Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Tentu saja Ava belum mengatakan apa pun. Kalimat itu hanya ada di dalam kepalanya. “Ava, kau ingin es krim apa?’ tanya Arren ramah sambil menunjukkan buku menu yang ada di meja. “Es krim cokelat saja, Bibi,” jawab Ava tanpa melihat buku menu. Ava sungkan. Ia tidak terbiasa diistimewakan. “Es krim cokelat ya? Mau yang cokelat dengan mint, cokelat dengan meses atau cokelat dengan kacang?” tanya Arren sambil menunjuk-nunjuk tiga es krim cokelat yang berbeda di menu itu. Leon tampak tak sabar. “Beli saja semuanya! Jadi, kita bisa segera mengobrol.” “Baiklah. Nona, tolong saya beli semua es krim varian cokelat ini, ya!” seru Arren kepada pelayan yang ada di hadapannya. “Baik, Nona!” “E–eh! Bibi! Tidak perlu sebanyak itu!” Ava panik. Ia benar-benar merasa tidak enak hati kepada Pak Leon dan Bibi Arren. “Saya tidak ingin merepotkan,” ucapnya sambil memasang ekspresi sedih. Ava pernah bertingkah serakah seperti itu, kemudian Bibi Esme segera memarahinya karena terlalu memboroskan uang
Ava menatap wajah Leon tak percaya. Ia senang akhirnya Bibi Esme mengizinkannya untuk ikut serta. “Benarkah?” ulangnya tak percaya. Leon menganggukan kepala. Hati Ava terasa terbang ke udara. “Kalau begitu, ayo kita pergi!” ajak Arren senang. “Ayo!” Ava menyahut riang. Sekilas, Ava, Arren dan Leon tampak seperti keluarga kecil yang sedang berpiknik bersama. TIdak terlihat sama sekali kecanggungan dalam sikap mereka. “Pertama-tama … kita akan pergi ke restoran terkenal itu, apa ya namanya?” Arren mencoba mengingat-ingat. Leon memandangnya heran. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan? “Ah! Restoran Vogue. Aku ingat. Restoran itu ada di dekat Museum. Tidak jauh dari sini, kok!” terangnya dengan mata berbinar. Leon tertawa kecil dan memberi persetejuan. “Baik, Bibi!” Ava tampak menurut saja. Ia tidak banyak protes. Kemana pun Arren dan Leon pergi, Ava akan ikut serta. Ia akan membicarakan sesuatu hal yang penting kepada mereka berdua. Sesuatu yang asing, menurutnya. Ava memerlukan pe
Ava menunduk takut. Ia tidak yakin bahwa pembicaraan ini akan berakhir baik. “I—iya, seperti itulah,” ucap Ava ketakutan. “Ava. Ini tuduhan yang serius. Jika memang Bibimu itu memiliki alat pelacak dan menyebut namaku … artinya, alat pelacak itu ada pada salah satu dari kami, begitu?” tanya Leon mencoba memberi pengertian dari informasi yang diberikan oleh Ava. “Iya, begitu, Pak. Saya takutnya … Bibi telah melakukan hal yang tidak-tidak pada Anda berdua. Saya khawatir dengan keselamatan Anda,” kata Ava sambil menatap Leon dan Arren bergantian. “Leon, hanya ada satu cara untuk meluruskan segalanya. Kita harus mencari alat yang dimaksud Ava, ‘kan?” ucap Arren mencoba mencari solusi. Leon mengangguk cepat. “Sepertinya, kita harus pulang ke rumah Ava,” putusnya. Arren sepakat dengan keputusan Leon. Ava juga tidak tampak keberatan. “Ta–tapi ….” ucapnya lagi. “Ya? Ada sesuatu lagi yang harus kami ketahui?” tanya Leon tak sabar. Ia ingin segera menyelidiki kebenaran informasi ini. Jika
Leon memeriksa bagian atas lemari pakaian milik Esme. Dalam kotak kecil yang tampak biasa, suara detak itu berasal dari sana. “Ketemu!” desisnya sambil tersenyum ke arah Ava. “Syukurlah ….” Ava ikut lega. Leon kemudian memeriksa alat pelacak itu, ada beberapa komponen keras yang tampak mencurigakan. “Aku harus membawa alat ini ke markas keamanan untuk diperiksa secara lebih mendalam,” ucapnya kemudian. Ava mengangguk. Arren juga setuju dengan usulan suaminya itu. “Lalu, bagaimana kita harus menjelaskan pada Esme tentang kekacauan yang terjadi ini?” tanya Arren bingung. Aneka benda telah terserak di berbagai sudut ruangan, dengan laci-laci yang bahkan ada yang rusak sebagian. Leon ikut memikirkan, merasa bahwa menyimpan kartu pengaman akan lebih baik ketimbang harus mengkonfrontasi pelaku tanpa bukti yang kuat. “Ava, kau punya martil?” tanya Leon kemudian. “Marti? Sebentar, Pak,” Ava beringsut menuju ke arah dapur. Ada kotak perkakas di sana. Ava segera memberikan martil kepad
