dari sini atau perlu aku tarik kamu keluar!" "Dia masih anak ingusan James, apa dia bisa memuaskan hasrat liar kamu itu,""Diam! Dia wanita yang aku cintai. Bahkan dia jauh lebih dewasa dibanding kamu!""Hah? Cinta? Sejak kapan kamu main cinta James? Kamu itu hanya butuh pelampiasan. Dan aku bisa jadi apapun buat kamu. Bahkan aku bawa mainan baru untuk kamu,"Aku melihat Clarisa mengeluarkan cambuk kecil dari tasnya. Ujung cambuk itu ada bola kristal kecil yang menggantung bersama bulu. Dia juga mengeluarkan sepasang apa itu? Lato-lato?. Aku tidak tau apa gunanya semua itu. James mengerang frustasi. Dia melempar
"Alice!" Oliv melotot padaku saat pagi harinya aku baru pulang kerumahnya. Aku merasa sedang dimarahi ibuku. "Maafkan aku Liv, aku ketiduran dirumahku," kataku mengarang cerita agar mereka tidak curiga padaku. Hanya Cici yang tau dan dia sedang berpura-pura memarahi aku juga. "Mana camilan yang kau janjikan padaku!" Cici menagih janjiku dengan wajah datar yang dingin.Hampir saja aku melempar sepatuku ke wajahnya. Pandai sekali dia bersandiwara.Aku menunjuk ke meja makan. James memberikan aku uang untuk membeli semua belanjaan itu. Aku pergi sendiri ke supermarket. Cici bertepuk tangan dengan riang setelah melihat aku menepati janji. Oliv melotot sesaat lalu dia juga tersenyum. Sebenarnya, Oliv tidak bisa sembarang makan camilan, tapi kami kasihan padanya. Jadi aku berinisiatif membawa camilan yang sangat rendah gula dan pewarna makanan. Uang yang diberikan James cukup untuk uang bensinku selama sebulan. Aku sempat berbelanja bahan dapur supaya tidak perlu bolak-balik lagi,
James berkendara dengan kecepatan yang lumayan tinggi Beberapa kali melakukan panggilan telepon kepada bawahannya. Dia terus memasang wajah sangar, aku takut melihat ekspresinya yang seakan ingin membunuh seseorang. Sekitar satu jam perjalanan,kami sampai dirumahku. Aku penasaran bagaimana James tau alamat orang tuaku, padahal aku belum memberitahunya. Bahkan dia tidak bertanya. Aku langsung membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. Rumahku tampak ramai dikunjungi tetangga. Aku menerobos barisan tetangga yang sedang membicarakan ayahku. "Ibu!" aku langsung menghampiri ibuku yang sedang duduk dilantai dengan wajah lesu. Dia langsung memelukku erat, hanya bisa menangis tanpa bisa berkata apa-apa. Aku merasa bersalah kepada mereka."Ayah bagaimana buk?""Dibawa baron kerumahnya nak, katanya kalau mau jemput ayah harus lunasi hutangnya hari ini," Ibu menjelaskan sambil menangis. Aku tidak bisa menenangkan nya lagi.James menunggu. Dia sedang berdiri didekat pintu menyaksikan tangi
" Apa kamu duda?" tanya ayah lagi saat aku tidak menjawabnya"Belum pernah menikah pak," James menjawab dengan santai."Begini james," ayah mencondongkan tubuhnya ke depan. "siapapun pasti curiga saat ada pria mapan yang kaya raya dan juga tampan seperti kamu belum pernah menikah," ayah melanjutkan kata-katanya dengan iris mata yang menggelap dan sangar."Anda meragukan saya?" James masih bersikap santai, sementara kepalaku sudah panas."Ayah, James memang masih bujangan. Dia adik papanya oliv. Tidak mungkin kan aku tidak tau latar belakangnya," aku mencoba menengahi mereka. "Putriku, kamu memang sudah pandai. Tak sia-sia kamu kuliah di kota besar," pujian ayah mengandung sarkasme yang tepat pada sasarannya. Aku hanya bisa menunduk, itu sebuah sindiran keras bagiku."Mungkin benar kamu jujur tentang statusmu. Jika kamu bukan orang kaya dan tidak tampan mungkin saya tidak curiga James.""Ayah, kok bicara seperti itu? " Ibu keluar dari dapur dengan tersenyum, lalu duduk mendekat
"Bisakah kau menjemputku hari ini?" aku mengirim pesan pada James, menunggu dengan harap-harap cemas. Lama sekali aku menunggu."Bisa, tunggu satu jam lagi," hanya itu balasan dari James. Aku berusaha berpikir positif,dia pasti sedang sibuk.Sambil menunggu James, aku bersiap-siap. Saat sudah hampir satu jam, aku berpamitan dengan ibu. Ayah sudah berangkat bekerja. Aku sengaja menghindarinya, dan berencana pergi sebelum dia pulang.Tak lama kemudian, sebuah mobil berwarna hitam datang. Aku sudah sumringah sampai saat membuka pintu depan, kekecewaan menerpa. Bukan James yang menjemputku, tapi salah satu bawahannya. Dia berpakaian rapi dengan jas hitam yang mewah. Dengan lesu aku duduk dikursi belakang.Mobil langsung melaju pelan. Aku tidak berminat berbicara atau membuka ponsel. Jadi kami diam selama perjalanan. Pikiranku melayang entah kemana , sesekali menyeka air mata diujung mataku. Ada dengan James? Aku tau perkataan ayah pasti menyakiti hatinya, tapi bukankah dia cinta padaku?
