Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Arren menggeleng pelan sambil mengeratkan pelukan. Agaknya, gelagat dokter barusan membuat hatinya bersedih. Arren sebenarnya ingin merasa baik-baik saja, terutama karena Leon ada di sini bersamanya. Namun, berat hati Arren untuk menyembunyikan segala kekalutannnya. “Arren?” Leon mencoba melepaskan sejenak pelukan sang istri. Ia sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi. “Katakan, apa yang terjadi, Sayang?” tanyanya lembut sambil mengelus pipi Arren dengan penuh kasih sayang. “Kata dokter, aku harus melewati tes darah lagi, Leon,” desisnya takut. Ia tidak menyangka, racun laknat itu masih saja bersarang di tubuhnya. “Lalu?” Kali ini Leon bangkit dari posisinya. Ia menyejajarkan diri agar dapat mendengarkan Arren dengan saksama. “Apa yang dokter katakan?” “Yah, dia akan memberikan hasilnya dalam beberapa hari ke depan,” Arren mendongakkan kepala. Ia membutuhkan dukungan dari suami tercintanya, terlebih, ada jabang bayi yang sedang dikandungnya. “Kau pasti akan baik-baik s
Leon mengangkat alisnya dengan penuh perhatian, meninggalkan perasaan gembira yang tadinya menyelimuti ruangan itu. "Apa itu, Sayang?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wajah Arren yang berubah. Arren menelan ludah, matanya yang sebelumnya penuh semangat kini mencerminkan kekhawatiran. "Aku... aku tidak yakin harus mulai dari mana. Ini sesuatu yang sulit bagiku untuk diungkapkan." Leon menyentuh lembut tangan Arren, memberikan dukungan sekaligus kehangatan. "Kau tahu bahwa kau bisa memberitahuku apa pun, kan? Kita selalu berbicara satu sama lain." Arren mengangguk, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “A–aku ….” “Ya?” “Aku mencintaimu.” Leon terbelalak. Ia tidak menyangka bahwa Arren berniat untuk menggodanya. “Astaga!” Leon menepuk dahinya sendiri. “Ya, aku juga mencintaimu, Sayang,” ucapnya sambil mencium bibir sang istri. “Sekarang, habiskan makananmu.” Arren mengangguk dan menuruti perkataan suaminya. Ia menandaskan isi piringnya tanpa drama. Bahkan, rasa mual tida
Pagi itu berlangsung biasa saja. Arren dan Leon bangun dalam keadaan yang sama. Surga dunia begitu terasa. Keduanya selalu memulai hari dengan penuh cinta. “Selamat pagi, Sayang,” ucap Leon kepada istrinya yang masih menggelayut malas di sisinya. “Hm ….” sahut Arren dengan mata terpejam. Agaknya, ia masih malas membuka kedua matanya. “Ayo bangun. Ada yang ingin kutunjukkan,” ucap Leon sambil mengecup kedua mata Arren mesra. Arren geli dan mulai tertawa. “Okay … okay ….” Wanita itu kemudian mulai menggeliat dan bersiap untuk beranjak dari kasurnya. “Apa yang ingin kau tunjukkan?” tanya Arren penasaran. Leon hanya menyunggingkan senyuman. “Kau akan tahu.” Leon memandu Arren agar bangkit dari ranjang dan berjalan pelan menuju ke kamar lain yang ada di lantai itu. Kamar di pojok ruangan memang kosong sejak dulu. Kamar itu adalah kamar Abigail yang kemudian disterilkan karena nyonya besar tidak ingin menantu tak tahu diri itu tinggal di sini. “Kamar Bibi?” Arren bertanya-tanya. Men
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni