Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
Sebelum terperosok jatuh, sebuah lengan kekar segera merengkuh pinggangnya. Rengkuhan itu … Arren mengenalnya. “Le–leon?” Arren terperanjat. Derai air mata membasahi wajahnya. “Aku tidak bermimpi, kan?” Ia terus mempertanyakan keberadaan suami yang sedang dicarinya. Bagaimana … Leon sudah berada di hadapannya? “Kau sangat ceroboh, istriku,” ucap Leon sambil menarik Arren mendekat. Kali ini, rengkuhan itu berubah menjadi pelukan. Detik kemudian, deru napas mereka beradu dalam momen indah yang begitu intim dan mendalam. “Leon! Oh! Sayangku!” Arren segera meraba wajah sang kekasih hati yang telah lama pergi itu. Seolah tak mempercayai keajaiban yang hadir begitu nyata, Arren memaksa semua panca inderanya untuk memastikannya. “Mmmh ….” Ia bahkan melumat bibir tebal nan menggairahkan milik Leon dengan gairah yang membara. Seperti … seorang singa betina yang sedang mencengkeram mangsa. Tidak menolak, Leon membiarkan istrinya menyatakan kerinduannya. Ah. Beginikah rasanya dicintai deng
“Nona!” Pelayan Arren berteriak sambil berderai air mata ketika melihat Arren baik-baik saja. Setelah Leon menemukannya, Arren tidak keluar kamar sama sekali hingga pagi tiba. “Olin … maafkan aku,” ucap Arren lirih, merasa bersalah pada pelayan pribadinya yang ia tipu. Pelayan itu menangis, namun sebenarnya tangis itu adalah tangis bahagia. Ia tidak merasa tersinggung ataupun tersakiti hatinya hanya karena ditipu oleh sang nona. Sang pelayan bersyukur bahwa nonanya pulang selamat dan baik-baik saja. “Jangan membuat jantung saya copot, Nona!” isaknya. “Iya … iya ….” Arren mengusap kepala pelayannya yang tak ubahnya seperti saudari sendiri. Usia mereka hampir sama. Arren pun tidak merasa memiliki jarak dengannya. “Arren. Kau benar-benar!” Kali ini, protes datang dari sang nyonya besar. Arren hanya meringis sambil memberi kode kepada Leon agar dapat membantunya menenangkan sang nenek yang sepertinya murka. Leon melengos sambil mengangkat bahu, tidak ingin ikut campur dalam urusan
Di sudut kecil kota, di suatu sore yang tenang, Ava tampak gelisah ingin mengatakan sesuatu tentang bibinya kepada Pak Leon. Tapi, bagaimana caranya? Ia tidak tahu. Saat ini, Ava hanya sedang duduk-duduk sambil menanti bibinya menyelesaikan shift kerjanya yang pertama, di sebuah restoran kecil yang ada pada tepi jalan. “Ava, ayo kita pulang!” seru sang bibi yang telah berkemas dan siap untuk pergi. Ava mengangguk sambil menyeruput habis tehnya yang tinggal sedikit. Ia lalu melompat turun dari kursi dan mengejar langkah sang bibi. “Bibi, kapan kita akan mengunjungi ayah dan ibu lagi?” tanyanya sambil mencoba meraih tangan sang bibi yang berayun, tak jauh darinya, namun gagal. Bibinya tak ingin bergandengan tangan dengan Ava. Ia segera melipat kedua tangannya di dada dan terus berjalan. “Entahlah, Ava! Bibi sangat sibuk. Kau tahu, kan? Pekerjaan Bibi banyak,” cetus sang bibi tanpa menoleh ataupun ingin bersitatap dengan keponakan kecilnya. “Oh ….” Ava diam. Ia tidak ingin membuat bi
Sesuai janji, Leon mengajak Arren untuk membeli kue stroberi. Leon teringat toko kue yang dulu pernah ia tuju ketika membelikan buah tangan untuk istrinya itu. “Kau masih ingat kue tart stroberi itu, Sayang?” tanya Leon sambil menoleh ke arah sang istri yang sedang tersenyum cerah. “Tentu saja! Untuk itulah aku sangat bersemangat, Sayangku!” serunya sambil memancarkan binar bahagia. Leon tersenyum dan merasa lega karena nuansa muram tidak lagi tampak pada wajah ayunya. “Kau sangat cantik ketika tersenyum. Lupakanlah rasa sedihmu itu. Aku tidak suka.” Arren menatap Leon dengan penuh perhatian. Ditariknya lengan Leon yang sudah ada pada jangkauan. Wanita itu lalu melingkarkan lengan sang suami ke belakang punggung dan menyandarkan kepala ke bahunya. “Berhentilah marah-marah, Sayang. Kau akan cepat tua. Aku tidak ingin kau terlihat semakin keriput ketika berjalan bersama,” goda Arren sambil memejamkan mata. Tingkah Arren yang manja terkadang membuat emosi Leon luruh seketika. Perbeda