"Ada apa denganmu?" James menggeram dengan marah, Alice membuatnya sangat khawatir. Mengembalikan kartu kreditnya yang bahkan belum sama sekali digunakan, bahkan dia minta diturunkan ditengah jalan. James semakin marah lagi karena Alice malah memutus sambungan panggilan videonya."Dia ada disekitarmu Jody, perhatikan dengan seksama dia bilang melihatmu didepan, berarti dia sedang berada didalam ruangan," "Oh saya menemukannya pak, dia ada didalam minimarket," kata Jody senang ."Bagus, bujuk dia untuk pulang.""Jika tidak bisa pak? Dia terlihat sangat marah," Jody bertanya dengan ragu. James berpikir sebentar. Bagaimana caranya dia bisa tau keadaan Alice tanpa sepengetahuannya."Kalau begitu, buntuti saja kemana dia pergi. Tugas kamu sekarang hanya mengawasi Alice""Baik pak".Dengan gerah James melepas dasinya, dan dua kancing kemejanya. Saat ini libido nya naik, dia ingin pelampiasan. Biasanya James akan menghubungi salah satu wanitanya. Tapi sejak bertemu Alice tidak satupun
"James? Kau kenapa?" Alice yang sedang meneguk air dari botol minum tampak panik, dan menghampiri kekasihnya. "Tidak apa, " James hanya menyambut dan memeluk Alice. "Wajahmu pucat, apa kau melihat hantu?" James mendengus, sejak kapan hantu dapat menakutinya. Yang dia takutkan ada didepan matanya. "Kenapa kau pulang tidak mengabari aku?" Sekarang mata James menelisik curiga. "Oh anu," Alice melepaskan pelukannya dan berjalan mundur. "Jangan main-main denganku. Apa kau tak tau aku sudah setengah gila?" James merasa seluruh tubuhnya memanas. Alice malah menjauhinya. Tiba-tiba saja Alice berlari ke tangga dan menuju loteng. Entah apa yang ada dipikiran Alice, tapi James semakin dikuasai emosi. Bagaimana tidak? Dia pulang tanpa mengabari, itupun Scott yang memberitahunya. Saat di bandara, dia juga bersama Aldrick yang James benci. Sekarang malah berlari menjauh tanpa memberi penjelasan apapun. James berjalan dengan perasaan berang. Memijakkan kakinya dengan langkah lebar-lebar. Ha
Pria paruh baya itu tidak mengatakan apapun, tapi dari tatapan matanya James langsung mengerti siapa dia. Mereka akhirnya berbagi tongkat berjalan masuk ke dalam bandara. "Bagaimana, apa kau sudah melihat kedatangannya?" Bisik James tak sabar. "Aku melihatnya , apa kau sudah mulai rabun?" "Cih, dasar tidak sopan!" ,James menggerutu tapi matanya jelalatan mencari. "Jangan lihat ke arah kirimu, nanti mereka curiga" James mengangguk, menahan kepalanya agar tidak melakukan hal sebaliknya. Sulit sekali melakukan itu karena dia benar-benar merindukan Alice. "Lihat itu, pria dengan setelan hawai yang norak?""Kenapa? Siapa mereka?"" Kau tidak mengenali mereka?" James tidak memperhatikan mereka, dia sibuk mencari-cari kesempatan menoleh ke arah Alice. Tapi mereka sudah pergi. "Ayo kita pergi saja, nanti kita tertinggal jauh" pinta James tak sabar. "Astaga! Dia pasti akan pulang kerumah, tenang saja""Darimana kau tau?" James mendelik marah. Dia takut Aldrick berlaku licik. Membawa k
Baron dikurung dalam rumah sakit jiwa selama beberapa bulan, membuatnya jera dan berhenti dengan kebiasaan buruknya itu. Jadi, saat James menemuinya di bawah tanah saat ini pun, Baron sudah menjadi orang yang berbeda. Bukan Baron yang suka menculik anak-anak remaja untuk di lecehkan. "Bagaimana kabarmu, bung?" tanya James seraya duduk tepat berhadapan dengan Baron. Dengan wibawa yang berbeda, Baron menyambut hangat uluran tangan James yang menyapanya. "Aku baik, terima kasih sudah membantuku," "Justru aku yang harus berterima kasih, Baron. Kau sudah memberiku banyak informasi penting," Baron tersenyum tulus, lalu membuka laci meja kerjanya. Dia mengambil sebuah map cokelat lalu memberikannya pada James. "Informasi lain untukmu, kau akan terkejut mengetahui orang-orang yang terlibat didalamnya," Baron tampak khawatir."Apa mereka mencurigaimu?" "Tidak, aku anggota lama. Hanya saja tidak pernah aku benar-benar mengurusi data-data seperti itu. Setiap anggota jaringan berhak tau s
"ayo!" Baron ditarik paksa oleh James. Mereka sudah sampai di sebuah gedung yang mirip rumah sakit. Baron mencari-cari nama rumah sakit itu tapi mereka sudah berada di halamannya. "Mau kemana kita?" tanya Baron ketakutan. Yang ada dipikirannya adalah..."Suntik mati!" Jawab James tanpa menoleh. Garis wajahnya begitu tegas dan kejam, membuat Baron semakin trauma. "Kumohon, jangan suntik mati" rengek Baron memelas, "aku akan lakukan apapun tapi jangan suntik mati aku" "Kau rupanya takut mati juga? Apa kau takut tidak dapat kesempatan mencoba obat barumu?" "Apa?""Obat baru yang kau beli dari seorang dokter kandungan" "Darimana kau tau itu?"James menghentikan langkah dan menatap tajam Baron, "tentu saja aku tau semua perbuatan mu, bahkan semua daftar psk juga gigolo yang kau sewa!" Baron bungkam, dia tidak dapat mengelak apapun lagi. Sudah pasti James bisa mendapatkan informasi apapun dari manapun. Selama ini, Baron merasa bahwa dia adalah seorang mafia yang disegani di bawah ko
Hari -hari James menjadi lebih sulit setelah dia pulang ke Boston. Terus mengecek email dan meminta semua orang untuk melapor setiap satu jam sekali. Gedeon yang paling aktif. James sempat tersedak saat sedang meneguk tehnya. Cara Gedeon cukup cerdik. Dia menggunakan media sosial untuk mengunggah setiap aktifitasnya di Farm Girl sebagai pegawai baru. Alice menyadarinya tentu saja, tapi dia terus tersenyum saat diajak ber selfie oleh Gedeon. Terkadang Alice menunjukkan sarapannya, atau melambai saat dia sedang berjalan melewati Farm Girl di petang harinya. Itu mengobati rindu James meski hanya sedikit. Sebagian besar pekerjaannya sudah di alihkan pada semua tangan kanan dan sekretasinya, namun kehadirannya di kantor sangat dibutuhkan. Pengaruh James yang cukup besar tidak hanya untuk perusahaannya saja, namun beberapa saham yang dimilikinya di beberapa negara bagian lainnya. Seperti satu hari itu, James berangkat menggunakan
"Dia pergi kekawasan Notting Hill kak," Scott melaporkan situasi terkini Aldrick Beufort pada James yang sedang berjaga-jaga di dekat sebuah gedung. James terus merasa gelisah sejak kepergian Alice bersama Thomas. Dia melihat bagaimana pandainya Thomas mengatur emosi, mimik wajah juga ucapannya. Orang seperti itu sangat berbahaya jika kita tidak bertindak hati-hati. Jadi, alih-alih membiarkan Alice melakukan petualangan nya sendiri, James malah mengatur rencana untuk kekasihnya. "Cari tau apa yang dia lakukan disana, dik," titah James tegas, dia tidak mau membuang kesempatan apapun untuk Alice. "Baik," Scott mematikan sambungan .James lalu pindah ke sebuah kafe diseberang gedung itu. Mengawasi setiap gerak-gerik mencurigakan. Mendapati Alice keluar bersama Thomas dan beberapa gadis yang tampak akrab dengannya. "Apa dia mendapat teman baru?" pikir James menaikkan satu alisnya. Dia sangat tau bagaimana Alice. Dia me
"ehemmmm" Aldrick langsung mengalihkan pandangan pada gadis mungil dibelakangnya. Matanya sinis juga mencela. Tapi bibirnya terkatup rapat. Alice bersikap santai, dia tersenyum lebar lalu duduk disebuah kursi dekat jendela. Angin menyibakkan rambutnya yang tergerai panjang. Ingin sekali Aldrick merapikan rambut itu. "Eh kok sudah bisa senyum? Sudah sembuh?" Celetuk Aldrick membuat Alice nyengir."Belum, tapi karena musiknya sudah mati, jadi gigiku tidak terlalu berdenyut seperti tadi," "Oh maafkan keegoisanku madam," Aldrick meminta maaf sambil membungkuk dengan sikap hormat. "Hahahah! Aku merasa jadi lebih tua," "Oh maaf, nona. Aku lupa kau belum menikah atau apakah sudah?" sindiran penuh rasa penasaran. "Tentu saja belum," Alice tersenyum manis sekali, sampai rasanya Aldrick akan membutuhkan suntik insulin. "Baiklah, aku akan mengambilkan minum untukmu" diberikannya obat pereda nyeri itu,
Semua hal di dalam dunia menjadi indah jika kita mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Namun Aldrick hanya memiliki sebagian sebagian besar yang diinginkan kebanyakan orang. Uang bukan sesuatu yang benar-benar menggiurkan jika kau memiliki seisi Bank. Tapi Aldrick bersyukur dia memiliki Nut. Meskipun sebelum ini Aldrick tidak pernah bertanya siapa ibunya, tapi dia juga tidak menampik akan rasa penasaran terhadap sosok ibunya. Meski begitu, selera Aldrick tentang perempuan juga tidak main-main. Mungkin karena itu dipengaruhi oleh pengasuh nya sejak bayi, yaitu Bibi Sally. "Kau tau! tidak ada seorang ibu yang ingin melihat anaknya menderita. Semua ibu itu memiliki cinta yang paling besar untuk anak-anak mereka. Anak adalah hidupnya, dan dia rela menukar hidupnya untuk kebahagiaan anaknya," Dulu, Aldrick tidak mengerti ucapan yang selalu di ulang-ulang oleh Bibi Sally. Namun belakangan, Aldrick sudah mengetahui maknanya. Hingga ia memutuskan untuk
Nut terheran-heran. Sejak tadi Aldrick terus memandang ke jendela dan tersenyum seperti orang gila. Bahkan dia tidak memberi tahu Nut, siapa yang dia kunjungi di Brick Lane tadi. Namun Nut tidak ingin mengganggu apapun yang membuat tuannya tampak bahagia. Dia bersimpati pada gadis yang membuat Aldrick tampak berbeda. Binar matanya yang kelam menunjukkan cahaya meski sedikit. Mobil berhenti didepan rumah yang berdempetan rapi. Setiap rumah di cat dengan warna-warna cerah , menambah keindahan kawasan di Notting Hill itu.Aldrick membeli rumah di Chepstow Villas ini sejak tahun lalu, saat perjumpaannya dengan Alice. Dia memiliki harapan yang cerah begitu mengunjungi kawasan yang selalu ramai wisatawan itu. Rumah dengan warna cat biru pastel. Disebelah rumah berwarna pink. Dia mengira rumah itu kosong dan akan manis sekali jika yang menempatinya itu seorang gadis. Selain lingkungannya yang bagus, Chepstow dekat dengan Westbourne Grove, y