Esme dan Ava baru saja tiba di rumah mereka. Sesuai ekspektasi, Esme benar-benar terkejut dengan kekacauan yang terjadi. “Astaga! Apa ini!” teriaknya marah dan ketakutan. Tubuhnya sampai gemetar. Esme benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya. “Astaga! Bibi! Apa yang terjadi di sini? Oh tidak! Jangan-jangan … pencuri itu masih ada di sini!” pekikan Ava menambah nuansa yang mencekam. Ruang tamu mereka sungguh berantakan. Pecahan beling dari sisi jendela terserak di mana-mana, meja kayu mereka terbalik dan sofa-sofa miring, tidak pada tempatnya. “A—ava! Panggil polisi!” teriak Esme terbata-bata. Ia segera bergegas menuju kamarnya. Di sana, Esme melihat kekacauan di mana-mana. Laci-lacinya terbuka semua, lemari pakaiannya pun terbelah dua pintunya. Ranjang Esme baik-baik saja, hanya … seprai dan bantal-bantalnya berhamburan di lantai kamarnya. “Oh! Tidak! Benda itu! Jangan sampai benda itu juga hilang!” Esme segera mengambil kursi yang ada di meja rias. Ia menaiki kursi itu d
Arren menggeleng pelan sambil mengeratkan pelukan. Agaknya, gelagat dokter barusan membuat hatinya bersedih. Arren sebenarnya ingin merasa baik-baik saja, terutama karena Leon ada di sini bersamanya. Namun, berat hati Arren untuk menyembunyikan segala kekalutannnya. “Arren?” Leon mencoba melepaskan sejenak pelukan sang istri. Ia sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi. “Katakan, apa yang terjadi, Sayang?” tanyanya lembut sambil mengelus pipi Arren dengan penuh kasih sayang. “Kata dokter, aku harus melewati tes darah lagi, Leon,” desisnya takut. Ia tidak menyangka, racun laknat itu masih saja bersarang di tubuhnya. “Lalu?” Kali ini Leon bangkit dari posisinya. Ia menyejajarkan diri agar dapat mendengarkan Arren dengan saksama. “Apa yang dokter katakan?” “Yah, dia akan memberikan hasilnya dalam beberapa hari ke depan,” Arren mendongakkan kepala. Ia membutuhkan dukungan dari suami tercintanya, terlebih, ada jabang bayi yang sedang dikandungnya. “Kau pasti akan baik-baik s
Leon mengangkat alisnya dengan penuh perhatian, meninggalkan perasaan gembira yang tadinya menyelimuti ruangan itu. "Apa itu, Sayang?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wajah Arren yang berubah. Arren menelan ludah, matanya yang sebelumnya penuh semangat kini mencerminkan kekhawatiran. "Aku... aku tidak yakin harus mulai dari mana. Ini sesuatu yang sulit bagiku untuk diungkapkan." Leon menyentuh lembut tangan Arren, memberikan dukungan sekaligus kehangatan. "Kau tahu bahwa kau bisa memberitahuku apa pun, kan? Kita selalu berbicara satu sama lain." Arren mengangguk, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “A–aku ….” “Ya?” “Aku mencintaimu.” Leon terbelalak. Ia tidak menyangka bahwa Arren berniat untuk menggodanya. “Astaga!” Leon menepuk dahinya sendiri. “Ya, aku juga mencintaimu, Sayang,” ucapnya sambil mencium bibir sang istri. “Sekarang, habiskan makananmu.” Arren mengangguk dan menuruti perkataan suaminya. Ia menandaskan isi piringnya tanpa drama. Bahkan, rasa mual tida
Pagi itu berlangsung biasa saja. Arren dan Leon bangun dalam keadaan yang sama. Surga dunia begitu terasa. Keduanya selalu memulai hari dengan penuh cinta. “Selamat pagi, Sayang,” ucap Leon kepada istrinya yang masih menggelayut malas di sisinya. “Hm ….” sahut Arren dengan mata terpejam. Agaknya, ia masih malas membuka kedua matanya. “Ayo bangun. Ada yang ingin kutunjukkan,” ucap Leon sambil mengecup kedua mata Arren mesra. Arren geli dan mulai tertawa. “Okay … okay ….” Wanita itu kemudian mulai menggeliat dan bersiap untuk beranjak dari kasurnya. “Apa yang ingin kau tunjukkan?” tanya Arren penasaran. Leon hanya menyunggingkan senyuman. “Kau akan tahu.” Leon memandu Arren agar bangkit dari ranjang dan berjalan pelan menuju ke kamar lain yang ada di lantai itu. Kamar di pojok ruangan memang kosong sejak dulu. Kamar itu adalah kamar Abigail yang kemudian disterilkan karena nyonya besar tidak ingin menantu tak tahu diri itu tinggal di sini. “Kamar Bibi?” Arren bertanya-tanya. Men