Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
“Alat ini rusak?” Leon menatap telepon satelit yang ada pada genggamannya. Sang kapten menyela, meminta izin untuk mengecek alat komunikasi miliknya. “Seharusnya alat ini baik-baik saja.” Leon menatap telepon satelit itu dengan sedikit rasa cemas. Ia tidak bisa menunda kabar lebih lama. Leon khawatir, pihak Rossie akan melancarkan serangan atau semacamnya yang hanya memperumit ketegangan antar-dua negara. "Sinyalnya seharusnya baik-baik saja," ujar Kapten sambil memeriksa layar dan tombol-tombol pada alat komunikasi itu. "Tapi sepertinya tidak ada respons dari menara kendali di Pulau Lesea." Leon mengangguk. “Bagaimana mengecek kerusakannya?” tanya Leon yang memang tidka mengetahui apapun tentang perangkat keras ini. Kapten kapal mencoba memeriksa dengan pandangannya, ia juga tampak mencopot baterai dan juga mengecek antena yang ada pada telepon itu. “Saya akan coba membawanya ke Hui. Dia adalah teknisi kapal ini.” Leon mengangguk. “Tolong cepat.” “Bak, Bos!” Kapten segera mem
Kapal terus melaju melintasi lautan yang dalam. Mentari di ufuk timur mulai menampakkan diri malu-malu, kendaraan besi besar itu terus membelah perairan untuk sampai ke pelabuhan yang dituju: Pelabuhan Rossie. Pagi itu, di atas kapal Serenade, semangat awak kapal tampak membara. Mereka telah melewati malam yang penuh peristiwa. Kini, matahari terbit memberikan harapan baru. Dek kapal yang berkilauan terkena sinar mentari seolah menyiratkan bahwa kejadian-kejadian sebelumnya memang benar hanya tinggal kenangan. “Selamat pagi, Bos!” sapa awak kapal yang telah terjaga. Leon tersenyum dan membalas sapaannya. Sebentar lagi, mereka akan tiba di tujuan akhir kapal. Perpisahan benar-benar akan terjadi. “Bagaimana kabar Anda?” “Yah, sudah lebih baik,” sahut Leon sambil menatap ke arah lautan lepas. Beberapa ikan tampak menyembul ke permukaan, seolah mengantarkan kepergian sang penumpang kapal. “Alat komunikasinya sudah tidak rusak, ‘kan?” tanyanya ingin memastikan. Pria itu mengambil sebo
Sehari sebelumnya, di Mansion Rossie, suasana hening sudah mulai terasa. Tidak ada lagi kehebohan karena insiden yang menimpa nona mereka. Kondisi Arren sudah terlihat lebih baik. Kesehatannya menunjukkan peningkatan. Siapa sangka? Obat yang diberikan oleh utusan Rocky itu memang memberikan khasiat yang seharusnya. Namun, anehnya, Arren mulai merasakan sakit pada perutnya. Rasa nyeri itu awalnya sepele, namun kemudian, menjadi lebih intens dan tak tertahankan. Arren mulai mengkhawatirkan keadaan janinnya. “Bagaimana janinku?” tanya Arren pada dokter yang sedang melakukan kunjungan rutinnya. “Janin Anda baik-baik saja, hanya … Anda harus menjaga kesehatan secara lebih intensif,” sahut sang dokter dengan ekspresi yang aneh. Arren memandang dokter itu dengan tatapan penuh perhatian. “Mengapa Anda tidak menatap wajah saya, Dokter?” tanyanya. Arren merasa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, dokter itu menggeleng. “Saya … tidak apa-apa.” “Anda dokter baru? Kemana perginya dokter yan
Wajah Arren yang muram berubah cerah ketika melihat Ava. Gadis berwajah bulat itu sungguh menggemaskan dan menghangatkan hatinya. “Bagaimana kabarmu, Ava?” tanya Arren sambil merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Saya baik, Nona ….” Ava memeluk Arren dengan lembut dan penuh perasaan. Sejenak, mereka saling menenangkan diri masing-masing, seolah-olah, misi penyelamatan di kaki gunung itu baru saja berlangsung kemarin. “Aku merindukanmu, Ava.” “Aku juga, Nona. Bagaimana keadaan Anda? Saya mendengar bahwa Anda sedang sakit,” tanya Ava sambil mendongakkan kepala. Arren hanya tersenyum samar sambil mengelus rambutnya. “Ya. Tapi sekarang, aku baik–baik saja,” jawab Arren tanpa mau memberitahu keadaan yang sesungguhnya. Arren tidak ingin Ava menjadi cemas dan sedih hatinya. “Nona …,” Bibi Ava memanggilnya. “Oh, halo! Aku tidak memperhatikanmu. Kau ….” “Saya Esme, bibinya Ava. Anda masih ingat, ‘kan? Kita pernah bertemu di taman kota,” jawab Esme sambil tersenyum. Arren mengangguk
