Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Ava menunduk takut. Ia tidak yakin bahwa pembicaraan ini akan berakhir baik. “I—iya, seperti itulah,” ucap Ava ketakutan. “Ava. Ini tuduhan yang serius. Jika memang Bibimu itu memiliki alat pelacak dan menyebut namaku … artinya, alat pelacak itu ada pada salah satu dari kami, begitu?” tanya Leon mencoba memberi pengertian dari informasi yang diberikan oleh Ava. “Iya, begitu, Pak. Saya takutnya … Bibi telah melakukan hal yang tidak-tidak pada Anda berdua. Saya khawatir dengan keselamatan Anda,” kata Ava sambil menatap Leon dan Arren bergantian. “Leon, hanya ada satu cara untuk meluruskan segalanya. Kita harus mencari alat yang dimaksud Ava, ‘kan?” ucap Arren mencoba mencari solusi. Leon mengangguk cepat. “Sepertinya, kita harus pulang ke rumah Ava,” putusnya. Arren sepakat dengan keputusan Leon. Ava juga tidak tampak keberatan. “Ta–tapi ….” ucapnya lagi. “Ya? Ada sesuatu lagi yang harus kami ketahui?” tanya Leon tak sabar. Ia ingin segera menyelidiki kebenaran informasi ini. Jika
Leon memeriksa bagian atas lemari pakaian milik Esme. Dalam kotak kecil yang tampak biasa, suara detak itu berasal dari sana. “Ketemu!” desisnya sambil tersenyum ke arah Ava. “Syukurlah ….” Ava ikut lega. Leon kemudian memeriksa alat pelacak itu, ada beberapa komponen keras yang tampak mencurigakan. “Aku harus membawa alat ini ke markas keamanan untuk diperiksa secara lebih mendalam,” ucapnya kemudian. Ava mengangguk. Arren juga setuju dengan usulan suaminya itu. “Lalu, bagaimana kita harus menjelaskan pada Esme tentang kekacauan yang terjadi ini?” tanya Arren bingung. Aneka benda telah terserak di berbagai sudut ruangan, dengan laci-laci yang bahkan ada yang rusak sebagian. Leon ikut memikirkan, merasa bahwa menyimpan kartu pengaman akan lebih baik ketimbang harus mengkonfrontasi pelaku tanpa bukti yang kuat. “Ava, kau punya martil?” tanya Leon kemudian. “Marti? Sebentar, Pak,” Ava beringsut menuju ke arah dapur. Ada kotak perkakas di sana. Ava segera memberikan martil kepad
Esme dan Ava baru saja tiba di rumah mereka. Sesuai ekspektasi, Esme benar-benar terkejut dengan kekacauan yang terjadi. “Astaga! Apa ini!” teriaknya marah dan ketakutan. Tubuhnya sampai gemetar. Esme benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya. “Astaga! Bibi! Apa yang terjadi di sini? Oh tidak! Jangan-jangan … pencuri itu masih ada di sini!” pekikan Ava menambah nuansa yang mencekam. Ruang tamu mereka sungguh berantakan. Pecahan beling dari sisi jendela terserak di mana-mana, meja kayu mereka terbalik dan sofa-sofa miring, tidak pada tempatnya. “A—ava! Panggil polisi!” teriak Esme terbata-bata. Ia segera bergegas menuju kamarnya. Di sana, Esme melihat kekacauan di mana-mana. Laci-lacinya terbuka semua, lemari pakaiannya pun terbelah dua pintunya. Ranjang Esme baik-baik saja, hanya … seprai dan bantal-bantalnya berhamburan di lantai kamarnya. “Oh! Tidak! Benda itu! Jangan sampai benda itu juga hilang!” Esme segera mengambil kursi yang ada di meja rias. Ia menaiki kursi itu d
Arren menggeleng pelan sambil mengeratkan pelukan. Agaknya, gelagat dokter barusan membuat hatinya bersedih. Arren sebenarnya ingin merasa baik-baik saja, terutama karena Leon ada di sini bersamanya. Namun, berat hati Arren untuk menyembunyikan segala kekalutannnya. “Arren?” Leon mencoba melepaskan sejenak pelukan sang istri. Ia sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi. “Katakan, apa yang terjadi, Sayang?” tanyanya lembut sambil mengelus pipi Arren dengan penuh kasih sayang. “Kata dokter, aku harus melewati tes darah lagi, Leon,” desisnya takut. Ia tidak menyangka, racun laknat itu masih saja bersarang di tubuhnya. “Lalu?” Kali ini Leon bangkit dari posisinya. Ia menyejajarkan diri agar dapat mendengarkan Arren dengan saksama. “Apa yang dokter katakan?” “Yah, dia akan memberikan hasilnya dalam beberapa hari ke depan,” Arren mendongakkan kepala. Ia membutuhkan dukungan dari suami tercintanya, terlebih, ada jabang bayi yang sedang dikandungnya. “Kau pasti akan baik-baik s
Leon mengangkat alisnya dengan penuh perhatian, meninggalkan perasaan gembira yang tadinya menyelimuti ruangan itu. "Apa itu, Sayang?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wajah Arren yang berubah. Arren menelan ludah, matanya yang sebelumnya penuh semangat kini mencerminkan kekhawatiran. "Aku... aku tidak yakin harus mulai dari mana. Ini sesuatu yang sulit bagiku untuk diungkapkan." Leon menyentuh lembut tangan Arren, memberikan dukungan sekaligus kehangatan. "Kau tahu bahwa kau bisa memberitahuku apa pun, kan? Kita selalu berbicara satu sama lain." Arren mengangguk, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “A–aku ….” “Ya?” “Aku mencintaimu.” Leon terbelalak. Ia tidak menyangka bahwa Arren berniat untuk menggodanya. “Astaga!” Leon menepuk dahinya sendiri. “Ya, aku juga mencintaimu, Sayang,” ucapnya sambil mencium bibir sang istri. “Sekarang, habiskan makananmu.” Arren mengangguk dan menuruti perkataan suaminya. Ia menandaskan isi piringnya tanpa drama. Bahkan, rasa mual tida
Pagi itu berlangsung biasa saja. Arren dan Leon bangun dalam keadaan yang sama. Surga dunia begitu terasa. Keduanya selalu memulai hari dengan penuh cinta. “Selamat pagi, Sayang,” ucap Leon kepada istrinya yang masih menggelayut malas di sisinya. “Hm ….” sahut Arren dengan mata terpejam. Agaknya, ia masih malas membuka kedua matanya. “Ayo bangun. Ada yang ingin kutunjukkan,” ucap Leon sambil mengecup kedua mata Arren mesra. Arren geli dan mulai tertawa. “Okay … okay ….” Wanita itu kemudian mulai menggeliat dan bersiap untuk beranjak dari kasurnya. “Apa yang ingin kau tunjukkan?” tanya Arren penasaran. Leon hanya menyunggingkan senyuman. “Kau akan tahu.” Leon memandu Arren agar bangkit dari ranjang dan berjalan pelan menuju ke kamar lain yang ada di lantai itu. Kamar di pojok ruangan memang kosong sejak dulu. Kamar itu adalah kamar Abigail yang kemudian disterilkan karena nyonya besar tidak ingin menantu tak tahu diri itu tinggal di sini. “Kamar Bibi?” Arren bertanya-tanya. Men
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa