Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Di sudut kecil kota, di suatu sore yang tenang, Ava tampak gelisah ingin mengatakan sesuatu tentang bibinya kepada Pak Leon. Tapi, bagaimana caranya? Ia tidak tahu. Saat ini, Ava hanya sedang duduk-duduk sambil menanti bibinya menyelesaikan shift kerjanya yang pertama, di sebuah restoran kecil yang ada pada tepi jalan. “Ava, ayo kita pulang!” seru sang bibi yang telah berkemas dan siap untuk pergi. Ava mengangguk sambil menyeruput habis tehnya yang tinggal sedikit. Ia lalu melompat turun dari kursi dan mengejar langkah sang bibi. “Bibi, kapan kita akan mengunjungi ayah dan ibu lagi?” tanyanya sambil mencoba meraih tangan sang bibi yang berayun, tak jauh darinya, namun gagal. Bibinya tak ingin bergandengan tangan dengan Ava. Ia segera melipat kedua tangannya di dada dan terus berjalan. “Entahlah, Ava! Bibi sangat sibuk. Kau tahu, kan? Pekerjaan Bibi banyak,” cetus sang bibi tanpa menoleh ataupun ingin bersitatap dengan keponakan kecilnya. “Oh ….” Ava diam. Ia tidak ingin membuat bi
Sesuai janji, Leon mengajak Arren untuk membeli kue stroberi. Leon teringat toko kue yang dulu pernah ia tuju ketika membelikan buah tangan untuk istrinya itu. “Kau masih ingat kue tart stroberi itu, Sayang?” tanya Leon sambil menoleh ke arah sang istri yang sedang tersenyum cerah. “Tentu saja! Untuk itulah aku sangat bersemangat, Sayangku!” serunya sambil memancarkan binar bahagia. Leon tersenyum dan merasa lega karena nuansa muram tidak lagi tampak pada wajah ayunya. “Kau sangat cantik ketika tersenyum. Lupakanlah rasa sedihmu itu. Aku tidak suka.” Arren menatap Leon dengan penuh perhatian. Ditariknya lengan Leon yang sudah ada pada jangkauan. Wanita itu lalu melingkarkan lengan sang suami ke belakang punggung dan menyandarkan kepala ke bahunya. “Berhentilah marah-marah, Sayang. Kau akan cepat tua. Aku tidak ingin kau terlihat semakin keriput ketika berjalan bersama,” goda Arren sambil memejamkan mata. Tingkah Arren yang manja terkadang membuat emosi Leon luruh seketika. Perbeda
“Bagaimana aku harus bertanggung jawab?” Leon mengangkat alisnya. Arren hanya tertawa mendengar pertanyaannya. “Kau harus bertanggung jawab atas rasa cintaku yang semakin besar padamu, Sayang,” ucap arren sambil menyandarkan kepala manja. Leon segera memeluk Arren erat dan menitikkan air mata. Entah apa jadinya jika gadis lain yang menjadi tawanannya. Mungkin, gadis itu terbunuh dan Leon juga masih saja sama: kejam, tak berperi-kemanusiaan dan menghancurkan dirinya hingga tak ada tempat kembali seutuhnya. “Aku benar-benar beruntung karena telah memilikimu, Arren.” “Aku pun begitu. Nah sekarang, ayo kita turun,” ajak Arren sambil menatap ke luar jendela. Benda-benda di seberang sana sudah berhenti semua. Itu pertanda, mobil mereka telah menepi dan sampai ke tujuan yang diharapkan. “Silakan, Tuan, Nyonya.” Sang sopir membukakan pintu untuk mereka. Arren segera keluar dengan rona bahagia yang terpancar di wajahnya. “Suasananya sungguh menyenangkan,” ucapnya sambil menunggu Leon datan
Wajah Arren merah padam ketika Leon mengatakan kalimat itu. Es krim yang tadinya lancar meluncur ke tenggorokan tiba-tiba tersangkut dan muncrat ke luar. “Leon!” pekik Arren sambil membelalakkan bola matanya. Leon hanya tertawa lebar. Ia lalu meraih wajah sang istri dan menyusurkan telapak tangannya pelan. “Aku tidak berbohong,” ucapnya kemudian. Arren hanya terus mengkode agar suaminya diam dan berpura-pura tidak mendengar. “Permisi,” tiba-tiba ada seseorang yang datang. “Ya?” Leon menoleh ke arahnya sambil menatap heran. “Ada perlu apa?” tanyanya langsung tanpa ingin berbasa-basi lebih lama. “Anda telah mengganggu ketertiban di sini. Bisakah Anda sedikit tenang?” ucapnya sambil menatap Leon tajam. Arren agak terkejut dengan teguran itu, berbeda dengan Leon yang tampak tidak mau tahu. “Apa urusan kami dengan ketertiban? Kami juga pelanggan!” ketus Leon tanpa ingin mengalah atau pun berdamai dengan keadaan. Ia lalu bangkit dari kursinya dan mulai meletakkan kedua tangannya di pi
Tentu saja Ava belum mengatakan apa pun. Kalimat itu hanya ada di dalam kepalanya. “Ava, kau ingin es krim apa?’ tanya Arren ramah sambil menunjukkan buku menu yang ada di meja. “Es krim cokelat saja, Bibi,” jawab Ava tanpa melihat buku menu. Ava sungkan. Ia tidak terbiasa diistimewakan. “Es krim cokelat ya? Mau yang cokelat dengan mint, cokelat dengan meses atau cokelat dengan kacang?” tanya Arren sambil menunjuk-nunjuk tiga es krim cokelat yang berbeda di menu itu. Leon tampak tak sabar. “Beli saja semuanya! Jadi, kita bisa segera mengobrol.” “Baiklah. Nona, tolong saya beli semua es krim varian cokelat ini, ya!” seru Arren kepada pelayan yang ada di hadapannya. “Baik, Nona!” “E–eh! Bibi! Tidak perlu sebanyak itu!” Ava panik. Ia benar-benar merasa tidak enak hati kepada Pak Leon dan Bibi Arren. “Saya tidak ingin merepotkan,” ucapnya sambil memasang ekspresi sedih. Ava pernah bertingkah serakah seperti itu, kemudian Bibi Esme segera memarahinya karena terlalu memboroskan uang
Ava menatap wajah Leon tak percaya. Ia senang akhirnya Bibi Esme mengizinkannya untuk ikut serta. “Benarkah?” ulangnya tak percaya. Leon menganggukan kepala. Hati Ava terasa terbang ke udara. “Kalau begitu, ayo kita pergi!” ajak Arren senang. “Ayo!” Ava menyahut riang. Sekilas, Ava, Arren dan Leon tampak seperti keluarga kecil yang sedang berpiknik bersama. TIdak terlihat sama sekali kecanggungan dalam sikap mereka. “Pertama-tama … kita akan pergi ke restoran terkenal itu, apa ya namanya?” Arren mencoba mengingat-ingat. Leon memandangnya heran. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan? “Ah! Restoran Vogue. Aku ingat. Restoran itu ada di dekat Museum. Tidak jauh dari sini, kok!” terangnya dengan mata berbinar. Leon tertawa kecil dan memberi persetejuan. “Baik, Bibi!” Ava tampak menurut saja. Ia tidak banyak protes. Kemana pun Arren dan Leon pergi, Ava akan ikut serta. Ia akan membicarakan sesuatu hal yang penting kepada mereka berdua. Sesuatu yang asing, menurutnya. Ava memerlukan pe
Ava menunduk takut. Ia tidak yakin bahwa pembicaraan ini akan berakhir baik. “I—iya, seperti itulah,” ucap Ava ketakutan. “Ava. Ini tuduhan yang serius. Jika memang Bibimu itu memiliki alat pelacak dan menyebut namaku … artinya, alat pelacak itu ada pada salah satu dari kami, begitu?” tanya Leon mencoba memberi pengertian dari informasi yang diberikan oleh Ava. “Iya, begitu, Pak. Saya takutnya … Bibi telah melakukan hal yang tidak-tidak pada Anda berdua. Saya khawatir dengan keselamatan Anda,” kata Ava sambil menatap Leon dan Arren bergantian. “Leon, hanya ada satu cara untuk meluruskan segalanya. Kita harus mencari alat yang dimaksud Ava, ‘kan?” ucap Arren mencoba mencari solusi. Leon mengangguk cepat. “Sepertinya, kita harus pulang ke rumah Ava,” putusnya. Arren sepakat dengan keputusan Leon. Ava juga tidak tampak keberatan. “Ta–tapi ….” ucapnya lagi. “Ya? Ada sesuatu lagi yang harus kami ketahui?” tanya Leon tak sabar. Ia ingin segera menyelidiki kebenaran informasi ini. Jika
Leon memeriksa bagian atas lemari pakaian milik Esme. Dalam kotak kecil yang tampak biasa, suara detak itu berasal dari sana. “Ketemu!” desisnya sambil tersenyum ke arah Ava. “Syukurlah ….” Ava ikut lega. Leon kemudian memeriksa alat pelacak itu, ada beberapa komponen keras yang tampak mencurigakan. “Aku harus membawa alat ini ke markas keamanan untuk diperiksa secara lebih mendalam,” ucapnya kemudian. Ava mengangguk. Arren juga setuju dengan usulan suaminya itu. “Lalu, bagaimana kita harus menjelaskan pada Esme tentang kekacauan yang terjadi ini?” tanya Arren bingung. Aneka benda telah terserak di berbagai sudut ruangan, dengan laci-laci yang bahkan ada yang rusak sebagian. Leon ikut memikirkan, merasa bahwa menyimpan kartu pengaman akan lebih baik ketimbang harus mengkonfrontasi pelaku tanpa bukti yang kuat. “Ava, kau punya martil?” tanya Leon kemudian. “Marti? Sebentar, Pak,” Ava beringsut menuju ke arah dapur. Ada kotak perkakas di sana. Ava segera memberikan martil kepad