“Bagaimana aku harus bertanggung jawab?” Leon mengangkat alisnya. Arren hanya tertawa mendengar pertanyaannya. “Kau harus bertanggung jawab atas rasa cintaku yang semakin besar padamu, Sayang,” ucap arren sambil menyandarkan kepala manja. Leon segera memeluk Arren erat dan menitikkan air mata. Entah apa jadinya jika gadis lain yang menjadi tawanannya. Mungkin, gadis itu terbunuh dan Leon juga masih saja sama: kejam, tak berperi-kemanusiaan dan menghancurkan dirinya hingga tak ada tempat kembali seutuhnya. “Aku benar-benar beruntung karena telah memilikimu, Arren.” “Aku pun begitu. Nah sekarang, ayo kita turun,” ajak Arren sambil menatap ke luar jendela. Benda-benda di seberang sana sudah berhenti semua. Itu pertanda, mobil mereka telah menepi dan sampai ke tujuan yang diharapkan. “Silakan, Tuan, Nyonya.” Sang sopir membukakan pintu untuk mereka. Arren segera keluar dengan rona bahagia yang terpancar di wajahnya. “Suasananya sungguh menyenangkan,” ucapnya sambil menunggu Leon datan
Wajah Arren merah padam ketika Leon mengatakan kalimat itu. Es krim yang tadinya lancar meluncur ke tenggorokan tiba-tiba tersangkut dan muncrat ke luar. “Leon!” pekik Arren sambil membelalakkan bola matanya. Leon hanya tertawa lebar. Ia lalu meraih wajah sang istri dan menyusurkan telapak tangannya pelan. “Aku tidak berbohong,” ucapnya kemudian. Arren hanya terus mengkode agar suaminya diam dan berpura-pura tidak mendengar. “Permisi,” tiba-tiba ada seseorang yang datang. “Ya?” Leon menoleh ke arahnya sambil menatap heran. “Ada perlu apa?” tanyanya langsung tanpa ingin berbasa-basi lebih lama. “Anda telah mengganggu ketertiban di sini. Bisakah Anda sedikit tenang?” ucapnya sambil menatap Leon tajam. Arren agak terkejut dengan teguran itu, berbeda dengan Leon yang tampak tidak mau tahu. “Apa urusan kami dengan ketertiban? Kami juga pelanggan!” ketus Leon tanpa ingin mengalah atau pun berdamai dengan keadaan. Ia lalu bangkit dari kursinya dan mulai meletakkan kedua tangannya di pi
Tentu saja Ava belum mengatakan apa pun. Kalimat itu hanya ada di dalam kepalanya. “Ava, kau ingin es krim apa?’ tanya Arren ramah sambil menunjukkan buku menu yang ada di meja. “Es krim cokelat saja, Bibi,” jawab Ava tanpa melihat buku menu. Ava sungkan. Ia tidak terbiasa diistimewakan. “Es krim cokelat ya? Mau yang cokelat dengan mint, cokelat dengan meses atau cokelat dengan kacang?” tanya Arren sambil menunjuk-nunjuk tiga es krim cokelat yang berbeda di menu itu. Leon tampak tak sabar. “Beli saja semuanya! Jadi, kita bisa segera mengobrol.” “Baiklah. Nona, tolong saya beli semua es krim varian cokelat ini, ya!” seru Arren kepada pelayan yang ada di hadapannya. “Baik, Nona!” “E–eh! Bibi! Tidak perlu sebanyak itu!” Ava panik. Ia benar-benar merasa tidak enak hati kepada Pak Leon dan Bibi Arren. “Saya tidak ingin merepotkan,” ucapnya sambil memasang ekspresi sedih. Ava pernah bertingkah serakah seperti itu, kemudian Bibi Esme segera memarahinya karena terlalu memboroskan uang
Ava menatap wajah Leon tak percaya. Ia senang akhirnya Bibi Esme mengizinkannya untuk ikut serta. “Benarkah?” ulangnya tak percaya. Leon menganggukan kepala. Hati Ava terasa terbang ke udara. “Kalau begitu, ayo kita pergi!” ajak Arren senang. “Ayo!” Ava menyahut riang. Sekilas, Ava, Arren dan Leon tampak seperti keluarga kecil yang sedang berpiknik bersama. TIdak terlihat sama sekali kecanggungan dalam sikap mereka. “Pertama-tama … kita akan pergi ke restoran terkenal itu, apa ya namanya?” Arren mencoba mengingat-ingat. Leon memandangnya heran. Apa yang sebenarnya ingin dia katakan? “Ah! Restoran Vogue. Aku ingat. Restoran itu ada di dekat Museum. Tidak jauh dari sini, kok!” terangnya dengan mata berbinar. Leon tertawa kecil dan memberi persetejuan. “Baik, Bibi!” Ava tampak menurut saja. Ia tidak banyak protes. Kemana pun Arren dan Leon pergi, Ava akan ikut serta. Ia akan membicarakan sesuatu hal yang penting kepada mereka berdua. Sesuatu yang asing, menurutnya. Ava memerlukan pe