Waktu terus bergulir, tak terasa, dini hari pun tiba. Pasukan khusus telah bersiap untuk lepas landas menuju ke perbatasan Rocky melalui udara. Suasana penuh ketegangan memenuhi markas mereka. “Lapor, Kapten! Kita siap berangkat!” tegas pemimpin regu kepada Kapten Selena. Kapten mengangguk dan memberi persetujuan agar misi segera dilaksanakan. “Laksanakan!” “Siap! Laksanakan!” Pasukan berderap maju menuju ke pintu ke luar, Clark menyusul di belakang rombongan. “Kapten, mohon bantuannya!” “Tentu, Clark! Kita pasti bisa melakukannya.” Sementara persiapan lepas landas segera dimulai, seorang pria berjas tampak lari tergopoh-gopoh sambil meneriakkan nama ‘Clark’. Suaranya tenggelam dalam deru mesin helikopter yang bergemuruh, Clark tidak mendengarnya dengan jelas. “Tuan Clark!” Clark menyipitkan pandangan, mencoba melihat secara jelas. “Hans?” Clark mengenali sosok yang sedang berlarian itu. Beberapa saat kemudian, pria itu mendekat dan kini, ia sudah berada di hadapan Clark. “Tu–
Sebelum terperosok jatuh, sebuah lengan kekar segera merengkuh pinggangnya. Rengkuhan itu … Arren mengenalnya. “Le–leon?” Arren terperanjat. Derai air mata membasahi wajahnya. “Aku tidak bermimpi, kan?” Ia terus mempertanyakan keberadaan suami yang sedang dicarinya. Bagaimana … Leon sudah berada di hadapannya? “Kau sangat ceroboh, istriku,” ucap Leon sambil menarik Arren mendekat. Kali ini, rengkuhan itu berubah menjadi pelukan. Detik kemudian, deru napas mereka beradu dalam momen indah yang begitu intim dan mendalam. “Leon! Oh! Sayangku!” Arren segera meraba wajah sang kekasih hati yang telah lama pergi itu. Seolah tak mempercayai keajaiban yang hadir begitu nyata, Arren memaksa semua panca inderanya untuk memastikannya. “Mmmh ….” Ia bahkan melumat bibir tebal nan menggairahkan milik Leon dengan gairah yang membara. Seperti … seorang singa betina yang sedang mencengkeram mangsa. Tidak menolak, Leon membiarkan istrinya menyatakan kerinduannya. Ah. Beginikah rasanya dicintai deng
“Nona!” Pelayan Arren berteriak sambil berderai air mata ketika melihat Arren baik-baik saja. Setelah Leon menemukannya, Arren tidak keluar kamar sama sekali hingga pagi tiba. “Olin … maafkan aku,” ucap Arren lirih, merasa bersalah pada pelayan pribadinya yang ia tipu. Pelayan itu menangis, namun sebenarnya tangis itu adalah tangis bahagia. Ia tidak merasa tersinggung ataupun tersakiti hatinya hanya karena ditipu oleh sang nona. Sang pelayan bersyukur bahwa nonanya pulang selamat dan baik-baik saja. “Jangan membuat jantung saya copot, Nona!” isaknya. “Iya … iya ….” Arren mengusap kepala pelayannya yang tak ubahnya seperti saudari sendiri. Usia mereka hampir sama. Arren pun tidak merasa memiliki jarak dengannya. “Arren. Kau benar-benar!” Kali ini, protes datang dari sang nyonya besar. Arren hanya meringis sambil memberi kode kepada Leon agar dapat membantunya menenangkan sang nenek yang sepertinya murka. Leon melengos sambil mengangkat bahu, tidak ingin ikut campur dalam urusan
Di sudut kecil kota, di suatu sore yang tenang, Ava tampak gelisah ingin mengatakan sesuatu tentang bibinya kepada Pak Leon. Tapi, bagaimana caranya? Ia tidak tahu. Saat ini, Ava hanya sedang duduk-duduk sambil menanti bibinya menyelesaikan shift kerjanya yang pertama, di sebuah restoran kecil yang ada pada tepi jalan. “Ava, ayo kita pulang!” seru sang bibi yang telah berkemas dan siap untuk pergi. Ava mengangguk sambil menyeruput habis tehnya yang tinggal sedikit. Ia lalu melompat turun dari kursi dan mengejar langkah sang bibi. “Bibi, kapan kita akan mengunjungi ayah dan ibu lagi?” tanyanya sambil mencoba meraih tangan sang bibi yang berayun, tak jauh darinya, namun gagal. Bibinya tak ingin bergandengan tangan dengan Ava. Ia segera melipat kedua tangannya di dada dan terus berjalan. “Entahlah, Ava! Bibi sangat sibuk. Kau tahu, kan? Pekerjaan Bibi banyak,” cetus sang bibi tanpa menoleh ataupun ingin bersitatap dengan keponakan kecilnya. “Oh ….” Ava diam. Ia tidak ingin membuat bi
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.